Agama adalah suatu yang sakral dalam kehidupan manusia secara umum dan
kaum muslimin secara khusus. Karena agama diyakini sebagai suatu ajaran wahyu
dari sang Pencipta. Keberadaan agama ditengah-tengah umat ibarat sang
penyelamat dari berbagai malapetaka. Segala kerusakan dan kehancuran di muka
bumi tak lain dan tak bukan adalah akibat ulah tangan kotor para musuh dan
perusak agama.
Islam
adalah satu-satunya agama yang benar yang sangat diharapkan kehadirannya untuk
melanggengkan kehidupan di alam ini. Tanpa Islam rasanya sulit bagi manusia
untuk lepas dari berbagai angkara murka yang terdapat pada gelombang kehidupan
yang tak kenal belas kasih.
Keterikatan antara Islam dan ulama sangatlah erat. Perkembangan dan
kemajuan Islam masa lampau tak lepas dari peran ulama. Di abad modern ini
sosok-sosok ulama yang konsisten dengan agamanya sangat di butuhkan, dalam
upaya mengembalikan kaum muslimin ke masa keemasannya. Yang dimaksud dengan
ulama dalam konsep Islam yang benar adalah seseorang yang menguasai
disiplin-disiplin ilmu Islam secara utuh mulai dari ilmu alat (bahasa, sastra,
dll) sampai ilmu pelengkap lalu menerapkan dalam kepribadian, bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Al-Imam Abu Qasim Al-Ashbahani pernah
menyinggung tentang hal ini. Beliau mengatakan : “ Ulama Salaf menegaskan:
Seseorang tidak dinyatakan sebagai Imam dalam agama Islam sampai dia memiliki
beberapa hal sebagai berikut :
v Hapal berbagai bidang ilmu bahasa arab beserta perselisihannya.
v Hapal beraneka ragam perselisihan para fuqaha dan para ulama.
v Berilmu, paham dan hapal tentang i’irab (harakat akhir kata untuk
menentukan kedudukan kata tersebut pada kalimat bahasa arab, pent.) dan
perselisihannya.
v Berilmu tentang Kitabullah (Al-Qur’an) yang mencakup variasi bacaan
beserta perselisihan para ulama tentangnya, tafsir ayat-ayat muhkam dan
mutasyabih, nasikh mansukh dan kisah-kisah yang tertera didalamnya.
v Berilmu tentang hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan berkemampuan untuk membedakan shahih dan dlaif(lemah), bersambung
atau terputus (sanadnya), mursal daan musnadnya, masyhur dan gharibnya.
v Berilmu tentang atsar-atsar sahabat.
v Wara’.
v Memelihara muru’ah (kehormatan diri).
v Jujur.
v Terpercaya.
v Melandasi agamanya dengan Al-Quran dan Sunah
Apabila seseorang
telah berhasil mengaplikasikan poin-poin diatas pada dirinya, maka ia boleh
menjadi imam dalam madzhab serta berijtihad bahkan menjadi sandaran dalam agama
dan fatwa. Lalu apabila dia gagal, tidak boleh baginya menjadi imam dalam
madzhab dan panutan dalam berfatwa….” (Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah hal
306-307, cetakan Dar Rayah)
Para
ulama memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Mereka adalah pewaris
para nabi untuk mengemban misi dakwah Islam kepada segenap manusia. Baik dan
buruknya suatu generasi, suatu kaum, suatu bangsa, suatu negeri, atau suatu
lapisan masyarakat tergantung sejauh mana para ulama menjalankan perannya
sebagai pelanjut dakwah para Nabi di jagat raya ini.
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah hadist :
“…. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris
para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan uang dinar dan tidak pula uang dirham.
Hanya saja mereka mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mewarisinya, berarti
dia telah mendapatkan keuntungan yang sempurna. “
(HR.
Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)1
Keberadaan ulama pewaris para nabi
di muka bumi merupakan rahmat bagi seluruh anak Adam. Karena tanpa mereka
niscaya kehidupan manusia di seluruh alam ini tak jauh beda dengan kehidupan
binatang. Bukankah kehidupan binatang hanya bertumpu pada pemuasan syahwat
perut dan kemaluan tanpa pernah kenal syariat ? Maka demikianlah kehidupan anak
cucu Adam, kalau tidak ada ulama pewaris Nabi yang mengenalkan syariat kepada
mereka sepeninggal Nabi dan Rasul utusan Allah.
Al-Hasan
Al-Bashri pernah menegaskan hal ini dalam sebuah nasehatnya, beliau berkata:
“Kalau tidak ada ulama niscaya manusia seperti binatang.”(Minhajul Qashidin,
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal. 15, cetakan Maktabah Dar Bayan)
SAHAM ULAMA
PEWARIS NABI UNTUK ISLAM
Begitu pentingnya peran ulama
pewaris nabi dalam mengemban misi dakwah Islam, tentu banyak pula saham yang
telah mereka berikan untuk keberlangsungan Islam. Untuk mengetahui bentuk saham
tersebut alangkah baiknya kita menyimak ucapan Syaikh Tsaqil bin Shalfiq
Al-Qashimi tentang mereka. Beliau menjelaskan: “Mereka (ulama pewaris Nabi),
adalah orang-orang yang mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain untuk
mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian
mencatatnya dalam lembaran-lembaran dengan metode yang bermacam-macam seperti
(karya tulis berbentuk) musnad2, majma’3, mushannaf4,
sunan5, muwaththa’6, az-zawaid7 dan mu’jam8.
1.
Hadits ini di riwayatkan oleh Abu
Dawud(3641.3642), At-Turmudzi(2682), Ahmad(5/196), Ibnu Majah(223),
Ad-Darimi(1/98), Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ul Ulum wal Hikam 1/39, Khatib
Al-Baghdadi dalam kitab Tarikhnya (1/398). Hadits ini hasan. Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam Fathul Bari (1/160) menukil kepastian penghasanannya dari
Hamzah Al-Kinani. Lihat penjelasan ini dalam buku Al-ilmu fadluhu wa Syarafuhu
karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid hal.57. cetakan Majmu’at Tuhafin Nafais Ad-Dauliyah,
tahun 1416H(1996M)
2.
Musnad: Buku-buku hadits
yang dikarang dengan bersandar kepada nama-nama shahabat di mana pengarang
mengumpulkan hadits-hadits setiap shahabat dalam batasan tertentu.(Ushulut
Takhrij, Mahmud Thanan, hal.40. cetakan Maktabatul Ma’arif, Riyadl)
3.
Majma’: Buku-buku hadits
yang dikarang dengan mengumpulkan hadits-hadits dari beberapa karya tulis lalu
disusun menurut susunan beberapa karya tulis yang dikumpulkan padanya.(Ushulut
Takhrij, hal.103)
4.
Mushanaf: Buku-buku hadits
yang disusun menurut bab-bab fiqh. Buku-buku hadits jenis ini bermuatan hadits-hadits
Nabi, ucapan-ucapan shahabat, fatwa-fatwa tabi’in dan terkadang fatwa-fatwa
at-tabi’ut tabi’in.(Ushulut Takhrij, hal.118)
5.
Sunan: Buku-buku hadits
yang disusun menurut bab-bab fiqh dan hanya mencakup hadits-hadits yang sampai
sanadnya kepada Nabi(hadits marfu’).(Ushulut Takhrij, hal.115)
6.
Muwaththa’: Buku-buku hadits
yang dikarang menurut bab-bab fiqh. Buku hadits jenis ini berisi hadits-hadits
marfu’(hadits-hadits yang sampai sanadnya kepada Nabi), hadits mauquf
(hadits-hadits yang sanadnya hanya sampai kepada shahabat dan tidak sampai
kepada Nabi), dan hadits maqthu’ (hadits-hadits yang sanadnya hanya sampai pada
tabi’in atau orang yang di bawahnya). Gaya penyusunan kitab-kitab muwatha’
sangat mirip dengan gaya penyusunan kitab-kitab mushanaf. (Ushulut Takhrij
hal.119)
7.
Az-Zawaid: Buku-buku hadits
yang mengumpulkan tambahan yang termaktub pada sebagian kitab hadits terhadap
hadits-hadits yang tertera didalam kitab-kitab hadits yang lainnya. (Ushulut
Takhrij hal.104)
8. Mu’jam:
Buku-buku hadits yang memuat hadits-hadits menurut urutan shahabat, para
syaikh, negeri-negeri atau yang selainnya. Mayoritas buku-buku hadits jenis ini
menyusun urutan nama-nama yang ada padanya menurut urutan huruf-huruf
mu’jam.(Ushulut Takhrij hal.45)
Mereka
menjaga hadits-hadits Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan
dan tadlis9. Mereka
membedakan antara hadits-hadits shahih dari yang lemah. Oleh sebab itu
mereka membuat kaidah-kaidah hadits yang mempermudah proses pembedaan antara
hadits yang bisa diterima dari hadits yang harus ditolak.
Disamping itu
mereka juga membeda-bedakan para perawi hadits. Mereka mengarang kitab-kitab
tentang para perawi hadits: Yang terpercaya, yang lemah dan para pemalsu
hadits. Mereka menukilkan pula (dalam karangan-karangan tersebut) ucapan para
Imam yang memiliki ilmu dalam bidang pencatatan dan pemujian perawi hadits (para
ulama jarh wa ta’dil). Bahkan mereka membeda-bedakan riwayat-riwayat dari
rawi yang satu antara riwayat-riwayat yang ia diterima dari penduduk negeri
Syam, penduduk negeri Iraq atau penduduk negeri Hijaz10, Mereka juga
membedakan antara riwayat seorang yang mukhtalath (orang-orang yang kacau hapalannya)
11, mana hadits-hadits yang diriwayatkan sebelum ikhtilath dan yang
diriwayatkan sesudahnya. Demikian seterusnya.
Sesungguhnya orang yang membidani ilmu hadits dengan berbagai macam
cabangnya, pembagiannya, jenis dan karya-karya tulis tentangnya, akan
benar-benar mengakui besarnya andil mereka (ulama pewaris nabi) dalam menjaga
hadits Nabi sallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka telah menjelaskan aqidah Ahlus Sunah wal Jama’ah dengan seluruh
bab-bab nya dan membantah para ahlul bid’ah yang menyimpang darinya. Mereka
telah memberikan peringatan agar berhati-hati ahlul ahwa’ wal bid’ah, melarang
duduk bersama mereka dan berbincang-bincang dengan mereka. Bahkan mereka tidak
mau menjawab salam dari ahlul bid’ah, serta tidak mau menikahkan anak
perempuannya dengan mereka dalam rangka menghinakan dan merendahkan ahlul
bid’ah dan yang sejenisnya. Selanjutnya
mereka menulis tentang hal ini dalam banyak tulisan.
Mereka telah mengumpulkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang
berkenaan dengan tafsir Al-Quran AL-Adhim, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim,
Tafsir As-Shan’ani, Tafsir AnNaasa’i. Diantara mereka ada yang mengarang
kitab-kitab tafsir mereka seperti Tafsir At-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir dan
yang lainnya. Disamping mengarang kitab-kitab tafsir mereka juga membentuk
kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip dasar tentang tafsir Al-Qur’an. Bahkan mereka
juga membedakan antara penafsiran yang menggunakan riwayat dengan penafsiran
yang menggunakan rasio.
Keemudian mereka juga meengarang kitab-kitab fiqh dengan seluruh
bab-babnya. Mereka berusaha membahas setiap permasalahan fiqh dan menjelaskan
hukum-hukum syariat amaliyah dilengkapi dengan dalil-dalil yang rinci dari
Al-Qur’an, As Sunah,Ijma’ dan Qiyas(sebagai landasan pembahasan). Mereka
meletakan kaidah-kaidah fiqh dan yang dapat mengumpulkan berbagai cabang dan
bagian (permasalahan) dengan ilat (penyebab) yang satu. Lalu mereka juga
menyusun ilmu ushul fiqh yang mengandung kaidah-kaidah untuk melakukan istinbath
(pengambilan) hukum syariat yang bercabang-cabang. Mereka telah melahirkan
karya-karya yang cukup banyak tentang disiplin-disiplin ilmu fiqh ini.
Berikutnya juga mengarang kitab-kitab sirah, tarikh, adab, zuhud,
raqaiq(pelembut jiwa), bahasa arab, nahwu, dan bermacam-macam karangaan di
berbagai bidang ilmu yang cukup banyak…”
Demikian keterangan yang dibawakan secara panjang lebar oleh Syaikh
Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qashimi. (Sallus Suyuf wa Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal
Ad’iyais Sunnah, hal. 76-77, penerbit Dar Ibnu Atsir)
9.
Tadlis: adalah
menyembunyikan yang ada pada sanad hadits dan menampakkan baik pada dhahirnya
(Taisir Musthalahil Hadits karya Mahmud Thanan, hal.79, cetakan Maktabatul
Ma’arif)
10. Karena
kadang-kadang satu perawi hadits diterima riwayatnya kalau ia meriwayatkan dari
penduduk Syam. Tetapi ditolak kalau menerima dari penduduk Iran.
11. Ini
yang disitlahkan dengan ikhtilat dan mukhtalat dalam Musthalahul Hadits, yaitu
satu perawi yang hapalannya berubah. Awalnya dia pengahapal yang baik, kemudian
pikun misalnya. Atau seorang perawi yang asalnya dia meriwayatkan dari buku
catatannya, kemudian hilang catatannya.
Dari masa ke masa para ulama
pewaris nabi telah berjasa dalam bidang-bidang ilmu seperti yang disebutkan
diatas. Diantaranya adalah:
Ahmad bin Hanbal, Ad-Darimi, Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud,
At-Tarmidzi, An-Nasa’i, Malik bin Anas, Sufyan At-Tsauri, Ali bin Al-Madani,
Yahya bin said, Al-Qahthan, Asy-Syafi’I, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin
Mahdi, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daruquthuni, Ibnu Hibban, Ibnu ‘Adi, Ibnu Mandah,
Al-Lalikai, Ibnu Abi Ashim, Al-Khalal, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnu abdil Bar,
Al Khatib Al-Baghdadi, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahab beserta
anak-anak dan cucu-cucunya yang menjadi ulama Nejd, Muhibuddin Al-Khatib,
Muhammad Hamid Al-Fiqi dari Mesir dan ulama Sudan, para ulama Maroko dan Syam,
dan seterusnya.
Kemudian ulama masa kini yang berjalan di atas manhaj ulama
terdahulu seperti Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah
bin Baz (mufti negara Saudi Arabia), Syaikh ahlul hadits Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzaan,
Shalih Ak-Athram, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Abdullah Al Ghadyan, Shalih
Al-Luhaidan, Abdullah bin Jibrin, Abdur Razaq Afifi, Humud At-Tuwaijiri, Abddul
Muhsin Al-Abbad, Hammad Al-Anshari, Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Muhammad Aman
Al-Jami’, Ahmad Yahya An-Najami, Zaid Muhammad Hadi Al-Madkhali, Shalih
Suhaimi, Shalih Al-‘abbud dan para ulama lain yang berada di alam Islami (saat
ini).
Kita memohon petunjuk kepada Allah yang Maha Hidup dan berdiri
sendiri untuk menjaga yang masih hidup dari mereka dan merahmati yang sudah
meninggal. Mudah-mudahan Allah menjadikan kita semua orang-orang yang mengikuti
langkah mereka dan membangkitkan kita bersama mereka dan Nabi tauladan kita
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di dalam Surga Firdaus. (Lihat Sallus
Suyuf hal. 78-79)
CIRI-CIRI DAN
SIFAT ULAMA PEWARIS NABI
Didunia ini
ulama dibagi menjadi 2 bagian:
1. Ulama su’ (ulama yang jahat)
2. Ulama pewaris Nabi
Sifat Ulama Su’ (Ulama Yang Jahat)
Ulama su’ memiliki sifat cinta yang berlebihan terhadap kesenangan
dunia. Ibnu Qudamah menjelaskan tentang mereka dengan mengucapkan: “Mereka
adalah orang-orang yang bertujuan menggunakan ilmu agama untuk bersenang-senang
dengan dunia dan mencapai kedudukan yang tinggi disisi pendukungnya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Dari abu Hurairah
radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau bersabda:
“Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu yang semestinya untuk mencari wajah
Allah, (kemudian) dia tidak mempelajarinya melainkan untuk mendapatkansebuah
tujuan dunia, dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat nanti.”
(HR. Abu dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Ahmad)
Dalam riwayat
lain Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barang siapa yang
mempelajari ilmu agama untuk
membanggakan diri terhadap para ulama atau mendebat orang-orang yang bodoh atau
mengalihkan perhatian manusia kepadanya, maka dia di neraka.” (HR. Tirmidzi)
Sebagian Salaf menandaskan: “Manusia yang paling menyesal disaat
meninggal dunia adalah orang alim yang menyia-nyiakan ilmunya.”
Sifat Ulama Pewaris Nabi
Mereka mengetahui bahwa dunia itu hina dan akhirat itu mulia.
Keduanya seperti dua madu (dibawah seorang suami, pent.). Oleh kerena itu
mereka lebih mengutamakan akhirat. Hal ini mereka realisasikan dalam bentuk
perbuatan yang tidak pernah menyelisihi ucapan mereka. Mereka cenderung
mempelajari ilmu yang bermanfaat di akhirat dan menjauhkan ddiri dari ilmu yang
sedikit manfaatnya.
Sebagaimana telah diriwayatkan dari Syaqiq Al-balkhi rahimahullah
bahwa dia pernah bertanya kepada Hatim: “Engkau telah bergaul denganku beberapa
lama, lalu apa yang engkau pelajari (dariku)?’
Hatim menjawab: (aku telah mempelajari) 8 perkara, diantaranya yang
pertama:
Aku melihat kepada para mahluk, maka aku dapati setiap orang
memiliki kekasih. Namun tatkala ia memasuki kuburannya ia berpisah dari
kekasihnya. Disaat itu aku menjadikan kebaikan-kebaikanku sebagai kekasihku
agar kekasihku tetap bersamaku di dalam kubur…dst.
Kemudian termasuk sifat
ulama akhirat:
§ Mereka menjauhi penguasa dan menjaga diri mereka.
Hudzaifah bin Yaman menasehatkan: “Hindari oleh kalian tempat-tempat
fitnah.” Beliau ditanya:”Apa itu tempat-tempat fitnah.”Beliau
menjawab:’(tempat-tempat fitnah) adalah pintu-pintu para penguasa. Salah
seorang diantara kalian masuk menemui seorang penguasa, lantas dia akan
membenarkan penguasa itu dengan dusta dan menyatakan sesuatu yang tidak ada
padanya.”
Said bin Musayyib menegaskan:”Jika kamu melihat seorang alim bergaul
dengan penguasa, maka hati-hatilah darinya karena sesungguhnya dia adalah
pencuri.”
Sebagian Salaf menjelaskan:”Sesungguhnya tidaklah kamu mendapatkan
sesuatu kehidupan dunia (dari para penguasa) melainkan mereka telah memperoleh
dari agamamu sesuatu yang lebih berharga darinya.”
§ Mereka tidak terburu-buru dalam berfatwa (sehingga mereka tidak
berfatwa kecuali setelah menyakini kebenarannya).
Adalah para Salaf saling menolak untuk berfatwa sampai pertanyaan
kembali lagi kepada orang yang pertama (di tanya).
Abdurrahman bin Abi Laila menceritakan kisahnya: “Aku pernah
mendapati di masjid (nabi) ini 120 orang shahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam. Tidak ada seorang pun dari mereka saat ditanya tentang suatu
hadits atau fatwa melainkan dia ingin saudaranya (dari kalangan shahabat yang
lain) yang menjawabnya. Kemudian tibalah masa pengangkatan kaum-kaum yang
mengaku berilmu saat ini. Mereka bersegera menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
kalau seandainya pertanyaan ini dihadapkan kepada Umar bin Khattab, niscaya
beliau mengumpulkan ahli Badar untuk di ajak bermusyawarah dalam menjawabnya.”
§ Ulama akhirat mayoritas pembahasan mereka adalah ilmu yang berkaitan
dengan amal dan perkara-perkara yang dapat merusakannya, mengotori hati dan membangkitkan was-was. Hal ini
disebabkan karena membentuk amalan-amalan sangat mudah sedangkan membersihkan
amat sulit. Kaidah dasarnya adalah: “Menjaga diri dari kejelekan tidak akan
bisa terjadi hingga ia mengetahui tentang kejelekan.”
§ Ulama akhirat selalu membahas atau mencari rahasia amalan-amalan
yang di syariatkan dan memperhatikan hikmah-hikmahnya. Jika mereka tidak mampu
menyibak tabir rahasianya, mereka tetap bersikap pasrah dan menerima syariat
Allah.
§ Termasuk sifat Ulama
Akhirat adalah mengikuti para shahabat dan orang-orang pilihan dari kalangan
tabi’in selanjutnya mereka menjaga diri dari setiap perkara baru dalam
agama(bid’ah).
(disadur dari Minhajul Qashidin karya Ibnu Qudamah Al-Maqdisi hal.
23-26, Maktabah Dar bayan Muassah ‘Ulumul Qur’an)
PUJIAN ALLAH
TERHADAP ULAMA
Setelah kita mengetahui peranan
penting para ulama dalam melanggengkan keberlangsungan dakwah Islam, rasanya
sangatlah tepat Allah memuji mereka dalam banyak ayat Al-Qur’an. Diantaranya
Allah berfirman:
“Dan apabila datang kepada
mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu
menyiarkannya. Kalaulah mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan ulil amri
di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahui dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena
karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikuti syaithan, kecuali
sebagian kecil saja (diantara kamu).”(An-Nisa:83)
Imam Al-Hasan Al-Basri dan
Al-Qatadah menafsirkan:”Ulil amri dalam ayat ini adalah ahlul ilmi dan fiqh.”(Tafsir
Thabari jilid 3 juz 5 hal.177 cet. Dar.Kutub Ilmiyyah)
Allah juga berfirman:
“Allah memberikan
kesaksian bahwasanya tidak ada ilah melainkan Dia, yang menegakkan keadilan.
Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga memberikan kesaksian demikian).
Tidak ada ilah melainkan Dia, yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Ali
Imran:18)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan menyatakan: “…ini kedudukan
yang mengandung keistimewaan agung bagi para ulama….”(Tafsir Ibnu Katsir, jilid
I hal.360, cet.Dar.Ma’rifah)
Lihatlah bagaimana dalam ayat ini Allah menggandengkan antara
persaksian orang-orang berilmu dengan persaksian Allah sendiri dan
malaikat-Nya. Hal ini menunjukan keutamaan yang agung bagi para ulama.”(Sallus
Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Katakan: Apakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?”(Az-Zumar:9)
Imam Al-Qurthubi mengomentari ayat
ini dengan menyatakan: “Orang yang berilmu adalah orang yang bisa mengambil
manfaat dari ilmunya dan tidak bisa mengambil manfaat dari ilmunya dan tidak
mengamalkannya, maka ia bukan seorang yang berilmu…..”(Tafsir Qurthubi jilid 8
juz 15 hal. 156, cetakan Dar Kutub Ilmiyyah)
Tentunya pertanyaan Allah disini
adalah pertanyaan “pengingkaran”. Yang jelas jawabannya adalah: “Tidak sama.”
Maka dari pemahaman ini ayat diatas menunjukkan keutamaan ulama dari yang bukan
ulama.
Syaikh Tsaqil Ibnu Shalfiq Al-Qasami
mempertegaskan hal ini. Beliau menyatakan:”Lihatlah bagaimana dalam ayat ini
Allah memuliakan para ulama! (Allah menjelaskan) bahwa orang yang tidak berilmu
tidak sama kedudukannya dengan orang yang berilmu.”(Sallus Suyuf hal.63)
Allah berfirman:
“Niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat…..”(Al-Mujadalah: 11)
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat
diatas dengan menyatakan:”Maksud”(“Allah meninggikan mereka”) adalah dalam hal
pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia. Maka Allah mengangkat derajat orang
yang beriman diatas orang yang beriman, dan mengangkat derajat orang yang
berilmu diatas derajat orang yang tidak berilmu. Ibnu Mas’ud berkata: “Dalam
ayat ini Allah memuji para ulama.”Makna ayat ini adalah Allah mengangkat
(derajat) orang yang beriman dan berilmu diatas orang yang beriman namun tidak
berilmu beberapa derajat dalam agama mereka jika mereka melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah…”(Tafsir Qurthubi jilid 9 juz hal. 194, cetakan Dar Kutub
Ilmiyyah)
Demikianlah beberapa ayat beserta
tafsirannya yang mengandung pujian terhadap para ulama. Tentunya banyak ayat
lain yang senada dengan ayat-ayat diatas. Kami membawakan sebagian saja unttuk
meringkas pembahasan kita ini. Keterangan diatas sekali lagi menunjukan kepada
kita bahwa para ulama adalah orang-orang yang mulia disisi Allah sehingga menjadi
sebab turunnya rahmat di alam ini. Oleh karena itu semua muslimin memiliki
kewajiban memuliakan para ulama pewaris nabi sebagaimana Allah telah memuliakan
mereka. Barang siapa yang ingin menanam saham dalam menghancurkan dan merusak
Islam, tentu ia akan menjatuhkan kehormatan dan meninggalkan para ulama.
Cinta pada para ulama adalah salah
satu tanda bagi seseorang bahwa dia Ahlus Sunah. Al-Imam Abu Utsman As-Shabuni
mengatakan: “salah satu tanda dari Ahlus Sunah adalah mereka (Ahlus
Sunnah) cinta kepada para Imam Sunnah, para ulama sunnah dan para wali Sunnah.
Disamping itu mereka benci kepada para Imam ke bid’ahan yang menyeru ke neraka
dan menunjukan para pengikutnya ke tempat kebinasaan. Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah menghiasi dan menyinari hati dengan cahaya cinta kepada para
ulama sunah sebagai sebuah keutamaan dari Allah ‘aza wa Jalla.”(Aqidatus Salaf
Ash-Habul Hadits karya Abu Utsman Ashabuni hal. 121 cetakan Maktabah Ghuraba
Al-Atsariyah)
Adapun membenci para ulama
merupakan salah satu tanda bagi seorang bahwa ia adalah Ahlul Bid’ah.
Mengenai hal ini, Abu Utsman Ashabuni berkata:”Tanda-tanda Ahlul Bid’ah sangat
jelas dan nampak pada diri mereka. Tanda mereka yang paling menonjol dan nampak
jelas adalah permusuhan mereka yang keras, penghinaan dan pelecehan terhadap
ulama pembawa hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mereka menggelari
para ulama dengan sebutan “orang dungu”, “bodoh”,”tekstual”dan “orang yang
suka menyerupakan Allah dengan makhluk –Nya “dst… (Aqidatus Salaf hal.116)
Inilah beberapa keterangan seputar
pembahasan ulama pewaris Nabi. Kita berharap pada Allah, mudah-mudahan tulisan
ini bermamfaat bagi kaum muslimin dalam mengenali para ulama yang berada di
tengah-tengah mereka.
Ya Allah! Jadikanlah kami para
hamba-Mu yang gigih dalam membela agama-Mu dan terimalah amal-amal kami sebagai
amal yang berbuah hasil ridla di sisi-Mu.Amin,ya Rabbul ‘alamin.
∞∞ ∞∞ ∞∞
Penulis: Ustadz Abdul Mu’thi
Maraji’ (Daftar Pustaka):
1. Al-Hujjah fi bayanil Mahajjah, Abul qasim Al-Ashbahani, tahqiq dan
dirasah Muhammad bin Rabi’ bin Hadi Umair Al-Madkhali, cetakan dar Rayah.S
2. Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, cetakan Maktabah Dar
Bayan.
3. Sallus Suyuf wal Asinnah ‘ala Ahlil Ahwa wal Ad’iyais Sunnah, Dar
Ibnu Atsir.
4. Minhajul Qasidhim, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, penerbit Maktabah Dar
Bayan & Muassah “Ulumul Qur’an.
5. Tafsir Thabari jilid 3 juz 5, Imam Thabari, penerbit Dar Kutub
Ilmiyyah.
6. Tafsir Ibnu Katsir jilid1, Ibnu Katsir, penerbit Dar Ma’rifah.
7. Tafsir Qurthubi jilid 8 juz 15, Imam Al-Qurthubi, penerbit Dar kutub
Ilmiyyah.
8. Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits, Abu Utsman As-Shabuni, cetakan
Maktabah Ghuraba Al-atsariyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar