Sejak zaman Nubuwwah, kehadiran wanita dalam shalat berjamaah
di masjid bukanlah sesuatu yang asing. Dalam artian, diantara shahabiyah ada
yang ikut menghadiri shalat berjamaah di belakang para shahabat walaupun itu
tidak wajib bagi mereka.
Ada beberapa dalil dari sunnah yang shahihah yang menunjukkan
keikutsertaan wanita
dalam shalat berjamaah di masjid. Tiga diantaranya kami
sebutkan berikut ini :
Hadits dari Aisyah radliyallahu 'anha, ia berkata :
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat Isya hingga Umar
memanggil beliau (dengan berkata) : "Telah tertidur para wanita dan
anak-anak." Maka keluarlah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata
: "Tidak ada seorang pun selain kalian dari penduduk bumi yang menanti
shalat ini." (HR. Bukhari dalam kitab Mawaqit Ash Shalah 564 dan Muslim
kitab Al Masajid 2/282)
Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits di atas berkata :
"Ucapan Umar (Telah tertidur para wanita dan anak-anak) yakni diantara
mereka yang menanti didirikannya shalat berjamaah di masjid."
Dalam hadits lain, Aisyah radliyallahu 'anha mengabarkan :
"Mereka wanita-wanita Mukminah menghadiri shalat shubuh bersama Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam keadaan berselimut dengan kain-kain mereka.
Kemudian para wanita itu kembali ke rumah-rumah mereka hingga mereka (selesai)
menunaikan shalat tanpa ada seorangpun yang mengenali mereka karena masih
gelap." (HR. Bukhari 578)
Hadits dari Abi Qatadah Al Anshari radliyallahu 'anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya aku
berdiri untuk menunaikan shalat dan berkeinginan untuk memanjangkan shalat itu.
Lalu aku mendengar tangisan bayi maka akupun memendekkan shalatku karena
khawatir (tidak suka) memberatkan ibunya." (HR. Bukhari 868, Abu Daud 789,
Nasa'i 2/94-95 dan Ibnu Majah 991)
Izin Bagi Wanita Untuk Keluar ke Masjid
Shalatnya seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada
shalatnya di masjid (lihat rubrik Ahkam, Salafy edisi IX). Namun tidak berarti
wanita dilarang dan harus dicegah bila ingin hadir berjamaah di masjid, karena
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Apabila wanita
(istri) salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid maka janganlah
ia mencegahnya." (HR. Bukhari 2/347 dalam Fathul Bari, Muslim 442, dan
Nasa'i 2/42)
Salim bin Abdullah bin Umar menceritakan bahwasanya Abdullah
bin Umar radliyallahu 'anhuma berkata : Aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda : "Janganlah kalian melarang istri-istri kalian
dari masjid bila mereka meminta izin untuk mendatanginya." (HR. Bukhari
dan Muslim 442 dan hadits yang disebutkan disini menurut lafadh Muslim)
Salim berkata : Bilal bin Abdullah bin Umar lalu berkomentar:
"Demi Allah, kami benar-benar akan melarang mereka."
(Mendengar ucapan seperti itu, -pent.) Abdullah bin Umar
memandang Bilal kemudian mencelanya dengan celaan yang buruk yang aku sama
sekali belum pernah mendengar celaannya seperti itu terhadap Bilal. Dan
Abdullah berkata : "Aku kabarkan kepadamu dari Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam lalu engkau menimpali dengan ucapanmu, 'demi Allah, kami
benar-benar akan melarang mereka!'"
Beberapa Perkataan Ulama Dalam Permasalahan Ini
Berkata Imam Nawawi rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam :
"Janganlah kalian melarang hamba-hamba perempuan Allah
dari masjid-masjid Allah"
Dan yang semisalnya dari hadits-hadits dalam bab ini
menunjukkan bahwa wanita tidak dilarang mendatangi masjid akan tetapi harus
memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan oleh ulama yang diambil dari
hadits-hadits yang ada. Seperti wanita itu tidak memakai wangi-wangian, tidak
berhias, tidak mengenakan gelang kaki yang bisa terdengar suaranya, tidak
mengenakan pakaian mewah, tidak bercampur-baur dengan laki-laki, dan wanita itu
bukan remaja putri (pemudi) yang dengannya dapat menimbulkan fitnah serta tidak
ada perkara yang dikhawatirkan kerusakannya di jalan yang akan dilewati dan
semisalnya. ] (Syarhu Muslim 2/83)
Musthafa Al Adawi hafidhahullah memberi komentar terhadap
ucapan Imam Nawawi di atas : [Terhadap ucapan Imam Nawawi rahimahullah tentang
pelarangan remaja putri (pemudi untuk hadir di masjid) perlu dilihat kembali.
Kami belum mendapatkan dalil yang jelas yang melarang pemudi atau membedakan
antara pemudi dan yang selainnya untuk pergi ke masjid. ] (Jami' Ahkamin Nisa'
juz 1 halaman 278)
Imam Nawawi juga berkata dalam Al Majmu' Syarhul Muhadzdzab
4/199 : [ Larangan dalam hadits : "Janganlah kalian melarang hamba-hamba
perempuan Allah dari masjid-masjid Allah."
Hal ini merupakan larangan tanzih/makruh (bukan larangan yang
menunjukkan tahrim/haram, pent.) karena hak suami agar istri tetap tinggal di
rumah wajib dipenuhi. Maka janganlah si istri meninggalkannya untuk mengerjakan
amalan yang tidak wajib. ]
Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla-nya
menyatakan : "Tidak halal bagi wall wanita dan tidak juga bagi majikan
budak wanita untuk melarang keduanya menghadiri shalat berjamaah di masjid jika
diketahui bahwa mereka memang hendak shalat. Dan tidak halal bagi mereka (kaum
wanita) untuk keluar dalam keadaan memakai wangi-wangian dan mengenakan pakaian
yang indah (mewah). Bila si wanita melakukan hal demikian maka hendaklah
dicegah." (Al Muhalla 2/170)
Al Baihaqi rahimahullah menyebutkan dalam Sunan-nya (3/133)
bahwa perintah untuk tidak melarang wanita merupakan perintah yang sunnah dan
bersifat bimbingan, bukan perintah yang menunjukkan fardlu dan wajib.
Musthafa Al Adawi berkata : "Bila tidak dijumpai adanya
sebab yang dapat menghalangi keluarnya wanita menuju ke masjid maka wajib bagi
suami untuk mengizinkannya karena adanya larangan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dari mencegahnya. Wallahu a'lam." (Jami' Ahkamin Nisa' 1/279)
Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini Al Atsari hafidhahullah dalam
kitabnya, Al Insyirah fi Adabin Nikah halaman 72-74) setelah membawakan hadits
yang artinya : "Bila istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke
masjid maka janganlah ia mencegahnya."
Syaikh menyatakan : [ Dalam hadits ini menunjukkan bahwa
keluarnya istri harus dengan izin suami. Seandainya si suami menahan istrinya
(untuk keluar) maka si suami tidak berdosa menurut pendapat yang terpilih dari
pendapat-pendapat para Ahli Tahqiq dan telah berkata Al Baihaqi : "Dengan
inilah mayoritas ulama berpendapat."
Adapun hadits yang berbunyi : "Janganlah kalian melarang
hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah"
Perintah disini (yakni perintah untuk tidak melarang wanita
ke masjid, pent.) tidaklah menunjukkan wajib. Karena seandainya wajib, maka
tidak ada maknanya meminta izin. Wallahu a'lam. ]
Pendapat Aisyah radliyallahu 'anha dan Bimbingannya
Imam Bukhari rahimahullah meriwayatkan ucapan Aisyah
radliyallahu 'anha :
"Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
sempat menemui apa yang diada-adakan oleh para wanita (saat ini) niscaya beliau
akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya wanita-wanita Bani Israil."
(HR. Bukhari hadits 869 dan dikeluarkan juga oleh Muslim 445)
Dalam riwayat Muslim disebutkan : Salah seorang rawi bertanya
kepada Amrah binti Abdirrahman (murid Aisyah yang meriwayatkan hadits ini
darinya) : "Apakah para wanita Bani Israil dilarang ke masjid?" Amrah
menjawab : "Ya, adapun hal-hal baru yang diperbuat para wanita Bani Israil
diantaranya memakai wangi-wangian, berhias, tabarruj, ikhtilath, dan
kerusakan-kerusakan lainnya."
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari (2/350) :
"Shalatnya wanita di rumahnya lebih utama baginya karena terjamin aman
dari fitnah. Dan yang menguatkan hal ini setelah munculnya perbuatan tabarruj
dan pamer perhiasan yang dilakukan oleh para wanita. Terlebih lagi Aisyah
radliyallahu 'anha telah berkata dengan apa yang dia katakan. Sebagian orang
berpegang dengan ucapan Aisyah ini untuk melarang wanita (ke masjid) secara
mutlak dan pendapat ini perlu ditinjau kembali."
Beliau berkata lagi : "Aisyah mengaitkan larangan dengan
syarat, yang ia menganggap bila Nabi sempat melihat (perbuatan para wanita itu)
niscaya beliau akan melarangnya. Dengan demikian, dikatakan kepada orang yang
berpendapat wanita dilarang secara mutlak (ke masjid) bahwa Nabi tidak sempat
melihat (perbuatan para wanita itu) dan beliau tidak melarang, hingga hukum
(kebolehan wanita ke masjid dan larangan untuk mencegah mereka, pent.) terus
berlaku ... ."
Berkata Musthafa Al Adawi setelah membawakan riwayat Aisyah
di atas : [ Ini merupakan pendapat Aisyah radliyallahu 'anha berkenaan dengan
keluarnya wanita ke masjid ... . Beliau berpendapat (perlunya) larangan karena
sebab yang disebutkan. Pendapat ini memiliki arti bila ada fitnah dan adanya
kekhawatiran terhadap kaum pria dan wanita dari fitnah itu. Akan tetapi kita kembali
dan kita katakan : Pendapat ini tempatnya bila fitnah terwujud nyata. Adapun
melarang mereka karena (menganggap) semata-mata ke masjid itu adalah fitnah
maka ini pendapat yang lemah. Allah Ta'ala telah berfirman :
"Dan tidaklah Tuhanmu lupa." (QS. Maryam : 64)
"Tidaklah Kami luputkan sesuatu pun di dalam Kitab
ini." (QS. Al An'am : 38)
Dan layak untuk kami (Musthafa Al Adawi) nukilkan disini
ucapan Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari 2/350. Beliau
menyatakan : " … dan juga Allah subhanahu wa ta'ala telah mengetahui apa
yang akan mereka (para wanita) perbuat. Namun Allah tidak mewahyukan kepada
Nabi-Nya untuk melarang mereka (mendatangi masjid). Seandainya apa yang mereka
perbuat mengharuskan untuk melarang mereka dari masjid, niscaya melarang mereka
dari selain masjid seperti mendatangi pasar-pasar adalah lebih utama. Dan juga
perbuatan yang diada-adakan itu hanya dilakukan oleh sebagian wanita, tidak
seluruhnya. Maka pengkhususan larangan (penunjukkan larangan) ditujukan kepada
wanita yang berbuat. Yang lebih utama adalah menilik perkara yang dikhawatirkan
akan menimbulkan kerusakan, lalu menghindarinya berdasarkan isyarat Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dengan melarang memakai wangi-wangian dan
berhias." (Lihat Jami' Ahkamin Nisa' 1/280) ]
Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al Muhalla (3/ 134) menyebutkan
enam sisi bantahan terhadap orang yang berhujjah dengan ucapan Aisyah
radliyallahu 'anha ini untuk melarang wanita ke masjid secara mutlak. Dua sisi
diantaranya kami sebutkan secara ringkas di bawah ini :
Sisi pertama : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
sempat melihat apa yang diperbuat para wanita, maka beliau tidak melarang
mereka ke masjid. Apabila beliau sendiri tidak melarang mereka (ke masjid) maka
berarti melarang mereka adalah bid'ah dan kesalahan. Ini sama dengan firman
Allah Ta'ala :
"Wahai istri-istri Nabi, siapa diantara kalian yang
mengerjakan perbuatan keji yang nyata niscaya akan dilipatgandakan siksaan
padanya dua kali lipat ... ." (QS. Al Ahzab : 30)
Maka mereka sama sekali tidak mengerjakan perbuatan keji yang
nyata sehingga tidak dilipatgandakan adzab bagi mereka, walhamdulillah. Dan
juga seperti firman Allah Ta'ala :
"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman
dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka barakah dari langit
dan bumi." (QS. Al A'raf : 96)
Maka mereka tidak beriman sehingga tidak dibukakan barakah
bagi mereka.
Sisi Kedua : Aisyah radliyallahu 'anha tidak berpendapat
melarang para wanita karena sebab itu dan ia tidak berkata : "Laranglah
mereka karena apa yang mereka perbuat." Akan tetapi Aisyah mengabarkan :
"Andai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup niscaya beliau
melarang mereka ... ."
Kami katakan : Seandainya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
melarang mereka, kami pun melarang mereka. Dan bila beliau tidak melarang maka
kami pun tidak melarang mereka.
Syarat-Syarat Yang Harus Dipenuhi
Wanita dibolehkan menghadiri shalat berjamaah di masjid namun
harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan syariat seperti tidak
memakai wangi-wangian sebagaimana dikabarkan oleh Zainab Ats Tsaqafiyah, istri
Abdullah bin Mas'ud radliallahu anhuma. la berkata : Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda kepada kami : "Bila salah seorang dari kalian
(para wanita) ingin menghadiri shalat di masjid maka janganlah ia menyentuh
wewangian." (HR. Muslim 4/163, Ibnu Khuzaimah 1680, dan Al Baihaqi 3/439)
Demikian juga hadits Abi Hurairah radliyallahu 'anhu dari
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : "Wanita mana saja yang memakai
wangi-wangian maka janganlah ia menghadiri shalat lsya yang akhir bersama
kami." (HR. Muslim 4/162, Abu Daud 4175, dan Nasa'i 8/154)
Musthafa Al Adawi berkata : [ Abu Muhammad Ibnu Hazm
rahimahullah memiliki pendapat yang ganjil dimana ia berkata dalam Al Muhalla
4/78 : "Tidak halal bagi seorang wanita menghadiri shalat di masjid dalam
keadaan memakai wangi-wangian. Jika ia melakukannya maka batallah
shalatnya."
Ini merupakan pendapat yang ganjil dari beliau rahimahullah.
Yang benar, --wallahu a'lam-- wanita yang melakukan perbuatan demikian (memakai
wewangian ketika keluar menuju masjid) berarti telah berbuat dosa, akan tetapi
dosanya tersendiri dari shalatnya dan tidak ada hubungan antara dosa itu dengan
batalnya shalat. Allahu a'lam. ] (Jami' Ahkamin Nisa' 1/288)
Al Qadli 'Iyadl rahimahullah menyebutkan syarat dari ulama
berkenaan dengan keluarnya wanita, diantaranya tidak mengenakan perhiasan,
tidak memakai wewangian, dan tidak berdesak-desakan dengan laki-laki. Kata Al
Qadli : "Termasuk dalam makna wewangian adalah menampakkan perhiasan dan
keindahannya. Jika ada sesuatu dari perbuatan demikian maka wajib melarang
mereka karena takut fitnah."
Berkata Syaikh Abdullah Al Bassam dalam kitabnya, Taudlihul
Ahkam (2/283) : [Terhitung wangi-wangian adalah sesuatu yang semakna dengannya
berupa gerakan-gerakan yang dapat mengundang syahwat seperti pakaian yang
indah, perhiasan, dan dandanan. Karena aroma si wanita, perhiasan, bentuknya,
dan penonjolan kecantikannya merupakan fitnah baginya dan fitnah bagi
laki-laki.
Bila si wanita melakukan hal demikian atau melakukan
sebagiannya, haram baginya untuk keluar berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Imam Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu 'anhu (telah disebutkan di atas,
pent.) dan hadits dalam Shahihain dari Aisyah radliyallahu 'anhuma, ia berkata:
"Seandainya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melihat apa yang
dilakukan para wanita sebagaimana yang kita lihat niscaya beliau akan melarang
mereka ke masjid." ]
Dituntunkan kepara para wanita yang hadir dalam shalat
berjamaah di masjid untuk bersegera kembali ke rumah setelah menunaikan shalat.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah radliyallahu 'anha : "Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunaikan shalat shubuh ketika hari
masih gelap. Maka para wanita Mukminah berpaling (meninggalkan masjid) dalam
keadaan mereka tidak dikenali karena gelap atau sebagian mereka tidak mengenali
sebagian lainnya." (HR. Bukhari 872)
Musthafa Al Adawi berkata setelah membawakan hadits di atas:
[ Imam Bukhari membuat satu bab untuk hadits ini dalam kitab Shahih-nya dan
diberi judul : Bab Bersegeranya Wanita Meninggalkan Masjid Setelah Shalat
Shubuh dan Sebentarnya Mereka Berdiam di Masjid. Al Hafidh Ibnu Hajar dalam
Fathul Bari menjelaskan : "Dikhususkan waktu shubuh karena mengakhirkan
keluar dari masjid (berdiam lama di masjid, pent.) berakibat suasana sekitar
sudah terang. Maka sepantasnya wanita bersegera keluar. Berbeda dengan Isya,
karena suasana akan semakin gelap hingga tidak bermudlarat untuk berdiam lebih
lama di masjid (tentunya dengan catatan aman dari fitnah dan tidak ada gangguan
yang membahayakan si wanita di jalanan seperti zaman sekarang ini, wallahu
a'lam, pent.)." ]
Aku (Mustafa Al Adawi) katakan : "Ucapan Al Hafidh ini
diikuti oleh hadits berikutnya (hadits Ummu Salamah yang akan disebutkan
setelah ini, pent.). Maka tidak ada maknanya untuk mengkhususkan waktu shubuh
daripada waktu lainnya dalam hal bersegeranya wanita keluar dari masjid. Yang
benar, para wanita bergegas meninggalkan masjid setelah menunaikan semua shalat
hingga memungkinkan mereka untuk pergi sebelum bercampur-baur dengan
laki-laki." (Jami' Ahkamin Nisa' 1/285)
Hindun bintu Al Harits berkata bahwa Ummu Salamah --istri
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam-- menceritakan padanya tentang para wanita
di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : "Apabila mereka telah
mengucapkan salam dari shalat fardlu, mereka berdiri meninggalkan masjid
sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beserta para pria yang ikut
shalat tetap tinggal selama waktu yang dikehendaki Allah. Maka apabila
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri, para pria pun ikut
berdiri." (HR. Bukhari 866)
Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah juga, ia berkata :
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bila telah selesai salam (dari shalat)
beliau tinggal sejenak di tempatnya (sebelum berdiri meninggalkan masjid,
pent.)." (HR. Bukhari 849)
Berkata seorang perawi hadits di atas : "Kami
berpendapat, wallahu a'lam, beliau berbuat demikian agar ada kesempatan bagi
para wanita untuk meninggalkan masjid."
Imam Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar 2/315 berkata
: "Hadits ini menunjukkan disunnahkannya imam untuk memperhatikan keadaan
makmum dan bersikap hati-hati dengan menjauhi apa yang dapat mengantarkan kepada
perkara yang dilarang ... ."
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : "Jika pria dan
wanita hadir bersama imam (dalam shalat berjamaah) maka disunnahkan bagi sang
imam dan jamaah pria agar tetap tinggal di tempat (selesai menunaikan shalat)
sekadar imam berpendapat bahwa jamaah wanita telah meninggalkan masjid ...
." (Al Mughni 2/560)
Musthafa Al Adawi berpendapat : "Bila di masjid itu ada
pintu khusus bagi wanita dan mereka terhijab dari kaum pria dan kaum pria tidak
melihat mereka maka tidak ada larangan --wallahu a'lam-- bagi mereka untuk
tetap tinggal di tempat shalat agar mereka dapat bertasbih, bertahmid,
bertakbir, dan bertahlil dengan dzikir-dzikir tertentu setelah shalat karena
para Malaikat bershalawat untuk orang yang shalat selama ia tetap di tempat
shalatnya dalam keadaan berdzikir pada Allah dan selama ia belum berhadats
sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam." (Jami' Ahkamin Nisa' 1/286-287)
Sebaik-Baik Shaf Wanita
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abi Hurairah
radliyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda : "Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang pertama dan
sejelek-jelek shaf pria adalah yang paling akhir. Sebaik-baik shaf wanita
adalah yang paling akhir dan sejelek-jeleknya yang paling depan." (HR.
Muslim nomor 440, Nasa'i 2/93, Abu Daud 678, Tirmidzi 224 dan ia berkata :
"Hadits hasan shahih." Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits ini nomor
1000)
Ada beberapa pendapat ulama dalam permasalahan ini, diantaranya
: Berkata Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarhu Muslim (halaman 1194) :
"Adapun shaf pria maka secara umum selamanya yang terbaik adalah shaf yang
pertama dan yang paling jelek adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf wanita
maka yang dimaksudkan dalam hadits adalah shaf-shaf wanita yang shalat bersama
kaum pria. Sedangkan bila mereka (kaum wanita) shalat terpisah dan tidak
bersama kaum pria maka mereka sama dengan pria, yakni sebaik-baik shaf mereka
adalah yang paling depan dan seburuk-buruknya adalah yang paling akhir. Yang
dimaksud dengan jelek-nya shaf bagi pria dan wanita adalah yang paling sedikit
pahalanya dan keutamaannya serta paling jauh dari tuntutan syar'i. Sedangkan
shaf yang paling baik adalah sebaliknya. Shaf yang paling akhir bagi jamaah
wanita yang hadir bersama jamaah pria dikatakan memiliki keutamaan karena
jauhnya para wanita itu dari bercampur (ikhtilath) dengan pria, dari melihat
pria, dan tergantungnya hati tatkala melihat gerakan kaum pria, serta mendengar
ucapan (pembicaraan mereka), dan semisalnya. Dan celaan bagi shaf yang terdepan
bagi jamaah wanita (yang hadir bersama pria) adalah sebaliknya dari alasan di
atas, wallahu a'lam."
Beliau rahimahullah berkata juga dalam Al Majmu' 4/301 :
"Telah kami sebutkan tentang disunnahkannya memilih shaf pertama kemudian
sesudahnya (shaf kedua) kemudian sesudahnya sampai shaf yang akhir. Hukum ini
berlaku terus-menerus bagi shaf pria dalam segala keadaan dan juga bagi shaf
wanita yang jamaahnya khusus wanita, terpisah dari jamaah pria. Adapun jika
kaum wanita shalat bersama pria dalam satu jamaah dan tidak ada
pemisah/penghalang diantara keduanya, maka shaf wanita yang paling utama adalah
yang paling akhir berdasarkan hadits Abi Hurairah radliyallahu 'anhu (telah
disebutkan di atas, pent.)."
Berkata Imam Syaukani rahimahullah : [ Sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam : " ... dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling
akhir."
Dikatakan paling baik karena berdiri pada shaf tersebut
menyebabkan jauhnya dari bercampur dengan pria, berbeda dengan berdiri di shaf
pertama dari shaf-shaf jamaah wanita karena mengandung (kemungkinan) bercampur
dengan pria dan tergantungnya hati dengan mereka (para pria) disebabkan melihat
mereka dan mendengar ucapan mereka. Karena inilah, shaf pertama dinyatakan
paling jelek (bagi wanita). (Nailul Authar 3/184) ]
Dalam Subulus Salam 2/30 (Maktabah Dahlan), Imam Shan'ani
rahimahullah berkata : "Shaf yang paling akhir dikatakan shaf yang terbaik
bagi wanita. Alasannya karena dalam keadaan demikian mereka berada jauh dari
pria, dari melihat, dan mendengar omongan mereka. Hanya saja alasan ini tidak
sempurna kecuali bila shalat mereka dilakukan bersama kaum pria. Adapun bila
mereka shalat dan imam mereka juga wanita (jamaah khusus wanita, pent.) maka
shaf-shaf mereka hukumnya seperti shaf-shaf pria yaitu yang paling utama adalah
shaf pertama."
Musthafa Al Adawi berkata setelah menyebutkan hadits Abi
Hurairah di atas : [ Ketentuan ini berlaku bila kaum wanita bergabung bersama
kaum pria dalam shalat berjamaah dimana mereka berada di belakang shaf-shaf.
Adapun bila jamaahnya khusus wanita atau bersama kaum pria dalam melaksanakan
shalat akan tetapi mereka tidak dapat terlihat oleh pria, maka shaf yang paling
baik adalah yang paling depan berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam :
"Seandainya mereka tahu keutamaan shaf yang terdepan
niscaya mereka akan berundi untuk mendapatkannya." (HR. Bukhari 721) ]
(Jami' Ahkamin Nisa' 1/353-354)
Bolehnya Wanita Shalat Sunnah di Masjid
Sebagaimana wanita dibolehkan untuk shalat berjamaah di
masjid, dibolehkan pula baginya untuk melakukan shalat sunnah di masjid selama
aman dari fitnah dan terpenuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Hal ini berdalil
dengan riwayat Imam Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radliyallahu
'anhu. Anas berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid,
tiba-tiba beliau mendapatkan seutas tali terbentang diantara dua tiang
(masjid). Maka beliau bersabda : "Tali apa ini?" Para shahabat
menjawab : "Tali ini milik Zainab. Bila ia merasa lemah (dari melaksanakan
shalat sunnah, pent.) ia bergantung dengan tali ini." Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda : "Jangan, putuskan tali ini! Hendaklah salah
seorang dari kalian shalat dalam keadaan ia bersemangat maka kalau ia lemah
hendaklah ia duduk." (HR. Bukhari hadits 1150, dikeluarkan juga oleh
Muslim, Abu Daud 1312, Nasa'i, dan Ibnu Majah 1371)
Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 3/37 :
"Hadits ini menunjukkan upaya menghilangkan kemungkaran dengan tangan dan
lisan dan menunjukkan bolehnya para wanita menunaikan shalat nafilah (sunnah)
di masjid."
Penutup
Sebelum seorang wanita melangkah ke masjid, ia harus melihat
syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam agama ini agar ia tidak jatuh dalam
pelanggaran dan perbuatan dosa. Dan ia hendaknya tidak melupakan sabda Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Ummu Humaid ketika Ummu Humaid berkata :
"Ya Rasulullah, sesungguhnya aku senang shalat bersamamu." Nabi
menjawab :
"Sungguh aku tahu bahwa engkau suka shalat bersamaku,
namun shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan
shalatmu di masjid kaummu lebih-baik daripada shalatmu di masjidku ini."
(HR. Ibnu Khuzaimah 1689, Ahmad 6/371, Ibnu Abdil Barr dalam Al Isti'ab. Kata
Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini : "Isnadnya hasan dengan syawahid." Lihat
Al Insyirah halaman 74)
Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini menyatakan : "Bersamaan
dengan dibolehkannya wanita keluar ke masjid maka sesungguhnya shalatnya di
rumahnya lebih utama daripada hadirnya ia dalam shalat berjamaah (di
masjid)." (Al Insyirah halaman 73)
Wallahu A'lam Bish Shawwab.
(Dikutip dari tulisan Ummu Ishaq, judul asli Shalatnya Wanita
di Masjid, dari majalah Salafy MUSLIMAH XXXII/1420/1999/Kajian Kita, url sumber
http://www.geocities.com/dmgto/muslimah201/wanitamasjid.htm).
Makkah Fajr - 15th November 2024
-
*Makkah Fajr *
(Surahs Sajdah & Insaan) *Sheikh Dosary*
Download 128kbps Audio
1 hari yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar