Kesimpangsiuran yang terjadi pada sebagian orang yang mengaku bermanhaj
"Salaf" yang sesungguhnya pemahamannya telah terkontaminasi dengan
berbagai kerancuan pemahaman "kholaf" yakni menyimpang dari pemahaman
Salaf, sedang gencar berlangsung dilancarkan terhadap dakwah Salafiyyah (khususnya
di Indonesia) oleh pihak yang tidak bertanggung
jawab dan ingin memberikan
keraguan terhadap ummat dalam meyakini kebenaran minhajus Salaf. Perbedaan
frontal antara blok Salaf yang benar-benar merujuk kepada Ulama Ahli Hadits
dengan blok Kholaf yang memodifikasi antara pemahaman Salaf dengan metodologi
alternatif ini masih saja dianggap oleh sebagian orang sebagai kelompok
Salafiy, akibatnya menimbulkan prahara dan fitnah tersendiri bagi dakwah
Salafiyyah, sehingga terkesan sebagai perselisihan diantara kalangan penganut
pemahaman Salafus Shalih atau dengan kata lain sebagai perpecahan di kalangan
Salafiyyin, upaya yang demikian ini sangat strategis dalam menciptakan kondisi
ummat yang selalu bertindak represif dan antipati terhadap dakwah
Salafiyyah (khususnya di Indonesia),
berikut perbincangan Fikri Abul Hasan moderator Alghuroba dengan Al-Ustadz
Ja'far Umar Thalib pengasuh pondok pesantren Ihya' As Sunnah Jogjakarta, Sabtu
(18/6)
Fikri: Pembahasan konsep apapun selalu diawali
dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara tekhnis, guna menangkap
substansi makna yang terkandung dalam konsep tersebut, apa definisi Salaf ? dan
bagaimana kata Salaf di pakai yang secara semantik bisa di usut maknanya ?
USTADZ: Salaf secara bahasa maknanya ialah pendahulu dalam artian
generasi yang terdahulu atau lebih dulu dari generasi yang sedang hidup. Maka
dalam pengertian bahasa, Salaf itu adalah episode sejarah yang telah berlalu.
Adapun pengertian Salaf dalam kancah pemahaman Islam adalah ringkasan
dari kata “As-Salafus Shalih” yang maknanya ialah generasi pendahulu kita yang
shalih atau dengan kata lain generasi pendahulu kita yang menjadi teladan
pemahaman dan pengamalan Islam secara kaaffah (menyeluruh, red). Dalam perspektif ini Salaf artinya ialah generasi
terbaik termulia bagi umat Islam. Generasi yang dimaksud disini dalam sejarah
Islam adalah generasi para Shahabat Nabi ridwanullaah ‘alaihim ‘ajma’iin dan
para Tabi'in serta Tabi'it Tabi'in.
Fikri: Siapa yang di maksud dengan generasi
Shahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in disini ?
USTADZ: Generasi Shahabat Nabi itu adalah generasi
yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan
beriman kepada beliau serta mati di atas Islam. Dalam pengertian ini, tidak
dianggap generasi Shahabat Nabi kalangan munafiqin yang berbuat kemunafikan di
zaman Nabi Muhammad sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam meskipun mereka mengaku secara
lisan bahwa mereka telah beriman kepadanya, atau bahkan mereka sholat lima
waktu di belakang beliau sebagai ma’mum dan bahkan berjihad di medan perang
bersama beliau. Namun orang yang demikian ini tidak di anggap Shahabat Nabi
karena mereka hanya menampilkan keimanan secara dzohir dan menyembunyikan
kekafiran didalam bathinnya.
Para Tabi'in adalah adalah generasi kedua dalam sejarah Islam dimana
mereka ini telah belajar tentang Islam dari para Shahabat Nabi dan beriman
kepadanya serta mati di atas Islam. Namun ketika mereka menginjak usia baligh
Nabi telah wafat meninggalkan dunia ini sehingga mereka tidak sempat
mendapatkan ilmu secara langsung dari Nabi. Dan mereka berkesempatan menimba
ilmu dari para Shahabat Nabi yang masih hidup
Adapun Generasi
Tabi'it Tabi'in adalah generasi
ketiga dari sejarah umat Islam dimana mereka tidak sempat bertemu dengan para
Shahabat Nabi oleh karena para Shahabat Nabi itu telah wafat. Namun mereka
berkesempatan menimba ilmu dari para Tabi'in serta beriman kepada ilmu yang
sampai kepada mereka dari para Tabi'in itu dan beramal dengannya serta mati di
atas Islam.
Dalam konteks pengertian Tabi'in dan Tabi'it Taabi’in sebagaimana
di jelaskan di atas, ahlul bid’ah tidaklah termasuk kalangan Tabi'in dan tidak
pula termasuk Tabi'it Taabi’in meskipun mereka bertemu para Shahabat Nabi serta
mengambil ilmu dari padanya. Namun mereka tidak beriman kepada ilmu itu dan
tidak beramal dengannya.
Contohnya : seperti tokoh yang bernama Abdullah bin Saba’
Al Yahudi. Dia ini semula adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman kemudian
pura-pura masuk Islam di zaman pemerintahan sayyidina Utsman bin Affan
radhiyallahu ‘anhu setelah itu dia mengkampanyekan pemahaman ekstrim tentang
keharusan mencintai Ahlul Bait. Sehingga dia membikin pemahaman sesat yang
menyatakan bahwa sepeninggal Nabi Muhammad sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam
sepantasnya yang mendapatkan wasiat beliau untuk memegang tampuk pemerintahan
adalah Ali bin Abi Thalib.
Namun hak Ali ini telah di dzalimi oleh Abu Bakr
Ash-Shiddiq dan para Shahabat Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah pemahaman
yang sesat dan menyesatkan (bid’ah). Tokoh yang seperti ini tidaklah masuk
dalam kategori Tabi'in meskipun bertemu para Shahabat Nabi dan mengambil ilmu
dari mereka. Namun dia tidak beriman kepada ilmu itu dan terjerumus dalam
berbagai kebid’ahan (kesesatan).
Fikri:
Terkait disiplin ilmu, apakah ada rekomendasi secara khusus dari Allah dan
RasulNya tentang ketiga generasi tersebut, sehingga kita mempunyai kepastian
rujukan dalam metodologi pemikiran ilmu-ilmu agama ?
USTADZ: telah kita dapati rekomendasi dan bahkan perintah
dari Allah dan RasulNya untuk kita merujukkan pemahaman kita tentang Islam
kepada tiga generasi tersebut. Rekomendasi dan perintah Allah serta RasulNya
itu terdapat didalam Al Qur'an dan As Sunnah sebagai berikut ini :
Dalam surat Al-Fath ayat 29
Allah berfirman :
محمد رسول الله والذين معه أشداء على
الكفار رحماء بينهم تراهم ركعا سجدا يبتغون فضلا من الله ورضوانا سيماهم في وجوههم
من أثر السجود ذلك مثلهم في التوراة ومثلهم في الإنجيل كزرع أخرج شطأه فآزره
فاستغلظ فاستوى على سوقه يعجب الزراع ليغيظ بهم الكفار وعد الله الذين آمنوا
وعملوا الصالحات منهم مغفرة وأجرا عظيما
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang beriman
besertanya adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir, namun
penuh kasih sayang terhadap sesama mereka kaum mukminin, engkau melihat mereka
itu ruku’ dan sujud karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhoaanNya.
Tampak pada wajah mereka bekas sujud demikianlah permisalan mereka itu didalam
taurat dan demikian pula tentang mereka didalam injil. keadaan mereka seperti
tanaman yang bersemi kemudian semakin tumbuh menguat sehingga tambah kokohlah
batang-batangnya sehingga dia menjadi besar berdiri kokoh diatas pokoknya,
keadaan pertumbuhan mereka yang demikian itu menakjubkan pihak yang menanam
pohon itu agar Allah menjadikan orang-orang kafir jengkel dengan kekuatan yang
Allah berikan kepada Muhammad dan para Shahabatnya itu, Allah berjanji kepada
orang-orang yang beriman dan beramal sholih pada mereka itu ampunan dan pahala
yang besar”.
Demikian Allah memuji para Shahabat Nabi dalam Al-Qur’an,
dan masih banyak lagi pujian Allah dalam banyak ayat-ayat lainnya didalam
Al-Qur’an. Adapun perintah dari Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam untuk
kita merujuk kepada mereka dalam memahami Al-Quran dan Al-Hadits adalah
sebagaimana sabda beliau yang telah diriwayatkan oleh Al-Bukhori dan Muslim
dalam shohih keduanya serta Ashabus-Sunan, bahwa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bersabda :
فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا
كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين تمسكوا بها وعضوا عليها
بالنواجذ
“Maka sesungguhnya siapa yang masih hidup sepeninggal aku,
sungguh dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib atas
kalian berpegang dengan Sunnahku dan Sunnah Al Khulafaur-Rasyidin Al Mahdiyyin,
gigitlah ia dengan gigi gerahammu.”
Berpegang dengan Sunnah khulafaur-Rasyidin Al Mahdiyin
makna ialah wajib berpegang dengan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Sunnah
yang dilakukan oleh penguasa-penguasa yang terbimbing dengan syari’at Allah dan
mendapatkan petunjukNya sepeninggal Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Penguasa-penguasa itu dinamakan Khilafatun-Nubuwwah (penguasa yang diberitakan
oleh Nabi dimana mereka akan tampil sebagai penguasa sepeninggal beliau).
Mereka ini masa kekuasaannya tiga puluh tahun sepeninggal beliau sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud As-Sijistaani dalam sunannya, bahwa Nabi
Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam dari :
خلافة النبوة ثلاثون سنة
“khilafatunnubuwah
sepeninggalku adalah tiga puluh tahun”.
Safinah yang meriwayatkan sabda Nabi ini menghitung masa
kekuasaan yang tampil sepeninggal Nabi yaitu Abu Bakr Ash-Shiddiq yang tampil
sebagai penguasa sepeninggal Nabi dan beliau memerintah selama dua tahun. Umar
Bin Khoththob yang tampil sebagai penguasa sepeninggal Abu Bakr dan memegang
kekuasaan selama sepuluh tahun, Utsman bin Affan yang tampil sebagai penguasa
sepeninggal umar dan memegang kekuasaan selama dua belas tahun, Ali bin Abi
Thalib yang tampil sebagai penguasa sepeninggal Utsman dan memegang kekuasaan
selama enam tahun. Maka jumlah masa kekuasaan mereka berempat adalah tiga puluh
tahun persis seperti yang di beritakan oleh Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi
wa sallam.
Jadi, Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan
kepada kita untuk menempuh jalan selamat dari berbagai fitnah perselisihan yang
terjadi diantara umat Islam adalah dengan merujuk kepada penafsiran Al-Qur’an
dan As Sunnah dari para Khulafaurrasyidin tersebut. Dan kita disuruh menggigit
penafsiran beliau-beliau itu dengan gigi geraham kita. maknanya ialah kita di
suruh untuk berpegang kuat-kuat dengan pemahaman beliau-beliau agar jangan
sampai terlepas daripadanya.
Juga Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam memberitakan
bahwa akan terjadi perpecahan di umatnya sampai tujuh puluh tiga golongan
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash radhiyallahu
‘anhuma bahwa Rasulullah bersabda : (tulis haditsnya)
“Orang-orang Yahudi telah berpecah menjadi tujuh puluh satu
golongan. Orang-orang Nashoro telah berpecah menjadi tujuh puluh dua golongan
dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan semuanya di neraka
kecuali hanya satu golongan yang selamat. Para Shahabat bertanya : “Siapakah
satu golongan yang selamat itu”. Rasulullah menjawab yaitu : mereka yang
menempuh jalan hidupku dan jalan hidup para Shahabatku”. (HR. Tirimidzi dalam
Sunannya)
Dalam hadits ini Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam
menyuruh kita untuk menempuh jalan keselamatan dari fitnah perpecahan dikalangan
umat Islam dengan merujukkan pemahaman kita terhadap agama Islam ini kepada
pemahaman para Shahabat beliau.
Adapun Rekomendasi Allah dan RasulNya kepada Tabi'in dan
kepada para Tabi'it taabi’in adalah antara lain dalam surat Al Hasyr ayat ke
sepuluh :
والذين جاؤوا من بعدهم يقولون ربنا اغفر
لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ربنا إنك
رؤوف رحيم
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka para Shahabat
itu, mereka selalu memanjatkan doa kepada Allah dengan menyatakan “wahai Tuhan
kami ampunilah dosa-dosa kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah
mendahului kami meninggal dunia dengan iman dan jangan engkau jadikan dalam
hati kami kebencian kepada orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami
sesungguhnya Engkau Maha penyayang dan Maha pemberi rahmat”.
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين
يلونهم
“Sebaik-baik manusia adalah yang se-Generasi dengan aku
(yakni para Shahabat beliau). Kemudian Generasi sesudah itu (para Tabi'in).
Kemudian Generasi setelahnya lagi (yaitu Generasi Ta’bi’it Tabi'in). (HR. Tirmidzi
dalam Sunannya)
Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan tiga Generasi
pertama itu umat Islam dari umat beliau adalah para Shahabat beliau, Tabi'in
dan Tabi'it Tabi'in. mereka adalah sebaik-baik umat karena mereka memahami
Al-Quran dan Al Hadits dengan benar serta mengamalkannya dengan tepat.
Fikri:
Para Shahabat Nabi dan generasi sesudahnya sebagai sebaik-baik ummat dalam
interpretasinya terhadap nash, apakah perkataan dan perbuatan mereka juga di
kategorikan hujjah yakni termasuk dalil dalam agama?
USTADZ: Dalil agama itu didalam Islam hanyalah Al Qur'an
dan Al-Hadits adapun selain Al-Qur’an dan Al Hadits bisa salah dan bisa benar,
termasuk perkataan para Khulafaurrasyidin dan para Shahabat Nabi juga bisa
salah dan bisa benar. Yang benar yang mencocoki Al
Qur'an dan As Sunnah dan yang salah adalah yang menyelisihi keduanya. Namun,
kita telah mendapatkan kepastian dari Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dalam sabda beliau : (tulis hadisny)
“Umatku
tidak akan bersepakat dalam kesesatan”. (Al-Baihaqi dalam sunannya)
Maka
dengan hadits ini, telah pasti bahwa bila para Shahabat Nabi itu atau para
Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in berbuat salah dalam memahami dan menafsirkan agama,
pasti akan tampil orang-orang dari kalangan mereka membantah kesalahan itu dan
meluruskannya kembali kepada Al-Qur’an dan As Sunnah, sehingga tidak mungkin
ada satu kesalahan pun dari mereka kecuali kita dapati bantahannya dari
kalangan mereka juga. Contohnya : ketika Umar bin Al-Khoththob sebagai salah
seorang khulafaurrasyidin yang melarang adanya Haji Tamattu’ dan memerintahkan
seluruh kaum muslimin untuk melaksanakan Haji Ifrad, larangan beliau ini
dibantah oleh ‘Ali bin Abi Thalib, Hudzaifah bin Al-Yaman, dan Ibnu Mas’ud.
Karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam sangat mengutamakan Haji
Tamattu’.
Ketika
Utsman bin Affan melakukan sholat Dzuhur dan Ashar di Mina dalam rangkaian
manasik haji beliau melakukannya dengan empat raka’at masing-masing nya dan
tidak meng-qoshornya, beliau sebagai salah seorang khulafaurrasyidin namun
tindakan beliau demikian di tentang oleh Abdulllah bin Mas’ud dan para Shahabat
yang lainnya. Karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam meng-qoshor
sholat Dzuhur, Ashar dan Isya’ di Mina.
Ketika
Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu menghukum Abdullah bin Saba ’
dan pengikutnya dengan hukuman bakar hidup-hidup, hukuman ini di tentang oleh
Abdullah bin Abbas karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang
kita menghukum dengan membakar hidup-hidup.
Ketika
Marwan bin Hakam sebagai gurbernur kota Madinah dalam masa pemerintahan
Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu ‘anhu, menjalankan sholat ‘Ied dengan
mengeluarkan mimbar dilapangan dan mendahulukan khutbah sebelum sholat, hal ini
ditentang keras oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Mas’ud Al-Anshori
radhiyallahu’anhuma di depan umum karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa
Sallam tidak mengeluarkan mimbar ke lapangan dalam sholat ‘Ied dan mendahulukan
sholat sebelum khutbah. Marwan bin Hakam adalah salah seorang Imam dari
kalangan Tabi'in.
Ketika
Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu
‘anhum berpendapat bahwa Nikah Mut’ah itu halal dan tidak diharamkan sampai
hari kiamat. Pendapat ini di tentang keras oleh Umar bin Al-Khoththob
radhiyallahu ‘anhu dan bahkan beliau mengancam kalau mereka menjalani nikah
mut’ah akan di hukum rajam sebagai pezina yang telah berstatus pernah menikah.
Karena Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah mengharamkan nikah mut’ah
dengan tegas sampai hari kiamat. Nikah Mut’ah itu ialah nikah yang dilakukan
oleh seorang pria terhadap seorang wanita yang dilafadzkan dalam Ijab-Qabul
pernikahannya dengan masa tertentu (hari, pekan, bulan, atau tahun, red)
berlakunya dan berlangsung ikatan pernikahan tersebut. Dan bila habis masa yang
disebutkan dalam Ijab-Qobul itu maka ikatan pernikahan itu pun akan terputus
secara otomatis. Nikah yang demikian telah di haramkan oleh Nabi ketika perang
Khaibar dan ketika Fat-hu Makkah serta ketika Hajjatul Wada’.
Masih
banyak contoh lagi kasus-kasus fatwa yang menyelishi Al-Qur’an dan As Sunnah
yang segera di tentang di zaman Shahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in. Maka
yang mengatakan salahnya fatwa seorang Shahabat atau Tabi'in dan Tabi'it
Tab’in, bukanlah kita di generasi ini. Akan tetapi yang menyatakan dan menilai
kesalahan itu adalah orang-orang yang hidup di zaman generasi mereka dan
tentunya memiliki ilmu yang selevel dengan mereka. Sehingga kita dengan tenang
dapat melaksanakan perintah Nabi untuk merujukkan pemahaman kita terhadap agama
ini kepada pemahaman tiga generasi utama itu, selama tidak ada riwayat
penentangan terhadap penafsiran tersebut.
Fikri: Mengenai hadits
iftiraq (perpecahan) tadi, DR. Yusuf Qordhowi mengatakan bahwa hadits tersebut
tingkat akurasinya lemah (dho’if), dengan dalih tidak terdapat dalam kitab
Shohih Al-Bukhori dan Muslim sehingga tidak bisa di jadikan rujukan dan
argumentasi dalam beragama? Bagaimana tanggapan Ustadz?
USTADZ: Penilaian Yusuf Qordhowi
ini diambil dari perkataan Al ‘Allaamah Muhammad bin Ibrahim Al-Waziir
Al-Yamani didalam kitabnya Al-Awaashin wal Qowaashim yang perkataan ini sangat
tidak akurat bila kita melihat kepada qoidah-qoidah para ‘Ulama Ahli Hadits
dalam menshohihkan dan mendhoifkan sebuah riwayat. Pandangan cara pendho’ifan
riwayat demikian ini sangat asing dikalangan para ‘Ulama ahli hadits. Karena
hadits shohih itu tidak hanya terdapat dalam shohih Al-Bukhori dan Muslim, hal
ini dinyatakan oleh Al-Bukhori dan Muslim sendiri dalam muqaddimah shohih
Al-Bukhori maupun muqoddimah shohih Muslim. Jadi kalau sebuah hadits dinyatakan
dho’if hanya karena tidak terdapat dalam Bukhori Muslim ini tentu pandangan
yang ditolak oleh Al-Imam Al-Bukhori dan Muslim itu sendiri. Bahkan didalam
shohih Al-Bukhori dan Muslim itu terdapat beberapa buah hadits dho’if sanadnya
(urut-urutan narasumber, red) dan terdapat beberapa rawi yang lemah tingkat
akurasi riwayatnya. Pendapat Ibnul Waziir yang dinukil oleh Yusuf Qordhowi itu
sesungguhnya pendapat yang sangat lemah. Namun yang sangat membingungkan dari sikap
Yusuf Qordhowi ini, bahwa dia meletakkan dan berpegang dengan qoidah pendhoifan
hadits hanya karena tidak terdapat dalam Al-Bukhori dan Muslim ketika
berhadapan dengan riwayat hadits iftiraq tersebut di atas, sementara ketika dia
membawakan hadits lain yang tidak terdapat dalam Bukhori dan Muslim yang
berbunyi “Ikhtilaafu Ummati Rahmah”
(perselisihan diantara umatku adalah rahmah) hadits ini di elu-elukan oleh
Qordhowi dan di upayakan untuk dianggap shohih meskipun tidak terdapat dalam
Al-Bukhori dan Muslim. Padahal hadits Ikhtilaafu
Ummati Rahmah ini adalah menurut Al-Imam Ash Shuyuti dalam Al Jami’
Ash-Shoghir, sebagai hadits yang dibawakan riwayatnya oleh Al-Baihaqi dengan
tanpa sanad dan juga oleh Khulaimi serta Al-Qodhi Husain dan Imam Al-Haramain
serta lain-lainya juga tanpa sanad. Jadi hadits ini “Laa Ashlaalahu” (tidak ada
asalnya) sebagai kelemahan hadits yang parah menurut para Ulama Ahlul Hadits.
Maka tentu pendho’ifan dan penshohihan model Yusuf Qordhowi seperti ini sangat
membingungkan. Sementara keshohihan hadits Al-Iftiroq telah di bahas dengan
panjang lebar oleh para Ulama Ahlul Hadits dengan sangat ilmiah dan meyakinkan.
Antara lain dari para Ulama yang membahas tentang keshohihan hadits ini secara
khusus adalah Al-Imam Muhammad bin Ismail Al ‘Amiir Ash-Shon’ani atau terkenal
dengan Al-Imam Ash-Shon’ani dalam kitab beliau Haditsu Iftiraaqil Ummah Ilaa
Nayyifin wa Sab’ina Firqoh. Maka sungguh tidak ilmiah kalau kita mengikuti
jejak Qordhowi dalam menyikapi As Sunnah An Nabawiyyah dimana beliau
menshohihkan atau mendho’ifkan hadits bukan dengan merujuk kepada penelitian
sanad hadits itu, tetapi hanya melihat kepada makna yang terdapat dalam matan
(redaksi) hadits, dimana bila matannya mencocoki selera dunia pergerakan, maka
hadits itupun di shohihkan walaupun sanadnya “Laa Ashlaalahu”. Namun bila matan
hadits itu tidak mencocoki selera dunia pergerakan maka hadits itu pun
dilemahkan meskipun hanya dengan perkataan salah seorang Ulama yang amat lemah
pendapatnya dan tidak ilmiah. Tentu sikap yang demikian amat menyelisihi cara
pemahaman para Salafush Sholih terhadap agama ini. Dan sekaligus pemahaman yang
demikian inilah sumber kerancuan pemahaman terhadap Islam itu sendiri. Wallahu
a’lamu Bishshsowab.
Fikri:
Setiap
pergerakan dakwah mempunyai visi misi, apa program utama dan tujuan akhir dari
gerakan dakwah Salafiyyah ini ?
USTADZ: Pertama,
Program perjuangan yang pertama dan utama dari dakwah Salafiyyah adalah
menegakkan makna dan segala konsekuensi dari pada dua kalimat syahadat. Hal ini
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam
kepada utusan beliau untuk berdakwah di negeri Yaman, Muadz bin Jabal
radhiyallahu ‘anhu. Beliau bersabda kepadanya :
(tulis
haditsnya)
“Hendaknya
yang pertama kali anda serukan kepadanya adalah bersyahadat (bersaksi) bahwa
tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan bersyahadat bahwa Muhammad
adalah utusan Allah. Maka apabila mereka mentaatimu dengan anjuran ini, serulah
mereka untuk menegakkan sholat lima waktu. Maka apabila mereka mentaati kamu
dalam seruan kedua ini maka serulah mereka kepada kewajiban ketiga yaitu
menunaikan zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada
orang-orang fakir mereka”. (HR. Bukhori)
Makna
dan konsekuensi syahadatain (dua kalimat syahadat) tersebut di atas adalah :
a. Syahadatu
Allaa Ilaaha Ilallaah (bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali
hanya Allah), maknanya ialah mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah semata atau
dengan istilah lain Tauhiidul ‘Ibaadah Lillaahi Wahdah”. Yang konsekuensinya
ialah melawan dan menentang segala bentuk perbuatan syirik dan membenci
orang-orang yang berbuat Syirik.
b. Syahadatu
Anna Muhammadan Rasulullah yakni bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan
Allah konsekuensinya ialah keharusan Ittiba’ (mengikuti) tuntunan hidup Nabi
Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu mempelajari dan mengamalkan
Sunnah Nabi (ajaran Nabi) serta memerangi berbagai bentuk Bid’ah (penyimpangan
dari ajaran Nabi) dan antipati terhadap Ahlul Bid’ah.
Kedua,
program utama dakwah Salafiyyah ialah memperbaiki Akhlaq atau perangai umat
manusia sehingga menumbuhkan Akhlaqul Karimah (perangai yang mulia). Hal ini
sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
(tulis
haditsnya)
“Hanyalah
aku di utus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”. (HR. Al-Bukhori dalam
Shohihnya)
Dan
diantara Akhlaqul Karimah yang ditumbuhkan oleh program pendidikan dakwah
Salafiyyah terhadap umat ini, ialah sikap adil terhadap lawan dan kawan. Yakni
menyikapi kawan dan lawan dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini ditegaskan oleh Allah Ta’ala dalam FirmanNya di
surat Al Maidah ayat ke 8 :
ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا
اعدلوا هو أقرب للتقوى
“dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum membuat
kalian tidak adil, berbuatlah adil-lah karena perbuatan adil itu lebih dekat
kepada taqwa”
Ketiga, Juga merupakan program utama perjuangan dakwah Salafiyyah,
ialah mengentaskan ummat manusia umumnya atau umat Islam khususnya dari
kejahilan tentang agama Allah dan membekalinya dengan ilmu Al-Qur’an dan As
Sunnah serta membimbing mereka untuk beramal dengan ilmu tersebut. Hal ini
sebagaimana yang di Firmankan oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Imran
164 :
لقد من الله على المؤمنين إذ بعث فيهم
رسولا من أنفسهم يتلو عليهم آياته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من
قبل لفي ضلال مبينلقد من الله على المؤمنين إذ بعث فيهم رسولا من أنفسهم يتلو
عليهم آياته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين
“Sungguh Allah telah memberi nikmat kepada kaum mukminin
ketika Dia mengutus dikalangan mereka seorang Rasul dari diri mereka yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Nya dan mensucikan mereka dari dosa-dosa
kejahatan dan mengajari mereka Al-Qur’an dan As-Sunnah, meskipun mereka
sebelumnya adalah dalam kesesatan yang nyata”.
Keempat, perjuangan dakwah
Salafiyyah juga memperjuangkan untuk terciptanya kehidupan umat manusia yang
aman dan tentram, dalam suasana terjaminnya hak-hak asasi manusia, yaitu keselamatan
jiwa, terlindungnya kehormatan sebagai manusia, jaminan keamanan hak pemilikan
terhadap harta benda. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah
shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Demi yang diriku ditangan Nya, sungguh dakwah ini akan terus
berlangsung sampai orang berjalan dari kota Shon’a (Syam wilayah Jazirah
‘Arobiyyah paling barat) sampai ke Hadramaut (Yaman Selatan, wilayah Jazirah
Arobiyyah paling timur), tidak takut dalam perjalanannya itu dari apapun
kecuali hanya takut kepada Allah dan juga takut srigala menerkam kambing bawaan
mereka”.
Hadits ini memberitakan bahwa
perjuangan dakwah yang dicanangkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa
Sallam adalah menargetkan tumbuhnya situasi keamanan yang prima di wilayah bumi
yang paling tidak aman, yaitu Jazirah ‘Arobiyyah. Suasana keamanan yang menjadi
target perjuangan dakwah Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam itu
digambarkan oleh beliau dengan berjalannya orang dari barat ke timur dengan
jarak yang sangat jauh dalam situasi yang aman dan tentram dan tidak takut
gangguan perampok ataupun jagal yang mengancam keamanan mereka. Karena
ditegakkannya dalam wilayah itu hukum syari’at Allah yang memberikan jaminan
keamanan kepada penduduk negeri yang menjalankannya.
Keempat,
membangun semangat persatuan dan kesatuan ummat dalam mentaati Al-Qur’an dan As
Sunnah. Persatuan dan kesatuan dalam bentuk dzohir maupun bathin. Hal ini
sebagaimana yang di firmankan oleh Allah Ta’ala (tulis ayatnya) :
“Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian (yaitu
datangnya ajaran Islam ini), ketika sebelumnya kalian dalam keadaan saling
bermusuhan kemudian Allah jinakkan hati-hati kalian sehingga jadilah kalian
dengan nikmat Nya (yaitu ajaran Islam)
bersaudara di antara kalian. Dan ingat pula sebelumnya hidup kalian
bagaikan berjalan di pinggir jurang api neraka, kemudian Allah selamatkan
kalian dari padanya”.
Juga Allah berfirman :
“Seandainya engkau hai Muhammad membelanjakan semua
hartamu di muka bumi, niscaya engkau tidak bisa menyatukan hati mereka. Akan
tetapi Allah lah yang menyatukan hati mereka”.
Juga Allah memerintahkan persatuan di antara kaum
mukminin :
“Hanyalah kaum mukminin itu
bersaudara di antara sesama mereka”
Kelima, menegakkan keadilan yang hakiki
dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal
ini sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an surat An Nisaa’ ayat ke 58
:
“Sesungguhnya Allah memerintahkan
kepada kalian untuk kalian menunaikan amanat kepada yang empunya amanat dan
apabila kalian menetapkan hukum maka hendaknya kalian menetapkannya dengan
keadilan. Sesungguhnya Allah adalah sebaik-baik pihak yang menasehati kalian
dengannya, sesungguhnya Allah maha mendengar dan maha melihat”
dalam surat An Nisaa’ ayat 135
Allah memerintahkan kita untuk berbuat adil dalam persaksian di pengadilan :
“Hai orang-orang yang beriman,
jadilah kalian orang-orang yang menegakkan keadilan dalam persaksian kalian
dengan ikhlas karena Allah walaupun persaksian itu merugikan diri-diri kalian
atau kedua orang tua kalian atau karib kerabat kalian. Kalau orang yang kalian
persaksikan itu adalah kaya atau miskin, maka Allah yang lebih utama mengurus
mereka daripada kalian. Oleh karena itu janganlah kalian mengikuti hawa nafsu
untuk kalian meninggalkan keadilan. Dan bila kalian merubah persaksian kalian
atau menolak untuk memberikan persaksian yang benar, maka sesungguhnya Allah
Maha Tahu dengan apa yang kalian lakukan”.
Di sini Allah melarang kita untuk
meninggalkan keadilan karena pertimbangan kaya dan miskin. Juga Allah berfirman
dalam surat Al Maidah ayat ke 8 :
“Hai orang-orang yang beriman
jadilah kalian orang-orang yang menegakkan keadilan karena Allah dalam
persaksian kalian. Dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum menyebabkan
kalian berbuat tidak adil. Berbuat adil-lah, karena perbuatan adil itu lebih
dekat kepada taqwa dan bertaqwalah kalian kepada Allah sesungguhnya Allah Maha
Tahu tentang apa yang kalian lakukan”.
Ayat ini menerangkan bahwa Allah
melarang kita meninggalkan keadilan karena alasan cinta atau benci.
Sedangkan pengertian adil di sini
ialah segala ketetapan hukum yang datang dari Allah dan Rasul Nya didalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini sebagaimana di tegaskan oleh Allah dalam
FirmanNya dalam surat Al Maidah ayat ke 49-50 :
“Dan tetapkanlah hukum di antara
mereka dengan apa yang Allah turunkan dan janganlah kau mengikuti hawa nafsu
mereka dalam ketetapan hukum itu. Dan waspadalah kamu dari fitnah mereka yang
akan menyimpangkan kamu dari sebagian apa yang Allah turunan kepadamu. Maka bila
kalian berpaling dari hukum Allah ini, maka ketahuilah bahwa Allah hanyalah
ingin menimpakan kepada mereka adzabNya sebagai balasan terhadap dosa-dosa
mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia itu adalah orang-orang yang berbuat fasiq. Apakah hukum jahiliyah
(segala hukum yang menyelisihi hukum islam) itu yang kalian maukan? Dan
siapakah hukumnya yang lebih baik dari pada hukum Allah bagi kaum yang
mempunyai keimanan”
Ke-enam, menebarkan rahmat Allah terhadap sekalian
manusia. Hal
ini sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Anbiya’ ayat 107
“Dan tidaklah kami utus engkau
kecuali sebagai rahmat bagi segenap makhluq di bumi”
Al Imam Ath Thobaari
meriwayatkan dengan sanad nya bahwa Ibnu Abbas telah menyatakan :
Telah sempurna rahmat Allah
bagi mereka yang beriman kepada Nabi nya dunia dan akhirat. Dan adapun mereka
yang tidak beriman kepadanya, dia di selamatkan dari petaka di dunia yang telah
menimpa orang-orang kafir dari umat-umat terdahulu. (Namun bila mereka mati
dalam kekafirannya, akan berhadapan dengan adzab Allah di akhirat). (Lihat
Tafsir Ath Thobaari riwayat ke 24891)
Dengan demikian maka dakwah
Salafiyyah bila di gerakkan di suatu negeri, maka gerakan dakwah itu menjadi
sebab untuk tertahan turunnya adzab Allah terhadap negeri itu karena rahmat
Allah meliputi negeri yang di gerakkan padanya dakwah Salafiyyah. Karena dakwah
Salafiyyah mengajak kepada amalan dzohir dan bathin yang menjadi sebab
datangnya rahmat Allah kepada suatu negeri. Yaitu mentauhidkan Allah dalam
keyakinan sifat Rububiyah-Nya (yakni keyakinan bahwa Allah satu-satunya
pencipta, pemilik penguasa dan pengatur alam raya ini). Dan keyakinan Tauhid
Al-Asma’ Was Shifat (yakni keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak dengan
nama-nama kemuliaan dan sifat-sifat kesempurnaan yang mutlak). Dan Tauhid
Uluhiyyah (yakni meyakini bahwa Allah satu-satunya pihak yang pantas di ibadahi
dengan segala macam bentuk peribadatan).
Juga amalan yang mendatangkan
rahmat Allah yang di serukan oleh dakwah Salafiyyah adalah Ittiba’ Us-Sunnah
(yakni mengikuti sunnah Nabi). Dan yang di maksud sunnah di sini segala ajaran
Nabi dalam segala aspek kehidupan.
Demikian pula dakwah Salafiyyah mengajak umat manusia
kepada amalan yang mendatangkan rahmat Allah dengan berbagai bentuk amalan
sholeh yang di ridhoi oleh Allah dan di contohkan oleh Rasul Nya.
Di samping dakwah Salafiyyah mengajak manusia kepada
segala perkara yang mendatangkan rahmat Allah, juga dakwah ini menasehati
segenap lapisan masyarakat manusia dan mencegah mereka dari amalan yang mendatangkan
kemurkaan Allah dan adzab-Nya. Sehingga dakwah Salafiyyah mencegah manusia dari
perbuatan kufur, syirik, bid’ah dan berbagai perbuatan maksiat yang semuanya
bila tidak di tinggalkan akan mendatangkan kemurkaan Allah dan adzab-Nya.
Demikian lah perjuangan dakwah Salafiyyah dalam menebarkan rahmat Allah di muka
Bumi.
Demikianlah visi, misi dan program utama dakwah
Salafiyyah. Dan dakwah ini adalah mewarisi dakwah para Nabi dan para Rasul.
Fikri:
Sebagian orang beranggapan bahwa paket konsep dakwah Salafiyah out of date
yakni tidak relevan dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang, dakwah
Salafiyah di masa kini hanya bisa di ambil dari sisi aqidahnya saja, sedangkan
dari sisi pergerakannya menurut anggapan mereka, “Salaf” tidaklah memiliki konsepsi
pergerakan dalam konteks kekinian dan kedisinian?
USTADZ: Untuk menjawab syubhat ini perlu kita
mendudukkan pernyataan di atas bahwa sistem pergerakan Salaf sudah tidak
relevan lagi dengan masa kini. Dalam hal ini ada beberapa problem yang harus di
selesaikan :
Yang pertama, apakah yang dimaksud dengan sistem pergerakan
dakwah itu ? dan apakah sistem pergerakan dakwah itu tidak masuk dalam kategori
ketentuan syariah yang harus merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah ? bila
sistem dakwah itu di anggap adalah perkara yang tidak harus merujuk kepada Al
Qur’an dan As Sunnah, maka kemana harus merujuk dalam upaya membikin sebuah
sistem dakwah yang di anggap benar ?
Yang kedua, apakah yang dimaksud dengan relevansi atau
kekinian dan kedisinian dalam hal kaitannya dengan sistem dakwah itu ? apakah
relevansi itu bisa menjadi dalil penentu benar salahnya sebuah sistem dakwah
atau baik buruknya sebuah langkah perjuangan dakwah ? bila memang kekinian dan
kedisinian itu bisa menjadi rujukan penilaian terhadap sebuah sistem dakwah,
pihak mana kah yang mempunyai kapasitas dalam menilai sesuatu itu telah relevan
dengan kekinian dan kedisinian ? dan siapakah yang berhak menentukan suatu
pihak itu berkapasitas atau tidak dalam mengambil penilaian itu ?
Yang ketiga, sistem dakwah yang relevan itu mengajak orang
kemana ? bila sistem dakwah itu mengajak kepada pelaksanaan Syariah Islamiyah,
apakah ada pihak yang lebih dekat dari sumber pendalilan Syariah Islamiyah (Al
Qur’an dan As Sunnah) lebih dari Salafus Sholih ? dan kalau sistem dakwah yang
relevan dengan masa kini itu ialah sistem dakwah yang mengajak kepada selain
Islam maka apakah kaitannya sistem dakwah yang demikian itu dengan Islam itu
sendiri ? sebab segala dakwah yang mengajak kepada yang selain Islam tidak ada
kaitannya sama sekali dengan Islam itu sendiri. Bila yang di maksud sistem
dakwah Islam nya yang relevan dengan masa kini ialah mengajak manusia kepada
Islam yang berbeda dengan apa yang di imani oleh para Shahabat Nabi, lalu Islam
yang mana yang di anggap relevan dengan masa kini ?
Berbagai pertanyaan tersebut di atas akan sulit di
cari jawaban yang di sepakati oleh semua pihak, bila jawabannya tidak merujuk
kepada Al Qur’an dan As Sunnah. Maka kalau sistem dakwah yang relevan dengan
masa kini itu ialah sistem dakwah yang hanya menimbulkan kesimpang siuran
pemahaman tentang Islam itu sendiri, sungguh sistem dakwah yang demikian hanya
akan merusak persepsi manusia tentang Islam dan bahkan akan menjauhkan orang
dari agama Allah ini. Kita perlu melihat sejarah masa lalu, sistem dakwah mana
kah yang telah di buktikan dalam sejarah berhasil menegakkan syariah Islamiyah
dalam tatanan kehidupan dunia di tiga benua (Asia, Afrika dan Eropa) dan pasti
jawabannya hanya lah sistem dakwah Salafiyah yang di jalan kan oleh para
Salafus Sholih, yang telah berhasil menegakkan syariah Islamiyah dalam
kedudukannya sebagai pengatur dan pengontrol kehidupan segala bidang kehidupan
di dunia ini. Sistem-sistem dakwah yang lainnya telah di konsep dan di coba
untuk di terapkan, namun semua itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanya
ratap tangis derita umat Islam dari masa ke masa. Umat Islam terangkat
kemuliaannya dan kewibawaannya di hadapan umat lain ketika mereka menjalankan
sistem dakwah para Salafus Sholih, dan umat Islam mulai terpuruk dalam lembah
kehinaan, ketika mereka meninggalkan sistem dakwah para Salafus Sholih itu.
Demikian pelajaran sejarah Islam yang dapat kita saksikan dalam catatan sejarah
dalam berbagai kitab-kitab sejarah.
Perlu di ingatkan kepada semua pihak bahwa sistem
dakwah Islamiyah itu adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari syariah
Islamiyah itu sendiri. Sehingga untuk menerapkannya harus merujuk kepada
teladan Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Allah Ta’ala berfirman :
“Sungguh telah ada pada diri Rasul itu teladan yang baik
bagi mereka yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat dan banyak berdzikir
Nya” (Al-Mumtahanah
Juga Allah berfirman :
“Katakanlah Hai Muhammad: ini adalah jalan perjuangan ku
dimana aku berdakwah kepada Agama Allah di atas dasar ilmu. Yang menjalankan
perjuangan demikian ini adalah aku dan orang yang mengikuti jejak-ku dan bukan
lah aku termasuk golongan orang-orang yang musyrik (Yusuf : 108)
Juga Allah berfirman :
“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang
beriman besertanya adalah orang-orang yang keras terhadap orang-orang kafir,
namun penuh kasih sayang terhadap sesama mereka kaum mukminin, engkau melihat
mereka itu ruku’ dan sujud karena mengharapkan keutamaan dari Allah dan
keridhoaanNya. Tampak pada wajah mereka bekas sujud demikianlah permisalan
mereka itu didalam taurat dan demikian pula tentang mereka didalam injil.
keadaan mereka seperti tanaman yang bersemi kemudian semakin tumbuh menguat
sehingga tambah kokohlah batang-batangnya sehingga dia menjadi besar berdiri
kokoh diatas pokoknya, keadaan pertumbuhan mereka yang demikian itu menakjubkan
pihak yang menanam pohon itu agar Allah menjadikan orang-orang kafir jengkel
dengan kekuatan yang Allah berikan kepada Muhammad dan para Shahabatnya itu,
Allah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholih pada mereka
itu ampunan dan pahala yang besar”.
Beberapa ayat Qur’an tersebut di atas, hanyalah
sebagian dari firman-firman Allah yang memuji dan sekaligus mendefinisikan
sistem dakwah yang di jalankan oleh Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
dan para shahabatnya. Dimana sistem dakwah itu tidak hanya dalam perkara Aqidah
saja tetapi meliputi segala kehidupan. Karena Islam mengatur segala aspek
kehidupan dan tidak hanya dalam perkara Aqidah. Islam telah sempurna sehingga
tidak perlu mengadopsi sistem dan ajaran lainnya untuk memperbaiki kehidupan
umat manusia ini.
Kira nya dengan penjelasan ini,
pembaca dapat melihat betapa rancunya syubhat (pengkaburan) yang di lontarkan
dalam pernyataan tersebut di atas.
Fikri: Salah satu
dari syi’ar dakwah Salafiyyah adalah “Tahdzir”
yakni suatu upaya memperingatkan ummat dari bahaya penyimpangan agama
dan pelopornya, bagaimana proses nya? dan siapakah yang mempunyai otoritas
dalam hal ini? Berhubung banyak pihak yang mengaku sebagai “Salafy” keliru
bahkan cenderung ekstrim dalam aplikasinya, walhasil fenomena yang demikian ini
memberikan tempat bagi -maaf- “para gelandangan dakwah” untuk menjadikan alat
dan argumentasi dalam menyerang eksistensi dakwah Salafiyah di seantero dunia
Ustadz: Tahdzir adalah salah satu sikap yang di ajarkan oleh
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam kerangka penerapan prinsip Al Wala’ Wal Baro’.
Dimana tahdzir ini adalah salah satu bentuk konkret dari sikap baro’ (antipati)
terhadap segala bentuk penyimpangan dari ajaran Allah dan Rasul Nya. Maka
tahdzir ini adalah prinsip al wala’ wal baro’ yang berkaitan dengan tanggung
jawab sosial seorang Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam mentaati agamanya. Tahdzir
secara bahasa artinya ialah peringatan yang di tujukan kepada masyarakat
muslimin atau sekelompok masyarakat muslimin dari bahaya kesesatan satu ajaran
yang menyimpang dari islam dan juga dalam makna tahdzir ini adalah peringatan
kepada masyarakat muslimin atau sebagian masyarakat muslimin dari bahaya
seorang tokoh yang membawa kesesatan atau pelopor kesesatan. Dan konsekuensi
tahdzir, adalah hajr yang maknanya pemboikotan dan pengucilan terhadap suatu
paham yang menyimpang atau tokoh pelopor pemahaman yang menyimpang itu. Dengan
demikian tahdzir itu adalah salah satu bentuk pengamalan ibadah di dalam islam.
Sehingga syarat sah pengamalannya itu haruslah dengan ikhlas karena Allah
semata dan mengikuti tuntunan nabi Muhammad (ittiba’) Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dalam menerapkannya.
Maka tindakan tahdzir harus mengikuti contoh yang di lakukan oleh nabi
Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam dimana contoh beliau tidak segera
mentahdzir seseorang atau suatu kaum tanpa melakukan proses untuk memastikan
dan penjelasan serta pertimbangan maslahat dan mafsadah nya. Dalam hal ini ada
beberapa proses sebelum melakukan upaya tahdzir..
Pertama, Tabayyun dan Tatsabbut, yaitu mencari kepastian berita tentang
seseorang atau suatu kaum yang bertindak atau berkata yang menyimpang dari
syari’ah Islamiyah. Dalam proses ini dapat di lakukan melalui para saksi yang
terpercaya, bukti-bukti tertulis atau menanyai langsung pihak yang
bersangkutan.
Yang kedua, bila telah pasti penyimpangan seseorang atau suatu kaum dan
kepastian itu di dapatkan dengan proses tabayyun dan tatsabbut, maka di
upayakan nasihat kepada pihak bersangkutan dengan mematahkan segala kerancuan
pemahaman tentang agama yang menjadi sebab dia terjatuh ke dalam penyimpangan
tersebut, sehingga segala alasan penyimpangan itu telah gugur dengan sampainya
dalil-dalil syar’i kepada nya.
ketiga, setelah proses Iqomatul Hujjah ini di jalankan pada seseorang
atau suatu kaum yang menyimpang itu, ternyata penyimpangan itu terus
berlangsung dan tidak menunjukkan sikap dzhohir kemanfaatan ilmu yang telah di
sampaikan pada orang yang menyimpang tersebut, maka barulah di situ ada langkah
kepada tahdzir dan kemudian hajr terhadap seseorang atau suatu kaum itu atas
penyimpangan mereka dari syariat Allah.
Ke empat, didalam menjalankan tahdzir dan hajr terhadap seseorang atau
suatu kaum, harus juga mempertimbangkan sisi maslahat dan mafsadahnya. Maslahat
yang paling di pertimbangkan di sini adalah maslahat masyarakat muslimin dan
juga mafsadah yang di hindarkan di sini adalah mafsadah yang mengancam
kepentingan masyarakat banyak kaum muslimin. Bila kemaslahatan lebih dominan
daripada mafsadahnya, maka tahdzir dan hajr itu harus di laksanakan, namun
sebaliknya bila mafsadah akan mengancam kepentingan masyarakat muslimin dengan
ada nya tahdzir dan hajr tersebut, maka harus di hindarkan tahdzir dan hajr
itu.
Kelima, semua proses tersebut di atas harus di lakukan oleh para
ahlinya, yaitu orang-orang yang berilmu tentang syariat islamiyah ini dan mampu
dengan ilmu nya merujuk kepada para Ulama. Sehingga pelaksanaan proses tersebut
di lakukan dengan bimbingan ilmu para Ulama dan bukan sembarangan orang
melakukan tindakan tahdzir tersebut.
Ke enam, tahdzir dan hajr bisa jadi keliru dan bisa jadi pula benar.
Oleh karena itu tidak bisa seseorang atau sekelompok orang memaksakan kepada
sembarang orang untuk menjalankan tahdzir itu terhadap seseorang atau suatu
kaum, sehingga perbedaan pendapat masalah tahdzir ini tidak sepantasnya untuk
menjadi sebab percek-cokan dan fitnah di antara kaum muslimin.
Ke tujuh, orang yang menjalankan segenap proses tahdzir itu di samping
berilmu, harus pula menjaga keikhlasannya untuk taat kepada Allah dan Rasul
Nya, dan juga ikhlas karena Allah dalam mencintai atau membenci seseorang, bila
sisi keikhlasan ini terganggu atau bahkan hilang, maka tahdzir itu tidak lagi
bernilai ibadah karena Allah, meskipun di atas namakan ibadah karena Allah.
Fikri : Namun kemudian bagaimana jika ada suatu
perkara yang ma’lum yakni telah di ketahui oleh keumuman kaum muslimin seperti
kafir nya yahudi, nashrani dan majusi (zoroaster), apakah dalam hal ini perlu
diterapkan proses iqomatul hujjah terhadap orang yang menafikan kafir nya
yahudi, nashrani dan majusi ?
Ustadz : Di dalam pembahasan syari’ah
Islamiyah, para Ulama mengklasifikasi perkara-perkara syari’ah itu dalam dua
bagian :
Yang pertama, perkara yang ma’lumun
bidhdhorurah, yaitu berbagai keterangan di dalam Al Qur’an dan Al Hadits yang
dapat di ketahui dengan mudah dan pasti. Perkara ini dapat di jangkau
pengetahuannya oleh orang yang paling rendah tingkat keilmuannya tentang Islam
berhubung dalil-dalil yang menunjukkan kepadanya, adalah dalil-dalil yang
qoth’iyyu tsubuut (riwayatnya pasti
benar dan tidak di ragukan sanadnya) serta qoth’iyyu dilaalah (pengertian yang
di tunjukkan oleh dalil-dalil itu demikian gamblang dan secara pasti menunjukan
kepada satu pengertian.
Kedua, perkara-perkara syari’ah yang di
kategorikan sebagai ma’luumun binnadzor yaitu perkara yang tidak bisa sampai
sembarang orang kepada pengertian itu berhubung riwayatnya masih perlu
penelitian dari sisi sanadnya dan lafadz dalilnya masih sangat umum sehingga
perlu adanya ijtihad para ahli nya.
Setiap muslim wajib mengerti tentang
perkara-perkara yang ma’lumun bidhdhorurah baik dalam bidang aqidah, ibadah
maupun dalam bidang akhlaq. Karena di anggap berdosa seorang muslim bila
tidak mengerti perkara tersebut. Contohnya tentang Tauhid Rububiyah, yaitu
keyakinan bahwa satu-satunya pencipta dan pemilik serta pemelihara alam ini
adalah Allah semata. Kemudian Tauhid Al Asma’ Was Shifat yaitu keyakinan bahwa
Allah adalah satu-satunya dzat yang pantas memiliki nama-nama agung (asma’ul
husna) dan sifat-sifat yang Maha Sempurna yang tidak bisa di ukur
kesempurnaannya oleh akal dan khayalan siapapun sehingga tidak bisa di serupakan
dengan pengertian nama-nama yang ada pada makhluk atau dengan sifat-sifat yang
ada pada makhluk. Tauhid Uluhiyah yaitu keyakinan bahwa Allah-lah satu-satu nya
pihak yang boleh di ibadahi dan di persembahkan kepadanya berbagai bentuk
ibadah. Ketiga tauhid ini masuk dalam bidang pembahasan aqidah yang harus di
ketahui oleh setiap muslim dan adalah dosa besar bagi seorang muslim yang tidak
mau mempelajari perkara ini. Di samping itu setiap muslim wajib mengerti
tentang bahaya syirik dan kufur yang merupakan perusak tauhid dan perusak iman.
Harus di ketahui pula oleh setiap muslim apa-apa yang termasuk kategori syirik
dan apa-apa pula yang termasuk kategori kufur, agar terhindar dari
perbuatan-perbuatan tersebut.
Dalam bidang ibadah, setiap
muslim wajib mengerti tentang sholat lima waktu dalam sehari semalam serta
cara-caranya yang di tuntunkan oleh syari’ah dan cara membersihkan dari dari
najis serta cara berwudhu dan mandi junub. Juga setiap muslim wajib mengerti
tentang puasa Ramadhan, zakat fitrah. Setiap muslim yang telah mampu untuk
menunaikan zakat mal dan berhaji ke makkah, maka wajib mereka mengerti tentang
ibadah-ibadah tersebut.
Dalam bidang muamalah, setiap muslim wajib
mengerti tentang apa-apa yang halal dan apa-apa yang haram. Agar dia dapat
terhindar dari yang haram dan memilih yang halal saja.
Semua bidang-bidang tersebut di atas termasuk dalam kategori ma’lumun
bidhdhorurah. Dalam kategori ini, wajib ‘ain atas setiap muslim untuk mengerti
tentangnya. Adapun pendalaman bidang-bidang itu yang membutuhkan wawasan ilmu
yang luas, sehingga dengan itu harus di lakukan upaya ijtihad, maka itu
termasuk dalam kategori ma’lumun binnadzor. Dalam kategori ini, fardhu kifayah
atas masyarakat muslimin untuk mengerti dan mendalami tentang masalah tersebut.
Dengan penjelasan tersebut di atas, berbagai
kasus pengingkaran terhadap prinsip agama yang di lakukan oleh seorang muslim,
harus lah di lihat kepada kategori permasalahannya dan situasi kondisi
masyarakatnya, sebelum di ambil keputusan hukum terhadap kasus pengingkaran si
muslim itu terhadap prinsip agamanya. Artinya bila seorang muslim mengingkari
perkara yang masuk dalam kategori ma’lumun bidhdhorurah, dan dia tinggal di
daerah yang tersebar luas padanya ilmu, maka untuk menghukuminya tidak perlu
adanya munaqosyah ilmiyah ataupun iqomatul hujjah. Cukup upaya tabayyun dan
tatsabbut untuk mencari kepastian apakah dia mengingkari prinsip agama itu atau
tidak. Setelah itu baru di hukumi tanpa adanya proses iqomatul hujjah. Namun
bila seorang muslim mengingkari satu prinsip agama yang masuk dalam kategori
ma’lumun bidhdhorurah dan dia tinggal di daerah yang jauh dari ilmu dan Ulama
dan kondisi nya amat sulit untuk menjangkau informasi ilmu dan Ulama, maka
terhadapnyaharus di lakukan upaya
penyampaian ilmu sebelum di hukumi. Karena bisa jadi dalam hal tersebut
dia belum mengerti. Demikian pula dalam
apa yang di tanyakan tentang pengingkaran seorang muslim terhadap kekafiran
Yahudi dan Nashoro, harus di pertimbangkan situasi dan kondisi di mana si muslim
itu berada, sebelum di hukumi.
Fikri : Konsekuensi dari penerapan
hukum tahdzir ini ialah terjadinya perpecahan dan permusuhan di antara kaum
muslimin, apakah yang demikian ini termasuk dari mafsadah yang lebih dominan?
atau ada mafsadah lain yang lebih dahsyat dari sekedar permusuhan dan
perpecahan ?
Ustadz : Perlu kita mengerti apa
yang di maksud perpecahan menurut pandangan syari’ah Islamiyah, agar kita tidak
rancu dalam menerapkan prinsip-prinsip syari’ah. Dimana syari’ah Allah telah
melarang perpecahan di antara kaum muslimin dan sangat menganjurkan bahkan
mewajibkan persatuan dan persaudaraan di antara mereka. Namun Allah Ta’ala
dengan hikmah Nya yang maha sempurna menaqdirkan adanya orang-orang yang
melanggar larangan tersebut dan mengabaikan kewajiban-Nya. Hal ini merupakan
sunnatullah dalam kehidupan di dunia ini, yaitu adanya orang yang taat kepada
perintah dan larangan Nya dan adapula orang yang mendurhakai perintah dan
larangan Nya. Adapun berita tentang adanya orang-orang yang mengabaikan perintah
Allah untuk bersatu dan melanggar larangan Allah untuk berpecah belah di antara
muslimin, telah di sampaikan oleh Rasulullah sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang hadits ifthiroq (perpecahan)
“Ketahuilah, sesungguhnya umat sebelum kalian dari Ahlul Kitab telah
terpecah belah menjadi 72 aliran dan seungguhnya umat ini akan terpecah dalam
73 aliran. 72 daripadanya di neraka dan satu aliran yang masuk surga yaitu Al
Jama’ah” (HR. Abu Dawud Ath-Thoyalisi dalam musnad nya, juga Ahmad bin Hambal
dalam musnad nya, Abu Dawud As Sijistani dalam sunannya dan Al Baihaqi dalam
dala’ilun nubuwah dan para imam yang lain nya, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan
Radhiyallahu ‘anhu)
dan telah di riwayatkan pula dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash bahwa
Rasulullaah sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Sungguh-sungguh akan datang pada umatku petaka yang pernah datang bani
Isra’il bagaikan pasangan sandal kanan dan kiri. Sampaipun bila dari kalangan
bani Isra’il itu ada yang menzinai ibunya dengan terang-terangan sungguh akan
terjadi pada umatku orang yang berbuat demikian. Dan sesungguhnya bani Isra’il
itu telah terpecah menjadi 72 aliran, sedangkan pada umatku mereka akan
terpecah menjadi 73 aliran. Semua orang yang berpecah belah itu di neraka
kecuali hanya satu yang selamat.
Para Shahabat bertanya: “Siapakah wahai Rasulullaah yang akan selamat
dari api neraka itu ?” Beliau menjawab : “Yang akan selamat ialah mereka yang
beragama dengan caraku dan cara beragama para shahabatku”. (HR. At-Tirmidzi
dalam Sunannya)
Dari kedua riwayat tersebut kita dapat mengambil pengertian, bahwa
perpecahan yang di cerca oleh Allah dan Rasul Nya dan akan menjadi sebab untuk
masuk neraka ialah perpecahan seperti yang ada pada bani Isra’il, yaitu
berpecah belah dengan mengikuti selera hawa nafsu serta memperlakukan agama
Allah untuk menjadi pembenaran terhadap apa yang di maukan oleh hawa nafsunya.
Sehingga dengan demikian orang-orang yang berpecah belah itu, menghalalkan
kedzaliman terhadap sesama muslimin, kedustaan, menebar berita bohong demi
menjatuhkan lawannya. Padahal semua itu adalah perbuatan yang haram dalam
pandangan syari’ah, namun di anggap halal oleh hawa nafsu perpecahan tersebut.
Sehingga orang-orang yang berpecah belah itu terjerumus dalam perbuatan yang
telah merusakkan agama mereka sebagaimana yang telah merusakkan agama bani
Isra’il yaitu menghalalkan apa yang di haramkan oleh Allah dan mengharamkan apa
yang di halal kan
oleh Allah. Hal ini telah di tegaskan oleh Rasulullah sholallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dalam sabda beliau:
“Telah merayap di antara kalian penyakit umat-umat sebelum kalian;
yaitu pernyakit dengki dan permusuhan dan adapun pernyakit permusuhan itu
adalah penggundul, penggundul agama bukan penggundul rambut. Demi yang diri Muhammad ada di tangan Nya,
tidaklah kalian beriman sehingga kalian saling menyinta sesama kalian. Maukah aku beritahukan sesuatu yang bila kalian mengerjakannya maka
kalian akan saling menyinta? Yaitu tebarkanlah salam di antara kalian”. (HR.
Ahmad dalam Musnadnya dari Az Zubair Ibnul Awwam radhiyallahu ‘anhu)
Maka bila tahdzir itu berakibat kepada perpecahan di antara kaum
muslimin sehingga mereka menghalalkan apa yang di haramkan oleh Allah dan
mengharamkan apa yang di haramkan oleh Allah, juga bila tahdzir itu berakibat
muncul nya saling mendengki di antara kaum muslimin dan saling menebarkan
berita dusta di antara mereka yang di dasarkan di atas semangat kebencian
sesama kaum muslimin, maka jelas tahdzir yang demikian di hindarkan dan di
jauhkan dari kehidupan kaum muslimin. Karena daya pengrusaknya jauh lebih
dahsyat dari penyimpangan orang yang di tahdzir itu sendiri. Padahal misi
tahdzir itu adalah untuk menyelamatkan agama kaum muslimin dan keimanan mereka
dari bahaya kerusakan agama dan kerusakan iman, dan bahaya orang yang menjadi sebab
munculnya kerusakan itu. Maka bila tahdzir itu justru menimbulkan kerusakan
agama pada kaum muslimin, tentu yang demikian ini bertentangan dengan misi
tahdzir itu sendiri.
Fikri : Apa nasehat ustadz kepada kami
penutut ilmu di indonesia
dalam menyikapi kesan perselisihan yang terjadi di kalangan Salafiyin di negeri
ini ?
Ustadz : Kesan perselisihan di
kalangan Salafiyyin di indonesia
atau pun di luar indonesia ,
sesungguhnya akibat dari beberapa sebab yang menimbulkan kesan tersebut.
Beberapa sebab itu bila di simpulkan antara lain adalah :
Yang pertama, adalah akhlaq
sebagian Salafiyyin yang tidak mengikuti tuntunan sunnah Nabi dalam berbeda
pendapat. Penyimpangan dari tuntunan sunnah Nabi dalam berbeda pendapat ini
menimbulkan fitnah di kalangan Salafiyyin sehingga terkesan oleh orang yang
tidak mengerti permasalahan, seolah-olah perbedaan pendapat itu adalah
perpecahan. Tuntunan sunnah Nabi dalam berbeda pendapat itu ialah, bahwa semua
pihak yang berbeda pendapat menyadari bahwa mereka adalah manusia yang sangat
besar kemungkinannya untuk terjatuh kepada kesalahan. Sehingga dengan mengingat
dan menyadari hal tersebut, semua pihak jangan menganggap bahwa apa yang di
anut oleh pendapatnya pasti benar dan tidak mungkin salah dan jangan pula
menganggap bahwa yang berbeda pendapat dengannya pasti salah dan tidak mungkin
benar. Dalam hal ini Imam Syafi’I rahimahullah mempunyai satu ungkapan yang
sangat indah; beliau menyatakan “pendapatku benar dan ada kemungkinan salah,
sedangkan pendapat yang menyelisihi aku salah dan ada kemungkinan benar”.
Biasanya para Salafiyyin yang tidak mengikuti tuntunan sunnah Nabi dalam
berbeda pendapat, adalah karena kurang wawasan pengetahuannya tentang manhaj
Salaf, di sebabkan karena kurangnya referensi tentang kitab-kitab para Ulama
yang menjelaskan tentang tuntunan sunnah Nabi dalam menyikapi perbedaan
pendapat tersebut.
Kedua, bisa jadi kesan
perselisihan di kalangan Salafiyyin itu muncul adalah karena kurangnya
keikhlasan sebagian Salafiyyin dalam mengikuti tuntunan sunnah Nabi sehingga
hawa nafsu menyelinap di antara mereka dan rusaklah karenanya akhlaq mereka
ketika terjadi perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Ketiga, bisa jadi adanya
orang-orang atau kelompok-kelompok pergerakan yang sesungguhnya tidak bermanhaj
Salaf dan tidak berkeinginan untuk merujuk kepada manhaj Salaf bahkan
memusuhinya, namun dalam tak-tik dan strategi pergerakan mereka mengharuskan
mereka untuk mengaku sebagai pergerakan Salaf. Sehingga orang yang tidak
mengerti manhaj Salaf mempunyai kesan bahwa Salafiyyin berpecah-belah di antara
sesama mereka. Padahal kenyataannya yang berpecah belah itu adalah antara
orang-orang yang menganut manhaj Salaf dengan orang-orang yang menentang manhaj
Salaf itu sendiri.
Yang ke-empat, bisa jadi kesan
perpecahan itu memang sengaja di opini kan
demikian kepada kaum muslimin oleh musuh-musuh dakwah Salafiyyah, dalam rangka
menumbuhkan perasaan antipati terhadap dakwah Salafiyyah di kalangan kaum
muslimin. Yang demikian ini di lakukan oleh orang-orang kafir dan ahlul bid’ah
serta berbagai kelompok pergerakan yang merasa terancam kepentingan
pergerakannya dengan munculnya fenomena sambutan kaum muslimin terhadap dakwah
Salafiyyah.
Dengan beberapa sebab tersebut di
atas, saya nasehatkan kepada segenap penuntut ilmu untuk meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah dan membersihkan niat nya untuk tholabul ‘ilmi agar Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyelamatkan kita dari berbagai fitnah tersebut dan
berbagai makar musuh-musuh dakwah Salafiyyah. Hanya dengan taqwallah dan
keikhlasan kita dalam menuntut ilmu, Allah Ta’ala akan menganugerahkan kepada
kita sikap Furqon (yakni ketajaman analisa dalam membedakan mana yang
haq dan mana yang bathil). Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada
Allah, maka Allah akan jadikan baginya Furqon”
Dan juga saya nasehatkan kepada
para penuntut ilmu untuk banyak berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar di
beri oleh-Nya keikhlasan dan keadilan dalam menilai segala sesuatu. Demikian
pula semestinya para penuntut ilmu terus berusaha untuk merujuk kepada Al
Qur’an dan As Sunnah dengan bimbingan para Ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
dengan merujuk kepada warisan ilmu yang mereka wariskan untuk kita.
Saya menasehatkan juga kepada
para penuntut ilmu untuk jangan ikut-ikutan berbicara tentang segala sesuatu
yang belum di pahami dan atau segala sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi
kepentingan kalian untuk menuntut ilmu. Terlebih lagi dalam perkara yang
menjadi sebab untuk kalian terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan yang akan
semakin menjauhkan kalian dari Allah Ta’ala. []
Mumtaz.. ahsanta..
BalasHapusBarokallahu fiikum!
BalasHapus