Iman bagi seorang
hamba mempunyai kedudukan tinggi dan luhur. Dia adalah kewajiban yang paling
wajib dan kepentingan yang paling penting. Setiap kebaikan dunia dan akhirat
tergantung pada kebaikan dan keselamatan iman. Betapa banyak faidah melimpah,
buah-buahan yang beraneka ragam, panen yang lezat dan makanan yang tak kunjung
habis serta
kebaikan yang terus mengalir karena keimanan. Dari sini kaum
Muslimin berlomba-lomba untuk menjaga, memurnikan dan menyempurnakan imannya.
Seorang Muslim yang diberi taufiq oleh Allah seharusnya menomorsatukan
penjagaannya terhadap keimanan di atas segalanya dalam rangka mencontoh Salafus
Shalih Radliyallahu ‘Anhum Ajma’in. Para Salaf selalu bersungguh-sungguh
menjaga keimanan mereka, memeriksa amal mereka dan saling berwasiat di antara
mereka. Atsar-atsar mereka yang demikian sangat banyak di antaranya:
1. Atsar dari Umar bin
Al Khaththab Radliyallahu ‘Anhu. Beliau berkata kepada para shahabatnya:
“Marilah kemari, kita menambah keimanan.”
2. Atsar dari Abdullah
bin Mas’ud Radliyallahu ‘Anhu.
Beliau berkata:
“Duduklah bersama kami, kita menambah keimanan.” Beliau juga biasa mengatakan
dalam doanya: “Ya Allah, tambahlah iman, keyakinan dan kepahamanku.”
3. Mu’adz bin Jabal
Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Duduklah bersama kami, kita beriman sejenak.”
4. Abdullah bin Rawahah
Radliyallahu ‘Anhu pernah mengambil tangan sekelompok shahabatnya sambil
berkata: “Marilah kemari menambah iman sejenak, marilah berdzikir kepada Allah
dan menambah keimanan dengan taat kepada-Nya. Semoga Dia mengingat kita dengan
membawa ampunan-Nya.”
5.
Abu Darda’
Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Termasuk dari kepahaman agama seorang hamba adalah
dia mengetahui apakah imannya bertambah atau berkurang dan dia mengetahui
bisikan-bisikan setan dari mana saja ia datang.”
6. Umair bin Hubaib Al Khithami
Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Iman itu bertambah dan berkurang.”
Dia ditanya: “Apa
yang menyebabkan bertambah dan berkurangnya?” Dia menjawab: “Apabila kita
berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, memuji-Nya dan bertasbih kepada-Nya maka
itulah bertambahnya iman. Dan apabila kita lalai, menyia-nyiakan dan melupakan-Nya
maka itulah berkurangnya iman.”
7.
Alqamah bin Qais An
Nakha’i Rahimahullah (salah seorang tokoh ulama tabi’in) berkata kepada para
sahabatnya: “Marilah berjalan bersama kami menambah keimanan.”
8.
Abdurrahman bin Amr
Al Auza’i Rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan apakah bisa bertambah?
Beliau menjawab:
“Betul (bertambah) sampai seperti gunung.” Beliau ditanya lagi: “Apakah bisa
berkurang?” Beliau menjawab: “Ya, sampai tidak tersisa sedikit pun.”
9. Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal
Rahimahullah pernah ditanya tentang keimanan apakah bisa bertambah dan
berkurang beliau menjawab: “Iman bertambah sampai puncak langit yang tujuh dan
berkurang sampai kerak bumi yang tujuh.” Beliau juga berkata: “Iman itu ucapan
dan amalan, bertambah dan berkurang. Apabila engkau mengamalkan kebajikan maka
ia bertambah dan apabila engkau menyia-nyiakannya maka ia pun akan berkurang.”
Atsar-atsar dan
pernyataan mereka sangat banyak. Kalau kita memperhatikan sejarah hidup mereka
dan membaca kabar tentang mereka kita akan mengetahui begitu besar perhatian
mereka terhadap keimanan.
Telah diketahui dari
mereka bahwa iman itu dapat bertambah dan berkurang. Bertambah dengan
menjalankan sebab yang membuat kuatnya iman. Oleh karena itu sangat penting
bagi setiap Muslim untuk mengetahui sebab-sebab yang menjadikan keimanan
bertambah dan berkurang atau yang menguatkan dan melemahkan (membatalkannya),
Al Alamah Abdul Rahman Ibnu Sa’di mengatakan:
Seorang Mukmin yang
diberi taufiq oleh Allah, dia senantiasa berusaha melakukan dua hal yaitu:
Pertama, memurnikan
keimanan dan cabang-cabangnya dengan cara mengilmui dan mengamalkannya.
Kedua, berusaha untuk
menolak atau membentengi diri dari bentuk-bentuk ujian yang tampak maupun
tersembunyi yang dapat menafikan (menghilangkan)nya dan membatalkannya atau
mengikisnya. (At Taudlih wal Bayan Lisyajaratil Iman halaman 38)
Dari sini saya akan
menukilkan beberapa keterangan para ulama tentang sebab-sebab bertambah dan
berkurangnya iman. Di antara sebab bertambahnya adalah mempelajari ilmu yang
bermanfaat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Ibnu Rajab mendefinisikan
ilmu sebagai berikut: “Ilmu yang bermanfaat adalah mempelajari dengan seksama
isi Al Kitab dan As Sunnah serta makna-maknanya berdasarkan atsar shahabat dari
tabi’in serta tabi’ut tabi’in di dalam memahami keduanya serta ucapan mereka
dalam permasalahan halal, haram, kezuhudan, permasalahan hati, ilmu pengetahuan
dan lain-lain.” (Fadlu Ilmis Salaf ‘alal Khalaf halaman 45)
Sebab yang paling
besar dalam bertambahnya iman perhatikanlah nash-nash dari Al Quran dan Al
Hadits berikut ini.
Allah berfirman:
“Allah menyaksikan
bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah melainkan Dia, Yang Menegakkan
Keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga mengatakan yang
demikian itu). Tidak ada ilah yang berhak untuk disembah melainkan Dia Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran : 18)
Juga firman Allah:
“Tetapi orang-orang
yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang Mukmin mereka beriman
dengan apa-apa yang telah diturunkan kepadamu (Al Quran) dan apa yang telah
diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan
Kami berikan pahala yang besar.” (QS. An Nisa : 162)
Serta firman-Nya:
“Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir : 28)
Serta ayat lain yang
semakna. Adapun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang
dikehendaki oleh Allah dengan kebaikan maka Allah akan menfaqihkannya dalam
perkara agama.” (HR. Bukhari 1/164, 6/217, 12/293 dan Muslim 3/1524)
Juga sabdanya:
“Barangsiapa yang
menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya
jalan ke surga. Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap-sayap mereka
kepada pencari ilmu karena ridha dengan apa yang dia perbuat. Sesungguhnya
seorang yang alim akan dimintakan ampunan baginya oleh semua yang ada di langit
dan bumi sampai ikan hiu di dalam air. Sesungguhnya keutamaan orang alim atas
seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan di malam purnama atas segala
bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi dan para nabi
tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham akan tetapi mereka mewariskan
ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya maka berarti dia telah mengambil
bagian yang banyak.” (HR. Imam Ahmad 5/196, Abu Daud 3/317, Tirmidzi 5/49, Ibnu
Majah 1/81, Ad Darimi 1/98, Ibnu Hibban 1/152 dan dishahihkan oleh Al Albani di
dalam Shahihul Jami’ 5/302)
Serta sabda beliau
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Keutamaan seorang
alim atas seorang ahli ibadah adalah seperti keutamaanku atas orang yang paling
rendah di antara kalian. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla, para malaikat-Nya
serta penduduk langit dan bumi sampai semut yang ada di lubangnya dan ikan hiu
semua mengucapkan shalawat atas seorang yang mengajarkan kebaikan kepada
manusia.” (HR. Tirmidzi 5/50 dishahihkan oleh Syaikh Al Albani di dalam Shahih
Tirmidzi 2/343)
Nash-nash di atas
menerangkan kedudukan dan keagungan serta pentingnya ilmu dan akibat atau
pengaruhnya di dunia dan di akhirat berupa ketundukan dan keterikatan pada
syariat Allah serta merealisasikannya. Maka seorang alim yang mengenal Rabbnya,
nabinya, perintah dan batasan-batasan hukum Allah dapat membedakan perkara-perkara
yang dicintai dan diridlai Allah dengan perkara-perkara yang dibenci-Nya.
Inilah ilmu yang bermanfaat.
Bertambahnya iman
yang dihasilkan dari sisi ilmu terjadi dari beberapa segi di antaranya adalah
keluarnya si penuntut ilmu untuk mencari ilmu, duduknya di majlis-majlis
dzikir, berdiskusi dalam permasalahan ilmu, bertambahnya pengenalan mereka
kepada Allah dan syariat-syariat-Nya, aplikasinya tentang apa yang dipelajari
kemudian dia ajarkan yang dengan ini dia mendapatkan pahala dan sebagainya.
Adapun dalam
bagian-bagian ilmu syar’i yang bisa menyebabkan bertambahnya ilmu adalah:
1. Membaca dan tadabbur Al Quran Al Karim.
Hal ini termasuk ilmu
yang paling agung yang menyebabkan bertambah dan tetap serta kuatnya keimanan.
Allah telah menurunkan Kitab-Nya sebagai penerang bagi hamba-hamba-Nya, sebagai
petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan bagi orang-orang yang
ingat.
Banyak sekali
nash-nash yang menerangkan tentang perkara ini di antaranya Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya
Kami telah menurunkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang Kami telah
menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami. Menjadi petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Al A’raf : 52)
Juga pada surat Al
An’am 92 dan 155, An Nahl 89, Shad 29, Al Isra 9 dan 82, Qaf 37 dan lain-lain.
Ayat-ayat ini
menerangkan keutamaan Al Quran Al Karim. Orang yang membaca, mentadaburi dan
memperhatikannya akan mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang menjadikan imannya
kuat dan bertambah. Allah mengabarkan tentang orang-orang Mukminin yang berbuat
demikian.
“Sesungguhnya
orang-orang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah
gemetarlah hati mereka dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka dan kepada Rabblah mereka bertawakkal.” (QS. Al Anfal
: 2)
Imam Al Ajurri
Rahimahullah berkata:
Barangsiapa yang
tadabur (memperhatikan) Al Quran, dia akan mengenal Rabbnya Azza wa Jalla dan
mengetahui keagungan, kekuasaan dan qudrah-Nya serta ibadah yang diwajibkan
atasnya. Maka dia senantiasa melakukan setiap kewajiban dan menjauhi dari
segala sesuatu yang tidak disukai maulanya (yaitu Allah).
Ayat-ayat di atas
adalah dalil yang sangat jelas dalam menerangkan pentingnya Al Quran dan
pentingnya memperhatikan dan penjagaan kepadanya serta kuatnya pengaruh
terhadap hati. Inilah yang paling tinggi kedudukannya dan menyebabkan
bertambahnya iman.
Ibnul Qayyim
Rahimahullah berkata:
Kesimpulannya adalah
tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati daripada membaca Al Quran
dengan tadabur dan tafakur.
2. Mengenal Asmaul Husna dan sifat Allah
yang terdapat dalam Al Quran dan As Sunnah yang menunjukkan kesempurnaan Allah
secara mutlak dari berbagai segi.
Apabila seseorang
hamba mengenal Rabbnya dengan pengetahuan yang hakiki kemudian selamat dari
jalan orang-orang yang menyimpang tentang pengenalan terhadap Allah yang
dibangun di atas tahrif, ta’thil, takyif atau tasybih terhadap asma dan
sifat-sifat Allah, sungguh dia telah diberi taufik dalam mendapatkan tambahan
iman. Karena seorang hamba apabila mengenal Allah dengan jalan yang benar dia
termasuk orang yang paling kuat imannya dan ketaatannya, takutnya dan
muraqabah-nya kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang
takut kepada Allah dari para hamba-Nya adalah ulama.” (QS. Fathir : 28)
Ibnu Katsir
mengatakan:
Sesungguhnya hamba
yang benar-benar takut kepada Allah adalah ulama yang mengenal Allah. (Ibnu
Katsir 3/553. Ahmad bin Ashim Al Anthadi berkata: “Barangsiapa yang lebih
mengenal Allah maka dia lebih takut kepada-Nya.” [Ar Risalah Al Qusyairi
halaman 141])
3. Memperhatikan sirah/perjalanan hidup
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Termasuk dari sebab
bertambahnya iman adalah mengamati dan memperhatikan serta mempelajari sirah
nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sifat-sifat beliau yang baik serta
perangainya yang mulia. Dialah pilihan Allah di kalangan para makhluk-Nya, yang
dipercaya untuk wahyu-Nya, yang diutus dengan agama yang kokoh dan manhaj yang
lurus. Allah mengutus beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam dan sebagai imam
serta hujah atas hamba-hamba-Nya.
Ibnul Qayyim berkata:
Dari sini kamu
mengetahui sangat pentingnya hamba untuk mengenal Rasul dan apa yang dibawanya
dan membenarkan pada apa yang beliau kabarkan serta mentaati apa yang beliau
perintahkan karena tidak ada jalan kebahagiaan dan keberuntungan di dunia dan
tidak pula di akhirat kecuali dengannya (tuntunan Rasul). Tidak ada jalan untuk
mengetahui baik dan jelek secara mendetail kecuali darinya. Maka kalau
seseorang memperhatikan sifat dan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam di dalam Al Quran dan hadits, dia akan mendapatkan manfaat dengannya
yaitu ketaatan dia kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadi kuat dan
bertambah cintanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah tanda
bertambahnya keimanan yang mewariskan mutaba’ah dan amalan shalih.
4. Mempraktikkan kebaikan-kebaikan agama
Islam.
Sesungguhnya ajaran
Islam semuanya baik, paling benar aqidahnya, paling terpuji akhlaknya, paling
adil hukum-hukumnya. Dari pandangan yang mulia ini, Allah menghiasi keimanan di
hati seorang hamba dan membuatnya cinta kepada iman. Sebagaimana Allah memenuhi
cintanya kepada pilihan-Nya dari kalangan makhluk-Nya yakni Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan firman-Nya:
“Tetapi Allah
menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah dalam
hatimu.” (QS. Al Hujurat : 7)
Maka iman di hati
seorang hamba adalah sesuatu yang sangat dicintai dan yang paling indah. Oleh
karena itu seorang hamba akan merasakan manisnya iman yang ada di hatinya
sehingga dia akan menghiasi hatinya dengan pokok-pokok dan hakikat-hakikat
keimanan dan menghiasi anggota badannya dengan amal-amal nyata. (Lihat At
Taudlih wal Bayan halaman 32-33)
Apabila kita
memperhatikan kebaikan-kebaikan yang terdapat dalam agama ini berupa
perintah-perintah dan larangan-larangan, syariat dan hukum-hukum akhlak dan
adab-adab yang menjadi sebab bagi orang tidak beriman semakin menjauh dan
sebagai bahan tambahan (iman) bagi orang yang beriman. Bahkan barangsiapa yang
kuat perhatiannya kepada kebaikan-kebaikan agama ini kakinya akan semakin kokoh
di dalam mengenal kebaikan serta kesempurnaannya. Begitu pula jika ia
memperhatikan kejelekan-kejelekan akibat karena menentang agama maka dia akan
termasuk orang yang paling kuat dan kokoh imannya.
Oleh karena itu Ibnul
Qayyim Rahimahullah berkata:
Orang-orang yang
khusus dan berakal tatkala akal mereka menyaksikan kebaikan, kemuliaan dan
kesempurnaan agama ini dan menyaksikan kejelekan dan kerendahan sesuatu yang
menentangnya (agama) jika bercampur dengan keimanan, kecintaan dan kejernihan
hati maka kalau pun dia disuruh memilih antara dimasukkan ke neraka dengan
memilih selain agama ini (Islam) serta dia lebih memilih untuk dimasukkan ke
api atau dipotong-potong anggota badannya dan tidak memilih agama lain. Contoh
ini adalah manusia yang kaki-kaki mereka kokoh dalam keimanan, paling jauh kemungkinan
untuk murtad darinya dan yang paling berhak untuk tetap atasnya sampai hari
bertemu Allah. (Miftahud Daris Sa’adah halaman 340-341)
Ucapan beliau itu
didukung oleh hadits Anas bin Malik Radliyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah
bersabda:
“Tiga perkara yang
barangsiapa ada padanya dia akan mendapatkan manisnya iman. Yaitu jika Allah
dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, jika ia mencintai
seseorang tidaklah mencintainya kecuali karena Allah dan jika dia benci untuk
kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke neraka.”
(HR. Bukhari 1/60 dan Muslim 1/66)
Al Walid
hafidlahullah menyebutkan beberapa faidah dari hadits itu di antaranya hadits
tersebut menunjukkan perbedaan tingkatan keimanan dan bahwa iman itu bertambah
dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Barangsiapa memiliki tiga
perangai itu maka dia akan mendapatkan manisnya iman berbeda dengan lainnya.
(Isyruna Haditsan min Shahih Bukhari halaman 167)
5. Membaca sirah Salaf umat ini.
Salaf umat ini yaitu
para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik adalah generasi pertama dalam Islam, sebaik-baik
generasi, penjaga Islam, pembimbing para makhluk, orang-orang yang menyaksikan
kejadian-kejadian yang agung, pembawa-pembawa agama ini dan penyampai risalah
kepada zaman sesudah mereka, manusia yang paling kuat imannya dan kokoh ilmu di
kalangan manusia, yang paling baik hatinya dan paling suci jiwa-jiwa mereka.
Mereka diberi kekhususan oleh Allah dengan melihat nabinya Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam dan mendengar langsung suara dan ucapan beliau Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam, mengambil agama dari beliau sehingga jiwa mereka kokoh.
Keutamaan mereka
disebutkan dalam firman Allah:
“Kalian adalah umat terbaik
yang dikeluarkan bagi manusia.” (QS. Ali Imran : 110)
Yang maknanya adalah
mereka adalah sebaik-baik umat dan yang paling bermanfaat bagi manusia.
Dan sabda Rasulullah:
“Sebaik-baik umatku
adalah generasi saat aku diutus kemudian orang yang sesudahnya ….” (HR. Muslim
4/1964)
Barangsiapa
memperhatikan dan membaca perjalanan hidup mereka akan mengetahui
kebaikan-kebaikan mereka, akhlak-akhlak yang agung, ittiba’ mereka kepada
Allah, perhatian mereka terhadap iman, rasa takut mereka dari dosa, kemaksiatan,
riya’ dan nifaq, ketaatan mereka dan bersegera dalam kebaikan, kekuatan iman
mereka dan kuatnya ibadah mereka kepada Allah dan sebagainya. Dengan
memperhatikan keadaan mereka maka iman menjadi kuat dan timbul keinginan untuk
menyerupai mereka dalam segala hal sebagaimana ucapan Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah: “Barangsiapa lebih serupa dengan mereka (shahabat) maka dia lebih
sempurna imannya (Al Ubudiyah halaman 94) dan barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum maka dia termasuk golongan mereka.”
Sebab-Sebab
Berkurangnya Iman
Kita mengetahui
sebab-sebab berkurangnya iman sebagai tameng dan kehati-hatian kita agar tidak
terjatuh ke dalamnya. Sebagaimana ucapan Hudzaifah Ibnul Yaman Radliyallahu
‘Anhu:
“Para shahabat
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan
sedangkan aku bertanya tentang kejelekan karena aku takut kejelekan itu
mengenaiku.” (Al Bukhari 7/93 dan Muslim 3/1975)
Ibnul Jauzi berkata:
“Mengetahui kejelekan adalah agar berhati-hati dari terjatuh padanya.” (Talbis
Iblis halaman 4 dan Al Fatawa Ibnu Taimiyah 10/301)
Serta ucapan seorang
penyair:
Aku mengetahui
kejelekan bukan untuk melakukannya
Akan tetapi untuk
menghindarinya
Barangsiapa yang
tidak mengenal kejelekan dikawatirkan dia akan terjerumus padanya
Sebab-sebab
berkurangnya iman terbagi menjadi dua bagian dan setiap bagian terbagi lagi
dalam beberapa bagian.
Bagian pertama,
sebab-sebab dari dalam berupa:
a. Kobodohan sebagai lawan dari ilmu.
Sebagaimana ilmu
menjadi sebab bertambahnya iman maka kebodohan juga menjadi sebab berkurangnya
iman. Terjadinya perbuatan dosa dan kemaksiatan sering disebabkan karena
kebodohan. Allah berfirman menceritakan kebodohan kaum Musa Alaihis Salam:
Mereka (kaum Musa)
berkata: “Wahai Musa, buatkan bagi kami tuhan-tuhan sebagaimana mereka
mempunyai tuhan-tuhan.” Musa berkata: “Sesungguhnya kalian adalah kaum yang
bodoh.” (QS. Al A’raf : 138)
Juga banyak ayat lain
yang menerangkan tentang yang demikian.
Oleh karena itu Imam
At Thabari menyebutkan di dalam Tafsir-nya riwayat dari Abu Aliyah bahwa beliau
berkata: “Setiap dosa yang dilakukan seseorang hamba adalah karena
kebodohannya.”
Qatadah berkata:
“Para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersepakat berpendapat
bahwa setiap perbuatan maksiat terhadap Allah adalah karena kebodohan, baik
secara sengaja atau tidak.”
Mujahid berkata:
“Setiap orang yang bermaksiat kepada Allah maka hal itu karena kebodohannya
sampai dia mau bertaubat.”
As Suddi berkata:
“Selama seorang hamba bermaksiat kepada Allah maka dia adalah orang yang
bodoh.”
Ibnu Zaid mengatakan:
“Setiap seorang berbuat suatu maksiat kepada Allah maka dia bodoh sampai dia
berlepas diri darinya.” (Lihat atsar-atsar ini di dalam Tafsir At Thabari
3/229, 5/209, Tafsir Al Baghawi 1/407, Al Fatawa 7/22, Tafsir Ibnu Katsir
1/463)
Maka kebodohan dan
rusaknya ilmu adalah sebab pokok rusaknya amal dan berkurangnya iman.
b. Lalai, berpaling dan lupa.
Tiga perkara ini
merupakan sebab yang besar di antara sebab-sebab berkurangnya iman. Barangsiapa
yang diliputi oleh kelalaian dari taat kepada Allah dan disibukkan oleh lupa
kepada Allah maka muncullah dari dirinya penentangan sehingga akan kurang dan
lemah imannya yang akhirnya hatinya menjadi sakit dan mati dan dia akan
dikuasai oleh syahwat dan syubhat.
Allah mensifati orang
yang menentang sebagai orang yang paling zhalim dan termasuk orang-orang yang
berdosa dengan firman-Nya:
“Dan siapakah yang
lebih dhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabbnya
kemudian ia berpaling darinya? Sesungguhnya Kami akan memberikan balasan kepada
orang-orang yang berdosa.” (QS. As Sajdah : 22)
Allah juga
mengabarkan bahwa Dia menutup hati orang-orang yang menentang sehingga mereka
tidak mendapat petunjuk dengan firman-Nya:
“Dan siapakah yang
lebih dhalim daripada orang-orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat
dari Rabbnya lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan
oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati
mereka (sehingga mereka tidak) memahami dan (Kami letakkan pula) sumbatan di
telinga mereka dan kendati pun kamu menyeru mereka kepada petunjuk niscaya
mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (QS. Al Kahfi : 57)
Allah juga
menerangkan bahwa penentangan terhadap-Nya menyebabkan kehidupan yang sempit di
dunia dan di akhirat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan barangsiapa
berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit
dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha :
124)
Demikian pula mereka
di hari kiamat nanti akan membawa dosa dan mendapat adzab. Sebagimana
firman-Nya:
“Barangsiapa
berpaling dari Al Quran maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar pada
hari kiamat.” (QS. Thaha : 100)
Dan firman-Nya yang
lain:
“Barangsiapa
berpaling dari peringatan Rabbnya akan dimasukkan ke dalam adzab yang besar.”
(QS. Al Jin : 18)
Masih banyak lagi
ayat-ayat yang mengabarkan tentang bahayanya berpaling dari ayat-ayat atau
peringatan Allah. Bahaya yang paling besar adalah hilangnya keimanan bagi yang
menentang, menjadikan lemahnya iman orang yang beriman sesuai dengan penolakan seorang
hamba tadi.
c. Melakukan kemaksiatan dan dosa-dosa.
Sebagian besar Salaf
menyatakan bahwa iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan. Sebagaimana suatu perbuatan yang diperintahkan oleh Allah berupa
kewajiban dan sunnah dapat menambah iman begitu juga melakukan sesuatu yang
dilarang dari bentuk haram dan makruh akan mengurangi iman.
Syaikh Muhammad Al
Utsaimin hafidlahullah berkata: “Melakukan kemaksiatan akan menyebabkan iman
berkurang sesuai dengan kadar kemaksiatan tersebut dan sikap meremehkannya.”
Berkurangnya iman
dengan sebab melakukan dosa-dosa besar akan lebih dratis daripada dengan sebab
melakukan dosa-dosa kecil. Berkurangnya iman dengan sebab membunuh jiwa yang
diharamkan untuk membunuhnya akan lebih dratis daripada berkurangnya iman
dengan sebab mengambil harta orang lain tanpa hak. Berkurangnya keimanan dengan
sebab mengerjakan dua maksiat akan lebih dratis daripada dengan satu
kemaksiatan dan begitulah seterusnya ….
d. Nafsu yang selalu menyuruh kepada kejelekan.
Allah menjadikan
nafsu amarah bis su’ (nafsu yang selalu menyuruh kepada kejelekan) sebagai
tabiat dan pembawaan serta karakternya kecuali nafsu yang diberi taufik,
dikuatkan serta ditolong oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana Allah
Subhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang Yusuf Alaihis Salam:
“Dan aku tidak
membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu
menyuruh kepada kejahatan. Kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Rabb-ku.
Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf : 53)
Dan firman Allah:
“Sekiranya tidaklah
karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian niscaya tidak seorang
pun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu)
selama-lamanya.” (QS. An Nur : 21)
Dan firman Allah
kepada sebaik-sebaik makhluk-Nya yakni Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Dan kalau Kami tidak
memperkuat (hati)mu niscaya kamu hampir-hampir condong kepada mereka.” (QS. Al
Isra : 74)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengajari para shahabat beliau khuthbah
hajat dengan sabdanya:
“Segala puji bagi
Allah, kami memuji-Nya, minta pertolongan kepada-Nya dan minta ampunan
kepada-Nya. Dan kami minta perlindungan kepada Allah dari kejahatan-kejahatan
jiwa (nafsu) kami dan dari kejelekan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang Allah
beri hidayah maka tidak ada yang menyesatkannya dan barangsiapa yang
disesatkan-Nya maka tidak ada yang dapat menunjukinya.” (HR. Abu Dawud 2/238,
An Nasa’i 3/105)
Di dalam nash-nash
ini diterangkan bahwa kejelekan yang terdapat pada jiwa akan mengakibatkan
kejelekan amalan kecuali yang diberi taufik dan ditolong oleh Allah niscaya dia
akan selamat.
Allah menjadikan
nafsu-nafsu ini sebagai lawan nafsu muthma’inah sebagaimana ucapan Ibnul Qayyim
Rahimahullah:
Allah menciptakan
manusia atas dua nafsu, nafsu amarah bis su’ dan nafsu muthma’inah yang
keduanya saling bertentangan. Setiap salah satu ringan maka yang lainnya
menjadi berat. Setiap yang satu darinya merasakan kelezatan maka yang lain akan
merasa sakit. Bagi nafsu amarah tidak ada yang lebih berat daripada beramal
karena Allah dan mengutamakan ridla Allah. (Al Jawabul Kafi halaman 184-185)
Maka tidak ada yang
lebih berbahaya atas iman dan agama seseorang daripada nafsu amarahnya yang
merupakan sebab yang pokok di dalam lemahnya iman.
Bagian kedua, yaitu
sebab-sebab dari luar yang mempengaruhi berkurangnya iman yaitu:
a. Setan.
Di antara sebab-sebab
luar yang mempengaruhi lemahnya iman adalah godaan setan. Setan adalah musuh
besar orang-orang Mukmin. Ia senantiasa membuat propaganda kepada mereka dan
tidak ada tujuan mereka (setan) kecuali mencabik-cabik, melemahkan dan
merusakkan iman di hati orang-orang Mukmin. Barangsiapa menyerah kepada bisikan
setan dan tidak berlindung kepada Allah darinya maka imannya akan lemah dan
berkurang bahkan akan hilang darinya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa
Ta’ala memperingatkan kaum Mukminin dari bahaya-bahaya setan dan akibat-akibat
mengikutinya. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang beriman,
janganlah engkau mengikuti langkah-langkah setan dan barangsiapa mengikuti
langkah-langkah setan maka sesungguhnya dia menyuruh kepada (perkara) yang keji
dan munkar ….” (QS. An Nur : 21)
Dan Allah berfirman
juga:
“Sesungguhnya setan
itu musuh bagimu. Maka jadikanlah dia musuh(mu) karena sesungguhnya setan-setan
itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (QS. Fathir : 6)
b. Dunia dan fitnahnya.
Di antara sebab-sebab
berkurang dan lemahnya iman hamba adalah sibuk dengan tujuan-tujuan hidup di
dunia yang fana. Waktu-waktunya dipenuhi dengan mencarinya, berjalan terus di
bawah naungan kelezatan, fitnah dan hal-hal yang menipu. Tatkala kecintaan
hamba dan keterkaitannya kepada dunia membesar maka ketaatannya akan melemah
dan iman akan berkurang.
Oleh karena itu Allah
Ta’ala mencela dunia di dalam Kitab-Nya dan menerangkan kerendahannya di banyak
ayat-ayat-Nya di antaranya:
“Ketahuilah bahwa
sesungguhnya dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan
dan bermegah-megah di antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya
harta dan anak seperti hujan yang tanam-tanamannya menakjubkan para petani
kemudian tanaman-tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada adzab yang keras dan
ampunan dari Allah serta keridlaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al Hadid : 20)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Demi Allah, bukanlah
kefakiran yang aku takutkan atas kalian. Akan tetapi aku takut dibentangkan
dunia atas kalian sebagaimana dibentangkan kepada orang-orang sebelum kalian
kemudian kalian berlomba-lomba (untuk dunia) sebagaimana mereka berlomba-lomba
sehingga dunia membinasakan kalian sebagaimana ia membinasakan mereka.” (HR.
Bukhari 6/258, 7/320 dan Muslim 4/2274)
c. Teman-teman yang jelek.
Teman-teman yang
jelek sangat membahayakan keimanan, perbuatan dan akhlak seseorang. Bercampur
dan bershahabat dengan mereka merupakan sebab yang besar di antara sebab-sebab
berkurang dan lemahnya iman. Oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Seseorang di atas
Dien (kebiasaan) kekasihnya. Maka lihatlah orang yang dia kasihi (temani).”
(HR. Abu Dawud 13/179, At Tirmidzi 4/589, Ahmad 2/303, Al Hakim 4/171 dan Al
Baghawi dalam Syarhus Sunnah 13/70, hadits hasan)
Mengomentari hadits
ini Ibnu Abdil Barr berkata:
Makna hadits ini
--Wallahu A’lam-- adalah bahwa seseorang terbiasa dengan sesuatu yang dia lihat
dari perbuatan-perbuatan orang yang diakrabinya. Oleh karena itu beliau
(Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) memerintahkan agar tidak bershahabat
kecuali dengan orang yang dipandang memiliki kebaikan karena kebaikan itu
adalah kebiasaan.
Abu Sulaiman Al
Khitabi berkata:
Makna hadits ini
adalah jangan kamu bersahabat kecuali dengan orang yang kamu ridlai agama dan
amanahnya. Maka jika kamu bersahabat dengannya dia akan menuntun kepada agama
dan madzhabnya.
Nukilan-nukilan ini
membuktikan kepada kita bahwa seseorang bersama yang ditemani dan yang dia
sahabati. Oleh karena itu teman dan shahabat sangat mempengaruhi lemah kuatnya
iman, madzhab, akhlak dan perangai seseorang. Kalau seseorang bercampur dengan
orang-orang yang fasik dan jelek maka hal ini adalah sebab yang besar dalam
lemah dan berkurangnya iman bahkan kadang-kadang sampai menghancurkannya.
Dari pembahasan di
atas setelah kita mengetahui sebab-sebabnya bertambah dan berkurangnya iman
maka marilah kita selalu berusaha untuk melaksanakan sebab-sebab yang dapat
menguatkan keimanan dan menghindari sebab yang dapat melemahkan dan
menguranginya. Allah-lah tempat kita minta taufik dan ketetapan di atas Al Haq.
Wallahu A’lam.
Dinukil dan disusun
kembali dari Kitab Asbabu Ziyadatil Iman wa Nuqshanihi karya Abdurrazaq bin
Abdil Muhsin Al Abbad Al Badr.
Oleh: Zuhair bin Syarif
Sumber: Maktabah As Sunnah
http://assunnah.cjb.net/
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar