Bahaya ifrath
(ghuluw). Ifrath adalah sikap ghuluw yaitu berlebih-lebihan dalam beramal dan
melampaui batas-batas sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam sampai tercebur ke dalam berbagai macam bid’ah yang sama sekali tidak
terdapat dalam Al-Qur’an, tidak tersebut dalam As-Sunnah dan tidak pula dikenal
oleh para shahabat radlyiallahu ‘anhum. Dan orang yang beramal dengan sikap
ifrath ini, mereka
mengerjakannya dalam keadaan yakin bahkan sangat yakin bahwa
hal ini adalah taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Maka bagaimana kiranya
mereka akan bertaubat???
Dalam riwayat yang
shahih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya Allah
menghalangi taubat setiap pelaku kebid’ahan.” (HR. Baihaqi, Thabrani, dan lain-lain)
Karena hadits ini
mungkin baru bagi kita maka perlu kiranya kita perhatikan keterangan Syaikh
Al-Albani tentang keshahihannya. Beliau berkata : “Sanad (hadits) ini shahih.
Dan para perawinya terpercaya (tsiqah) termasuk para perawi (yang dipakai) oleh
dua syaikh (Bukhari dan Muslim), kecuali Harun bin Musa, yaitu Al-Farawi.
Berkata An-Nasai dan diikuti oleh Al-Hafidz (Ibnu Hajar) dalam At-Taqrib : 'Dia
tidak mengapa (la ba’sa bihi).' Berkata Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid
10/189 : 'Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Al-Ausath dan para perawinya
termasuk perawi kitab shahiha’in (Bukhari Muslim), selain Harun bin Musa
Al-Farawi. Tetapi diapun tsiqah.' Berkata Al-Mundziri dalam At-Targhib 1/45 :
'Diriwayatkan oleh Thabrani dengan sanad HASAN.' " (Lihat Silsilah
Al-Ahadits Ash-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani jilid 4 hal. 154 hadits no. 1620)
Demikianlah bahaya
bid’ah yang kebanyakan disebabkan oleh sikap ghuluw. Allah akan menjauhkan dan
menghalangi pelakunya dari taubat. Dan inilah yang menyebabkan para ulama
menyatakan bahwa pelaku bid’ah tidak akan berpindah, kecuali kepada yang lebih
jelek daripadanya sebagaimana dinukil oleh Imam As-Syathibi dalam Al-I’tisham
diantaranya :
Dari Yahya bin Abi
Amr Asy-Syaibani bahwa dia berkata : "Bahwasanya dikatakan : 'Allah enggan
dengan taubat setiap pelaku bid’ah dan
tidaklah berpindah pelaku bid’ah kecuali kepada bid’ah yang lebih jelek.'
"
Dan yang seperti itu
dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
bahwa dia berkata : “Tidaklah seseorang berada di atas suatu pendapat
dari kebid’ahan kemudian meninggalkannya, kecuali berpindah kepada yang lebih
jelek dari itu.”
Juga dari Ibnu
Syaudzab dia berkata : “Aku mendengar Abdullah Ibnul Qasim berkata : Tidaklah
seorang hamba berada di atas Al-Hawa (kemudian) meninggalkannya, kecuali
berpindah kepada sesuatu yang lebih jelek daripadanya. (Atsar-atsar di atas
dinukil dari kitab Al-I’tisham oleh Imam Asy-Syathibi 1/12-163 dengan tahqiq
Syaikh Salim Al-Hilali)
Demikianlah keadaan
Ahli Bid’ah yang menambah-nambah Dien ini dengan syariat-syariat baru, aturan
ibadah baru, penilaian baru, anggapan baru, keyakinan baru, cara berdakwah
baru, dan perkara baru yang lain yang tidak pernah dikenal oleh para shahabat,
tabi’in maupun tabiut tabi’in. Memang bisa jadi mereka berniat baik, tetapi
melampaui batas dan berlebih-lebihan hingga keluar dari sunnah. Inilah ghuluw.
Kalau seseorang sudah
menganggap baik (istihsan) perkara-perkara yang muhdats (bid’ah), sungguh
sangat tipis harapan untuk bertaubat. Berkata Imam As-Syatibi setelah menukil
atsar dan hadits di atas : “… jika
seorang pelaku bid’ah keluar darinya (ruju’) maka sesungguhnya dia keluar
kepada yang lebih jelek daripadanya sebagaimana dalam hadits Ayyub. Atau dia
termasuk yang menampakkan seakan-akan
rujuk padahal setelah itu dia tetap berada di atas kebid’ahan tersebut
seperti kisah Ghailan bersama Umar bin Abdul Aziz." (Al-I’tisham 1/163)
Yang dimaksud dengan
hadits Ayyub adalah sebagai berikut : Dari Ayyub dia berkata :
“Ada seseorang
berpendapat dengan suatu pendapat (yang bid’ah, pent) kemudian rujuk, maka aku
mendatangi Muhammad dengan gembira karena itu, untuk mengabarkan kepadanya. Aku
mengatakan : 'Tidakkah engkau merasa senang bahwa si fulan telah meninggalkan
pendapatnya yang pernah diucapkannya?' Maka dia berpendapat : 'Lihatlah ke mana
dia berpindah? Sesungguhnya akhir hadits lebih dahsyat dari awal hadits atas
mereka : Mereka keluar dari Dien … kemudian tidak akan kembali
(kepadanya)." (Al-I’tisham 1/163) (Yang dimaksud adalah hadits tentang
khawarij yang diriwayatkan oleh Muslim)
Sedang kisah Ghailan
adalah sebagai berikut :
“Diriwayatkan oleh
Amru bin Muhajir : Sampai berita kepada Umar bin Abdul Aziz bahwa Ghailan
Al-Qadari berbicara tentang taqdir. Maka beliau mengutus seseorang kepadanya
dan memenjarakannya beberapa hari. Kemudian dia dihadapkan kepada Umar bin
Abdul Aziz dan beliau berkata : 'Berita apa yang sampai kepadaku ini
tentangmu?' Berkata Amir bin Muhajir (periwayat) : 'Aku isyaratkan kepadanya agar
tidak berbicara sesuatupun.' Tetapi dia (Ghalian) berkata : 'Ya! Wahai Amirul
Mukminin. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman' :
'Bukankah telah
datang atas manusia suatu waktu dari masa, sedangkan dia ketika itu belum
merupakan sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dari setetes mani yang bercampur, yang Kami hendak mengujinya, oleh
karena itu Kami menjadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah
menunjukinya kepada jalan itu. Ada yang bersyukur, adapula yang kufur.'
(Al-Insan : 1-3)
(Maksudnya dia
menolak taqdir dengan ayat ini, pent).
Maka berkatalah Umar
bin Abdul Aziz : 'Bacalah sampai akhir surat.' [ 'Dan tidaklah kalian
berkehendak (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa yang
dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya dan bagi orang-orang yang dhalim disediakan
adzab yang pedih.' (Al-Insan:30-31) ]
Kemudian berkata :
'Apa yang akan kamu katakan wahai Ghailan?' Dia menjawab: 'Aku katakan, aku
dahulu buta dan engkau telah membuat aku melihat. Aku dahulu tuli dan engkau
telah membuat aku mendengar. Dan aku dulunya sesat dan engkau telah
menunjukiku.' Maka berkatalah Umar rahimahullah : 'Ya Allah, jika benar hamba-Mu
Ghailan jujur, kalau tidak saliblah dia.'
Setelah itu Ghailan
berhenti dari ucapannya tentang taqdir hingga meninggallah Umar bin Abdul Aziz
rahimahullah. Kemudian khilafah berpindah ke tangan Hisyam rahimahullah. Maka
mulailah Ghailan berbicara tentang taqdir. Kemudian Hisyam mengutus seseorang
kepadanya dan memotong tangannya. Ketika itu lewatlah seseorang sedangkan lalat
hinggap di tangan Ghailan maka berkatalah dia : 'Wahai Ghailan! Ini adalah
qadla dan qadhar (takdir)!' Dia berkata : 'Engkau berdusta, demi Allah! Ini
bukanlah qadla dan qadar.' Ketika Hisyam mendengarnya dia mengutus kembali
utusannya dan menyalibnya." (Dinukil secara makna dari Al-I’tisham
1/85-86)
Demikianlah para
pelaku bid’ah, jauh dari taubat dan berakhir dengan su’ul khotimah. Wal’iyadzubillah.
Kiranya cukup yang
demikian bagi kita untuk berhati-hati dari bid’ah dan beramal dengan sunnah.
Berkata para
Salafussholih : Sederhana dalam sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh
(tetapi) dalam bid’ah.
Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid berkata : “Kalimat emas ini telah shahih riwayatnya dari shahabat,
tidak hanya seorang. Seperti diantaranya Abu Darda dan Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhuma. Sebagaimana dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah
wal Jama’ah hal. 114-115, Kitab As-Sunnah oleh Ibnu Nashr hal.27-28 dan Kitab
Al-Ibanah oleh Ibnu Baththah 1/320 dan lain-lain.” (Lihat Ilmu Ushulil Bida’
oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid hal. 55)
Demikianlah kalimat
yang memberikan manhaj besar bagi seorang Muslim. Dalam amalan dan ucapannya
agar selamat dari ghuluw dan diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena
Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima amalan yang paling baik bukan yang paling
banyak. Sedangkan yang paling baik adalah yang paling cocok dengan sunnah.
Allah berfirman :
"Yang
menciptakan mati dan hidup untuk menguji kalian siapa yang terbaik
amalannya." (Al-Mulk : 2)
Fudlail bin Iyadl
berkata : “Yang paling baik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar
(cocok dengan sunnah, pent).”
Diriwayatkan pula
dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu bahwa dia berkata : “Sesungguhnya
sederhana di atas jalan dan sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam
menyelisihi jalan dan sunnah, maka lihatlah jika amal kalian sederhana atau
sungguh-sungguh hendaklah berada di atas manhaj para nabi dan sunnah mereka
shalallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Lalika’i dalam Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah
1/54 no. 10)
Dengan ucapan beliau
di atas jelas bahwa maksud ucapan para shahabat bukanlah agar kita sedikit mengamalkan
sunnah, tapi agar berhati-hati dari sikap ghuluw, yaitu berlebih-lebihan dalam
ibadah hingga keluar dari sunna dan masuk ke dalam berbagai macam bid’ah. Lebih
baik sedikit tetapi di atas sunnah daripada beramal dengan bidah-bid’ah
walaupun sangat banyak dan besungguh-sungguh. Bahkan tidur dengan cara sunnah
lebih baik daripada bangun malam dengan cara bid’ah, sebagaimana dikatakan oleh
Abul Ahwash rahimahullah ketika berkata pada dirinya :
Wahai Sallam (nama
beliau), tidur di atas sunnah lebih baik daripada engkau bangun di atas bid’ah.
Demikian semoga Allah
menjaga kita dari ghuluw dan melampaui batas-batas sunnah dan memberikan taufiq
kepada kita dan seluruh kaum Muslimin kepada jalan yang lurus, beramal dengan
sunnah dan selamat dari bid’ah. Amin.
Oleh : Al Ustadz Muhammad Umar As Sewwed
Sumber: Majalah Islami Salafy Edisi VII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar