MUKADIMAH
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kita
memuji-Nya, dan minta tolong kepada-Nya.
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang
bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa
memberikan petunjuk
kepadanya.
Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang
berhak untuk disembah kecuali Allah
saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi
bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa
sallam adalah hamba dan utusan-Nya, amma ba'du.
Inilah tulisan singkat yang dilengkapi dengan
dalil-dalil ilmiah baik dalil naqli maupun aqli
tentang masalah ba'iat yang syar'i [1] serta hukumnya menurut Al-Kitab
dan As-Sunah. Apakah
bai'at itu hanya boleh untuk khalifah saja atau
untuk semua manusia ? Disertai penjelasan
pendapat yang benar tentang bai'at agar menjadi
terang dan gamblang bagi pencari kebenaran
(al-haq). Terungkap sebagian penyimpangan-penyimpangan
yang menjerumuskan kepada
aliran-aliran yang sesat dan menyesatkan.
Saya tulis risalah ini, setelah saya yakin bahwa
ketika amalan Islam menjadi jauh dari fitrahnya di
masa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka
terjadilah kemorosotan moral, kehidupan rohani
menjadi lemah, ilmupun kian sedikit. Begitupula
semakin hilang keteguhan ketika menghadapi
fenomena-fenomena yang mengerikan dan menyedihkan,
dan jarak antara syi'ar dan kenyataan
semakin lebar, serta semakin hilang jejak-jejak Nabi
pada para juru dakwah (da'i), sebagai
gantinya muncul jejak (jalan) yang dipenuhi oleh
pemikiran aneh. [ 2]
Maka saya berkeinginan untuk menulis pembahasan ini
dengan tujuan menyebarkan ilmu dan
menampakkan al-haq. Mudah-mudahan Allah memberi
rahmat dan menunjukkan jalan yang
lurus kepada kita. Sesungguhnya Allah Maha mampu
atas segala sesuatu.
PENGANTAR
Karakter suatu pembahasan dan alurnya akan berbeda
menurut perbedaan kondisi yang ada,
motivasi dan hasil-hasil yang mau dicapai, serta
hal-hal lainnya yang tidak samar lagi bagi
penuntut ilmu dan ahlinya.
Pembahasan kita dengan kekuatan yang diberikan Allah
kepada kami bukanlah pembahasan
yang didasari oleh perasaan dan semangat dengan cara
menampakkan ungkapan-ungkapan yang
indah. Tetapi pembahasan ini merupakan bahasan yang
ilmiah (insya Allah), karena menuntut
1 Dalam kitab ini ada risalah yang ditulis oleh Doktor Mahmud al
-Kahidi dengan judul : " Al-Bai'ah fi al-Fikras-
Siyasi
al-Islami"
2 Ihya'ar-Rabbaniyyah, hal. 11, Said Hawa
.
.
ilmu merupakan salah satu bentuk jihad yang wajib
bagi kita untuk berkorban di dalam
menempuhnya, meskipun berat dan mahal.[3]
Jika hasil pembahasan nampak dengan jelas dan
terang, maka wajib bagi pembaca tulisan ini
untuk kembali kepada kebenaran (al-haq). Sehingga
tertutuplah jalan bagi setan untuk
memasuki jiwa-jiwa, dikarenakan jiwa, jika ditempati
hawa nafsu pada salah satu lubuknya,
maka akan dibutakan dari kebaikan dan akan ditulikan
telinganya dari al-haq.[4] Tertutup pula
was-was setan bahwa rujuknya dia dari kesalahan
(kepada kebenaran -ed) akan meruntuhkan
reputasi dan menurunkan kedudukannya ! Padahal yang
meghilangkan kedudukan adalah : masa
bodoh dengan kesalahan, pindahnya dai dari hari
kemarin kepada hari ini, kemudian kepada hari
esoknya (semakin jelek amalnya -ed), merasa terjaga
dari kesalahan dan menutup mata dari
keadaan masyarakat yang komplek.[5]
Barangkali ada orang yang membantah dengan
mengatakan :
Yang menjadi kewajiban kita sekarang ini ialah
mengajak kaum muslimin kepada masalahmasalah
yang tidak ada perselisihan di dalamnya dan menjauhi
sisi yang terdapat perselisihan di
dalamnya[6] Tidak sepantasnya bagi kita untuk berbicara seputar perselisihan demi
menjaga
kemaslahatan, sehingga musuh-musuh kita tidak tahu
masalah ini! Atau ada yang mengatakan :
Kewajiban yang paling penting ialah mengarahkan
keinginan kaum musimin kepada persatuan
barisan dan menyatukan kalimat semampu kita[7].
Perkataan ini menyelisihi kebenaran, karena
bersembunyi di atas kesalahan dengan dalih demi
menjaga kemaslahatan bersama, Begitu pula anggapan
bahwa koreksi di dalam ber-agama
merupakan penyebab perpecahan dan pertikaian serta
perkara yang berbahaya dan kerusakan
yang nyata yang akan ditebus oleh umat dengan darah
yang mengalir. Bukan itu saja, bahkan
akan menimbulkan hilangnya kekuatan dan yang paling
mendasar adalah hilangnya eksitensi.
Padahal umat jika tanpa adanya koreksi dan saling
menasehati akan hidup dalam warna lain :
'berupa kesendirian sampai pada batasan yang sangat
menyedihkan dan menyakitkan'. Dari sini
diketahui bahwa sosok seorang muslim yang benar
ialah yang tidak terkungkung (terkurung)
dan terpaku oleh satu sosok bagaimanapun
karakternya. Tetapi sosok yang selalu siap untuk
berpindah dari yang bermanfaat kepada yang lebih
bermanfaat lagi, dari yang baik kepada yang
lebih baik lagi, selalu menerima al-haq jika sudah
terang dan menerima dalil jika sudah
gamblang (jelas), serta tidak terjerumus kedalam
hizbiyyah yang mematikan dan ashabiyyah
yang membinasakan.[8]
Adapun anggapan bahwa diam dalam masalah tersebut
(nasehat-menasehati) bisa menyatukan
barisan, maka hal ini telah dijawab oleh al-Ustadz
Sayyid Qutb rahimahullah "Dengan ayat
tersebut (Al-Maidah : 48 -pent) Allah Subhanahu wa
Ta'ala telah menutup semua pintu bagi
setan, berupa kamuflase yang kelihatan baik dan bisa
meluluhkan hati serta bisa menyatukan
barisan tetapi dengan meremehkan sebagian dari
syariat Allah demi memperoleh keridhaan dari
semua pihak atau demi persatuan shaf (barisan) [9]
3 Mudzakkirat ad-Da'wah wa-ad-Da'iyyah, hal.39, Hasan al -Banna
4 Mudzakkirat ad -Da'wah wa-ad-Da'iyyah, hal.116, Hasan al -Banna
5 Dari mukadimahnya Syaikh Muhammad al -Ghazali terhadap kitab
Nazharat fi Masiirah al -'Amal al-Islami,hal
11, Umar
Ubaid Hasanah
6 Al-Ikhwan al-Muslimin Ahdats Shana'at al -Tarikh (I/138) Mahmud
Abdul Halim
7 Majmu'ah ar -Rasa'il, hal.331, Hasan al -Banna
8 Nadzarat fi masiirah al -Amal al-Islami, hal.21 Umar Ubaid Hasanah
9 Fi Zhilal al-Qur'an (2/749), Sayyid Qutb
.
.
Yang lainpun akan mengatakan dengan memberikan jalan
keluar yang "obyektif" dengan
berkata : "Kita saling menolong pada
masalah-masalah yang kita sepakati dan saling memberi
'udzur' (maaf) sebagian atas sebagian yang lain pada
masalah-masalah yang kita berselisih di
dalamnya".[10]
Maka kami jawab : "Benar, wajib bagi kita untuk
saling menolong pada permasalahan yang kita
bersepakat di dalamnya, seperti membela al-haq dan
mendakwahkannya, serta mengingatkan
dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-nya,
Adapun saling memberi ma'af sebagian kita
kepada sebagian yang lain pada masalah yang kita
berbeda pendapat di dalamnya, tidaklah
secara mutlak, tetapi perlu dirinci lagi. Kalau
permasalahannya termasuk dari masalah-masalah
ijtihad yang samar dalilnya, maka wajib untuk tidak
mengingkari sebagian kita atas sebagian
yang lain. Adapun pada permasalahan yang menyelisihi
nash baik dari Al-Kitab maupun As-
Sunnah, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk
mengingkari orang yang menyelisihinya,
akan tetapi dengan hikmah dan nasehat yang baik
serta berdiskusi dengan cara yang lebih baik
...." [11]
Sebenarnya sebagian penulis-penulis harakiyyin
(gerakan Islam) telah merasakan salahnya
pemutlakan kalimat tersebut di atas, sehingga
membatasinya dengan batasan yang halus guna
menghilangkan kesalahan dan kekeliruan kalimat
tersebut. Maka, diapun menyatakan setelah
membawakan kalimat tersebut dengan mengatakan :
"....pada masalah-masalah yang ada bagian
untuk ijtihad di dalamnya".[12]
Kemudian penulis yang lainpun memberi batasan dengan
mengatakan : "...dengan ketentuan
adanya kemungkinan ikhtilaf (perselisihan/perbedaan)
di dalamnya dan dengan landasanlandasan
manhaj (metode) yang membolehkan adanya ikhtilaf
seperti ini"[13] Perlu diketahui
bahwa keduanya berasal dari sekolah yang sama yang
mengucapkan kalimat ini.
Saya berkata, "Di bawah ini adalah manhaj yang
ilmiah dan benar yang wajib untuk diikuti, dan
menapakinya agar terwujud kesatuan wawasan di antara
kaum muslimin. Bukan manhaj tambal
sulam, karena yang demikian itu tidak terdapat dalam
agama Allah sedikitpun!".
Barangkali kritik dan koreksi ini akan
dibantah/ditentang oleh para penulis Islam, lebih-lebih
yang lainnya. Bahkan dianggap sebagai pengrusakan
dan penghancuran. Kemudian mengatakan
: "Adapun orang-orang yang ambisi pada
diri-diri mereka sendiri untuk memperbaiki langkah
disela-sela pengrusakan terhadap (akidah, -ed)
jama'ah, yaitu memulai dari titik nol, maka kami
katakan kepada mereka : "Sungguh kalian telah
ketinggalan kereta, karena titik permulaan telah
ada sejak lima puluh tahun sebelum ditulisnya
tulisan ini. Memperbaiki langkah adalah dari
dalam, dengan maksud membangun bukan
menghancurkan!"[14]
Benarkan perbaikan itu tidak akan bisa kecuali dari
dalam ?
10 Dari ucapan Syaikh Hasan al -Banna
11 Tanbihaat Haammah 'ala ma katabahu al -Shabuni fi Shifat Allah
'azza wa Jalla , hal.41 Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz
12 Ucapaan Sa'id Hawa di dalam Ihya' ar-Rabbaniyyah, hal.8
13 Dari pembahasan Doktor Rajih al -Kurdi pada awal buku Nadwah
Ittijaahaat al -fikr al-Islami al-Mu'ashar, pada
sub
al-Ittijah as-Salafi. Di dalamnya terdapat banyak kesalahan. Dan aku telah
membantahnya dengan suatu
bahasan yang
aku beri judul Ar -Radd al-Majdi 'ala Rajih al -Kurdi.
14 Al-Madkhal ila Da'wah al -Ikhwan al-Muslimin, hal.30, Sa'id Hawa
.
.
Apakah ucapan ini dari dalil-dalil petunjuk ? Atau
hanya sekedar hasil eksperimen seseorang
saja?
Yang lain berkata dengan menjelaskan penyebab
timbulnya orang yang berguguran di jalan
dakwah menurut persangkaannya. Dia mengatakan
:"Sebab keempat : Tekanan gerakan-gerakan
bawah tanah.
Di antara hal-hal yang menyebabkan gugurnya
kebanyakan orang di jalan Islam dan dakwah
ialah berkaitan dengan gerakan-gerakan bawah tanah
yang disaksikan oleh perjalanan Islam.
Gerakan ini pekerjaannya tidak lain hanyalah memberi
keraguan dan kritik. Seakan-akan dia
diberi kepercayaan dan kekuasaan untuk menghancurkan
gerakan-gerakan Islam dengan
menggunakan nama Islam. Maka di setiap penjuru, dari
masa ke masa akan muncul kelompokkelompok
yang berbeda dengan nama Islam merusak kemampuan
intelektual para pemuda,
meniadakan peran serta mereka dan meracuni
udara-udara mereka.... Betapa banyaknya
fenomena ini merusak akal yang sebelumnya sehat dan
memadamkan cahaya yang sebelumnya
menyala serta menghilangkan kekuatan yang sebelumnya
bisa menghasilkan (produktif).[15]
Kemudian apa sebab utama bagi pandangan yang gelap
seperti ini terhadap masalah kritik,
perbaikan dan membongkar kesalahan-kesalahan ?
Menurut keyakinan sebab utamanya ialah karena gerakan
Islam terpengaruh -sampai batas
tertentu- dengan suasana kehidupan partai yang ada
di negara-negara Arab pada masa sekarang
ini. Sehingga karakter gerakan Islam dan metodenya
-hampir sama sebagian waktu [16] -
terkotori dengan ruh hizbiyyah yang sempit, yang
tidak sesuai dengan keadaan dan suasana
keterbukaan dan kemanusiaan dalam Islam.[17]
Bahkan termasuk malapetaka bagi gerakan Islam, serta
kemunduran dan kekacauan cara
kerjanya ialah adanya pemikiran hizbi. Sehingga jika
suatu tanzhim (kelompok/organisasi) ingin
merekrut anggotanya akan menggunakan dalih ketaatan,
tidak boleh membantah dan harus
mengikuti perintah-perintah. Menurut mereka inilah
yang dinamakan dengan loyal. Demikian
pula sebaliknya.
Dari hasil metode pengajaran semacam ini ialah munculnya
suatu generasi atau sekelompok
besar dari para pemuda yang hanya menunggu perintah
saja, sehingga terhalang dari
pembaharuan dan kedinamisan. Padahal pembaharuan
merupakan rahasia yang akan
mengangkat dakwah. Sebaliknya akan rugi sebagian
kelompok yang unsur terpenting dari
dominannya adalah mengadakan pembaharuan.[18]
Perkataan kami tentang ketaatan (di dalam harakah
-ed) bukanlah suatu perkataan yang baru,
bahkan merupakan realita yang bisa disaksikan.
Ditulis serta dibukukan. Sehingga kita bisa
temukan pada tulisan mereka bahwa aturan dakwah pada
tahap pembentukan adalah sufi murni
dan segi ruh dan militer murni dari segi pergerakan.
Dan syiar bagi kedua segi ini adalah
perintah dan taat, tidak boleh membantah dan ragu,
serta tidak boleh beralasan. Bahkan ide yang
pertama kali muncul pada tahap persiapan ini ialah
ketaatan yang sempurna. Tidak menjamin
15 Al-Mustaqitun 'ala Thariq al -Da'wah, hal.124-128, Fathi Yakan
16 Bahkan pada umumnya
17 Musykilat ad -Da'wah wa ad -Da'iyah, hal.132, Fathi Yakan
18 Fi an-Naqdi al -Dzati, hal.228, Khalis Jalbi
.
.
keberhasilan pada tahap ini kecuali sempurnanya
ketaatan. Atas dasar inilah barisan yang
pertama mengambil bai'at dari ....." [19]
Padahal taat yang wajib dan terdapat di dalam
ayat-ayat Al-Qur'an dan Al-Hadits adalah ketaatan
kepada para pemimpin kaum muslimin (amirul mukminin)
atau yang mewakilinya. Bukan
ketaatan kepada segolongan manusia ata salah satu
kelompok dari jama'ah-jama'ah yang ada.
Walaupun demikian, tidak mungkin untuk disyaratkan
dengan kata-kata "Tidak boleh
membantah dan ragu serta tidak boleh beralasan"
lebih-lebih dengan "taat yang sempurna"[20]
yang semestinya hanya diberikan kepada Allah dan
Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuanketentuan
agama ini ialah bahwa taat itu hendaknya pada
hal-hal yang sudah jelas dan ukuran
standardnyapun tepat. Dan ini bukan termasuk bid'ah
serta perkara yang diada-adakan, bahkan
merupakan jejak langkah generasi terbaik (salafus
ash-shalih). Abu Bakar ash-Shiddiq, -salah
satu khalifah yang lurus, dan orang yang bersama
Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika di
gua, serta Rasulullah memerintahkan kepada kita
untuk mengikuti sunnahnya - beliau berkata di
awal pidatonya dari atas mimbar pertanggungjawaban :
"Taatlah kalian kepadaku selama aku
taat kepada Allah. Jika aku maksiat kepada-Nya maka
tidak ada kewajiban atas kalian untuk taat
kepadaku" [21]
Ini adalah merupakan pelajaran bagi orang yang
bertanggung jawab dipusat kepemimpinan dan
pemerintah, yaitu tidak mewajibkan untuk taat
kepadanya kecuali jika dia mentaati perintahperintah
Allah dan berpegang teguh dengan manhaj (Ahlus
Sunnah wal-Jama'ah). Merupakan
pelajaran pula bagi orang awam agar semua inderanya
selalu waspada dan hendaknya diapun
memiliki ilmu yang sempurna tentang manhaj, serta
tidak ada kewajiban baginya untuk taat
kecuali pada hal-hal yang ma'ruf.[22]
Kalau begitu, permasalahannya sekarang bukan karena
berprasangka, menuduh, atau mengadaada,
tetapi merupakan hakekat yang nyata dan bisa
dirasakan, yaitu pada saat dua orang yang
berbeda kelompoknya saling berjumpa kemudian saling
mengemukakan pandanganpandangannya
pasti akan timbul perselisihan. Sebab ruh hizbiyyah
dan ta'ashub bisa
memunculkan suasana yang aneh tatkala bertemu.
Sehingga dia tidak melihat keadaan
sekitarnya kecuali dengan warnanya. Pada gilirannya
dia tidak melihat adanya kemungkinan
salah padanya, diserta perasaan benar terhadap yang
dia bawa. Bahkan merasa bahwa kebenaran
mutlak ada padanya dan kesalahan mutlak ada pada
orang lain [23]
19 Majmu'ah Rasa'il al -Syaikh Hasan al -Banna, hal.274
20 Dan Ahmad Abdul Mun'im al -Badri di dalam bukunya At-Tanzhim
al-Haraki fi al-Islam, berdalil atas semua itu
dengan ucapan
yang dinisbatkan kepada Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu. Dan banyak para
da'i jama'ah -
jama'ah yang
menukil perkataan tersebut d i dalam khutbah -khutbah dan ceramah -ceramah
mereka, yaitu :
"Tidak
ada Islam dengan jama'ah, dan tidak ada jama'ah kecuali dengan adanya keamiran
dan tidak ada
keamiran
kecuali dengan taat" Dia (Ahmad Abdul Mun'im) menyebutkan pada halaman 3
awal dari kali mat ini,
yaitu :
"Marsu'ah al-Hadharah al-Islamiyyah" Padahal atsar tersebut
diriwayatkan oleh Imam Ad -Darimi di dalam
Sunan-nya (I/79),
dan tidak shahih dari Umar. Karena di dalam sanadnya ada Shafwan bin Rustum.
Imam
Dzahabi
berkata di dalam al -Mizan (II/316) :"(Shofwan) tidak dikenal ( majhul).
" Dan al-Hafizh Ibnu Hajar di
dalam al
-Lisan (III/191) menukil dari al -Azdi : "Bahwa dia (Shofwan) munkarul
hadits". Aku berkata : "Seandainya
atsar itu
shahih, maka dibawa (sebagai dalil) -dengan mengumpulkan semu a nash-nash- atas
keamiran kaum
mukminin.
Sayang atsar tersebut tidak shahih
21 Lihat Kanzul 'umul (5/601)
22 Nadzarat fi Masirah ...hal.22 -23, Umar Ubaid Hasanah
23 Fi an-naqd al-Dzati, hal.35 Khalish Jalbi
.
.
Sebetulnya, pertemuan semacam ini mustahil dapat
terjadi, karena seorang hizbi pasti
bersikukuh memegangi pendapatnya (walaupun
terbatas), serta bersikeras untuk mengamalkan
pendapatnya. Mengingat kelompok-kelompok kajian yang
bersifat intern selalu melakukan
pengkhususan dan pendalaman terhadap
pendapat-pendapat tersebut, membelanya dan
berusaha untuk melumpuhkan pendapat yang
menyelisihinya. Karena akal pikiran seorang hizbi
dibentuk untuk mempunyai satu pandangan saja, bukan
karakter akal yang berkesinambungan.
Demikian pula, bagi seorang hizbi, cenderung
berkumpul bersama teman-teman almamaternya,
artinya teman-teman satu sekolahan untuk melakukan
pembentukan pribadi (bukan dengan
ilmu, -ed). Sehingga ketika dia berkumpul dengan
orang-orang di luar kelompoknya, maka
diapun akan terisolir dari mereka dan diapun menjaga
jarak dengan mereka dengan menahan diri
sebelumnya. Ketika sudah dimulai pembahasan, ia
merasa menderita dan tertekan. Jika
berkembang pada perdebatan dia pun akan menghindar.
Karena itulah suasana pertemuan
penuh dengan basa-basi, dan hanya sekedar
menghabiskan waktu. Atau penuh pergulatan dan
tarik menarik, sehingga ada kalanya seorang hizbi
tersebut tetap sebagai unsur pelaksana murni
yang tidak mau berfikir banyak atau jatuh pada
tarikan yang terus menerus (kalah dalam
berdebat), lalu kembali (ruju'). Atau berhenti aktif
dan meninggalkan kelompoknya secara
praktik (artinya secara kenyataan tidak dengan
pengumuman resmi) atau terus berkembang
secara lambat laun sehingga melewati tangga
hizbiyyah, baik dalam keadaan tetap memegangi
pemikiran hizbiyyah atau meninggalkan hizb tersebut
menuju tempat yang jauh dan suasana
baru, khususnya berkaitan dengan orang-orang yang
mempelajari masalah kemanusiaan. Dan
dalam medan berfikir ini, yang berkumpul kebanyakan
berasal dari kalangan penulis yang
sebelumnya mempunyai latar belakang hizbiyyah, lalu
melewati tangga hizbiyyah tersebut [24] .
Ini bukan berarti kekalahan, "gugur" atau
tenggelam atau istilah-istilah lain yang diberikan
kepada orang yang keluar dari hizb tertentu, karena
istilah tersebut menyelisihi pemikiran yang
bersandar pada Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh karena
itu, maka apabila seorang muslim
mendapati jalan yang salah, lalu dia bermaksud
(setelah memberikan keterangan dan ditolak
ucapannya) untuk meninggalkan kesalahan tersebut,
maka ini adalah haknya. Akan tetapi tidak
dikatakan keluar dari bai'at, tidak pula terlepas
dari agama atau kembali pada masa jahiliyyah
dan seterusnya dari ungkapan-ungkapan semisalnya.[25]
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen
harus dengan manhaj Islam, fikrah dan
syari'at Allah. Bahkan terhadap individu,
tanzhim-tanzhim, jama'ah-jama'ah atau pemerintahpemerintah
yang semuanya sebagai tempat salah dan benar. Karena
bencana, kesenjangan,
penyakit dan wabah akan menyusup dalam kehidupan
Islam dari celah penyimpangan terhadap
barometer ini atau usaha merampasnya dari tangan
seorang muslim.
Dari sana dapat dipahami bahwa kemaksuman semu
diberikan atas sebagian orang,
rekomendasi-rekomendasi yang menggelikan yang dibuat
untuk berbuat semaunya adalah awal
keruntuhan. Karena, ini adalah permulaan praktik
penggunaan tujuan-tujuan dan bukan
mengemban tanggung jawab. Kadang-kadang hal ini
merupakan sifat manusia tatkala dikuasai
masa-masa tak berdaya atau menimpa kepada mereka
keadaan-keadaan genting, intimidasI
pemikiran secara terus menerus, atau rusaknya
suasana politik, sehingga hukum dibeda-bedakan
menurut orangnya, dan dibentuk penipuan terhadap
syariat dalam bentuk sesuatu yang diadaadakan.
Serta menumbuh tingkatkan ahli fikih penguasa, baik
penguasa harta, pemerintah atau
jabatan. Lalu ditakwilkan hadits-hadits dan
ayat-ayat menurut kemauan hawa nafsunya.
Akibatnya seseorang tidak boleh mengetahui bahwa
mengajak untuk komitmen dengan
merupakan barometer dan standard kebenaran dan
kebatilan. Sedang tidak iltizam (komitment)
24 Fi an-Naqd al-Dzati, hal.247-248, Khalish Jalbi
25 Fiqh al-Dakwah al-Islamiyyah wa Musykillah ad -Du'at, hal.34,
Muhammad Ghazali
.
.
dengan seseorang dituduh sebagai sikap ragu terhadap
pribadi, merusak perjuangan dan
menjauhkan diri dari jama'ah kaum muslimin secara
keseluruhan.
Hal ini bukan perkara yang seorang muslim boleh
memilihnya. Tetapi pada hakekatnya
merupakan pembenaran terhadap langkah kehidupan kaum
muslimin dalam berjama'ah dan
menghilangkan terisolirnya seseorang dari kehidupan
manusia serta upaya berpegang teguh
dengan Islam. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam dengan sabdanya.
"Artinya : Dan dua orang yang saling bercinta
karena Allah, keduanya berkumpul
dan berpisah di atas keadaan yang demikian"
[Hadits Riwayat Bukhari dan
Muslim dari hadits Abu Hurairah]
Maka persatuan harus di atas manhaj, bukan di atas
pribadi-pribadi. Berpisahpun harus di atas
manhaj, bukan di atas pribadi-pribadi. Kecuali dalam
keadaan hilang akal, dan tidak mampu
menlihat kebenaran (al-haq) dengan benar disebabkan
fanaitk golongan, pribadi, ikatan dan
kaum. Atau pada keadaan tidak adanya kemauan yang
kuat untuk ber-iltizam dengan agama ini.
[26]
Ringkasnya ialah : termasuk pandangan yang salah
adalah keyakinan bahwa praktik mengkritik,
saling menasehati, amar ma'ruf dan nahi mungkar akan
menimbulkan kekacauan di barisan
Islam dan kegoncangan dalam beramal. Padahal suatu
barisan atau jama'ah yang takut untuk
berdialog dengan pobhi untuk saling memberi nasehat,
apalagi setan memberi kerancuan kepada
sebagian anggotanya bahwa amar ma'ruf dan nahi
mungkar akan merusak keberdayaannya
adalah jamaah yang tidak dapat dipercaya, tidak
berhak untuk langgeng dan tidak punya
keahlian untuk mengemban risalah Islam yang tuntunan
utamanya adalah amar ma'ruf dan nahi
mungkar. Maka orang yang tidak punya sesuatu, tidak
mungkin akan memberikan sesuatu
tersebut.
Sesungguhnya membuang praktik saling menasehati,
menahannya dan menghempaskannya,
akan menimbulkan bahaya besar yang akan menimpa pada
permasalahan pokok bagi
keberlangsungan bentuk amalan dan dakwah. Karena
sarana (yaitu saling menolong di dalam
perjalanan suatu jama'ah untuk sampai kepada
kebaikan yang lebih besar) berubah menjadi
tujuan menurut batasan jama'ah tersebut.
Sesungguhnya sifat egois dan intimidasi pemikiran
yang ada pada sebagian aktifis Islam, merupakan
akibat dari hilangnya medan perbuatan
keimanan yang kokoh yang dapat melahirkan sifat
tawadhu', lemah lembut dan akhlak yang
mulia. Pada akhirnya muncul kelompok-kelompok kecil,
semacam sekte-sekte baru, sehingga
terpecahlah kemampuan berpikir, timbul
golongan-golongan dan hilang persatuan, menjadi
goncang tangga menuju keutamaan, hilang tempat
menghimpun permasalahan-permasalahan,
berhenti pekerjaan yang menghasilkan. Sarana-sarana
berubah menjadi tujuan (sebagaimana
kami telah jelaskan). Gambaran Islam hanya berkisar
pada figur-figur yang permasalahan Islam
tidak dilihat kecuali dari mereka. Kesungguhan
beramal berubah menjadi pekerjaan untuk
mendapatkan rekomendasi, lalu pekerjaan memperoleh
rekomendasi ini menjadi dominan pada
saat memahami studi sebab-sebab terjadinya kemunduran.
Permasalahan ini tidak akan bisa diobati kecuali
dengan cara membiasakan berfikir, berdialog
dan berpegang teguh dengan adab berselisih yang
Islami. Menjadikan amalan yang disyari'atkan
sebagai prinsip-prinsip, sedang pemikiran-pemikiran
bukan untuk sarana bagi figur-figur
tertentu. Karena akidah tempatnya adalah di hati.
Tidak ada kekuasaan bagi seorangpun kecuali
kekuasaan dalil. Dan menerima sesuatu dengan apa
adanya hendaknya dibiasakannya (berhenti
26 Nadzarat fi Masirah al -Amal al-Islami, hal. 21 -22, Umar Ubaid
Hasanah
.
.
pada dalil). Allah subhanahu wa Ta'ala mengabarkan
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa tujuan diutusnya beliau adalah memberikan
rahmat kepada alam semesta. Allah
berfirman.
"Artinya : Tidaklah engkau diutus kecuali
sebagai rahmat bagi semua alam" [Al-
Anbiya' : 107]
Dan berfirman.
"Artinya : Engkau bukanlah sebagai penguasa
bagi mereka" [Al-Ghasyiyah : 22]
Dan Allah berfirman kepada Nabi-Nya juga.
"Artinya : Apakah kamu memaksa manusia agar
mereka menjadi orang yang
beriman ?" [Yunus : 99]
DAn berfirman.
"Artinya : Seandainya engkau kasar dan keras
hati, niscaya mereka lari darimu"
[Ali-Imran : 159]
Inilah sebagian langkah-langkah utama dalam
berdakwah kepada Allah dan menyebarkan
rahmat bagi semua alam. [27]
B A I AT
Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa
pembahasan masalah baiat merupakan
pembahasan yang luas dan panjang lebar. Dibutuhkan
penjelasan tentang pengertian baiat
menurut istilah yang biasa dikenal, berapa
macam-macamnya, apa arti sebenarnya, apa yang
dimaksud dengan baiat tersebut, apa hikmah yang
terkandung dengan meletakkannya di atas
manhaj ini, dengan apa baiat itu wajib, atas siapa
baiat diwajibkan, syarat-syarat sempurnanya
baiat, serta dengan apa baiat itu rusak.[28]
Karena pembahasannya besar dan pelik sekali, maka
kami akan meringkasnya pada dua
permasalahan penting yang menjadikan kebingungan dan
perselisihan yang dahsyat atas kaum
muslimin, yaitu : "Kepada siapakah baiat itu
wajib ? Apakah baiat itu boleh kepada setiap
individu?". Adapun masalah-masalah yang lain
bukan di sini tempatnya untuk membahasnya.
Kami mulai pembahasan ini dengan definisi baiat
secara etimologi maupun terminologi. Baiat
secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya
jual beli, dan untuk berjanji setia dan taat.
Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat.
Dan kalimat "qad tabaa ya'uu 'ala al-amri"
seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas
sesuatu perkara). Dan mempunyai arti : "shafaquu
'alaihi" (membuat perjanjian dengannya). Kata-kata
"baaya'atahu" berasal dari kata "al-baiy'u"
dan "al-baiy'ah" demikian pula kata
"al-tabaaya'u". Dalam suatu hadits Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda.
'ala tubaa yi'uunii 'ala al-islami'
27 Nadzarat fi Masirah al -Amal al-Islami, hal. 36 -37, Umar Ubaid
Hasanah
28 Bahjah an-Nufus Syarh Mukhtasha r al-Bukhari (I/28), Ibnu Abi
Jamrah
.
.
"Maukah kalian membaiatku di atas Islam"
Hadits di atas seperti suatu ungkapan dari suatu
perjanjian. seakan-akan masing-masing dari
keduanya menjual apa yang ada padanya dari
saudaranya dengan memberikan ketulusan jiwa,
ketaatan dan rahasianya kepada orang tersebut. Dan
telah berulang-ulang penyebutan kata baiat
di dalam hadits. [29]
Bai'at secara istilah (terminologi)
"Berjanji untuk taat". Seakan-akan orang
yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir
(pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang
masalah dirinya dan urusan-urusan kaum
muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu
mentaatinya untuk melaksanakan
perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan
suka atau terpaksa.
Jika membaiat seorang amir dan mengikat tali
perjanjian, maka manusia meletakkan tangantangan
mereka pada tangannya (amir) sebagai penguat
perjanjian, sehingga menyerupai
perbuatan penjual dan pembeli, maka dinamakanlah
baiat yaitu isim masdar dari kata baa 'a, dan
jadilah baiat secara bahasa dan secara ketetapan
syari'at.[30]
Dan ba'iat itu secara syar'i maupun kebiasaan
tidaklah diberikan kecuali kepada amirul
mukminin dan khalifah kaum muslimin. Karena orang
yang meneliti dengan cermat kenyataan
yang ada baiat masyarakat kepada kepala negaranya,
dia akan mendapati bahwa baiat itu terjadi
untuk kepala negara[31]. Dan pokok dari pembaiatan hendaknya setelah ada
musyawarah dari
sebagian besar kaum muslimin dan menurut pemilihan
ahlul halli wal 'aqdi. Sedang baiat
selainnya tidak dianggap sah kecuali jika mengikuti
baiat mereka [32]
Banyak sekali hadits-hadits yang
menerangkan/membicarakan tentang baiat, baik yang berisi
aturan untuk berbaiat maupun ancaman bagi yang
meninggalkannya.[33] Berupa hadits-hadits
yang sulit untuk menghitung maupun menelitinya.
Tetapi yang disepakati ialah bahwa baiat
yang terdapat di dalam hadits-hadits ialah baiat
kolektif dan tidak diberikan kecuali kepada
pemimpin muslim yang tinggal di bumi dan menegakkan
khilafah (pemerintah) Islam sesuai
dengan manhaj kenabian yang penuh dengan berkah [34]
Dibawah ini saya bawakan ayat-ayat dan hadits-hadits
tentang baiat secara ringkas.
I. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang
bejanji setia kepadamu, mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas
tangan mereka, maka barangsiapa
yang melanggar janjinya, niscaya akibat melanggar
janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada
Allah, maka Allah akan memberi
pahala yang besar" [Al-Fath : 10]
II Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
29 Lisanul Arab al -Muhith (I/299) dan an -Nihayah (I/174)
30 Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal.299
31 Al-Ushul Fikriyyah li al -Tsaqafah al-Islamiyah (2/73) dan Qawaid
Nizham al -Hukmi (262), keduanya tulisan
al-Kahlidi
32 Al-Khilafah ... hal.13. Rasyid Ridha
33 Lihat Hayah as -Shahabah (I/28 -239) dan Miftah Kunuz al -Sunnah,
hal. 80 -86, dan lain-lain
34 Al-Furqan baina al -Kufri wa al-Iman, hal.63, Abdul Muta'al
Muhammad Abdul Wahid
.
.
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang mukmin ketika
mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka
Allah mengetahui apa yang
ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan
atas mereka dan memberi
balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya)" [Al-fath : 18]
Di dalam as-Sunnah, diantaranya.
I
"Artinya : Barangsiapa mati dan dilehernya
tidak ada baiat, maka sungguh dia
telah melepas ikatan Islam dari lehernya"
[Dikeluarkan oleh Muslim dari Ibnu
Umar]
II
"Artinya : Barangsiapa berjanji setia kepada
seorang imam dan menyerahkan
tangan dan yang disukai hatinya, maka hendaknya dia
menaati imam tersebut
menurut kemampuannya. Maka jika datang orang lain
untuk menentangnya, maka
putuslah ikatan yang lain tersebut"
[Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu Dawud
dari Abdillah bin Amr bin Ash]
III
"Artinya : Jika dibaiat dua orang khalifah maka
perangilah yang terakhir dari
keduanya" [Dikeluarkan oleh Muslim dan Abu
Sa'id]
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lainnya.
Salah seorang imam yang agung, Ahmad bin Hanbal,
imam Ahlu Sunnah wal-Jama'ah ditanya
tentang riwayat dari hadits kedua yang tersebut di
atas. Di dalamnya terdapat kata imam. Beliau
menjawab :"Tahukah kamu, apakah imam itu ?
Yaitu kaum muslimin berkumpul atasnya, dan
semuanya mengatakan : "Inilah imam", maka
inilah makna imam" [35]
Al-Imam Al-Qurthubi berkata [36] :"Adapun menegakkan dua
atau tiga imam dalam satu masa
dan dalam satu negeri, maka tidak diperbolehkan
menurut ijma"
Kemudian setelah hilangnya kekhalifahan, terjadilah
perbedaan yang sangat tajam tentang ayatayat
dan hadits-hadits tersebut. Doktor Abdul Muta'al
Muhammad Abdul Wahid mengatakan :
"Ketiadaannya imam adalah menjadi sebab
munculnya kelompok-kelompok yang mengklaim
bahwa dirinyalah yang berhak dibaiat dan menjadi
imam. Kelompok-kelompok ini bisa
diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yang
mendasar, yaitu :
1. Kelompok pertama
Mengatakan : "Sesungguhnya orang yang
meninggalkan baiat adalah kafir". Lalu mereka
menetapkan kepemimpinan bagi dirinya. Sedang orang yang
tidak membaiatnya adalah kafir
menurut pandangan mereka. Ucapan ini tidak benar,
sebab Ali bin Abi Thalib -salah seorang
yang diberi kabar akan masuk surga- beliau tiadak
membaiat Abu Bakar selama kurang lebih
35 Masa'il al-Imam Ahmad (2/185) riwayat Ibnu Hani'
36 Al-Jami' li Ahkam Al -Qur'an (I/273). Dan lihat syarh an -Nawawi
atas shahih al -Bukhari (12/231)
.
.
setengah tahun[37], dan tidak seorang sahabatpun yang mengatakan tentang
kekafirannya
selama beliau meninggalkan baiat.
2. Kelompok kedua
Mengatakan :"Sesunguhnya baiat adalah wajib,
barangsiapa yang meniggalkannya berarti dosa".
Dari sinilah mereka menetapkan seorang amir bagi
diri-diri mereka, sehingga gugurlah dosadosa
tadi dari mereka ketika membaiatnya. Padahal yang
benar adalah bahwa dosa
meninggalkan baiat tidak menjadi gugur dengan cara
membaiat amir tersebut. Karena baiat yang
wajib dan berdosa orang yang meninggalkannya ialah
baiat terhadap imam (pemimpin) muslim
yang menetap di bumi dan menegakkan khhilafah
Islamiyyah dengan syarat-syarat yang benar
[38]
3. Kelompok ketiga adalah mereka (kaum muslimin)
yang tidak membaiat seorangpun
Mereka mengatakan : "Sesungguhnya meninggalkan
baiat adalah berdosa, tetapi baiat adalah
hak seorang pemimpin muslim yang tinggal di bumi
(walau) kenyataannya tidak ada di masa
sekarang". Menurut keyakinanku, kelompok ketiga
inilah yang berada di atas kebenaran" [39]
Dan diantara hal yang menguatkan kebatilan
baiat-baiat istitsnaiyyah (pengecualian) yang
merupakan perkara baru tentang baiat kepada Amirul
Mukminin -walaupun di kala tidak ada
Amirul Mukminin- terdapat dalam keterangan para
ulama rahimahullah, yaitu disyariatkan
dalam baiat berkumpulnya Ahlul Halli wal Aqdi, lalu
mereka membentuk keimanan bagi seorang
yang memenuhi syarat-syaratnya [40]
KESIMPULAN DAN TARJIH
Jadi yang dimaksud dengan baiat ialah, pemberian
janji dari pihak pembaiat untuk mendengar
dan taat kepada amir, baik di kala senang atau
terpaksa di masa mudah atau sulit, tidak
menentang perintahnya dan menyerahkan segala urusan
kepadanya. [41]
PERINGATAN
Dari keterangan yang telah lewat, kita mendapatkan
dua perkara yang penting, yaitu :
1. Baiat tidak ada kecuali kepada Amirul Mukminin
saja.
2. Ketaatan (kepada Amirul Mukminin) muncul dari
baiat yang hanya diberikan kepadanya
saja.
Oleh karena itu batallah[42] semua baiat yang diberikan
kepada seseorang (bukan Amirul
Mukminin) bagaimanapun bentuknya, baik ketika ada
imam atau tidak ada, ada seorang atau
lebih.
37 Dan ini tidak benar secara mutlak, lihat perinciannya dalam kitab
Tahdzir Al -Abqari min Muhadharat al -
Khudhari
(I/198) karya Al -Syaikh Muhammad al -Arabi al-Tibyani
38 Walaupun dia (khilafah) berlaku zhalim. Dan ini adalah madzhab
Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sebagaimana
dalam kitab
Syarh 'Aqidah al -Thahawiyyah, hal.379
39 Al-Furqan Baina al -Kufri wa al -Iman, hal.64, Abdul Muta'al
Muhammad Abdul Wahid
40 Maatsirul Anafa h fi Ma'alim al -Khilafah (I/39) al -Qalqasynadi
41 An-Nizham as-Siyasi fi al-Islam, hal.299-300, Abdul Qadir Ani
Haris
42 Maka wajib bagi orang yang terkungkung dengan baiat -baiat bid'ah
seperti ini untuk meninggalkan dan
mebatalkannya.
Karena baiat tersebut batil. Selain demi menjaga agama dan untuk mengikutinya.
.
.
Pada hakekatnya dasar pemikiran baiat yang dimiliki
sebagian jama'ah-jama'ah Islam pada
prinsipnya sesuai dengan syari'at Islam, karena mereka
mengatakan di dalamnya : "Hendaknya
kita berjanji setia kepada Allah untuk menjadi
tentara dalam berdakwah kepada Islam dan di
dalam baiat tersebut terdapat kehidupan negeri dan
umat"[43] Padahal ini adalah perjanjian
yang diambil oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala atas
semua kaum muslimin.
Kemudian terjadilah sedikit "perkembangan"
pemikiran dan organisasi pada orang-orang yang
memberlakukan baiat terhadap diri-diri mereka,
sehingga terjadilah kelompok/jamaah ikhwan
membaiat pemimpin umum (al-mursid al-aam) sebagai
orang yang dipercaya penuh dan
didengar serta ditaati ketika suka atau terpaksa,
sampai Allah memenangkan dakwahnya dan
mengembalikan kemualiaan Islam.[44] Kalau demikian terjadi
keterjungkilbalikan dan
kesalahan.
Sebagai buktinya diantara sistem kerja anggota baiat
adalah taat baik di kala susah atau mudah,
terpaksa atau suka kepada kepemimpinan yang muncul
dari aturan-aturan yang dipegangi oleh
jama'ah.[45]
Dua keterangan terakhir ini menjelaskan dengan
gamblang bahwa baiat istitsnaiyyah yang tanpa
dalil tersebut, tidak berbeda sedikitpun dengan
baiat terhadap Amirul Mukminin. Tidak
sebagaimana yang disangka oleh "sebagian
orang" bahwa baiat tersebut hanya "sekedar
janji"[46] belaka !
Sebagai penambah keautentikan penjelasan tersebut
ialah bahwa para pengikut Asy-Syaikh
Hasan Al-Bana Rahimahullah menamainya dengan
"Al-Imam". Padahal penamaan ini [47]
hanya bisa diperuntukkan bagi orang yang benar-benar
imam. Karena diketahui bahwa al-ustadz
Hasan Al-Banna tidak menyukai kepemimpinan dan
mengetahui pula bahwa cinta kepada
kepemimpinan dengan tujuan mencari kekuasaan
mengakibatkan kejelekan bagi kaum muslimin
pada sejarah mereka yang panjang, maka dia (Hasan
Al-Banna -ed) menamai dirinya dengan
mursyid dan tidak suka untuk menjadi pemimpin atau
amir[48]
Karena semua itulah sebagian penulis mengatakan :
"Sesungguhnya baiat yang diberikan kepada
suatu jama'ah, tidaklah sama dengan baiat yang
diberikan kepada Amirul Mukminin ketika
tegak khilafah atau penguasa muslim. Karena dengan
baiat tersebut perintah seorang penguasa
menjadi wajib untuk ditaati, sampai pada
masalah-masalah yang mudah jika terdapat
kemaslahatan di dalamnya. Adapun baiat yang terdapat
pada Ikhwan al-Muslimin (dan katakan
43 Mudzakirat al -Da'wah wa al -Daiyyah, hal, 72 Hasan al -Banna. Dan
lihat pembahasan selanjutnya, hal.35
44 Idem, hal.194. Doktor Zakariya Sulaiman Biyumi berkata di dalam
kitabnya AL-Ikhwan al-Muslimin wa al-
Jama'at
al-Islamiyah hal.75 : "Dan al -Banna pada masalah tersebut terpengaruh
pada kitab -kitab Thariqah al -
Hashafiyyah
yang pada tahapan -tahapannya akan memindahkan seorang pengikut menjadi
pemabiat ..." dan
seterusnya.
Dan lihat penagruh Thariqat a l-Hashafiyyah pada pribadi Hasan al -Banna dan
dakwahnya di dalam
At-Tafsir
as-Siyasi li al-Islam, hal.130 oleh An -Nadwi
45 Al-Madkhal ila Da'wah al -Ikhwan al-Muslimin, hal.123. Sa'id Hawa
46 Akan datang bantahannya disertai penjelasan pertentangan orang yang
mengucapkan perkataan tersebut, Inys
Allah Ta'ala.
47 Jangan sampai ada orang yang mengatakan : 'Tidak lain yang dimaksud
oleh mereka adalah imam di bidang
ilmu, dengan
bukti kualitas keilmuannya di dalam karangan -karangan dan kitab -kitabnya. Dan
apa yang
diucapkan
sendiri tentang pribadinya di dalam Al-Mudzakkirat , hal.65.
48 Fiqh al-Da'wah al-Islamiyah ..." hal, 23. oleh Al -Ghazali.
Dan lihat apa yang diceritakan sendiri oleh Hasan al -
Banna di
dalam Al -Mudzakkirat, hal. 114 -115, tentang apa yang dilakukan oleh ornag
yang mempunyai
kedudukan dan
keamiran.
.
.
seperti itu juga pada jama'ah-jama'ah Islam
lainnya), maka tidak mempunyai sifat yang
mewajibkan (untuk taat, -ed) dari sisi fikih" [49]
Untuk menjawab perkataan ini dari beberapa sisi.
1. Tidak terdapat dalil atas pemisahan (baiat) ini
dalam Al-Kitab dan As-Sunah.
2. Sebelumnya telah saya nukilkan teks-teks dari
ucapan Asy-Syaikh Hasan Al-Banna dan
lainnya, dan tidak terdapat isyarat yang menunjukkan
hal tersebut. Bahkan di dalamnya
terdapat isyarat kepada khilafah, tatkala
menyebutkan "ketaatan yang mutlak"!!
3. Penelitian terhadap keberadaan jama'ah-jama'ah
Islam dan tingkah para pemimpin serta
anggotanya, berlawanan dengan pernyataan di atas. [50]
Jika anda heran wahai saudaraku pembaca, maka lebih
mengherankan lagi ucapan orang yang
membantah ini yang menyatakan bahwa baiat tersebut
tidak mempunyai sifat yang mewajibkan
(untuk taat). Maka ucapan ini berarti membatalkan
semua baiat dari akarnya. Hal ini diketahui
dengan menjawab dua pertanyaan berikut ini.
1. Jika baiat tidak membuat adanya suatu kewajiban
(untuk taat), lalu apa faedahnya ?
2. Apakah di dalam syariat Islam ada amalan yang
tidak ada faedahnya ?
Orang yang mencari dan memperhatikan, kritis dan
jeli akan mengetahui jawabannya !
KESIMPULAN PEMBAHASAN DAN BEBERAPA TAMBAHAN
1. Baiat dengan berbagai macamnya tidak diberikan
kecuali kepada khalifah kaum muslimin
yang melaksananakan hukum-hukum dan menetapkan hukum
had.
2. Mendengar dan taat tidak ada kecuali bagi orang
yang Allah memberikan perintah untuk
menaatinya. Dan yang menjadi fokus pembahasan kita
di sini adalah Amirul Mukmin
saja! [51]
3. Disebabkan oleh perbedaan kaum muslimin sekarang
ini dalam memahami baiat dan
tidak sepakatnya mereka di atas pemahaman yang
syar'i dan benar tentang baiat, maka
mereka saling bermusuhan, berpecah belah dan
bersilang pendapat. Suatu kondisi yang
akan menimbulkan penyimpangan di dalam beramal
bersama hukum-hukum fikih.
Begitu pula anggapan bahwa mereka adalah jama'atul
muslimin, dapat menimbulkan
kerusakan dan menghukumi kaum muslimin di luar
lingkup mereka dengan hukum -
hukum yang justru akan menjauhkan mereka dengan
risalah yang sesunguhnya, karena
celah-celah dakwah kepada Allah telah terkunci.[52] Bukti semua itu (sebagai
contoh)
bahwa di New York saja terdapat lebih dari empat
puluh kelompok yang menyeru kepada
Islam, akan tetapi setiap jama'ah menyeru kepada
Islam yang berbeda seruan Islamnya
dengan yang lain. [53]
49 Al-Ijabaat, hal.87. Sa'id Hawwa. Padanya banyak sekali
pertentangan di dalam masalah baiat bila dibandingkan
karangannya
Tarbiyatuna al -Ruhiyyah, hal.243 -245
50 Lihat al-Jama'at al-Islamiyyah fi Dhaul al -Kitab wa al-Sunnah,
hal.100-108, Salim Al -Hilali
51 Didalamnya terdapat isyarat untuk taat kepada kedua orang tua,
ulama dan lain sebagainya. Dan bukan disini
pembahasannya.
52 Fiqh al-Da'wah al-Islamiyyah, hal.22 Muhammad al -Ghozali
53 Al-Syura fi Dzili Nidzo m al-Hukmu al -Islami, hal.33 Abdurrahman
Abdul Khaliq
.
.
Atas dasar itulah, wajib bagi kita untuk benar-benar
meyakini bahwa gejala munculnya banyak
kelompok di dalam pergerakan Islam tidak mungkin dianggap
sebagai gejala yang sehat, karena
efeknya bagi perkembangan Islam negatif dan buruk.
Sedang akibatnya akan menimbulkan
kesulitan di antara para aktifis serta menyibukkan
mereka sendiri yaitu ketika menghadapi
gugurnya sebagian anggota dakwah dan beban-beban
yang lainnya.[54] Maka kenyataan yang
dapat disaksikan bahwa keadaan para da'i pada masa
sekarang ini adalah hasil dari perpecahan
yang tajam dan menyakitkan ini, suatu keadaan yang
tidak menyenangkan. Bahkan suatu
keadaan yang sangat menyedihkan yang tidak boleh
terus berlarut-larut keadaannya. Dan setiap
muslim bertanggung jawab untuk mengobati gejala ini,
agar kaum muslimin kembali
sebagaimana sebelumnya yaitu sebagai umat terbaik
yang dikeluarkan bagi mausia dan agar
agama ini semuanya hanya untuk Allah. [55]
Tidak hanya dalam satu ayat saja dari kitab Allah
Subhanahu wa Ta'ala terdapat perintah untuk
bersatu dan bermufakat serta larangan untuk
berselisih dan berpecah belah. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan janganlah kamu menyerupai orang
yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas
kepada mereka. Mereka itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang berat."
[Ali-Imran : 105]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan ini adalah jalan-Ku yang lurus,
maka ikutilah dia, dan janganlah
kamu ikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu
dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu
bertakwa" [Al-An'am : 153]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu
menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan
bersabarlah. Sesunguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar" [Al-Anfal : 46]
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
"Artinya : Kemudian mereka menjadikan agama
mereka terpecah belah menjadi
beberapa pecahan. Tiap-tipa golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada
sisi mereka" [Al-Mukminun : 53]
Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang mulia[56], yang menerangkan dengan tegas
tentang tidak
bolehnya kaum muslimin berpecah belah di dalam agama
mereka menjadi kelompok-kelompok
dan hizb-hizb yang saling melaknat sebagian atas
sebagian yang lain dan saling memerangi
sebagian atas sebagian yang lain. Karena sesungguhnya
perpecahan ini adalah termasuk
perbuatan yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa
Ta'ala, dan Allah mencela orang yang
54 Al-Mustaqitun fi Thariq al -Da'wah, hal.126 Fathi Yakan. Di
dalamnya banyak sekali kesalahan, terutama
judulnya
55 Manhaj al -Anbiya fi al -Dakwah Ilallah (I/128) Muhammad Surur
Zaenal Abidin
56 Lihat al-Dustur al-Qur'ani wa al-Sunnah al-Nabwiyyah fi syu'uni al
-Hayah (2/26, 314), Muhammad Izzah
Druzah
.
.
mengada-adakannya atau mengikuti ahlinya, serta
memberi ancaman bagi pelakunya dengan
siksa yang pedih.... [57]
BEBERAPA SYUBHAT DAN BANTAHANNYA
Barangkali sebagian para da'i ada yang membantah
hasil yang telah kita capai yaitu bahwa bai'at
umum di dalam syari'at Islam tidak mungkin diberikan
kecuali hanya kepada Amirul Mukminin
saja. Seorang Amirul Mukminin yang memiliki
kepantasan dan tanggung jawab, yang mampu
untuk menegakkan agama dan melaksanakan
hukum-hukumnya, menjalankan hukum sesuai
syari'at, mengumumkan perang, cenderung kepada
perdamaian dan lain sebagainya dari tugastugas
yang khusus bagi Amirul Mukminin menurut pandangan
Islam. Adapun celaan-celaan
ditujukan pada siapa saja yang memberontak dan
memisahkan diri dari jama'ah[58], dan lain
sebagainya tidak lain terjadi pada keadaan seperti
ini (adanya Amirul Mukminin -ed) [59]
Sebagai penguat lagi bahwa baiat yang umum tidak
mungkin diberikan kecuali hanya kepada
pemimpin kaum muslimin, yang mampu mengumumkan
perang, mengikat perdamaian dan
menegakkan hukum-hukum had[60]
Jadi, bahwa permasalahan ini adalah permasalahan
yang pasti dan tegas tidak menerima basabasi.
Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak akan menerima dalam
masalah tersebut kecuali
kesungguhan yang sangat, suatu kesungguhan yang
selayaknya ada pada seorang muslim dalam
masalah agama[61]. Dan perkara ini diambil dari karakter agama ini. Dikarenakan masalah
baiat
adalah masalah yang jelas yang tidak mengandung
kerancuan, tegas tidak menerima basabasi.[
62]
Sedang penentangan-penentangan sebagian orang,
terbatas pada beberapa syubhat. Akan kami
sebutkan dan kami jawab, dengan daya dan kekuatan
dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
SYUBHAT PERTAMA
"Tidak ada dalil yang melarang bai'at".
Kami jawab dari beberapa sisi.
1. Sesungguhnya semua pembicaraan orang-orang
terdahulu dari kalangan ahli ilmu dan
fikih berkisar pada baiat kepada seorang khalifah
muslim. Tidak seorangpun dari mereka
57 Fatwa nomor 1674, Lajnah Ad -Da'imah li al-Buhuts al-Ilmiyya wa al
-ifta, dengan ketua al -Syaikh Abdul Aziz
bin Abdillah
bin Baz. Di dalamnya terdapat pembaha san tentang haramnya berpecah belah dan
hizbiyyah.
58 Tidak seperti yang dikatakan oleh Ahmad Abdul Mun'im Al -Badri di
dalam Al -Tanhim Al-Haraki, hal 37 -38,
ketika
membawakan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Barangsiapa mati
dan dilehernya tidak ada baiat,
maka matinya
adalah jahiliyyah". Dia (Ahmad Abdul Mun'im) berkata : "Maka hadits
ini menunjukkan tentang
wajibnya
seorang mukmin yang mukallaf (sudah terkean beban syari'at) untuk memba'iat
imam atau pemimpin.
Kalau tidak
maka dia berdosa dan ma ti sebagaimana matinya ahli jahiliyyah karena tidak
adanya kepemimpinan
dan keamiran
yang mengatur ikatan mereka.." Dia (Ahmad Abdul Mun'im) menukil perkataan
tersebut dari al -
Nizham
as-Siayasi... hal.159. Hanya saja dia melakukan tahrif (perubahan kata) y ang
merusak makna. Untuk
mengetahuinya
maka lihatlah buku tersebut. Akan tetapi hati -hati.
59 Nazharat fi Masiirah ...., hal.77, Umar Ubaid Hasanah
60 Fiqh al-Da'wah al-Islamiyyah .... hal.22
61 Fi Dzilal al -Qur'an (II/782)
62 Idem (3/687)
.
.
(sesuai penelitianku) berpendapat kepada baiat-baiat
istitsnaiyyah yang diberikan kepada
bukan pemimpin kaum muslimin! Barangsiapa yang
berpendapat selain ini, maka wajib
baginya untuk menunjukkan dalil!
2. Jika kami mengatakan (dalam rangka membantah),
bolehnya baiat semacam ini, maka
apakah baiat itu khusus untuk golongan tertentu dari
manusia ? Atau boleh untuk seluruh
golongan umat dan individu-individunya ? Jika kami
jawab pertanyaan yang pertama
dengan "ya", maka yang demikian berarti
batil, dan membuat-buat syari'at yang tidak
diizinkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena
tidak ada wahyu yang mengkhususkan
sekelompok manusia dengan suatu perkara, tanpa
memberikan kepada kelompok yang
lain setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam! Dan jika kami jawab
pertanyaan yang kedua dengan "ya", berarti
kami telah memporak porandakan urusan
kaum muslimin, mencerai beraikan urusan mereka, dan
memecah belah kedigdayaan
mereka, serta menjadikan mereka berkelompok-kelompok
dan bergolongan-golongan.
Dari sana, maka terbuka pintu yang tidak bisa
ditutup bagi beribu-ribu ba'iat, sehingga
seorang mendatangi orang yang ia kehendaki kemudian
membaiatnya kapan saja yang ia
mau. Ini adalah sebatil-batilnya perkara!
3. Dimana pendahulu umat ini dari baiat-baiat
semacam ini ? Apakah akal dan hawa nafsu
kita bisa sampai kepada suatu kebaikan sedang kita
lepas dari orang-orang terbaik dari
umat ini dari kalangan salaf dan para imam
Ridhwanullah 'alaihim ajma'in ? Maka
benarlah Nabi yang terpilih Shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika bersabda. "Artinya :
Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami
yang tidak ada (contoh) kami di
atasnya, maka amalan tersebut ditolak" [Hadits
Riwayat Bukhari-Muslim dari 'Aisyah].
Maka baiat-baiat istitsnaiyyah seperti ini yang
tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-
Qur'an maupun Al-Hadits atau tidak terdapat pada
perbuatan salah seorang dari salaf asshalih[
63], adalah bid'ah dan perkara yang diada-adakan. Yang
dibuat untuk menghianati
orang awam dan kalangan orang-orang yang berilmu
dari kaum muslimin, agar
terpengaruh dengan tujuan merendahkan dan bertindak
sesuka hatinya terhadap mereka
[64]. Dilakukan dibawah syiar al-wala' (loyalitas),
al-intima' (kecenderungan), as-sam'u
wa ath-tha'ah (mendengar dan taat), taubah dan lain
sebagainya dari ungkapan-ungkapan
yang dikemas dengan indah, kata-kata yang manis dan
lafazh-lafazh yang mempesona.
SYUBHAT KEDUA
"Baiat Aqabah yang pertama dan ke dua terjadi
sebelum tegaknya negara Islam".
Jawaban dari beberapa segi.
1. Kami katakan : "Ini adalah perbuatan yang
tidak etis terhadap Rasulullah Shallallahu
'alihi wa sallam. Tidak sepantasnya diucapkan
teradap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bahwa beliau mengajak baiat sesudah atau sebelum
tegaknya daulah. Karena ini adalah
kebenaran yang diberikan dan dikhususkan kepada
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam,
dan dikhususkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan
sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam membaiat sahabat-sahabatnya untuk tidak
melarikan diri dari peperangan dan
kadang memba'iat mereka untuk mati dan untuk
berjihad sebagaimana membaiat mereka
atas Islam. Dan beliau-pun membaiat mereka untuk
hijrah sebelum fathu Mekkah,
63 Para ulama mempuny ai kaidah :"Asal di dalam semua ibadah
adalah batil, sehingga ada dalil". Dan baiat
adalah
ibadah, karena seorang hamba ber -taqarub kepada Rabbnya Tabaraka wa Ta'ala
dengan baiat tersebut,
sebagaimana
tidak samar lagi !!
64 Ila al-Tshawwuf yaa ibadallah ...hal.23, Abu Bakar Jabir Al
-Jazairy. Dan Fadhilatu al -Syaikh al-Allamah Abdul
Aziz bin
Abdillah bin Baz, Mufti negeri Saudi telah berfatwa tentang batilnya semua
baiat istitsnaiyyah
.
.
membaiat mereka untuk bertauhid, komitmen dalam
mentaati Allah dan Rasul-Nya. Dan
bellaiupun pernah memba'iat sekelompok dari pata
sahabat ridhwanullah 'alaihim ajma'in
untuk tidak minta-minta sesuatupun terhadap manusia[65]. Maka tidak sepantasnya bagi
seorangpun dari manusia -bagaimanapun sesatnya orang
tersebut- untuk mengkiaskan
semua ini untuk dirinya saja, sebagaimana sudah
jelas dan gamblang
2. Bahwa baiat tersebut diberikan kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedang
beliau adalah orang yang dipersiapkan oleh Rabb
semsesta alam untuk menjadi amir bagi
orang-orang mukmin. Dan tidak seorangpun setelah
tegaknya daulah diberi bai'at secara
umum selain beliau, sampai beliau menemui Tuhannya.
Maka jadilah beliau amirul
mukminin dan melaksanakan hukum had dan
hukuman-hukuman lainnya. Kalau begitu
siapakah di jaman sekarang ini orang yang seperti
beliau di dalam persiapan Allah
Subhanahu wa Ta'ala ?
3. Bahwa baiat yang pertama, adalah baiat untuk
beriman kepada Allah saja, berpegang
teguh dengan amalan-amalan yang utama dan mejauhi
amalan-amalan yang
mungkar[66]. Dan engkau tidak mendapatkan pada panji-panji
pembaitan ini suatu panji
yang berkaitan dengan jihad [67] atau yang menyerupainya. Dari
sini dapat diambil
pelajaran bahwa baiat ini tidak diberikan kepada
seorangpun (sebagaimana telah
dijelaskan dengan rinci), tetapi hanya diberikan
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, yang telah dipersiapkan untuk menjadi imam
dan pemimpin bagi kaum
mukminin.
4. Sebagai penguat jawaban yang telah lewat, bahwa
baiat Aqabah yang kedua merupakan
kebulatan tekad untuk berhijrah dan pengukuhan
pendirian Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam kepada orang-orang Anshar serta kesanggupan
mereka untuk memberikan
kedamaian dengan suasana yang cerah di Madinah[68]. Baiat tersebut juga merupakan
janji militer saja. Tidak dibahas di tengah-tengah
perundingan terebut suatu masalah
kecuali tentang kesanggupan tempat perlindungan ke
Madinah. Serta untuk memerangi
musuh-musuh beliau dan musuh agamanya. Maka baiat
Aqabah lebih dari sekedar
perjanjian untuk membela dari serangan. Sesungguhnya
baiat tersebut adalah merupakan
janji militer [69]
Bait Aqabah yang kedua ini merupakan suatu landasan
pijak bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam untuk hijrah ke Madinah. Oleh karena
itulah baiat tersebut mencakup dasar-dasar
yang sempurna pensyariaatannya setelah hijrah, dan
yang paling utama adalah jihad dan
membela dakwah dengan kekuatan. Dan baiat Aqabah ini
telah menjadi salah satu hukum -
walaupun Allah belum memberitahukan kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa
hal itu akan disyariatkan di masa yang akan datang [70]
Maka berdalih dengan ke dua baiat tersebut atas
baiat-baiat istitsnaiyyah seperti ini adalah alasan
yang batil, sebagaimana tidak samar lagi setelah
penjelasan ini.
Oleh karena itu tidak boleh dikatakan bahwa baiat
itu terjadi sebelum adanya daulah! Akan tetapi
baiat itu adalah kunci pertama dan pendahuluan yang
pokok untuk tegaknya daulah!
65 Zaad al-Ma'ad (3/95), Ibnu Qayyim, cet.ar -Risalah
66 Fiqh al-Shirah, hal.154, Muhammad al -Ghazali
67 Fiqh al-Shirah, hal.128, Muhammad Sa'id Ramadhan al -Buthi
68 Nizham al-Hukmi fi al -Syari'ah wa al -Tarikh (I/254), Zhafir al
-Qasim
69 Idem, dan lihat nash baiat di dalam Musnad Imam Ahmad (3/322, 323
-339), Mustadzrak (2/624 -625), Al-
Bidayah wa al
-Nihayah (3/159 -160), agar anda tahu batilnya kiyas tersebut.
70 Fiqh al-Sirah, hal.132, al -Buthi
.
.
SYUBHAT KETIGA
Baiat tersebut adalah baiat untuk amalan yang
disyariatkan, seperti taubat, shalat dan lain
sebagainya, maka hal itu menyerupai akad jual beli.
Jawab.
1. Jawabannya pada nomor (3), pada bantahan syubhat
yang pertama.
2. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di
dalam Majmu' Fatawa (28/18) bahwa jika maksud mereka
dengan kesepakatan, loyalitas
dan baiat ini adalah untuk tolong menolong atas
kebenaran dan takwa, maka hal itu telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya baginya dan
bagi orang lain tanpa kesepakatan
tersebut. Dan jika yang dimaksud adalah tolong
menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan, maka hal itu telah diharamkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Sehingga suatu
kesepakatan yang dimaksudkan dengannya berupa
kebaikan yang sesuai dengan perintah
Allah dan Rasul-Nya maka tidak perlu adanya
kesepakatan tersebut. Dan suatu
kesepakatan yang dimaksudkan dengannya berupa
kejelekan, maka hal tersebut telah
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
3. Adapun menyerupakan baiat ini dengan akad
jual-beli (dari sisi ini), maka hal itu adalah
batil, bahkan membatalkan baiat mereka sendiri.
Karena sifat jual beli berbeda dengan
perbedaan yang mendasar dengan sifat baiat
sebagaimana akad[71]. Maka akad jual beli
memberikan faedah bagi seorang pembeli untuk
memiliki barangnya yang dijual dan
pemilikan seorang penjual akan harganya, kemudian
putus hubungan keduanya setelah
itu. Maka bagi penjual boleh untuk menggunakan harga
jualnya tersebut dengan bebas.
Sedangkan pembeli tidak berhak untuk menghalanginya
atau membatasi
kebebasannya dalam menggunakan uang tersebut.[72]
Adapun baiat yang syar'i, maka boleh bahkan wajib
untuk menentang orang yang dibaiat jika
menyelisihi perintah-perintah syari'at dan
hukum-hukumnya, sebagaimana dijelaskan dengan
rinci pada tempatnya. Karena tidak boleh bagi
seseorang untuk mengambil perjanjian atas
seorang yang lain guna menyetujui atas apa yang dia
inginkan, mencitai orang yang dia cintai
dan memusuhi orang yang dia musuhi. Bahkan orang
yang berlaku demikian termasuk jenisnya
Jengis Khan dan orang yang semodel dengan dia, yang
menjadikan orang yang setuju dengan
mereka sebagai teman dan kawan serta menjadikan
orang yang menyelisihi mereka sebagai
musuh dan lawan.[73]
SYUBHAT KEEMPAT
Bahwa baiat tersebut serta hukum-hukum sumpah dari
segi adanya kafarat (denda), hanya saja
baiat itu untuk taat.
Jawaban dari dua segi.
1. Bahwa baiat semacam itu tidak ada di jaman salaf
ash-shalih, padahal ada pendorong
untuk melakukan hal tersebut.
71 Kalau itu maknanya secara bahasa (etimologi), maka maknanya secara
istilah (terminologi) adalah sebaliknya.
Karena adanya
hubungan antara si pem ba'iat dan yang di baiat tersebut secara terus menerus,
sebagaimana
yang telah
saya jelaskan.
72 An-Nizham al -Siyasi, hal. 312, Muhammad Abdul Qadir Abu Faris
73 Majmu al-Fatawa (28/16) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
.
.
2. JIka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjadikan baiat ini dengan sumpah, maka
masing-masing orang bisa berbuat sekehedak dirinya.
Sewaktu-waktu dapat keluar dari
baiat. Sebab sumpah dapat dijadikan baginya adanya
kafarat-kafarat. Maka jika seseorang
yang berbaiat ingin membatalkan baiatnya, dia
tinggal membayar kafarat sumpahnya,
sehingga hilanglah dosa darinya. Padahal Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjadikan baiat sebagai suatu perjanjian serta
menyerupakannya dengan jual beli
sebagaimana yang telah kami sebutkan. Karena orang
yang berbaiat dan dibaiat tidak
mempunyai pilihan. Sedang janji ('ahd) tidak ada
pengecualian (dispensasi) dan kafarat.
Maka dijadikan baiat dengan dua model yang keras ini
sebagai dorongan untuk menjaga
kemaslahatan khusus dan umum bagi kaum mukminin [74]
Maka menyamakan baiat dengan hukum-hukum sumpah
(setelah penjelasan ini), terdapat
kezhaliman yang nyata yang menjerumuskan kepada
pengabaian manhaj dan penyelewengan di
dalam pengeterapannya !!
SYUBHAT KELIMA
Jika mengangkat amir di waktu safar itu wajib,
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam
"Artinya : JIka tiga orang di dalam safar, maka
hendaknya mereka mengangkat
salah seorang dari mereka sebagai amir"
Maka mengangkat amir untuk berdakwah dengan tujuan
mengembalikan agama Allah di muka
bumi itu lebih wajib dan janji serta baiat untuk
taat itu lebih utama ?
Jawabannya dari enam segi.
1. Mengangkat amir dalam safar terdapat nash yang
jelas dan shahih. Adapun mengangkat
amir yang tersebut ini tidak terdapat nash di
dalamnya. Pengkiasannya terlalu jauh,
karena tidak adannya 'illah (alasan). Adapun kiyas
tidak dilakukan kecuali oleh seorang
mujtahid, sebagaimana disebutkan oleh ahli ushul.
2. Keamiran dalam safar berakhir dengan berakhirnya
safar. Adapun keamiran-keamiran
istitsnaiyyah mempunyai "ketaatan yang
sempurna".
3. Keamiran di dalam safar semuanya adalah maslahat.
Adapun keamiran-keamiran
istitsnaiyyah adalah memecah-belah dan merusak[75]. Maka kiyasnya jelas-jelas
batil.
4. Seandainya sekelompok manusia bersepakat diantara
mereka untuk menegakkan hukum
had atas peminum khamr, pezina dan lain sebagainya,
apakah hal itu diterima ? Ini adalah
batil menurut Ijma' ummat dari orang yang setuju
atau yang menentangnya. Maka kiyas
ini membatalkan kiyas sebelumnya.
5. Keamiran safar terbatas pada beberapa perkara saja
dan fungsinya adalah untuk
ketertiban bukan untuk mendengar dan taat secara
mutlak.
6. Karena baiat itu sebagai "janji"
('ahd), maka hal ini (kiyas di atas) bukanlah manhaj salaf
ash-shalih ridwanullah ta'ala 'alaihim. Bahkan
kenyataan mereka berbeda sama sekali
dengan pemahaman salaf. Al-Hafizh Abu Nu'aim
Al-Ashbihani meriwayatkan di dalam
Hilyatual-Auliya (II/204) dengan sanadnya yang
shahih dari Mutharrif bin Abdillah bin
74 Bahjah al-Nufus Syarh Mukhtashar al -Bukhari (I/31) Ibnu Abi
Jamrah
75 Lihatlah sebagai contoh di dalam Mudzakirat al -Da'wah wa al
-Da'iyyah, hal. 112-116!!
.
.
Asy-Syikhkhir[76] beliau berkata : "Kami mendatangai Zaid bin
Shuhan dan beliau
berkata : 'Wahai hamba-hamaba Allah, berbuat
mulialah kalian dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya wasilah (perantara) para hamba
kepada Allah adalah dengan dua
sifat, yaitu khauf (takut) dan tamak (dalam
beramal)'. Maka pada suatu hari aku
mendatanginya dan mereka menulis suatu tulisan dan
menyusun suatu ucapan seperti ini
: "Sesungguhnya Allah adalah Rabb kami,
Muhammad adalah nabi kami, dan Al-Qur'an
adalah imam kami. Barangsiapa yang bersama kami,
maka dia termasuk kami dan kami
akan melindunginya. Dan barangsiapa menyelisihi
kami, tangan kamilah yang akan
menentangnya, dan kami ..... dan kami ..... Perawi
berkata : "Maka mulailah beliau (Zaid)
memperlihatkan tulisan tersebut kepada mereka
seorang demi seorang, sambil bertanya :
'Apakah engkau setuju wahai fulan ?' Sehingga
sampailah padaku, dan bertanya : 'Apakah
engkau setuju wahai anak muda ?' Aku menjawab :
'Tidak'. Zaid berkata : 'Kalian jangan
tergesa-gesa untuk bertindak terhadap anak muda itu,
apa yang akan kau katakan wahai
anak muda ? (Rawi) berkata : 'Aku menjawab :
'Sesungguhnya Allah telah mengambil
perjanjian atasku di dalam Kitab-Nya. Maka aku tidak
akan membuat suatu perjanjian
selain perjanjian yang telah diambil oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala atasku!' Rawi berkata
: 'Maka rujuklah kaum tersebut pada akhirnya. Tidak
seorangpun dari mereka yang
menyetujui tulisan tersebut". Rawi berkata :
'Aku tanyakan kepada Mutharrif : 'Berapa
jumlah kalian pada waktu itu ? 'Beliau menjawab :
'Sekitar tiga puluh orang'. Maka
lihatlah -semoga Allah merahmatimu- kepada realita
dan keadaan hati mereka di dalam
menerima kebenaran serta tunduk kepadanya. Dan
lihatlah penolakan mereka terhadap
perkara apapun (walaupun zhahirnya benar, haq dan
tidak menyimpang). Apapun, jika
tidak terdapat (sifatnya) di dalam kitab Allah
Subhanahu wa Ta'ala atau tetap (tsabit)
dalam sunnah Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa
sallam, maka dapat memecah belah umat,
bagaimanapun bentuk perpecahan tersebut, walaupun
kecil.
Karena semua inilah, sering kali kita mendapati
diri-diri kita di hadapan gejala yang mengerikan,
yaitu bahwa gerakan Islam menjadi lebih dekat kepada
model dan ilustrasi belaka serta lebih
dekat kepada formalitas atau hizbiyyah[77]
PENUTUP
Semoga pembahasan ini -walaupun ringkas- dapat
dipakai sebagai rujukan bagi para da'i untuk
ingat sete;ah lalai dan terjaga setelah mereka
terbuai. Agar mereka tidak mendahulukan amalan
dan ucapan apapun kecuali setelah berilmu,
mendapatkan kejelasan serta pengetahuan dan
ketetapan.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kepada
al-Imam al-Bukhari yang mengatakan :
"Tidaklah aku menetapkan sesuatu dengan tanpa
ilmu sama sekali semenjak aku berakal" [78]
Pembahasan ini pula para aktifis Islam dapat
instropeksi untuk berhenti dari tahazzub
(berkelompok-kelompok), menolak al-haq dari ahlinya
dan saling melibas/menggilas diantara
mereka. Agar mereka dapat melihat kembali
kepentingan dirinya, yaitu sebagai pembawa
dakwah yang paling mulia dan beramal demi tujuan
yang utama (ridha Allah, -ed). Sehingga
pribadi-pribadi mereka menjadi kokoh dan komitmen
ketika membuat perjanjian dengan Allah
76 Beliau adalah dari tokoh tabiin yang tsiqah, ada enam orang yang
membawakan riwayatnya. Riwayat hidupnya
terdapat di
dalam Thabaqat Ibnu Sa' d (7/141), Al -Ma'rifah wa al -Tarikh 92/80), Tarikh al
-Islam (4/56) Tadzkirah
al-Huffazh
(I/60), al -Ishabah, nomor 8324 dan lain -lain
77 Ihya' al-Rabbaniyyah, hal.13, Sa'id Hawa
78 Maa Tamassu ilaihi Haajatul Qori li Shahih al -Bukhari, hal.58.
yang telah saya tahqiq
.
.
agar mereka berada pada puncak ke-Islaman dan masa
mereka. Maka amalannya dalam Islam
bersih dari pembicaraan sekitar pribadi dan berputar-putar
di sekitar dzat seseorang. Dan apaapa
yang di sisi Allah itu lebih baik dan lebih kekal.
Serta merupakan peringatan bagi orang-orang yang
berusaha mengangkat Islam demi
kepentingan pribadi, menjual jiwa-jiwa dan Islam
mereka pada pasaran politik yang murah serta
menjadi boneka-boneka yang digerakkan, dan tidak ada
campur tangannya sedikitpun dalam
perkara tersebut. Pada akhirnya mereka paham bahwa
disyariatkannya sarana (wasilah)
tergantung dari disyariatkannya tujuan (ghayah).
Sehingga merekapun hidup untuk akhirat.
Maka ketika mereka berusaha memperbaiki perangainya
di hadapan manusia, mereka yakin
bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala
mengawasi mereka dan akan menghentikan
(mematikan) serta menanyai mereka. Dan sesungguhnya
agama ini tetap terjaga dengan
penjagaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta akan
hilang kejelekan dari padanya, seperti ububan
(alat pandai besi) menghilangkan (karat) besi.
Merupakan kesempatan pula bagi para dai kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, yang melakukan
amar ma'ruf nahi mungkar, agar mereka meninjau
kembali sarana dan metode (dakwah) mereka.
Yang demikian, karena menyeru manusia kepada Islam
tidak lain harus dengan hikmah dan
nasehat yang baik, tidak dengan paksaan. Maka
barangsiapa yang memerintahkan kepada yang
ma'ruf, harus dengan cara yang ma'ruf pula.
Dengarlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.
"Artinya : Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu" [Ali Imran :
159]
Merupakan kesempatan pula bagi pribadi muslim untuk
melihat menatap pada posisinya yang
ada sekarang, faedah apa yang diberikan kepada Islam
pada posisinya. Dan agar tahu bahwa taat
dalam menjalani Islam akan memberikan kejelasan.
Sesungguhnya tanggung jawab itu
ditanggung oleh pribadi masing-masing. Dan agar
tidak terjerumus ke dalam pemahaman hizbi
yang jahil atau sufi, sehingga dia akan menolong
saudaranya, baik yang berbuat zhalim maupun
yang dizhalimi.
Bahkan wajib baginya untuk komitmen dengan pemahaman
yang Islami yaitu : menolong orang
yang dizhlimi dengan mengembalikan sesuatu yang
diambil dengan zhalim dan menolong orang
yang berbuat zhalim dengan merintangi kehendaknya.
Maka tolong menolong harus atas dasar
kebenaran dan takwa, bukan atas dasar berbuat dosa
dan bermusuh-musuhan, sehingga sikap
saling mensehati akan mendominasi barusan kaum
muslimin yang akan menang dengan
mendapatkan pertolongan di dunia dan pahala di
akhirat.
Dan merupakan kesempatan pula bagi seetiap muslim
untuk mengetahui bahwa meremehkan
dosa-dosa kecil akan menimbulkan dosa-dosa besar,
sehingga diapaun akan menghentikan
perbuatan ghibah (menggunjing), adu domba dan buruk
sangka. Inilah penyakit-penyakit yang
menimpa jiwa yang sering dianggap remeh. Dan agar
dia dapat menerapkan manhaj yang dia
berpegang kepadanya dan melatih diri dengan makna
Islami agar menjadi bagian dari hidupnya
sehari-hari. Dengan demikian terbentuklah pribadi
rabbani [79] yang perangainya terwarnai
dengan Islam, sehingga dia mempunyai tangan, kaki,
mata dan telinga yang tunduk (pada
79 Al-Rabbani ialah orang yang mendidik manusia dengan ilmu yang
ringan -ringan sebelum ilmu yang berat -
berat,
sebagai mana di dalam Shahih al-Bukhari (Fathul Bari I/160). Ibnu al -'Arabi
mengatakan : "Jika seorang
alim lalu
beramal dan mengajarkannya , maka orang tersebut dikatakan rabbani. Tetapi jika
kosong salah satu
dari
sifat-sifat tersebut, tidak dikatakan rabbani. seperti di dalam al-Faqih wa
al-Mutafaqqih, hal. 51 oleh al -
Khatib.
.
.
syariat Islam). Dan bergeraklah semua anggota
badannya dengan gerakan-gerakan Islam yang
disyariatkan oleh Allah bagi orang yang Dia cintai[80]
Dan akhir seruan kami bahwa segala puji hanya bagi
Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rabb semesta
alam.
80 Nazharat
fi Masiirah ....hal. 171-172 dengan ringkas.
Oleh: Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar