Demikian
banyak nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak ada satupun manusia yang bisa
menghitungnya, meski menggunakan alat secanggih apapun. Pernahkah kita
berpikir, untuk apa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan demikian banyak nikmat
kepada para hamba-Nya? Untuk sekedar menghabiskan nikmat-nikmat tersebut atau
ada tujuan lain?
Luasnya Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sungguh betapa besar dan banyak nikmat yang telah dikaruniakan Allah Subhanahu
wa Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti kita merasakan satu nikmat
kemudian beralih kepada nikmat yang lain. Di mana kita terkadang tidak
membayangkan sebelumnya akan terjadi dan mendapatkannya. Sangat besar dan
banyak karena tidak bisa untuk dibatasi atau dihitung dengan alat secanggih
apapun di masa kini.
Semua ini tentunya mengundang kita untuk menyimpulkan betapa besar karunia dan
kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dalam realita
kehidupan, kita menemukan keadaan yang memprihatinkan. Yaitu mayoritas manusia
dalam keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat. Puncaknya adalah
menyamakan pemberi nikmat dengan makhluk, yang keadaan makhluk itu sendiri
sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tentu hal ini termasuk dari
kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala di dalam firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar.” (Luqman: 13)
Kendati demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan kepada mereka
sebagian karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului murka-Nya” dan
membukakan bagi mereka pintu untuk bertaubat. Oleh sebab itu tidak ada alasan
bagi hamba ini untuk:
- Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menyamakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya yang sangat butuh kepada-Nya.
- Menyombongkan diri serta angkuh dengan tidak mau melaksanakan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tidak mau
menerima kebenaran dan mengentengkan orang lain.
- Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan nikmat apapun yang kalian dapatkan adalah datang dari Allah.” (An-Nahl:
53)
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
“Dan jika kalian menghitung nikmat Allah niscaya kalian tidak akan sanggup.”
(An-Nahl: 18)
Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Satu Tujuan yang Mulia
Dari sekian nikmat yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada kita, mari kita mencoba menghitungnya. Sudah berapakah dalam kalkulasi
kita nikmat yang telah kita syukuri dan dari sekian nikmat yang telah kita
pergunakan untuk bermaksiat kepada-Nya. Jika kita menemukan kalkulasi yang
baik, maka pujilah Allah Subhanahu wa Ta’ala karena Dia telah memberimu
kesempatan yang baik. Jika kita menemukan sebaliknya maka janganlah engkau
mencela melainkan dirimu sendiri.1
Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan
pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tahukah anda apa rahasia di balik
pemberian Allah Subhanahu wa Ta'ala tersebut?
Ketahuilah bahwa kenikmatan yang berlimpah ruah bukanlah tujuan diciptakannya
manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
manusia tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia untuk sebuah
kemuliaan baginya dan menjadikan segala nikmat itu sebagai perantara untuk
menyampaikan kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adalah untuk beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, sebagaimana hal ini disebutkan dalam
firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah
kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Bagi orang yang berakal akan berusaha mencari rahasia di balik pemberian Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang berlimpah ruah tersebut. Setelah dia menemukan
jawabannya, yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja, maka dia akan mengetahui
pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Sebagai bukti yaitu adanya kematian setelah hidup ini dan adanya kehidupan
setelah kematian diiringi dengan persidangan dan pengadilan serta pembalasan
dari Allah l. Itulah kehidupan yang hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti
ini akan mengantarkan kepada:
1. Dunia bukan tujuan hidup.
2. Kenikmatan yang ada padanya bukan tujuan diciptakan manusia, akan tetapi
sebagai perantara untuk suatu tujuan yang mulia.
3. Semangat beramal untuk tujuan hidup yang hakiki dan kekal.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa nikmat itu ada dua
bentuk, nikmat yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi perantara menuju
tujuan. Nikmat yang merupakan tujuan adalah kebahagiaan akhirat dan nilainya
akan kembali kepada empat perkara.
Pertama: Kekekalan dan tidak ada kebinasaan setelahnya,
Kedua: Kebahagian yang tidak ada duka setelahnya,
Ketiga: Ilmu yang tidak ada kejahilan setelahnya,
Keempat: Kaya yang tidak ada kefakiran setelahnya.
Semua ini merupakan kebahagiaan yang hakiki. Adapun bagian yang kedua (dari dua
jenis nikmat) adalah sebagai perantara menuju kebahagiaan yang disebutkan dan
ini ada empat perkara:
Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yang baik.
Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
Ketiga: Keutamaan yang terkait dengan badan seperti harta, kedudukan, dan
keluarga.
Keempat: Sebab-sebab yang menghimpun nikmat-nikmat tersebut dengan segala
keutamaan seperti hidayah, bimbingan, kebaikan, pertolongan, dan semua nikmat
ini adalah besar.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 282)
Untaian Indah dari Ibnu Qudamah
“Ketahuilah bahwa segala yang dicari oleh setiap orang adalah nikmat. Akan
tetapi kenikmatan yang hakiki adalah kebahagiaan di akhirat kelak dan segala
nikmat selainnya akan lenyap. Semua perkara yang disandarkan kepada kita ada
empat macam:
Pertama: Sesuatu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan
akhlak yang baik. Inilah kenikmatan yang hakiki.
Kedua: Sesuatu yang memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’
(kerugian) yang hakiki.
Ketiga: Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat
dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguhnya bala bagi orang yang berakal,
sekalipun orang jahil menganggapnya nikmat. Seperti seseorang yang sedang lapar
lalu menemukan madu yang bercampur racun. Bila tidak mengetahuinya, dia
menganggap sebuah nikmat dan jika mengetahuinya dia menganggapnya sebagai
malapetaka.
Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai nikmat
bagi orang yang berakal. Contohnya obat, bila dirasakan sangat pahit dan pada
akhirnya akan menyembuhkan (dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta'ala).
Seorang anak bila dipaksa untuk meminumnya dia menyangka sebagai malapetaka dan
orang yang berakal akan menganggapnya sebagai nikmat. Demikian juga bila
seorang anak butuh untuk dibekam, sang bapak berusaha menyuruh dan memerintahkan
anaknya untuk melakukannya. Namun sang anak tidak bisa melihat akibat di
belakang yang akan muncul berupa kesembuhan.
(Begitupun) sang ibu akan berusaha mencegah karena cintanya yang tinggi kepada
anak tersebut karena sang ibu tidak tahu tentang maslahat yang akan muncul dari
pengobatan tersebut.
Sang anak menuruti apa kata ibunya. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuannya
sehingga ia lebih menuruti ibunya daripada bapaknya. Bersamaan dengan itu sang
anak menganggap bapaknya sebagai musuh. Jika sang anak berakal, niscaya dia
akan menyimpulkan bahwa sang ibu merupakan musuh sesungguhnya dalam wujud teman
dekat. Karena larangan sang ibu untuk berbekam akan menggiringnya kepada
penyakit yang lebih besar dibandingkan sakit karena berbekam.
Karena itu, teman yang jahil lebih berbahaya dari seorang musuh yang berakal.
Dan setiap orang menjadi teman dirinya sendiri, akan tetapi nafsu merupakan
teman yang jahil. Nafsu akan berbuat pada dirinya apa yang tidak diperbuat oleh
musuh.” (Minhajul Qashidin hal. 281-282)
Syukur dalam Tinjauan Bahasa dan Agama
Syukur secara bahasa adalah nampaknya bekas makan pada badan binatang dengan
jelas. Binatang yang syakur artinya: Apabila nampak padanya kegemukan karena
makan melebihi takarannya.
Adapun dalam tinjauan agama, syukur adalah: Nampaknya pengaruh nikmat Allah
Subhanahu wa Ta’ala atas seorang hamba melalui lisannya dengan cara memuji dan
mengakuinya; melalui hati dengan cara meyakininya dan cinta; serta melalui
anggota badan dengan penuh ketundukan dan ketaatan. (Madarijus Salikin, 2/244)
Ada juga yang mendefinisikan syukur dengan makna lain seperti:
1. Mengakui nikmat yang diberikan dengan penuh ketundukan.
2. Memuji yang memberi nikmat atas nikmat yang diberikannya.
3. Cinta hati kepada yang memberi nikmat dan (tunduknya) anggota badan dengan
ketaatan serta lisan dengan cara memuji dan menyanjungnya.
4. Menyaksikan kenikmatan dan menjaga (diri dari) keharaman.
5. Mengetahui kelemahan diri dari bersyukur.
6. Menyandarkan nikmat tersebut kepada pemberinya dengan ketenangan.
7. Engkau melihat dirimu orang yang tidak pantas untuk mendapatkan nikmat.
8. Mengikat nikmat yang ada dan mencari nikmat yang tidak ada.
Masih banyak lagi definisi para ulama tentang syukur, akan tetapi semuanya
kembali kepada penjelasan Ibnul Qayyim sebagaimana disebutkan di atas.
Yang jelas, syukur adalah sebuah istilah yang digunakan pada pengakuan/
pengetahuan akan sebuah nikmat. Karena mengetahui nikmat merupakan jalan untuk
mengetahui Dzat yang memberi nikmat. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala
menamakan Islam dan iman di dalam Al-Qur`an dengan syukur. Dari sini diketahui
bahwa mengetahui sebuah nikmat merupakan rukun dari rukun-rukun syukur.
(Madarijus Salikin, 2/247)
Apabila seorang hamba mengetahui sebuah nikmat maka dia akan mengetahui yang
memberi nikmat. Ketika seseorang mengetahui yang memberi nikmat tentu dia akan
mencintai-Nya dan terdorong untuk bersungguh-sungguh mensyukuri nikmat-Nya.
(Madarijus Salikin, 2/247, secara ringkas)
Syukur Tidak Sempurna Melainkan dengan Mengetahui Apa yang Dicintai Allah l
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Ketahuilah bahwa syukur dan tidak
kufur tidak akan sempurna melainkan dengan mengetahui segala apa yang dicintai
oleh Allah l. Sebab makna syukur adalah mempergunakan segala karunia Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepada apa yang dicintai-Nya, dan kufur nikmat adalah
sebaliknya. Bisa juga dengan tidak memanfaatkan nikmat tersebut atau
mempergunakannya pada apa yang dimurkai-Nya.”
Makna Syukur
Syukur memiliki tiga makna.
Pertama: Mengetahui (pemberian tersebut) adalah sebuah nikmat. Artinya dia
menghadirkan dalam benaknya, mempersaksikan, dan memilahnya. Hal ini akan bisa
terwujud dalam benak sebagaimana terwujud dalam kenyataan. Sebab banyak orang
yang jika engkau berbuat baik kepadanya namun dia tidak mengetahui (bahwa itu
adalah perbuatan baik). Gambaran ini bukan termasuk dari syukur.
Kedua: Menerima nikmat tersebut dengan menampakkan butuhnya kepadanya. Dan
bahwa sampainya nikmat tersebut kepadanya bukan sebagai satu keharusan hak baginya
dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tanpa membelinya dengan harga. Bahkan dia
melihat dirinya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti seorang tamu yang
tidak diundang.
Ketiga: Memuji yang memberi nikmat. Dalam hal ini ada dua bentuk, yaitu umum dan
khusus. Pujian yang bersifat umum adalah menyifati pemberi nikmat dengan sifat
dermawan, kebaikan, luas pemberiannya, dan sebagainya. Pujian yang bersifat
khusus adalah menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukan bahwa nikmat
tersebut sampai kepada dia karena sebab Sang Pemberi tersebut. Sebagaimana
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11)
[Madarijus Salikin, 2/247-248]
Menceritakan Sebuah Nikmat Termasuk Syukur
Menceritakan sebuah nikmat yang dia dapatkan kepada orang lain termasuk dalam
kategori syukur. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam:
مَنْ صَنَعَ إِلَيْهِ مَعْرُوْفًا فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَا يَجْزِي
بِهِ فَلْيُثْنِ فَإِنَّهُ إِذَا أَثْنَى عَلَيْهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَإِنْ
كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ وَمَنْ تَحَلَّى بِمَا لَمْ يُعْطَ كَانَ كَلاَبِسِ
ثَوْبَيْ زُوْرٍ
“Barangsiapa yang diberikan kebaikan kepadanya hendaklah dia membalasnya dan
jika dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya hendaklah dia memujinya.
Karena jika dia memujinya sungguh dia telah berterima kasih dan jika dia
menyembunyikannya sungguh dia telah kufur. Dan barangsiapa yang berhias dengan
sesuatu yang dia tidak diberi, sama halnya dengan orang yang memakai dua baju
kedustaan.” (HR. Abu Dawud no. 4179, At-Tirmidzi no. 1957 dari Jabir bin
Abdullah radhiyallahu 'anhuma)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan adapun tentang nikmat Rabbmu maka ceritakanlah.” (Adh-Dhuha: 11)
Menceritakan nikmat yang diperintahkan di dalam ayat ini ada dua pendapat di
kalangan para ulama.
Pertama: Menceritakan nikmat tersebut dan memberitahukannya kepada orang lain
seperti dengan ucapan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberiku nikmat
demikian dan demikian.”
Kedua: Menceritakan nikmat yang dimaksud di dalam ayat ini adalah berdakwah di
jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan risalah-Nya dan mengajarkan umat.
Dari kedua pendapat tersebut, Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam Madarijus
Salikin (2/249) mentarjih dengan perkataan beliau: “Yang benar, ayat ini
mencakup kedua makna tersebut. Karena masing-masingnya adalah nikmat yang kita
diperintahkan untuk mensyukurinya, menceritakannya, dan menampakkannya sebagai
wujud kesyukuran.”
Beliau berkata: “Dalam sebuah atsar yang lain dan marfu’ disebutkan:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيْلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيْرَ وَمَنْ لَمْ يَشْكُرِ
النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ، وَالتَّحَدُّثُ بِنِعْمَةِ اللهِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ
كُفْرٌ وَالْجَمَاعَةُ رَحْمَةٌ وَالْفُرْقَةُ عَذَابٌ
“Barangsiapa tidak mensyukuri yang sedikit maka dia tidak akan mensyukuri atas
yang banyak dan barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia maka dia
tidak bersyukur kepada Allah. Menceritakan sebuah nikmat (yang didapati) kepada
orang lain termasuk dari syukur dan meninggalkannya adalah kufur, bersatu
adalah rahmat dan bercerai berai adalah azab.” (HR. Ahmad dari An-Nu’man bin
Basyir) [Madarijus Salikin, 2/248]
Dengan Apa Seorang Hamba Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Syukur bisa dilakukan dengan hati,
lisan, dan anggota badan. Adapun dengan hati adalah berniat untuk melakukan
kebaikan dan menyembunyikannya pada khayalak ramai. Adapun dengan lisan adalah
menampakkan kesyukuran itu dengan memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artinya,
menampakkan keridhaan kepada Allah k. Dan hal ini sangat dituntut, sebagaimana
sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
التَّحَدُّثُ بِالنِّعَمِ شُكْرٌ وَتَرْكُهُ كُفْرٌ
‘Menceritakan nikmat itu adalah wujud kesyukuran dan meninggalkannya adalah
wujud kekufuran.’
Adapun dengan anggota badan adalah mempergunakan nikmat-nikmat Allah Subhanahu
wa Ta’ala tersebut dalam ketaatan kepada-Nya dan menjaga diri dari bermaksiat
dengannya. Termasuk kesyukuran terhadap nikmat kedua mata adalah dengan cara
menutup setiap aib yang dilihat pada seorang muslim. Dan termasuk kesyukuran
atas nikmat kedua telinga adalah menutup setiap aib yang didengar. Penampilan
seperti ini termasuk wujud kesyukuran terhadap anggota badan.” (Mukhtashar
Minhajul Qashidin hal. 277)
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur itu bisa dilakukan oleh hati
dengan tunduk dan kepasrahan, oleh lisan dengan mengakui nikmat tersebut, dan
oleh anggota badan dengan ketaatan dan penerimaan.” (Madarijus Salikin, 2/246)
Derajat Syukur
Syukur memiliki tiga tingkatan:
Pertama: Bersyukur karena mendapatkan apa yang disukai.
Tingkat syukur ini bisa juga dilakukan orang Islam dan non Islam, seperti
Yahudi dan Nasrani, bahkan Majusi. Namun Ibnul Qayyim rahimahullahu
menjelaskan: “Jika engkau mengetahui hakikat syukur, dan di antara hakikat
syukur adalah menjadikan nikmat tersebut membantu dalam ketaatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan mencari ridha-Nya, niscaya engkau akan mengetahui bahwa
kaum musliminlah yang pantas menyandang derajat syukur ini.
‘Aisyah radhiyallahu 'anha telah menulis surat kepada Mu’awiyah radhiyallahu
'anhu: ‘Sesungguhnya tingkatan kewajiban yang paling kecil atas orang yang
diberi nikmat adalah tidak menjadikan nikmat tersebut sebagai jembatan untuk
bermaksiat kepada-Nya’.” (Madarijus Salikin, 2/253)
Kedua: Mensyukuri sesuatu yang tidak disukai. Orang yang melakukan jenis syukur
ini adalah orang yang sikapnya sama dalam semua keadaan, sebagai bukti
keridhaannya.
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Bersyukur atas sesuatu yang tidak
disukai lebih berat dan lebih sulit dibandingkan mensyukuri yang disenangi.
Oleh sebab itulah, syukur yang kedua ini di atas jenis syukur yang pertama.
Syukur jenis kedua ini tidak dilakukan kecuali oleh salah satu dari dua jenis
orang:
Seseorang yang semua keadaannya sama.
Artinya, sikapnya sama terhadapq yang disukai dan tidak disukai, dan dia
bersyukur atas semuanya sebagai bukti keridhaan dirinya terhadap apa yang
terjadi. Ini merupakan (gambaran) kedudukan ridha.
Seseorang yang bisa membedakan
keadaannya. Dia tidak menyukai sesuatuq yang tidak menyenangkan dan tidak ridha bila
menimpanya. Namun bila sesuatu yang tidak menyenangkan menimpanya, dia tetap
mensyukurinya. Kesyukurannya (dia jadikan) sebagai pemadam kemarahannya,
sebagai penutup dari berkeluh kesah, dan demi menjaga adab serta menempuh jalan
ilmu. Karena sesungguhnya adab dan ilmu akan membimbing seseorang untuk bersyukur
di waktu senang maupun susah.
Tentunya yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. (Madarijus Salikin, 2/254)
Ketiga: Seseorang seolah-olah tidak menyaksikan kecuali Yang memberinya
kenikmatan. Artinya, bila dia melihat yang memberinya kenikmatan dalam rangka
ibadah, dia akan menganggap besar nikmat tersebut. Dan bila dia menyaksikan
yang memberi kenikmatan karena rasa cinta, niscaya semua yang berat akan terasa
manis baginya.
Manusia dan Syukur
Kita telah mengetahui bahwa syukur merupakan salah satu sifat yang terpuji dan
sifat yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Akan tetapi tidak semua
orang bisa mendapatkannya. Artinya, ada yang diberi oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan ada pula yang tidak.
Manusia dan syukur terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Orang yang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala.
Kedua: Orang yang menentang nikmat yang diberikan alias kufur nikmat.
Ketiga: Orang yang berpura-pura syukur padahal dia bukan orang yang bersyukur.
Orang yang seperti ini dimisalkan dengan orang yang berhias dengan sesuatu yang
tidak dia tidak miliki. (Madarijus Salikin, 2/48)
Dalil-dalil tentang Syukur
وَاشْكُرُوا لِلهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Bersyukurlah kalian kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.”
(Al-Baqarah: 172)
فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan mengingat kalian dan
bersyukurlah kalian kepada-Ku dan jangan kalian kufur." (Al-Baqarah: 152)
وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
“Dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya dan kepada-Nya kalian
dikembalikan." (Al-'Ankabut: 17)
وَسَيَجْزِي اللهُ الشَّاكِرِيْنَ
“Dan Allah akan membalas orang-orang yang bersyukur.” (Ali 'Imran: 144)
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ
كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan ingatlah ketika Rabb kalian memaklumkan: Jika kalian bersyukur niscaya
Kami akan menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku
sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata:
أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ
اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقَالَتْ عَائِشَةُ: لِمَ تَصْنَعُ
هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ
وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا؟
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari sampai pecah-pecah
kedua kaki beliau lalu ‘Aisyah berkata: ‘Ya Rasulullah, kenapa engkau melakukan
yang demikian, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang telah lewat dan akan
datang?’ Beliau menjawab: ‘Apakah aku tidak suka menjadi hamba yang
bersyukur?’” (HR. Al-Bukhari no 4660 dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)
Masih banyak dalil lain yang menjelaskan tentang keutamaan syukur dan anjuran
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Semoga apa yang dibawakan di sini
mewakili yang tidak disebutkan.
Ancaman bagi Orang-Orang yang Tidak Bersyukur
Yang tidak bersyukur lebih banyak dari yang bersyukur. Hal ini tidak bisa
dipungkiri oleh orang yang berakal bersih. Sebagaimana orang yang ingkar kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih banyak dari yang beriman. Demikianlah
keterangan Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:
وَقَلِيْلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit dari hamba-hambaKu yang bersyukur.” (Saba`: 13)
Sebuah peringatan tentu akan bermanfaat bagi orang yang beriman. Di mana Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan dari kufur nikmat setelah
memerintahkan untuk bersyukur dan menjelaskan keutamaan yang akan di dapatinya
sebagaimana penjelasan Al-Imam As-Sa’di rahimahullahu dalam tafsir beliau:
“Jika seseorang bersyukur niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabadikan
nikmat yang dia berada padanya dan menambahnya dengan nikmat yang lain.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ
كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيْدٌ
“Dan Rabb kalian telah mengumumkan jika kalian bersyukur niscaya Kami akan
menambah (nikmat Kami) dan jika kalian mengkufurinya sungguh azab-Ku sangat
pedih.” (Ibrahim: 7)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan: “Jika kalian mengkufuri
nikmat, menutup-nutupinya dan menentangnya maka (azab-Ku sangat pedih) yaitu
dengan dicabutnya nikmat tersebut dan siksa Allah Subhanahu wa Ta’ala
menimpanya dengan sebab kekufurannya. Dan disebutkan dalam sebuah hadits:
‘Sesungguhnya seseorang diharamkan untuk mendapatkan rizki karena dosa yang
diperbuatnya’.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/637)
Syukur dan Sabar
Kita akan bertanya: “Jika engkau ditimpa sebuah musibah lalu engkau
mensyukurinya, maka tentu pada sikap kesyukuranmu terdapat sifat sabar dan
sifat ridha terhadap musibah yang menimpa dirimu. Dan kita mengetahui bahwa
ridha merupakan bagian dari kesabaran. Sementara syukur merupakan buah dari
sifat ridha.”
Ibnul Qayyim rahimahullahu menjelaskan: “Syukur termasuk kedudukan yang paling
tinggi dan lebih tinggi -bahkan jauh libih tinggi- daripada kedudukan ridha. Di
mana sifat ridha masuk dalam syukur, karena mustahil syukur ada tanpa ridha.”
(Madarijus Salikin, 2/242)
Kenapa Kebanyakan Orang Tidak Bersyukur?
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Makhluk ini tidak mau mensyukuri
nikmat karena padanya ada dua (sifat) yaitu kejahilan dan kelalaian. Kedua
sifat ini menghalangi mereka untuk mengetahui nikmat. Karena tidak tergambar
bahwa seseorang akan bisa bersyukur tanpa mengetahui nikmat (sebuah pemberian).
Jika pun mereka mengetahui nikmat, mereka menyangka bahwa bersyukur itu hanya
sebatas mengucapkan alhamdulillah atau syukrullah dengan lisan. Mereka tidak mengetahui
bahwa makna syukur adalah mempergunakan nikmat pada jalan ketaatan kepada Allah
l.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 288)
Kesimpulan ucapan Ibnu Qudamah rahimahullahu adalah bahwa manusia banyak tidak
bersyukur karena ada dua perkara yang melandasinya yaitu kejahilan dan
kelalaian.
Mengobati Kelalaian dari Bersyukur
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan: “Hati yang hidup akan menggali segala
macam nikmat diberikan. Adapun hati yang jahil (lalai) tidak akan menganggap
sebuah nikmat sebagai nikmat kecuali setelah bala’ menimpanya. Caranya,
hendaklah dia terus memandang kepada yang lebih rendah darinya dan berusaha
berbuat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Mendatangi tempat
orang yang sedang sakit dan melihat berbagai macam ujian yang sedang menimpa
mereka, kemudian berpikir tentang nikmat sehat dan keselamatan. Menyaksikan jenazah
orang yang terbunuh, dipotong tangan mereka, kaki-kaki mereka dan diazab, lalu
dia bersyukur atas keselamatan dirinya dari berbagai azab.” (Mukhtashar
Minhajul Qashidin hal. 290)
Wallahu a’lam.
1 Demikianlah makna yang telah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (no. 4674) dari
shahabat Abu Dzar radhiyallahu 'anhu.
Makkah 'Isha - 22nd January 2025
-
*Makkah Isha *
(Surah Saba: Ayaah 31-38) *Sheikh Mu'ayqali*
Download 128kbps Audio
2 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar