Bukan riwayat hidup
beliau yang akan saya tulis di sini. Sudah terlalu banyak orang yang
menuliskannya dengan indah, bahkan kadang berlebihan. Bukan pula perhitungan
amal dan perbandingan antara kebaikan dan kejelekan yang akan saya hisab karena
perhitungan akan hal tersebut akan Allah tegakkan di hari perhitungan kelak
dengan teliti dan akan Allah balas dengan seadil-adilnya.
Saya hanya menukilkan
nasihat untuk seluruh kaum Muslimin agar berhati-hati dari pemikiran Sayyid
Quthb yang berbahaya dan telah dituangkan kepada kaum Muslimin dengan berbagai
macam bahasa. Pemikiran beliau ini laku keras di pasaran karena kekaguman kaum
Muslimin kepada gerakan, keberanian, dan digantungnya beliau oleh tirani Mesir.
Sehingga ketika mereka mendengar peringatan Ahlus Sunnah dari bahaya permikiran
Sayyid Quthb, mereka tersentak kaget. Jantung mereka seakan berhenti sesaat.
”Seorang pejuang Islam yang mati syahid di tiang gantungan tirani Mesir
dikatakan sesat?” Seakan-akan orang yang mati di tiang gantungan tidak mungkin
memiliki penyelewangan dan bahaya pemikiran.
Maka untuk Allah
‘Azza wa Jalla, kemudian untuk kebaikan dan keselamatan manhaj kaum Muslimin
serta untuk kebaikan Sayyid Quthb sendiri, yaitu agar penyelewengan dan
kerancuan pemikirannya tidak diikuti oleh orang yang lebih banyak yang berarti
menambah dosa beliau, kami akan jelaskan beberapa pemikiran beliau yang sangat
berbahaya khususnya dalam masalah pengkafiran kaum Muslimin. Semoga dapat
bermanfaat bagi kita dan dapat berhati-hati darinya. Untuk membongkar kesesatan
pemikiran Sayyid Quthb, maka saya memakai kitab Adlwa’ Islamiyah ‘ala Aqidah
Sayyid Quthb oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidhahullah sebagai
rujukan utamanya.
KERANCUAN PEMAHAMAN
SAYYID QUTHB TERHADAP “LA ILAAHA ILLALLAH”
Pemikiran takfir
Sayyid Quthb merupakan akibat dari aqidah dan keyakinan yang salah terhadap
makna kalimat tauhid La Ilaaha Illallah. Dia menafsirkan kata ilah dengan
Al-Hakim (yang menghukumi). Penafsiran ini persis seperti pemikiran Abul A’la
Al Maududi yang ternyata mengambil pemahaman ini dari seorang ahli filsafat
barat, yaitu Haigle dalam bukunya Al Hukumah Al Kulliyah (Pemerintahan yang
Menyeluruh). Syaikh Nadzir Al Kasymiri (seorang ulama’ Salaf India) berkata :
”Syaikh Maududi menampilkan pemikiran filsafat barat dari buku Al Hukumah Al
Kulliyah dengan dibungkus pemikiran Islam.” (Adlwa’ Islamiyah hal. 59)
Sebagai contoh, kita
nukilkan di sini terjemahan ucapan Sayyid dalam bukunya Al Adalah Al
Ijtima’iyah (Keadilan Sosial) hal.182 cet.12 : ”Sesungguhnya perkara yang
meyakinkan dalam Dien ini adalah bahwasanya tidak akan tegak di hati ini aqidah
dan tidak pula dalam kehidupan dunia, kecuali dengan mempersaksikan bahwasanya
La ilaaha illallah, yaitu La hakimiyah illa lillah (tidak ada kehakiman kecuali
untuk Allah), hakimiyah yang berujud qadla dan qadar-Nya sebagaimana terwujud
dalam syariat dan perintah-Nya.
Demikian pula
ucapannya dalam menafsirkan surat Al Qashash : Huwallahulladzi la ilaaha
illahuwa. Dia berkata : ”Yaitu tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan dan
ikhtiar”. (Fi Zhilalil Qur’an 5/2707).
Bahkan lebih jelas
lagi dia berkata dalam tafsir surat An Nas bahwa Al Ilah adalah Al Musta’li, Al
Mustauli, Al Mutasallith (Fi Zhilalil Qur’an 6/4010) yang semuanya bermakna
kurang lebih sama yaitu ”Yang Menguasai”.
Demikian Sayyid
mempersempit makna illah hanya kepada rububiyah dan melalaikan makna yang
hakiki dari kata ilah yang mengandung makna uluhiyah yaitu “Yang Berhak untuk
diibadahi”. Penafsiran Sayyid ini jelas bertentangan dengan penafsiran para
ulama’ Ahlus Sunnah.
Ibnu Jarir berkata
dalam menafsirkan surat Al Qashash di atas : ”Allah yang Maha Tinggi
sebutannya, Rabb kamu – wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam – adalah
yang berhak untuk diibadahi yang tidak layak peribadatan itu diberikan kecuali
kepada-Nya dan tidak ada yang boleh diibadahi kecuali Dia”. (Tafsir Ath Thabari
20/102)
Demikian pula dalam
Tafsir Ibnu Katsir dikatakan : ”Yaitu yang menyendiri dengan uluhiyah dan tidak
ada yang berhak diibadahi selain Dia. Sebagaimana tidak ada penguasa yang
menciptakan apa yang dikehendakinya dan memilih sekehendaknya kecuali Dia”.
(Tafsir Ibnu Katsir 3/398)
Demikianlah para
ulama’ Ahlus Sunnah memahami kalimat tauhid seperti pemahaman para pendahulunya
dari kalangan salafus shalih, yaitu tidak ada yang berhak untuk diibadahi
kecuali Allah (uluhiyah) yang terkandung di dalamnya makna rububiyah dan asma’
wa sifat. Adapun pemahaman Sayyid bahwa al ilah adalah al hakim atau al
musta’li, al mustauli dan al mutasallith (penguasa), maka perlu dipertanyakan
dari mana dia mendapatkan pemahaman seperti ini. Siapa yang memahami demikian
dari kalangan shahabat atau para ulama’ Salaf?
Pemahaman ini jelas
menyimpang karena Ahlus Sunnah secara umum telah memahami bahwa tauhid
rububiyah (yaitu mengakui bahwa Allah Penguasa dan Pencipta telah diakui juga
oleh sebagian besar orang-orang musyrik jahiliyah).
Allah berfirman
tentang mereka :
"Katakanlah :
'Kepunyaan siapakah bumi ini dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’
Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah’, Katakanlah : ’Maka apakah kamu tidak
ingat?’ Katakanlah : ’Siapa pemilik langit yang tujuh dan Pemilik ‘Arsy yang
besar?’ Mereka akan menjawab : ’Kepunyaan Allah'. Katakanlah : ’Maka apakah
kamu tidak bertaqwa?’. Katakanlah : ’Siapakah yang ditangan-Nya berada
kekuasaan atas segala sesuatu sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang
dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?’. Mereka akan menjawab :
’Kepunyaan Allah’. Katakanlah : ’(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu
ditipu?’ " (Al Mukminun 84-89)
Lupakah Sayyid
tentang ayat-ayat Allah yang menjelaskan makna kalimat tauhid dengan tauhid
ibadah, mengesakan Allah dalam beribadah kepada-Nya dan tidak beribadah kepada
selain-Nya? Allah berfirman :
“Dan Kami tidak
mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya :
’Bahwasanya tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’
” (Al Anbiya 25)
Kita sama-sama
mengetahui betapa luasnya makna ibadah yang mencakup keyakinan, kecintaan,
ketaatan, pengabdian, pengagungan, ketundukan, kekhusyu’an, ketakutan, harapan
dan juga mencakup amalan badan seperti sujud, ruku’, thawaf, doa, istighatsah,
isti’anah serta mencakup puji-pujian lisan seperti tashbih, tahmid, tahlil,
takbir dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh hamba karena rasa butuh hamba
kepada Allah dalam rangka menghambakan diri dan beribadah kepada Allah. Tidak
diberikan jenis-jenis peribadatan ini kecuali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Anehnya Sayyid Quthb
membawa nama arab dan bahasa arab dalam “pemahamannya” itu. Dia berkata : ”...
bahwasanya mereka (orang-orang arab) dahulu telah mengetahui dengan bahasa
mereka apa itu makna ilah dan makna laa ilaah illallah … . Mereka mengetahui
bahwa uluhiyah adalah hakimiyah yang paling tinggi (Fi Zhilal 2/1005)
Dia juga berkata
dalam halaman berikutnya : ”Laa Ilaaha Illallah sebagaimana dipahamai oleh
orang arab yang mengerti apa-apa yang ditunjukkan oleh bahasanya yaitu : Tidak
ada hakimiyah kecuali dari Allah serta tidak ada syariat kecuali dari Allah
serta tidak ada kekuasaan seseorang atas seseorang karena kekuasaan seluruhnya
milik Allah” (Fi Zhilal 2/1006).
Syaikh Rabi’ dalam
membantah ucapan ini berkata : ”Sesungguhnya apa yang dinisbahkan oleh Sayyid
kepada bahasa arab yaitu tentang makna uluhiyah adalah hakimiyah, tidak dikenal
oleh orang arab dan tidak pula dikenal oleh pakar-pakar bahasa arab ataupun
selain mereka. Bahkan al ilah menurut orang arab adalah al ma’nud (yang
diibadahi) yang para hamba mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah disertai
ketundukan, penghinaan diri, kecintaan dan ketakutan, … . Bukan bermakna
sesuatu yang mereka berhukum kepadanya”. (Adlwa’ Islamiyah hal. 63)
Orang-orang arab
jahiliyah dahulu memiliki tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin yang mereka
berhukum kepadanya, tetapi mereka tidak menamakannya Ilah (sesembahan). Bahkan
sebaliknya, mereka memiliki berhala-berhala yang mereka namakan Ilah-Ilah.
Seperti Latta yang berbentuk kuburan. Uzza yang berbentuk tempat keramat, serta
patung-patung lainnya yang mereka bertawasul, berkurban dan beribadah padanya,
tetapi mereka tidak mereka menamakan perbuatan mereka dengan berhukum,
bertahkim atau hakimiyah.
Demikian pula dimasa
mereka terdapat raja-raja di timur dan di barat, tapi mereka tidak menamakannya
dengan ilah.
Ingat! Yang kita
bantah disini bukan kewajiban bertahkim pada Allah, melainkan pemahaman sempit
Sayyid Qutb yang mengatasnamakan bahasa arab dan orang-orang arab. Padahal sama
sekali tidak dikenal dalam bahasa arab bahwa makna ilah adalah hakim.
KABURNYA PEMAHAMAN
SAYYID TERHADAP RUBUBIYYAH DAN ULUHIYYAH
Kadang-kadang Sayyid
menafsirkan makna uluhiyyah dengan rububiyyah. Terkadang pula sebaliknya.
Sayyid berkata dalam tafsir surat Ibrahim 52 : “Makna Al Ilah adalah Dzat yang
berhak menjadi rabb yaitu yang menghakimi, yang memiliki, yang berbuat, yang
membuat syari’at dan yang mengarahkan. (Fi Zhilalil Qur’an : 4/2114)
Bahkan dia berkata
bahwa pertikaian antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum
musyrikin jahiliyyah adalah dalam masalah rububiyyah. Berbeda dengan apa yang
disampaikan oleh seluruh ulama’ Ahlussunnah. Dia mengatakan : ”Perkara
uluhiyyah sedikit sekali menjadi bahan pertikaian pada kebanyakan orang-orang
jahiliyyah, khususnya jahiliyyah arab. Hanya saja yang menjadi bahan pertikaian
adalah masalah rububiyyah. Yaitu masalah penerapan dien pada kehidupan dunia
ini, berupa amal nyata yang mempengaruhi kehidupan manusia.” (Fi Zhilal)
Dari ucapan ini
terlihat bahwa Sayyid tidak dapat membedakan antara uluhiyyah dan rububiyyah.
Kemudian apakah akibat dari kerancuan pemahaman Sayyid terhadap Rububiyyah dan
Uluhiyyah dan sempitanya pandangan Sayyid terhadap Laa ilaaha illallah ini?
PENGKAFIRAN SAYYID
TERHADAP KAUM MUSLIMIN
Akibatnya sungguh
mengerikan! Dia mengkafirkan seluruh kaum muslimin dan umat islam secara
tersirat dan tersurat dan meremehkan kesyirikan dalam masalah ibadah.
Perhatikanlah ucapannya : ”Termasuk dalam ruang lingkup masyarakat jahiliyah
adalah masyarakat yang mengaku dirinya muslim. Masyarakat tersebut masuk
kedalam lingkungan ini bukan karena meyakini uluhiyah kepada selain Allah dan
tidak pula menghadapkan syiar-syiar ibadah kepada selain Allah, tetapi mereka
masuk ke dalam masyarakat jahiliyah ini karena tidak beragama dengan
‘peribadatan’ pada Allah dalam undang-undang kehidupan mereka. Maka yang
demikian walaupun mereka tidak meyakini uluhiyyah seorangpun kecuali Allah
tetapi mereka telah memberikan yang paling istimewa dari keistimewaan-
keistimewaan ketuhanan pada selain Allah dan beragama dengan hakimiyah pada
selain Allah.” (Fi Zhilal)
Tampak dari ucapannya
bahwa masyarakat Islam hanya pengakuan, padahal sebenarnya mereka adalah
masyarakat jahiliyah. Terkesan pula bahwa memberikan syiar-syiar kepada selain
Allah adalah masalah sepele, bahkan sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Rabi’
bahwa hampir pada semua tulisan Sayyid dalam tafsir Fii Zhilalil Qur’an dan
yang lainnya tidak memperdulikan para penyembah kubur, orang-orang yang
melampaui batas dalam terhadap ahlul bait dan para wali, serta orang-orang yang
memberikan sifat-sifat uluhiyyah dan ubudiyyah kepada mereka. Dia tidak
menghukumi manusia kecuali dengan penyelisihannya terhadap hakimiyyah. Dan
penafsiran Sayyid terhadap Laa ilaaha illallah tidak keluar dari hakimiyyah,
kekuasaan, dan kepemimpinan semata.
Juga ucapan Sayyid
ketika menafsirkan surat Yusuf 106 :
”Tidaklah kebanyakan
mereka beriman pada Allah kecuali dalam keadaan musyrik.” (Surat Yusuf 106)
Setelah Sayyid
menyebutkan syirik yang samar dia mengatakan : ”Dan di sana ada syirik yang
tampak jelas yaitu tunduk kepada selain Allah dalam salah satu urusan kehidupan
dan tunduk kepada aturan syari’at yang dijadikan oleh manusia sebagai hukum.
Hal ini merupakan asas dalam kesyirikan yang tidak bisa dibantah. Demikian pula
tunduk kepada adat-adat kebiasaan seperti mengadakan perayaan-perayaan, musim-musim
yang diatur oleh manusia padahal tidak disyariatkan oleh Allah, tunduk pada
aturan pakaian yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah untuk
ditutupi dan membuka aurat-aurat yang syariat Allah telah menetapkan untuk
ditutupi[1]. Urusan seperti ini lebih dari sekedar pelanggaran dan dosa
penyelisihan syariat, karena urusan itu merupakan ketaatan dan ketundukan pada
pemahaman yang umum pada masyarakat berupa ciptaan hamba dan meninggalkan
perkara yang jelas yang muncul dari penguasa para hamba. Sesungguhnya ketika
itu bukan lagi dia sebagai dosa melainkan pensyariatan karena yang demikian
merupakan ketundukan pada selain Allah dalam perkara yang menyelisihi perintah
Allah.” (Fi Zhilalil Qur’an 4/2023)
Dalam ucapan Sayyid
diatas terdapat dua bahaya besar. Pertama, pengkafiran kaum muslimin karena
dosa-dosa seperti mengikuti adat kebiasaan, berpakaian yang menyelisihi
syari’at dan lain-lain. Kedua, penafsiran Al Qur’an tidak seperti apa yang
dikehendaki Allah khususnya dalam masalah kesyirikan.Hal ini terjadi karena
Sayyid bersikap ghuluw pada masalah hakimiyah sampai-sampai dia berkata :
“Sesungguhnya kesyirikan mereka ( jahiliyah) yang asasi bukan dalam keyakinan
tapi dalam masalah hakimiyah” (Fi Zhilal : 3/1492)
Sungguh aneh
pemahaman Sayyid ini. Bagaimana kira-kira dia menghukumi raja Najasyi yang
masuk islam dengan keyakinannya dan belum sempat mempraktekkan hukum-hukum
islam dan belum menerapkan Al Hakimiyah di negaranya? Kalau menurut pemahaman
Sayyid berarti dia tetap kafir karena menurutnya kesyirikan hakiki adalah pada
penerapan hakimiyah dan bukan pada masalah keyakinan!
Adapun pemahaman
Ahlus Sunnah adalah pemahaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau
bersabda kepada para shahabat ketika mendengar raja Najasyi meninggal :
“Telah meninggal hari
ini seorang yang shalih dari habasyah. Marilah kemari ! Shalatkanlah dia!"
(HR. Bukhari dengan Fathul Bari 3/1320)
Bagaimanakah pendapat
anda kalau raja Najasyi menerapkan hakimiyah tetapi tidak meyakini aqidah
tauhid den beribadah kepada kuburan-kuburan? Apakah Rasulullah akan menganggap
dia sebagai muslim?!
ANGGAPAN SAYYID BAHWA
UMAT ISLAM TELAH LENYAP
Saudarakau kaum
muslimin, sesungguhnya Sayyid Quthb tidak menganggap keberadaan kita sebagai
kaum Muslimin. Dia menganggap umat Islam telah lenyap dengan lenyapnya
kekhilafahan! Lihatlah dia berkata dalam bukunya Hadlirul Islam wa Mustaqbaluh
(Islam kini dan Esok) : ”Kami mengajak untuk mengembalikan kehidupan Islami
dalam masyarakat yang Islami dengan hukum aqidah Islam dan pandangan yang
Islami, sebagaimana dihukumi pula oleh syariat Islam dan aturan yang Islami.
Kita telah mengetahui bahwa kehidupan Islam seperti ini telah berhenti sejak
lama di seluruh permukaan bumi. Dan keberadaan Islam pun telah berhenti … .”
Tenang sebentar!
Jangan tergesa-gesa menafsirkan dengan tafsiran pembelaan, karena Sayyid akan
berkata lebih jelas lagi, yaitu : ” … kami menampakkan kenyataan yang terakhir
ini walaupun akan menyebabkan munculnya benturan keras dan keputus asaan dari orang-orang
yang masih tetap menginginkan untuk menjadi Muslimin.”
Lihat dia menyebut
kaum Muslimin dengan ungkapan : ”Orang-orang yang ingin menjadi Muslimin”!
Ucapan yang hampir
sama ia ucapkan pula dalam bukunya Al Adalah Al Ijtima’iyah, setelah dia membawakan
ayat-ayat tentang hakimiyah : ”Ketika kita memperhatikan seluruh permukaan hari
ini, di bawah cahaya ketetapan Ilahi terhadap pemahaman dien ini, kita tidak
mendapatkan keberadaaan dien ini … sesungguhnya keberadaan dien ini telah
lenyap sejak kelompok terakhir dari kaum Muslimin melepaskan pengesaan Allah
dalam Hakimiyah dalam kehidupan manusia. Yang demikian adalah ketika mereka
meninggalkan berhukum dengan syari’at Allah semata dalam segala aspek
kehidupan. Kita harus mengakui kenyataan pahit ini dan harus menampakkanya.
Janganlah kita khawatir munculnya “putus harapan” dalam hati-hati kebanyakan
orang-orang yang suka untuk menjadi Muslimin. Mereka seharusnya meyakini
bagaimana mereka dapat menjadi muslimin. Sesungguhnya musuh-musuh dien ini telah
menjalankan usaha sejak beberapa abad dan masih tetap melaksanakan usaha-usaha
maksimal yang menipu dan jahat untuk merampas kehendak kebanyakan orang yang
ingin menjadi Muslimin?” (Al Adalah Al Ijtima’iyah hal. 183-184)
Di sini terlihat
pemikiran-pemikiran Sayyid yang berbahaya di aataranya anggapan beliau bahwa :
1. Kehidupan Islam telah tiada
2. Bahkan wujud Islam telah berhenti
3. Anggapan bahwa kaum muslimin adalah
orang-orang kafir jahiliyah yang menginginkan Islam
4. Inti Islam yang hakiki adalah tauhid
hakimiyah
5. Dia mengharuskan dan menegaskan untuk
mengumumkan pengkafiran umat Islam
Adakah pengkafiran
yang lebih jelas daripada pengkafiran Sayyid Quthb ini?! Mana yang dinamakan
pengkafiran kalau ucapan seperti ini tidak dinamakan pengkafiran? Perhatikanlah
wahai orang-orang yang memiliki pandangan!
UMAT ISLAM TELAH
MURTAD DAN ADZAB BAGI MEREKA LEBIH KERAS DARI PADA ORANG KAFIR LAINNYA
Sayyid Quthb berkata
: ”Telah bergeser jaman, kembali seperti keadaan pada hari datangnya dien ini
kepada manusia (yaitu masa jahiliyah). Telah murtad manusia menuju peribadatan
kepada hamba-hamba dan menuju kerusakan agama-agama. Mereka telah berpaling
dari Laa Ilaaha Illallah, walaupun sekelompok dari mereka masih tetap
mengumandangkan di menara-menara adzan Laa Ilaaha Illallah tanpa memahami
maksudnya, tanpa mengerti apa konsekwensinya, padahal dia mengulang-ulangnya.
Juga tanpa menolak pensyariatan hakimiyah yang diaku oleh para hamba untuk
diri-diri mereka. Hal ini sama dengan penuhanan (uluhiyah). Sama saja, apakah
diaku oleh pribadi-pribadi atau kelompok pensyariatan ataupun oleh masyarakat…”
(fi Zhilalil Qur’an 2/1057)
Bahkan lebih kejam
lagi dia berkata : ”… yaitu kemanusiaan seluruhnya, termasuk di dalamnya mereka
yang mengulang-ulang di menara-menara adzan di timur atau di barat bumi ini
kalimat Laa Ilaaha Illallah tanpa maksud dan tanpa kenyataan. Mereka paling
berat dosanya dan paling keras adzabnya karena mereka telah murtad kepada
peribadatan para hamba setelah jelas baginya petunjuk dan karena mereka
sebelumnya berada dalam dien Allah”. (Fi Zhilalil Qur’an 2/1057)
Lihatlah betapa
beraninya Sayyid mengkafirkan kaum Muslimin dan menganggap mereka orang-orang
murtad yang paling keras adzabnya. Padahal mereka masih mengumandangkan adzan
dan masih shalat. Lantas apa anggapan dia tentang peribadatan mereka di
masjid-masjid?
MASJID MENURUT SAYYID
ADALAH TEMPAT PERIBADATAN JAHILIYAH
Bertolak dari
pengkafiran dia terhadap masyarakat Islam, maka Sayyid menganggap masjid-masjid
mereka sebagai tempat-tempat peribadatan jahiliyah. Dia berkata ketika
menafsirkan ucapan Allah dalam surat Yunus 87 :
“Dan Kami wahyukan
kepada Musa dan saudaranya : ’Ambillah olehmu berdua beberapa rumah di Mesir
untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat
sembahyang dan dirikanlah olehmu sembahyang serta gembirakanlah orang-orang
yang beriman.' ” (Surat Yunus 87)
Dia berkata : "
… inilah pengalaman yang Allah tunjukkan kepada kelompok Mukmin agar menjadi
teladan. Bukan khusus bagi Bani Israil. Tapi ini adalah pengalaman iman yang
murni. Kadang-kadang orang-orang beriman mendapati diri-diri mereka terusir
pada suatu hari dari masyarakat jahiliyah, ketika fitnah telah merata, thoghut
telah bertambah sombong dan manusia telah rusak, serta lingkungan telah
membusuk. Demikian pula keadaan di jaman Fir'aun pada masa ini. Di sini Allah
mengarahkan kita pada beberapa perkara :
1. Memisahkan diri dari masyarakat jahiliyah,
busuknya, rusaknya, dan kejelekannya sebisa mungkin. Dan mengumpulkan 'kelompok
mukmin' yang baik dan bersih dirinya untuk mensucikan, membersihkan, dan
melatih serta menyusun mereka hingga datang janji Allah untuk mereka.
2. Menghindari tempat-tempat peribadatan
jahiliyah dan menjadikan rumah-rumah 'kelompok Muslim' sebagai masjid yang di
sana mereka dapat merasakan keterpisahan mereka dari masyarakat jahiliyah.
Kemudian di sana mereka melangsungkan peribadatan kepada Rabb mereka dengan
cara yang benar. Dan melanjutkan dengan ibadah tersebut menuju semacam
keteraturan (tandhim) dalam lingkungan suasana ibadahyang suci. (Fi Zhilalil
Qur'an 3/1816) "
Apa yang akan terjadi
kalau dakwah Sayyid seperti ini dibiarkan ? Jelas penafsiran yang bathil ini akan
mengakibatkan ditinggalkannya masjid-masjid dan munculnya Neo Khawarij dengan
gaya baru yang memisahkan diri dari masyarakat Islam dan mengkafirkan mereka.
Kemudian siapa yang dimaksud 'kelompok Mukmin', 'kelompok Muslim' dalam
masyarakat jahiliyah ini? Tentu pembaca dapat menebak dengan melihat aqidah dan
pemikiran Sayyid yang telah dijelaskan. Ya tentunya yang dia maksud adalah
dirinya dan orang-orang yang mengikuti pemikirannya.
JALAN KELUAR MENURUT
SAYYID
Islam telah lenyap,
Muslimin telah murtad, masyarakat Muslimin telah kembali menjadi jahiliyah.
Masjid-masjid telah menjadi tempat-tempat peribadatan jahiliyah … . Lalu apa
yang harus kita perbuat? Dan bagaimana jalan keluar bagi yang ingin menjadi
'kelompok muslim'? Dengarlah apa kata Sayyid Quthb berkenaan dengan pertanyaan
ini : "Sesungguhnya tidak ada keselamatan bagi 'kelompok Muslim' di
seluruh dunia dari adzab yang Allah sebutkan :
" … atau Dia
mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan
merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain…" (Al An'am
65)
Kecuali jika mereka
memisahkan keyakinan, perasaan dan juga prinsip hidup mereka dari masyarakat
jahiliyah dan memisahkan diri dari kaumnya. Hingga Allah mengijinkan bagi
mereka untuk mendirikan negara Islam yang mereka berpegang padanya. Kalau
tidak, maka hendaknya mereka merasakan seluruh perasaannya bahwa mereka
sendirilah umat Islam dan merasakan bahwa apa dan siapa yang disekelilingnya
yang tidak masuk kepada apa yang mereka masuki adalah jahiliyah dan masyarakat
jahiliyah … ." (Fi Zhilalil Qur'an 2/1125)
Inilah jalan keluar
menurut Sayyid, yaitu dengan menjadi khawarij, mengkafirkan dan memisahkan diri
dari umat Islam! Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Tidakkah Sayyid melihat
dakwah Ahlus Sunnah dan para ulama'nya di jazirah Arab, Yaman, India atau yang
lainnya? Tidakkah dia melihat perjuangan dakwah mereka dalam memurnikan ajaran
Islam? Bahkan apakah Sayyid tidak melihat di sampingnya seorang ulama' yang
berjuang membela tauhid dan sunnah, yaitu Syaikh Muhibbun Al Khatib
rahimahullah?!
PEMIKIRAN TAKFIR
SAYYID DIAKUI TOKOH-TOKOH IKHWAN (IM) SENDIRI
Sesungguhnya
pemikiran takfir Sayyid Quthb tidak mungkin dipungkiri lagi. Bahkan telah
diakui pula oleh beberapa tokoh Ikhwanul Muslimin sendiri. Berikut ini kita
dengar beberapa ucapan mereka :
1.
Berkata Yusuf Al Qardlawi dalam bukunya
Awliyat Al Harakah Al Islamiyah : "Dalam fase ini muncul buku-buku 'Asy
Syahid' Sayyid Quthb yang merupakan fase terakhir dari pemikirannya yang
mengkafirkan masyarakat (Islam) dan menunda dakwah sampai kepada keteraturan
Islam dengan pembaharuan fiqh dan perkembangannya. Menghidupkan ijtihad serta
mengajak untuk memisahkan diri secara perasaan dari masyarakat, memutus
hubungan dengan orang lain, mengumumkan jihad fisik melawan seluruh manusia …
" (Awliyat hal. 110)
2.
Berkata Farid Abdul Khaliq, salah seorang
tokoh besar IM dalam kitabnya Ikhwanul Muslimin fi Mizanil Haq hal. 115:
"Kita mengetahui dari apa yang telah lewat bahwa munculnya pemikiran
takfir di kalangan Ikhwan bermula dari penjara Qanathir di akhir tahun lima
puluhan dan awal enam puluhan. Mereka terpengaruh oleh Sayyid Quthb dan
pemikiran-pemikirannya. Mereka mengambil pemahaman darinya bahwa masyarakat ini
dalam keadaan jahiliyah dan bahwasanya dia telah mengkafirkan pemerintah yang
merasa asing dengan apa yang diturunkan Allah. Juga mengkafirkan rakyatnya
karena mereka ridla dengan hal itu".
3.
Berkata Ali Gharishah, salah seorang
tokoh besar IM, sebagai berikut : "Dalam kejadian ini, terpecah satu
kelompok dari kelompok Islam yang besar ketika keberadaan mereka di
penjara-penjara ... bersamaan dengan itu kelompok tersebut bertameng dengan
pengkafiran kelompok Islam yang besar. Mereka masih tetap dalam pendapatnya
tentang pengkafiran pemerintah, penolong-penolongnya serta masyarakat
seluruhnya. Kemudian kelompok tersebut berpecah kembali menjadi beberapa
kelompok, yang masing-masing mengkafirkan yang lain … ." (Al Ittijahat Al
Fikriyah Al Mu'ashirah hal. 279)
Ucapan-ucapan mereka
ini menunjukkan bahwa pemikiran takfir Sayyid Quthb telah dikenal oleh kawan
dan lawannya. Hanya saja ketika bantahan itu dari 'kawan' satu harakah, selalu
diiringi dengan basa-basi atau penyamaran agar tidak terlihat seakan-akan
permasalahan ini adalah permasalahan besar. Seperti Al Qardlawi setelah ucapannya
di atas, dia berkata : " ... Dan buku-buku beliau tersebut memiliki
keutamaan-keutamaan dan pengaruh-pengaruh positif yang besar di samping
pengaruh-pengaruh negatif." (Awliyat hal. 110)
Atau seperti ucapan
Ali Gharishah yang tidak menyebutkan siapa atau buku apa atau jama'ah apa, dia
hanya mengatakan 'kelompok kecil' dan 'kelompok besar'.
Saudara-saudaraku
kaum Muslimin, bisa jadi sikap basa-basi dan penyamaran yang menyebabkan terasa
kecilnya bahaya-bahaya besar ini adalah karena mereka satu hizb. Mereka menjaga
persatuan dan kesatuan hizbnya dengan prinsip mereka yang terkenal : 'KITA
SALING TOLONG MENOLONG ATAS APA YANG KITA SEPAKATI DAN SALING TOLERANSI ATAS
APA YANG KITA BERBEDA'. Kalau begitu bagaimana dengan saudara-saudara kita yang
mengaku sebagai Ahlus Sunnah, Salafiyyah tetapi memiliki prinsip yang sama
dengan mereka?
SIKAP SAYYID TERHADAP
'UTSMAN BIN 'AFFAN RADLIALLAHU 'ANHU
Ikhwani fiddin
a'azzakumullah, sesungguhnya pemikiran takfr Sayyid Quthb bukan permasalahn
sepele. Sikap pengkafiran seluruh manusia karena dosa-dosa sungguh sangat
berbahaya. Tidakkah kita mendengar bagaimana Ali bin Abi Thalib menyikapi
khawarij, kemudian memerangi mereka? Tidakkah kita mendengar ucapan beberapa
shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka sejelek-jelek
makhluk? Pemikiran Sayyid yang berbahaya ini juga mengakibatkan celaan dan
tuduhan kepada para shahabat Nabi seperti para pendahulunya dari kalangan
khawarij dan syi'ah, khususnya terhadap 'Utsman bin 'Affan dan Mu'awiyah radliallahu
'anhuma. Sayyid Quthb tidak mengakui keberadaan khilafah 'Utsman radliallahu
'anhu, padahal masa kekhilafahannya paling panjang. Dia berkata : "Kami
condong kepada anggapan bahwa khilafah Ali radliallahu 'anhu adalah kelanjutan
dari khilafah dua syaikh sebelumnya (Abu Bakar dan 'Umar bin Khaththab). Adapun
masa 'Utsman merupakan celah antara keduanya." (Al Adalah hal. 206).
Mengapa? Hal ini setelah Sayyid mengatakan pada halaman sebelumnya tentang
'Utsman sebagai berikut : "Sesungguhnya diantara kejelekan yang muncul
adalah bahwa 'Utsman mencapai khilafah dalam keadaan tua, telah lemah semangat
Islamnya dan lemah keinginannya untuk tetap tegar menghadapi tipu daya Marwan
dan tipu daya Bani Umayyah di dalamnya." (Al Adalah (dalam terbitan
Pustaka Salman) hal. 270)
Bahkan dengan
terang-terangan dia meragukan ruh Islam yang ada pada 'Utsman, yaitu setelah
Sayyid menyebutkan cerita-cerita tentang 'Utsman yang membagi-bagikan harta
pada keluarga dan kerabatnya (korupsi). Juga setelah menceritakan bahwa 'Utsman
mengangkat gubernur-gubernurnya dari keluarganya sendiri, seperti Mu'awiyah dan
Al Hakam radliallahu 'anhuma dan selainnya. Kemudian dia berkata : " … Dan
bahwasanya para shahabat mengetahui penyelewengan dalam ruh Islam ini. Khalifah
dengan ketuaan dan kepikunannnya tidak dapat memegang urusannya dari Marwan.
Sesungguhnya sangat susah meragukan ruh Islam di dalam hati 'Utsman. Tetapi
juga sangat sulit memaafkan kesalahan-kesalahannya yang merupakan kesalahan
fatal mengenai wilayah dan khilafahnya. Sedangkan dia seorang seorang tua renta
yang dikelilingi oleh jajaran orang-orang jelek dari Bani Umayyah … ." (Al
Adalah hal. 187, cet. kelima dan secara makna pada cet. ke-12 hal. 159, dan
dalam terjemahan Pustaka Salman hal. 272)
Sebaliknya Sayyid
Quthb justru memuji dan membela para pemberontak yang membunuh 'Utsman. Dia
berkata : " … akhirnya, terjadilah pemberontakan atas'Utsman. Tercampur
padanya kebenaran dan kebatilan, kebaikan dan kejelekan.Tetapi bagi yang
memandang ini dengan 'kaca mata Islam' dan merasakan urusan ini dengan 'ruh
Islam', pasti dia akan menetapkan bahwa pemberontakan tersebut secara keumuman
lebih dekat kepada 'ruh Islam' dan arahannya daripada sikap 'Utsman atau lebih
tepatnya sikap Marwan dan orang-orang yang di belakangnya dari Bani
Umayyah." (Al Adalah hal.189 cet. ke-5 dan hal. 161, 162 cet. ke-12 dengan
beberapa perubahan tetapi intinya sama, hanya
pada cetakan terakhir
ini dia menyebut bahwa hal itu karena pengaruh tipu daya Ibnu Saba' dan dalam
terjemahannya hal. 275)
Seharusnya dia
mengucapkan : "Barangsiapa memandang dengan kacamata saya dan merasakan
dengan ruh saya … ." Karena kesimpulan dan pandangan seperti itu sama
sekali bukan dari Islam. Adapun pandangan Sayyid adalah pandangan Syi'ah,
Khawarij dan Ahli Bid'ah!
Semoga Allah
menyelamatkan kaum Muslimin dari penyelewengannya dan membuka mata kaum
hizbiyyah agar melihat bahayanya serta menghilangkan sikap fanatik mereka
padanya. Amin.
______________________________
[1] Lantas bagaimana
dia menghukumi dirinya, dia mengikuti kebiasaan orang-orang kafir Barat dengan
memotong habis jenggotnya dan memakai jas dan berdasi?
Oleh : Al Ustadz Muhammad Umar As Sewwed
[ Dari Majalah Ilmiah Salafy, Edisi XVI/Dzulhijjah/1417 H/1997 M ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar