Idul
Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari
yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya
hadiah, dan lainnya. Ada
lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang
kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan
perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai
aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau
untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“memaknainya”.
Idul
Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri
merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha.
Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia
dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai
bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas
dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.
Bagaimana
masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai?
Secara
lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai
rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya
belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana
yang dimaukan syariat.
Bila
Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma”
Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan
kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak
yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas
lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri,
belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk
mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan.
Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang
tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan
syariat.
Demikian
pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang
selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus
menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena
baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik
karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan
saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih
mudah.
Berikut
ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.
Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu
A’rabi mengatakan: “Id1) dinamakan demikian
karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu
Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa
perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.”
(dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id
dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ
فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا
نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا
مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari
Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan
orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan)
dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami
masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik
dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no.
1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Hukum
Shalat Id
Ibnu
Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat
tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan
Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dianjurkan,
seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat
Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu
kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya
berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini
yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari
madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap
orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam
Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki
kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri
shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari
Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang
terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan
dalil berikut:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ:
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ
الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ
وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ:
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Dari
Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul
Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang
dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan
kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang
dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya
meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim
Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah
perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat,
sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap
harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di
antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id
menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan
sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.”
(Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih
rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah,
hal. 344)
Wajibkah
Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah
pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya:
Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang
bepergian)?
Beliau
kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan,
disyaratkan mukim. Ada
yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu
beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama.
Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain
umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau,
serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun
menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…”
(Majmu’ Fatawa, 24/177-178)
Mandi
Sebelum Melakukan Shalat Id
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
“Dari
Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari
Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam
Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam
atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu
tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia
menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu ‘anhu
berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR.
Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))
Memakai
Wewangian
عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Dari
Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di
hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)
Memakai
Pakaian yang Bagus
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
Dari
Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di
pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Umar
radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan
pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak
akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab
Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu
Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya
dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)
Makan
Sebelum Berangkat Shalat Id
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Dari
Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum
beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata
kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam
jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain
Qablal Khuruj)
Ibnu
Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri
sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas
radhiallahu ‘anhuma.”
Di
antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a.
Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai
mereka pulang.
b.
Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c.
Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga
makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha,
yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)
Bertakbir
Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Adalah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu
beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat.
Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri,
diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan
syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)
Asy-Syaikh
Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang
diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju
tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah
(ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu
terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu
untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan
ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak
disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian
manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)
Lafadz
Takbir
Tentang
hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa
lafadz.
Asy-Syaikh
Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu
Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ
أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ
أَكْبَرُ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Bahwa
beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(HR.
Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun
Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama
dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan
Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali
takbir.
Dalam
salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ
الْحَمْدُ
(Lihat
Irwa`ul Ghalil, 3/125)
Tempat
Shalat Id
Banyak
ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla.
Mushalla
yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid,
sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى
الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ
وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ
بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ
سُنَّتَنَا
Dari
Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu
shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan:
‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu
kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu
berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain
Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)
Ibnu
Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud
adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau
shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu
meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan
sanadnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah
sampai di lima
tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk
pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat
itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ
قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ
يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ
يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ
وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ
وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ
يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Dari
Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul
Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah
shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka
duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada
mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu
utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau
perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab
Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu
Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang
telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000
hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang
bawaan mereka.”
Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur
masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil
Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)
Waktu Pelaksanaan Shalatيَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ
“Yazid
bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau
Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu
telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR.
Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu
Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab
Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang
dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu
adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat
yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu
Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat
bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika
terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat
sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun
sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit
matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam
Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah
satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun
yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab:
“Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan
sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila
matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum
keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah
lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Apakah
Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Pertama, bahwa keduanya dilakukan
dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk
diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah
pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim,
dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambatkan
Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan
semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari
dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari
karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya,
dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan
untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka
semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk
menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab,
6/105-106)
Tanpa
Adzan dan Iqamah
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
Dari
Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni
Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa
iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ
Dari
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya
berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya
kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin
Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri
ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak
ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu
Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu
‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana
dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam
Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal
dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan
Shalat Kusuf (gerhana).
Namun
pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari
Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah).
Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki
perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar
sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan
orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari,
karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak
sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau
suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah
bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu
Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat
shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu
Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari
(panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)
Kaifiyah
(Tata Cara) Shalat Id
Shalat
Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain.
Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang
pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain
takbiratul intiqal.
Adapun
takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’,
sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى
سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ
“Dari
Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali
dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab
At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada
rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud
menuju berdiri)?
Ibnu
Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul
intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama,
apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam
hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik,
Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma
bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud,
4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam
Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234
cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Nampaknya
yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat
yang mendukungnya, yaitu:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ
أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً،
سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ
الصَّلاَةِ
“Dari
‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang
pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz
Ath-Thahawi)
Adapun
lafadz Ad-Daruquthni:
سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ
“Selain
takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet.
Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam
sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin
Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad,
‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh
At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim
Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun
bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan
sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama
“Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat
Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat
Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)
Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat
tangan.Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat
tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak
ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.
Kapan
Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam
Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum
takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul
‘Ainain hal. 149)
Khutbah Id
Dahulu
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ
الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ
كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Dari
Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr,
‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR
Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)
Dalam
berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia
tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk
banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah
kaum wanita.
Jamaah
Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ
قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ
أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ
يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Dari
‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id,
maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah,
barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan
barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan
An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud,
no. 1155)
Namun
alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk
bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dengan agama dan
Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi
ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah
di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.
Wanita
yang Haid
Wanita
yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh
melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh
dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.
Sutrah
Bagi Imam
Sutrah
adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan
di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1
hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang
yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat
dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat
sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan
makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya,
marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ
أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي
إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ
فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ
“Dari
Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila keluar
pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan
di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya.
Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan
melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam
Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id.
Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Bila
Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam
Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id
maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan
desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah
‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana
dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i
dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul
Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)
Pulang
dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
Ibnu
Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila
pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya.
Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan
seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
Dari
Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan
bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.”
Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat
Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa
yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ
هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا
مُجَمِّعُوْنَ
Dari
Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata:
“Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak,
(Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap
melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu
Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut
Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam
agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat
Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang
diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu
beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ucapan
Selamat Saat Hari Raya
Ibnu
Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang
hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para
shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian
mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا
وَمِنْكَ
“Semoga
Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam
Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari
karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.
Catatan Kaki:
1)
‘Id artinya kembali.
2) Karena Nabi tidak memberi
contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan
itu tanpa disengaja.
Oleh: Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=373
Tidak ada komentar:
Posting Komentar