A. Peran Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Telah kita ketahui
bersama bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah manhaj yang benar dan yang
paling benar sehingga kita tidak membutuhkan lagi manhaj-manhaj yang lain. Para
ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah telah membela dan menegakkan manhaj ini dari
masa
ke masa. Hal ini bisa kita saksikan dengan membaca buku-buku mereka yang
mengandung bergudang-gudang ilmu di dalam menerangkan manhaj yang shahih ini.
Bahkan tak jarang pula kita saksikan mereka membantah ahlul bid’ah dengan keras
di dalam buku-buku mereka. Semua itu untuk menjaga Dien ini agar tetap bersih
dari berbagai macam manhaj bid’ah yang selalu muncul pada setiap masa.
Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan selalu membawa
ilmu ini orang-orang yang adil dari para penerus, mereka menghilangkan
daripadanya perubahan dari orang yang melampaui batas (terhadap Dien),
kebohongan ahlul bathil, dan pentakwilan orang-orang jahil.” (Hadits Hasan,
lihat Ta’liq Al Hiththah oleh Syaikh Ali Hasan[1])
Ilmu yang dimaksud
dalam hadits ini adalah Dien sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Imam
Muhammad bin Sirin rahimahullah :
“Sesungguhnya ilmu
ini adalah Dien. Maka lihatlah olehmu dari siapa kamu mengambil Dienmu.”
(Muqaddimah Shahih Muslim 1/14)
Berkata Ibnul Qayyim
Al Jauziyyah dalam kitabnya, Miftah Daarus Sa’adah :
“Maka Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkan bahwa ilmu yang beliau datang
dengannya akan selalu dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya yang ada
di antara para penerus hingga ilmu tersebut tidak akan tersia-siakan dan tidak
akan hilang[2].”
Demikian pula
pendapat Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya, Ad Dinul Khalish
3/261-263 ketika menjelaskan hadits ini :
“Maksud ilmu dalam
hadits ini adalah ilmu Al Kitab dan As Sunnah yang akan dibawa di setiap jamaah
yang datang sesudah Salaf oleh orang-orang yang adil di antara mereka yang
selalu meriwayatkan ilmu tersebut. Mereka menghilangkan dari ilmu itu tahriful
ghalim.”
Artinya (tahriful
ghalim adalah) perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas
dalam perkara Dien. Arti kata tahrif adalah merubah Al Haq dengan kebathilan,
baik perubahan secara lafadh maupun perubahan secara makna. Dan intihalul
mubthilin maksudnya mereka menolak seluruh dustanya ahlul bathil. Kata intihal berarti
seseorang mengakui sesuatu untuk dirinya dengan dusta, baik berbentuk syair
atau perkataan dan kata ini adalah kiasan dari kedustaan. Ta’wiilul jahilin
maksudnya mereka (orang adil dari generasi penerus) menolak seluruh
takwil-takwil orang jahil dimana mereka melakukan takwil tidak dengan ilmu dan
pemahaman terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits. Akhirnya mereka memalingkan
(makna ayat dan hadits) dari dhahirnya.
Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid Al Halabi Al Atsary mengatakan dalam mengomentari hadits ini :
“Maka peran dari
orang yang membawa ilmu (Dien ini) sebagai ganti para Rasul, tegak di atas tiga
dasar :
1) menolak perbuatan ghuluw
(berlebih-lebihan dalam Dien).
2) Membatalkan kebathilan.
3) Menyingkap kejahilan[3].”
Syaikh Salim Al
Hilali berkata :
“Maka sesungguhnya
membantah ahlul ahwa’ (pengikut hawa nafsu[4]) adalah pintu yang mulia dan
termasuk daripada pintu-pintu jihad. Kenapa? Karena orang-orang yang melakukan
(bantahan tersebut) berada pada kedudukan orang yang menjaga Dien ini. Mereka
menghilangkan darinya tahrif yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw,
melenyapkan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang bathil, dan takwil
yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil. Mereka telah mengibarkan Al Haq dan
menghunus pedang ilmu agar Islam tetap putih bersih, bersinar dengan sinar yang
meliputi risalah yang diturunkan kepada penutup para Nabi Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam[5].”
Maka dengan adanya
beberapa penjelasan di atas kita ketahui bahwa merupakan sunnah para ulama
Ahlus sunnah Wal Jamaah membantah ahlul bid’ah agar Dien ini tetap putih bersih
sebagaimana asalnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Aku tinggalkan kamu
dalam keadaan Dien ini putih bersih. Malamnya seperti siangnya yang tidak akan
menyimpang daripadanya setelahku kecuali (hanya orang-orang yang) akan hancur.”
(HR. Ahmad, shahih)
Semua itu mereka
lakukan dalam rangka memberi nasihat kepada umat ini sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Dien itu adalah
nasihat (tiga kali).” Kemudian beliau bersabda : “Nasihat itu bagi Allah, bagi
Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi para imam kaum Muslimin, dan kaum Musilmin
umumnya.” (HR. Muslim)
B. Sururiyah Dan Al Inshaf
Sururiyah adalah satu
pemahaman yang dinisbatkan kepada seorang mantan anggota ikhwanul muslimin yang
bernama Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin. Pemahaman ini
menggembar-gemborkan sikap adil di dalam mengkritik ahlul bid’ah, buku-bukunya,
dan organisasinya (baca : hizb) dengan mewajibkan untuk menyebut
kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Inilah yang diistilahkan dengan al
inshaf. Pemahaman al inshaf gaya sururiyyah ini telah banyak mempengaruhi para
pemuda Salafiyyin. Akibatnya mereka meninggalkan manhaj yang telah digariskan
oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dulu dan sekarang dalam mengkritik
ahlul bid’ah. Cara bersikap mereka terhadap ahlul bid’ah pun menjadi rancu.
Yang lebih tragis lagi, mereka menyangka bahwa al inshaf yang
digembor-gemborkan pemahaman sururiyah itu adalah manhaj yang benar, manhajnya
Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pemahaman al inshaf gaya sururiyah ini lambat laun
menjadi mantap di dalam jiwa-jiwa mereka. Sikap Al Wala’ Wal Bara’ yang ada
pada mereka menjadi lemah. Semestinya mereka memberikan Al Wala’ kepada Ahlus
Sunnah yang membela Dien ini dan
menjaganya dari berbagai macam pikiran sesat ahlul bid’ah dengan cara
membantah, mengkritik ahlul bid’ah, karyanya, dan golongannya tanpa harus
berbasa-basi menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka. Ini semua dalam rangka
menasihati umat agar berhati-hati terhadap ahlul bid’ah. Tapi yang terjadi
justru kebalikannya. Mereka --para pemuda Salafiyyin tersebut-- memberikan
Wala’-nya (loyalitasnya) kepada ahlul bid’ah. Hal ini terbukti ketika Ahlus
Sunnah mengkritik ahlul bid’ah tanpa menyebut kebaikan-kebaikan yang ada
padanya, mereka beramai-ramai membela ahlul bid’ah dengan pemahaman inshaf yang
mewajibkan untuk menyebut kebaikan ahlul bid’ah di dalam mengkritiknya. Yang
lebih lucu lagi, mereka mengecam Ahlus Sunnah yang melakukan hal itu dan
menganggap Ahlus Sunnah itu orang-orang yang kotor mulutnya, kasar, lancang,
dan berbagai macam tuduhan-tuduhan lain yang mereka lontarkan dalam rangka
membela ahlul bid’ah. Mereka menganggap ahlul bid’ah didzalimi karena tidak disebut
kebaikannya.
Sikap Bara’ yang ada
pada mereka pun demikian pula keadaannya. Semestinya sikap itu mereka berikan
kepada ahlul bid’ah yang telah merusak Dien ini. Tapi apa yang terjadi? Mereka
justru mem-bara’ Ahlus Sunnah yang mereka anggap telah berbuat dzalim terhadap
ahlul bid’ah.
Termasuk juga akibat
dari adanya pemahaman al inshaf versi sururiyah ini adalah kaburnya Al Haq di
hadapan kebanyakan dari pemuda Salafiyyin (baca : Ahlus Sunnah) yang
terpengaruh dengan pemahaman ini sehingga mereka tidak bisa membedakan mana
manhaj yang haq dan mana yang bathil. Mereka menganggap sama seluruh
manhaj-manhaj yang ada sekarang ini karena seluruhnya berada di bawah bendera
Islam. Konon katanya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga
perlu adanya sikap tasamuh (toleransi) sesama manhaj.
Nah, ucapan seperti
inilah yang sering diucapkan para sururiyin dengan perkataan mereka :
“Kita saling
tolong-menolong pada perkara yang kita sepakati dan kita saling memaafkan pada
perkara yang kita perselisihkan.”
Tentu saja kalimat
ini adalah kalimat yang haq, akan tetapi yang dimaksudkan dengannya adalah
kebathilan karena dengan kalimat ini mereka (para sururiyin) mengambil sikap
untuk toleransi dengan berbagai manhaj yang ada sekarang ini.
Oleh sebab itu,
dengan berbagai macam kejadian atau kenyataan seperti yang telah disebutkan di
atas, perlu kiranya kita sebutkan beberapa buku yang ditulis oleh orang-orang
yang telah terpengaruh oleh pemahaman al inshaf sururiyah ini agar para pemuda
Salafiyyin menghindari buku-buku tersebut demi menjaga akidah dan manhaj mereka
supaya tetap lurus di atas akidah dan manhaj yang benar seperti yang telah diajarkan
para Salafus Shalih. Di antara karangan mereka (sururi) adalah :
Manhaj Ahlus Sunnah
Wal Jamaah fi Taqwiim Ar Rijaal Wa Mu’allafaatihiim karya Ahmad Shuwayyan,
Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah fin Naqdi Wal Hukmil Aakharin karya Ashshiny,
Min Akhlaaq Ad Daa’iyah karya Salman Al ‘Audah, Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin
Al Jama’ah Al Islamiyah karya Zaid Al Zaid, Al I’tidal Liman Araada Takwiim Al
Jamaah Warrijal karya Al Muqthiri, dan banyak lagi karangan-karangan yang
lain[6].
C. Beberapa Perkataan Sururiyin Mengenai Al
Inshaf Dan Bantahannya
Zaid Al Zaid di dalam
kitabnya Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al Jama’ah Al Islamiyah berkata (dengan
perkataan yang rusak, red.) :
“Ketetapan yang
kelima, adil di dalam mengkritik adalah sekaligus menyebutkan kebaikan-kebaikan
dan keburukan-keburukan. Maka yang namanya adil (dalam mengkritik) menuntut
disebutkannya kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan secara bersamaan ketika
itu. Dan tidaklah termasuk al inshaf (berlaku adil dalam mengkritik) sedikit
pun orang-orang yang mengkritik suatu jamaah dari jamaah-jamaah Islamiyah atau
suatu umat dari umat-umat Islamiyah dengan hanya menyebutkan
kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan, dan keburukan-keburukan (suatu
jamaah atau suatu umat tertentu) saja. Sesungguhnya (kritikan) seperti ini
melampaui batas al adl (keadilan) dan juga menyia-nyiakan kebenaran yang ada
pada jamaah (atau umat) tersebut[7].”
Berkata (dengan
perkataan yang rusak, red.) Salman Al Audah tentang al adl[8] : “Maka ketika
kamu meneliti suatu kitab bukanlah termasuk al adl (keadilan) jika kamu hanya
mengatakan, sesungguhnya (kitab ini) mengandung hadits-hadits dhaif (lemah) dan
maudhu’ (palsu) --misalnya-- (atau mengandung) pendapat-pendapat yang ganjil
sehingga dengan demikian kamu hanya menyebutkan sisi kedhalimannya saja dan
melupakan sisi yang lain yang ada dalam kitab tersebut yakni sisi yang
mengandung pengarahan-pengarahan yang berfaidah atau pembahasan-pembahasan
ilmiah. Sesungguhnya jika kamu hanya menyebutkan sebagian saja (dari isi suatu
kitab) dan mengabaikan sebagian yang lain daripadanya, perbuatan ini adalah
perbuatan yang tidak amanah (yakni tidak menjaga amanah). Kebanyakan dari
manusia semata-mata melihat satu kesalahan pada suatu kitab karena membawakan
sebuah hadits yang dhaif atau mempunyai kesalahan pada suatu permasalahan.
Setelah itu dia langsung meninggalkannya dan memberi peringatan kepada manusia
agar meninggalkannya pula. Kalau kita lakukan sikap seperti ini kepada
kitab-kitab Ahlul Ilmi maka tidak akan tersisa bagi kita satu kitab pun.”
Kemudian dia (Salman
Al Audah) berkata kembali (dengan perkataan yang rusak, red.) pada halaman
berikutnya[9] : “Sikap yang adil (al adl) adalah kita mengambil ini dan itu
kemudian kita letakkan yang ini pada satu tangan timbangan dan yang lain pada
tangan timbangan yang lain hingga jadilah timbangan itu lurus dan sama
berat[10].”
Berkata pula tokoh
mereka (sururi) yang lain, Ahmad Ash Shuwayyan : “Yang kelima, perimbangan
antara perkara yang positif dan perkara yang negatif adalah apabila telah jelas
bahwa manusia bagaimanapun kedudukannya mempunyai kebenaran dan kesalahan maka
tidak boleh bagi kita membuang seluruh ijtihad-ijtihadnya. Bahkan kita melihat
pendapatnya yang sesuai dengan kebenaran dan kita berpegang dengan pendapatnya
kemudian kita berpaling dari berbagai macam kesalahannya. Maka perimbangan (Al
Muwazanah) antara perkara yang positif dan perkara yang negatif seperti inilah
yang dinamakan al adl (keadilan) dan al inshaf[11].”
Membaca beberapa
nukilan di atas kita melihat apa yang dikatakan oleh para sururiyin tersebut
seakan-akan merupakan suatu kebenaran sehingga banyak dari kalangan Salafiyyin
(Ahlus Sunnah) terpengaruh dengannya. Padahal tidak demikian. Kalau kita lihat
bantahan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap apa yang mereka katakan
itu kita baru akan mengetahui betapa bahayanya apa yang mereka katakan dan
alangkah salahnya pemahaman mereka itu.
Di antara ulama Ahlus
Sunnah yang membantah perkataan mereka ialah Syaikh Abu Ibrahim bin Sulthan Al
Adnani. Menanggapi perkataan Zaid Al Zaid, beliau berkata :
[ Atas perkataan
seperti ini maka orang yang mencukupkan diri dengan hanya menyebutkan
kejahatan-kejahatan seseorang, suatu kelompok atau kaset, dan lain-lain (di
dalam mengkritik) adalah orang yang tidak adil bahkan berbuat dzalim di dalam
menghakiminya. Perkataan seperti ini mengharuskan bahwa orang yang hanya
menyebutkan kebaikan-kebaikan saja (di dalam menilai) juga termasuk orang yang
dzalim dan ini jelas merupakan konsekuensi yang rusak. Sedangkan konsekuensi
suatu perkataan apabila rusak menunjukkan rusaknya perkataan tersebut. Hal ini
akan lebih jelas bila kita melihat firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Sungguh telah kafir
orang yang mengatakan : “Sesungguhnya Allah salah satu dari yang tiga … .” (QS.
Al Maidah : 73)
Pada ayat ini Allah
menyebutkan kejahatan-kejahatan (nashara) dan tidak menyebutkan
kebaikan-kebaikan mereka. Maka apakah hal ini bisa dikatakan keadilan atau
kedhaliman?
Akan tetapi, memang
sudah merupakan manhaj mereka untuk membikin indah (suatu pendapat). Akhirnya
mereka juga memperindah (pendapatnya yang di atas) agar mereka dapat
melaksanakan apa yang dikehendaki … dan seterusnya[12]. ]
Dalam membantah
perkataan Salman Al Audah, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata : “Al Adl
(keadilan) lawan dari Al Juur (kedhaliman). Maka apabila didapati bid’ah-bid’ah
dan penyimpangan-penyimpangan pada suatu kitab kemudian seorang Muslim
menyebutkan (kebid’ahan dan penyimpangan-penyimpangan tersebut) dalam rangka
menasihati dan memberikan peringatan kepada kaum Muslimin (agar berhati-hati
daripadanya), tidak bisa hal ini dikatakan termasuk daripada perbuatan dhalim
sedikitpun. Permisalannya seperti seseorang yang mempunyai keburukan dan
kebid’ahan kemudian kamu sebutkan apa yang dia punyai itu dalam rangka memberi
nasihat. Maka tidak bisa penyebutan itu sebagai suatu kedhaliman atau perbuatan
ghibah bahkan termasuk dari pintu nasihat dan ini adalah suatu perkara yang
sudah diakui oleh para ulama Islam … . Sesungguhnya kedhaliman itu adalah
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan penyebutan
keburukan-keburukan dan kebid’ahan-kebid’ahan yang ada pada kitab-kitab dan
orang-orang dalam rangka menasihati kaum Muslimin adalah perkara yang
dianjurkan di dalam syariat. Ini dapat memberikan maslahat (kebaikan) dan
menolak kerusakan-kerusakan. Seharusnya dia (Salman) mengatakan (pendapatnya)
ini dalam berbuat adil terhadap nash-nash. Akan tetapi nampak bagiku dari
perbuatan-perbuatannya kalau dia mengumumkan pemakaian sikap al adl seperti ini
di dalam mengkritik orang-orang dan kitab-kitab tertentu. Memang sikap adil
dianjurkan dan harus digunakan. Akan tetapi penyebutan keburukan-keburukan dan
berbagai kebid’ahan untuk menasihati kaum Muslimin itu tidak harus bersamaan
dengan disebutkannya kebaikan-kebaikan karena dengan demikian akan hilang
tujuan menasihati. Dan orang yang dinasihati akan menjadi kabur pemahaman Al
Haq (kebenaran) baginya. Kemudian juga tidak ada nash-nash yang berjalan di
atasnya (di atas manhaj inshaf tadi) dan tidak pula ada pada amalan para
Salafush Shalih.”
Selanjutnya Syaikh
Rabi’ membantah perkataan Ahmad Shuwayyan dengan mengatakan :
[ Tidak ada
perselisihan dalam permasalahan ini jika terhadap imam mujtahidin yang mereka
berijtihad untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya baik secara bathin maupun dzahir.
Dan mereka pada keadaan yang demikian berusaha mencari Al Haq dengan ijtihadnya
sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada mereka. Maka mereka mendapatkan
dua pahala jika mereka benar dan mendapatkan satu pahala jika salah dan telah
lewat penjelasan tentang mereka. Akan tetapi pembicaraan kita adalah pada ahlul
bid’ah, ahlul dhalal, dan ahlul jahl. Allah berfirman tentang mereka :
“Apakah mereka mempunyai
sesembahan-sesembahan selain Allah yang membuat syariat (bid’ah) untuk mereka
dalam agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura : 21)
Dan Allah juga
berfirman :
Katakanlah : “Rabbmu
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)
Pembicaraan kita juga
pada orang-orang yang berani berfatwa tanpa ilmu dan orang-orang yang membuat
manhaj. Mereka meletakkan kaidah-kaidah dan membentuk ushul-ushul yang
seluruhnya jauh dari manhaj Islam tanpa dalil-dalil dan keterangan-keterangan.
(Pembicaraan) juga tertuju pada orang yang Allah firmankan tentang mereka.
“Dan janganlah kamu
mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu serta dusta, ini halal
dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung.”
(QS. An Nahl : 116)
Demikian pula pada
pengikut-pengikut mereka (orang-orang yang telah disebutkan di atas) yang mana
Allah juga berfirman tentang orang yang semisal mereka :
“Mereka menjadikan
orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain Allah.” (QS. At
Taubah : 31)
Pengikut mereka ini
adalah orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam sebagai jawaban terhadap perkataan Adi bin Hatim ketika ia mengatakan :
“Demi Allah, kami tidak pernah mengibadahi mereka (para alim dan rahib-rahib
itu).” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukankah
mereka menghalalkan yang haram kemudian kalian juga ikut menghalalkannya. Dan
bukankah mereka mengharamkan yang halal kemudian kalian ikut mengharamkannya?”
Adi menjawab : “Benar.” Nabi bersabda lagi : “Itulah namanya mengibadahi
mereka.” (Hadits hasan riwayat Tirmidzi dan Baihaqi)
Kewajiban membedakan
antara ulama mujtahidin dengan golongan-golongan manusia (seperti yang
disebutkan di atas) itu sama dengan kewajiban membedakan antara orang yang
berpegang dengan Al Haq, mengambil pendapat para ulama mujtahid yang sesuai
dengan (Al Haq) yang Rasul datang dengannya dan menolak yang menyelisihinya
dengan orang-orang yang tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang salah
pendapatnya dari para ulama mujtahid tersebut, tidak menjauhkan diri dari
mensucikan ahlul bid’ah dan ahlul jahl, mengambil pendapat-pendapat mereka yang
bathil, manhaj, dan dasar-dasar mereka yang rusak. Aku tidak melihat Al Akh
Suwayyan membedakan jenis-jenis manusia ini. (Sebenarnya) wajib atasnya
membeda-bedakan dengan jelas dan mempunyai perhatian untuk menjelaskan
bahayanya bid’ah serta berhati-hati daripadanya dan ahlul bid’ah.
Uslub seperti ini
--yaitu lemahnya perhatian terhadap perkara bid’ah-- telah menjadi kesenangan
bagi kebanyakan para da’i dan pembaharu. Bahkan kamu akan mendapati para dai
tersebut membela ahlul bid’ah, memuji mereka, meninggikan sebutan mereka, dan
bahkan juga menganggap sebagian tokoh ahlul bid’ah sebagai pembaharu atau
imam-imam tajdid. Di sana terdapat buku-buku (yang dikarang para dai tersebut)
yang ditulis untuk membela jenis-jenis manusia (yang telah disebutkan di atas).
Tidak ada pada mereka (para dai) semangat untuk berpegang kepada Al Haq dan
tidak ada pula kesiapan untuk membedakan Al Haq dan Al Bathil. Lisan mereka
mengatakan :
“Sesungguhnya kami
mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami
orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka[13].” (QS.
Az Zukhruf : 22) ]
D. Beberapa Fatwa Para Ulama Mengenai
Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Seseorang, Kitab, dan
Kelompok-Kelompok
Sebenarnya Ahlus
Sunnah wal Jamaah mempunyai manhaj di dalam mengkritik. Manhaj itu telah
diwariskan kepada kita oleh para ulama yang dulu maupun sekarang. Salah satu
contoh dari mereka --ulama mutaqaddimin (terdahulu)-- seperti Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah yang tidak diragukan lagi pengorbanan beliau untuk Islam dan
sikapnya yang tegas dan keras dalam mengkritik ahlul bid’ah. Beliau tidak
pernah mengharuskan bagi dirinya ataupun orang lain untuk menyebut
kebaikan-kebaikan bersamaan penyebutan keburukan-keburukan dalam mengkritik.
Beliau juga tidak pernah menganggap orang yang melakukan hal yang demikian
dalam mengkritik sebagai orang yang dhalim, tidak adil, dan tidak bersikap
inshaf. Ini karena memang sikap adil dan inshaf dengan cara mengharuskan untuk
menyebut kebaikan-kebaikan bersamaan dengan keburukan-keburukan dalam
mengkritik itu tidak pernah diajarkan oleh para Salafush Shalih. Bahkan kalau
kita lihat kitab karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah diantaranya Majmu’
Fatawa seringkali beliau dalam kitab tersebut mengkritik ahlul bid’ah dari
berbagai macam golongan dengan tidak menyebut kebaikan yang ada pada mereka.
Demikian pula yang
dilakukan oleh seorang ulama besar yang bernama Hasan Al Bashri. Beliau pernah
berkata : “Apakah kamu benci untuk menyebutkan (keburukan-keburukan) orang yang
jahat? Sebutkanlah (keburukan-keburukan) itu oleh kamu sekalian agar manusia
berhati-hati daripadanya.” Dan telah diriwayatkan pula yang seperti ini secara
marfu’. (Lihat Tafsir Suratun Nuur karangan Ibnu Taimiyyah tahqiq Ali Hasan Ali
Abdul Hamid)
Kemudian Al Hafidz
Ibnu Rajab berbicara pula di dalam Syarah Ilalut Turmudzi 1/50, berkata Ibnu
Abi Dunya, menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Mawardzi, aku mendengar Rafi’
bin Asyras berkata : “Pernah ada orang yang mengatakan termasuk daripada
hukuman pendusta adalah tidak diterima kejujurannya dan aku katakan termasuk
daripada hukuman orang yang fasik yang mubtadi’ adalah jangan disebutkan
kebaikan-kebaikannya.”
Al Muhaqqiq berkata,
Al Kankauhi berkata dalam kitab Al Kawkabud
Durri 1/347 : “ … maka ketahuilah bahwa boleh bahkan wajib bagi para ulama
untuk menjelaskan kepada manusia aibnya (ahlul bid’ah) dan mencegah mereka dari
mengambil ilmu darinya (ahlul bid’ah). Ini adalah madzhab Salaf dan hukum-hukum
mereka serta muamalah mereka terhadap kitab-kitab dan pengarangnya serta ahlul
bida’. Sebagaimana bisa engkau lihat pada perkataan Ibnu Taimiyyah, Imam Al
Baghawi, Imam As Syathibi, Ibnu Abdil Barr dari Imam Malik dan murid-muridnya,
Imam Khatib Al Baghdadi, Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad dan para Salaf
seluruhnya[14]. Dan sikap ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mutaqadimin yang
seperti ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al
Madkhali dalam kitabnya Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub
wat Thawaif.
Di bawah ini akan
disebutkan beberapa fatwa dari para masyaikh ketika ditanya tentang manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik.
Soal 1 : Jika
dinisbatkan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik ahlul
bid’ah dan kitab-kitab mereka apakah termasuk wajib menyebut kebaikan ahlul
bid’ah bersamaan dengan kejahatan-kejahatan mereka? Atau cukup hanya dengan
menyebut kejahatan-kejahatan mereka saja?
Jawab :
Suatu hal yang ma’ruf
di dalam perkataan Ahlul Ilmi bahwa mengkritik keburukan fungsinya adalah untuk
memberi peringatan dan menerangkan kesalahan-kesalahan ahlul bid’ah yang mereka
bersalah padanya. Juga untuk memberi peringatan agar berhati-hati. Adapun
kebaikan-kebaikan (mereka) sudah ma’ruf dan kebaikan-kebaikan itu bisa diterima
(walaupun tidak disebutkan). Akan tetapi maksud (dari menyebut
kesalahan-kesalahan mereka saja) adalah untuk memberi peringatan agar
berhati-hati dari kesalahan mereka seperti menyebutkan Jahmiyah (demikian) …
Mu’tazilah … Rafidhah dan firqah-firqah lain yang sejenis. Maka jika sangat
dibutuhkan untuk menerangkan kebenaran apa yang ada pada mereka boleh saja
diterangkan dan jika ada yang bertanya kebenaran apa yang ada pada mereka
(ahlul bid’ah)? Pada perkara apa mereka mencocoki Ahlus Sunnah? Apabila yang
ditanya mengetahui hal itu dia (bisa) menerangkannya. Akan tetapi tujuan yang
paling terbesar dan terpenting menerangkan kebathilan-kebathilan yang ada pada
mereka agar orang yang bertanya itu berhati-hati dan hatinya tidak cenderung kepada
mereka.
Kemudian ada pula
yang bertanya kepada Syaikh Bin Bazz : “Bagaimana jika ada orang yang
mewajibkan al muwazanah (perseimbangan) yakni jika kamu mengkritik seorang
mubtadi’ (ahlul bid’ah) karena bid’ahnya agar kamu dapat memberi peringatan kepada
manusia supaya berhati-hati darinya wajib pula kamu menyebutkan
kebaikan-kebaikannya hingga kamu tidak mendzalimi dia?”
Maka Syaikh Bin Bazz
menjawab : “Tidak demikian keadaannya. Hal yang demikian itu tidak harus
dilakukan karena apabila kamu membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah (yang
menyebutkan keburukan ahlul bid’ah saja) maka kamu akan dapati tujuannya adalah
memberi peringatan agar berhati-hati (dari ahlul bid’ah). Coba baca kitab-kitab
karya Bukhari (seperti) kitab Khalqu Afalil Ibaad, Kitabul Adab yang ada di
dalam Shahih-nya. Demikian juga kitab At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah kemudian
kitab Rad Utsman bin Said Ad Darimi ala ahlil bida’ dan kitab-kitab lainnya.
Mereka (para ulama) mengarangnya dalam rangka memberi peringatan agar
berhati-hati dari kebathilan-kebathilan ahlul bid’ah. Lalu apa maksudnya
menyebutkan kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah itu sedangkan tujuan (mengkritik
ahlul bid’ah) sudah jelas untuk berhati-hati dari kebathilan-kebathilan mereka?
Di samping itu kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah tidak ada nilainya kalau diukur
dengan orang-orang yang menjadi kafir diakibatkan oleh kebid’ahannya. Yang ini
dapat mengkafirkan dia hingga batallah kebaikan-kebaikannya itu. Dan jika
kebid’ahannya tidak sampai mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya. Oleh
karena itu tujuan dalam mengkritik adalah menerangkan kesalahan-kesalahan dan
kekeliruan-kekeliruan yang kita wajib berhati-hati darinya.” (Dikutip dari
kaset rekaman salah satu pelajaran Syaikh Bin Bazz setelah shalat Fajar di
Thaif tahun 1413 H)
Soal 2 : Apakah
disyaratkan di dalam manhaj Salaf, al muwazanah (keseimbangan) antara
kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan dalam penyebutan ketika mengkritik
ahlul bid’ah?
Jawab :
(Syaikh Abdul Aziz
Muhammad Salman hafidhahullah) : “Ketahuilah, semoga Allah membimbing kita dan
kamu serta seluruh kaum Muslimin bahwa tidak pernah didapatkan atsar yang
datang dari salah seorang dari kalangan Salafush Shalih baik itu para shahabat
maupun tabi’in (orang yang mengikuti mereka dengan ihsan), yang mengagungkan
seorang ahlul bid’ah pun atau orang-orang yang berwala’ kepada ahlul bid’ah
atau mengagungkan orang yang mengajak berwala’ kepada ahlul bid’ah. Ahlul
bid’ah itu orang yang berpenyakit hatinya. Orang yang bercampur dengan mereka
atau berhubungan dengan mereka dikhawatirkan akan terkena penyakit (bid’ah)
mereka yang berbahaya ini karena orang sakit itu akan menjangkiti orang yang
sehat dan tidak sebaliknya. Maka berhati-hatilah dari seluruh ahlul bid’ah. Dan
termasuk ahlul bid’ah yang wajib dijauhi dan ditinggalkan adalah Al Jahmiyah,
Rafidlah, Al Mu’tazilah, Al Maturidiyyah, Al Khawarij, Shufiyah, Al Asy’ariyyah
dan siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka dari golongan yang menyimpang
dari jalan para Salaf. Maka sepantasnya bagi seorang Muslim untuk berhati-hati
terhadap ahlul bid’ah dan juga memberi peringatan (kepada orang lain) agar
berhati-hati dari mereka.”
Di samping
permasalahan sekitar jamaah-jamaah (yang ada), pertanyaan yang senada pun
pernah pula ditujukan kepada Syaikh Shalih Fauzan seperti yang dikutip di bawah
ini :
Soal 3 : Apakah Anda
memberi peringatan agar berhati-hati dari (keburukan-keburukan) mereka tanpa
Anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka? Atau akan Anda sebutkan
kebaikan-kebaikan mereka bersamaan dengan keburukan-keburukan mereka?
Jawab :
Apabila engkau
sebutkan kebaikan mereka berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan
kamu sebutkan kebaikan mereka!!! Sebutkanlah kesalahan-kesalahan mereka saja
karena engkau tidak ditugaskan untuk mempelajari perbuatan (baik) mereka dan
mendukungnya. Tetapi engkau ditugaskan menjelaskan kesalahan yang ada pada
mereka agar mereka bertaubat dan orang lain dapat berhati-hati dengannya.
Adapun jika engkau sebutkan kebaikan-kebaikan mereka maka mereka akan berkata :
“Semoga Allah membalasimu dengan kabaikan, inilah yang kami cari … .” (Dikutip
dari kaset rekaman pelajaran ke-3 Kitab At Tauhid oleh Syaikh Shalih Al Fauzan
di Thaif tahun 1413 H)[15]
E. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam
Mengkritik
Kalau kita memperhatikan
Al Qur’an kita akan mendapati bahwa Allah memuji kaum Mukminin tanpa
menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka agar manusia tergerak hatinya untuk
mencontoh mereka dan berjalan di atas jalan mereka. Sebaliknya, Allah mencela
orang-orang kafir dan munafiq dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka
tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dalam rangka inshaf seperti Allah
menyebutkan kekufuran, kefasikan, kemunafikan yang ada pada mereka dan
mensifatkan mereka dengan ketulian, kebisuan, kebutaan, kesesatan, kebodohan,
dan seterusnya. Allah tidak menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka karena
memang tidak pantas untuk disebutkan walaupun mereka juga memiliki
kebaikan-kebaikan. Maka kalau dikatakan bahwa orang yang mengkritik dengan
menyebutkan kesalahan saja tanpa menyebutkan kebaikan itu tidak berlaku adil
dan tidak inshaf apakah akan kita juga mengatakan bahwa Allah tidak adil dan
tidak inshaf? Maha Suci Allah dari perkataan seperti ini.
Dan kalau kita
perhatikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau sangat keras
memberi peringatan agar berhati-hati dari ahlul bid’ah (pengikut hawa nafsu).
Beliau tidak memandang kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka karena
kesalahan-kesalahan mereka lebih berbahaya dari maslahat yang dapat diambil
dari kebaikan-kebaikannya. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari Aisyah Ummul
Mukminin radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
membaca ayat (yang artinya) : “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an)
kepadamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat (ayat-ayat yang
terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah), itulah Ummul Kitab
(Ummul Qur’an) dan yang lain mutasyabihat (yang samar-samar belum dipahami
maksudnya atau hanya Allah saja yang faham maksudnya). Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal
tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata : ‘Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat.
Semuanya itu dari Rabb kami.’ Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran : 7)
Aisyah berkata,
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila engkau lihat
orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat maka mereka itulah orang yang
telah Allah sebutkan (pada ayat di atas) dan berhati-hatilah kamu sekalian
terhadap mereka.” (HR. Bukhari Muslim)
Dari hadits ini kita
dapat mengambil pelajaran tentang manhaj yang shahih di dalam mengkritik ahlul
bid’ah, yakni memberi peringatan agar berhati-hati dari kebathilan-kebathilan
mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka karena Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada kita agar berhati-hati dari orang-orang
yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat tanpa beliau menoleh kepada
kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Beliau tidak menyatakan Ambillah faidah
dari kebaikan-kebaikan mereka dan sebutlah kebaikan-kebaikan mereka itu.
Walaupun jelas mereka
juga mempunyai kebaikan-kebaikan tapi kebathilannya lebih besar daripada
kebaikannya. Jadi sangat menyedihkan sekali kalau sekarang kita dapati banyak
dari orang-orang yang mengaku menisbahkan dirinya pada manhaj Salaf memberikan
wala’-nya kepada ahlul bid’ah, membela manhaj mereka dan kitab-kitab mereka,
dan memberi peringatan agar berhati-hati terhadap Ahlul Haq dan Ahlus Sunnah
yang keras terhadap ahlul bid’ah. Semoga Allah menunjuki mereka!
Sikap ini pun telah ditunjukkan
pula oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang memperingatkan agar
berhati-hati dari orang-orang khawarij dimana beliau telah menyebutkan
tanda-tandanya kepada para shahabat dengan sabdanya : “Bacaan (Al Qur’an)-mu
tidak bisa mengimbangi bacaan (Al Qur’an) mereka sedikitpun. Shalat kamu tidak
bisa mengimbangi shalat mereka sedikitpun. Mereka membaca Al Qur’an dan
menyangka bahwa Al Qur’an itu dalil bagi mereka padahal hujjah atas mereka.
Makna shalat mereka tidak melewati tenggorokan mereka dan mereka keluar dari
Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya.” Dalam riwayat lain :
“Sesungguhnya jika aku mendapati mereka, aku akan bunuh mereka seperti membunuh
kaum Tsamud.” (HR. Muslim)
Di sini kita dapati
bahwa walaupun (orang-orang khawarij) itu hamba-hamba yang ikhlas di dalam
membaca Al Qur’an, shalat, dan puasa mereka tidak dapat diimbangi oleh para
shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ternyata justru
kebaikan-kebaikan mereka itu menjadi celaan dan tanda kesesatan mereka. Mereka
keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya dan kalau
Rasulullah mendapatkan mereka beliau akan membunuh mereka.
Inilah manhaj yang
diajarkan Rasulullah kepada kita di dalam mentahdzir (memberi peringatan agar
berhati-hati) dari ahlul bid’ah. Beliau tidak menoleh sedikitpun kepada
kebaikan mereka. Kebaikan mereka bahkan bisa menjadi tanda kesesatan mereka
sebagaimana yang terjadi pada orang-orang khawarij tersebut. Sikap seperti
inilah yang telah diwariskan para ulama Salaf kepada kita.
Di antara sikap ulama
Salaf terhadap ahlul bid’ah dapat dilihat pada pernyataan-pernyataan mereka
berikut ini :
Ibnu Umar berkata tentang
ahlul qadar : “Kabarkan kepada mereka, aku berlepas diri dari mereka dan mereka
berlepas diri daripadaku.”
Abu Qilabah berkata :
“Jangan kamu bermajelis bersama ashhabul ahwa (pengikut hawa nafsu).” Atau dia
berkata : “Bersama ashhabul khushumat (orang yang suka berbantah-bantahan)
karena aku merasa khawatir kalau mereka dapat menenggelamkanmu dalam kesesatan
mereka dan membuat samar kepadamu perkara yang sudah kamu ketahui.”
Seorang ahlul bid’ah
berkata kepada Ayub As Sikhtiyaani : “Ya Abu Bakr, aku hendak bertanya kepadamu
tentang satu kalimat!” Maka Ayub berpaling daripadanya dan mengatakan :
“Tidak!!! (Walaupun) setengah kalimat[16].”
Demikianlah telah
kita lihat bagaimana sikap para shahabat, tabi’in, dan para Imam Islam terhadap
ahlul bid’ah. Mereka keras terhadap ahlul bid’ah tanpa menoleh sedikitpun
kepada kebaikan-kebaikan mereka. Hal ini menunjukkan kesungguh-sungguhan mereka
terhadap tujuan-tujuan Islam karena adanya kaidah yang berbunyi :
“Menolak kerusakan
didahulukan daripada mengambil kemaslahatan[17].”
Maka dengan adanya
keterangan-keterangan di atas jelaslah sudah bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal
Jamaah dalam mengkritik ahlul bid’ah adalah dengan menjelaskan
kebathilan-kebathilan mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka agar tidak
kabur makna nasihat. Sedang mengatakan yang bathil adalah bathil itu merupakan
kewajiban sekaligus keadilan meskipun kepada karib kerabat. Sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al An’am ayat 152 yang artinya :
“Dan apabila kamu
berkata maka berlaku adillah walaupun kepada karib kerabat.”
Para ulama
menafsirkan :
Yaitu katakanlah yang
haq. (Lihat Tafsir Ath Thabari 5/395, Aisarut Tafasir 2/141 karya Abu Bakar Al
Jazairi, Ad Durrul Mantsur 3/385 karya As Suyuthi, dan Fathul Majid halaman 36)
Ini dalam rangka
untuk menasihati umat agar berhati-hati dari mereka dan kebathilan mereka.
Manhaj ini adalah manhaj yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam, para shahabat, tabi’in, dan para Imam-Imam Islam. Dan perlu
ditegaskan lagi bahwa al adl (keadilan) atau al inshaf yang benar dalam
mengkritik adalah berada di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dimana manhaj
yang haq ini berbeda dengan manhaj sururiyah.
Akhirul kalam, kita
berharap kepada Allah agar Allah menetapkan hati kita semua di atas manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah dan kita berharap agar Dia tetap menjaga kita dari
berbagai macam penyimpangan, di antaranya penyimpangan yang dilakukan oleh
paham sururiyah ini. Kita juga berharap kepada Allah semoga Dia menunjuki para
pemuda Salafiyyin yang terjerumus ke dalam pemahaman sururiyah dan ke dalam
pemahaman-pemahaman bid’ah yang lain agar kembali kepada manhaj Salaf, manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan demikian berkibarlah bendera-bendera Sunnah dan
hancurlah bendera-bendera bid’ah. Amiin Ya Rabbil Alamiin, Wallahu ‘Alam Bish
Shawab.
[1] Lihat ta'liq
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Kitab Al Hithah fi Dzikir Sihhatis Sittah
karya Siddiq Hasan Khan rahimahullah ta'ala.
[2] Miftah Darus
Sa'adah 1/163, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
[3] Lihat At
Tashfiyyah wat Tarbiyyah karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman 25 cetakan
Daarut Tauhid.
[4] Termasuk di
dalamnya ahlul bid'ah.
[5] Dikutipkan dari
kata sambutan Syaikh Salim Al Hilaly terhadap kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal
Jamaah fi Naqdi Rijal wal Kutub wat Thawaaif karya Syaikh Rabi' bin Hadi Al
Madkhali halaman 11.
[6] Quthbiyyah
halaman 19, karangan Abi Ibrahim bin Sulthan Al Adnaani.
[7] Pemahaman seperti
ini juga disebutkan di dalam kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Taqwiimir
Rijal wa Muallafaathin karya Ahmad Suwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fin
Naqdi wal Hukum alal Akharim karya Ash Shini halaman 27 dan Qawaaaidil Itidal
karya Al Maqthiri halaman 33.
[8] Lihat kitab Min
Akhlaaqid Da'iyah karya Salman Al Audah halaman 40.
[9] Lihat kitab yang
sama halaman 47.
[10] Maksudnya kita
mengambil seluruh isi kitab yang baik dan yang buruk kemudian yang baik kita
letakkan pada suatu anak timbangan dan yang buruk pada anak timbangan yang lain
maka timbangan akan sama berat. Jadi kalau kita mengkritik haruslah menyebutkan
kebaikan dan keburukan dan kalau tidak maka tidak bisa dikatakan adil. Wallahu
a'lam bish shawab.
[11] Lihat Kitab
Manhaj Ahlus Sunnah wl Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin halaman 27.
Di sini kita cukupkan hanya beberapa nukilan saja dari perkataan-perkataan
mereka (sururiyin) sebagai kesimpulan dari perkataan-perkataan yang lain.
[12] Lihat Al
Quthbiyyah halaman 30-31.
[13] Lihat Manhaj
Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaaif halaman 45-48.
[14] Lihat Kitab
Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 127-149.
[15] Fatwa-fatwa ini
dikutip dari muqaddimah Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal
halaman 8-10.
[16] Lihat Syarhus
Sunnah karangan Imam Al Baghawi 1/227.
[17] Keterangan yang
lebih jelas tentang bab ini lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi
Naqdir Rijal halaman 23-32.
Oleh : Ust. Abdul Mu’thi
http://assunnah.cjb.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar