Tanya : Bagaimana hukumnya sandiwara
(sinetron, film, red) ?
Jawab : Sandiwara, saya katakan tidak boleh karena:
Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang(tertawa). Di dalamnya mengandung unsur
menyia-nyiakan waktu. Orang Islam akan dimintai
pertanggungjawabannya terhadap waktunya. Dia dituntut untuk memelihara dan
mengambil faedah dari waktunya, untuk mengamalkan apa-apa yang diridhai oleh
Allah Ta'ala, sehingga manfaatnya kembali kepadanya baik di dunia maupun di
akhirat. Sebagaimana hadits Abu Barzah Al-Aslamy, dia berkata,'Telah bersabda
Rasulullah, "Tidak bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat
sehingga ditanya tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. tentang hartanya
darimana dia dapatkan, dan untuk apa dia infakkan. tentang badannya untuk apa
dia kerahkan. " [Dikeluarkan Imam At Tirmidzi (2417) dan dia
menshahihkannya] Jawab : Sandiwara, saya katakan tidak boleh karena:
Pertama: Di dalamnya melalaikan orang yang hadir, mereka memperhatikan gerakan-gerakan pemain sandiwara dan mereka senang(tertawa). Di dalamnya mengandung unsur
Umumnya sandiwara itu dusta. Bisa jadi memberi pengaruh bagi orang yang hadir dan menyaksikan atau memikat perhatian mereka atau bahkan membuat mereka tertawa. Itu bagian dari cerita-cerita khayalan. Sungguh telah ada ancaman dari Rasulullah bagi orang yang berdusta untuk menertawakan manusia dengan ancaman yang keras. Yakni dari Muawiyah bin Haidah bahwasanya Rasulullah bersabda,
"Celaka bagi orang-orang yang berbicara(mengabarkan) sedangkan dia dusta (dalam pembicaraannya) supaya suatu kaum tertawa maka celakalah bagi dia, celakalah bagi dia."[Hadits hasan dikeluarkan oleh Hakim(I/46), Ahmad(V/35) dan At-Tirmidzi(2315).]
Mengiringi hadits ini Syaikh Islam berkata,'Dan sungguh Ibnu Mas'ud berkata,
"Sesungguhnya dusta itu tidak benar baik sungguh-sungguh maupun bercanda."
Adapun apabila dusta itu menimbulkan permusuhan atas kaum muslimin dan membahayakan atas dien tentu lebih keras lagi larangannya. Bagaimanapun pelakunya yang menertawakan suatu kaum dengan kedustaan berhak mendapat hukuman secara syar'i yang bisa menghalangi dari perbuatannya itu.[Majmu Fatawa(32/256)]
(Dinukil dari Edisi Indonesia Menepis Penyimpangan Manhaj Dakwah hal 84-93, Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar