Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Minggu, 19 Agustus 2012

Bantahan Ilmiyah Atas Kesesatan Aqidah Hizbut Tahrir (Bag.2)


Tikaman Terhadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan As Sunnah

Kedudukan Al Qur’an, Rasulullah Shalallahu’alaihi Wassallam, dan As Sunnah

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman berkaitan dengan Al Qur’an dan kedudukannya :

“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al Kitab (Al Qur’an) dan
Dia tidak mengadakan pembengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus untuk mengingatkan akan siksaan yang sangat pedih dari sisi Allah dan memberi berita gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal shalih, bahwa mereka akan mendapat pembalasan yang baik.” (QS. Al Kahfi : 1-2)

Di tempat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang kondisi Al Qur’an ini :
“Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushilat : 42)

Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan kedudukan yang tinggi kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, seperti yang diberitakan Al Qur’an kepada kita :

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya dia mentaati Allah. (QS. An Nisa’ : 80)

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginya neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al Jin : 23)

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An Nur : 63)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’ : 65)

Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan : “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An Nur : 51)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman tentang suatu kaum yang sakit hati dan jiwanya :

Dan mereka berkata : “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami mentaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu, sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili di antara mereka), tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, maka mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku dhalim kepada mereka? Sebenarnya mereka itulah orang-orang yang dhalim. (QS. An Nur : 47-50)

Nash-nash yang serupa dengan ayat-ayat ini sangat banyak, tersebar di beberapa tempat di dalam Al Qur’an. Intinya memberi kedudukan yang agung kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sehingga pengarahan-pengarahan beliau memiliki nilai yang tinggi. Sunnah beliau yang suci juga mempunyai kedudukan yang tinggi yang mengharuskan ketaatan kepada beliau dan membenarkan pengabaran-pengabarannya, setaraf dengan Al Qur’an. Dari sinilah Muslimin tahu kedudukan sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini yang kemudian menyusupkan rasa cinta, pengagungan, ketaatan, pembenaran, dan kepatuhan ke dalam lubuk hati mereka.

Dari titik tolak inilah mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menjaga dan melindungi sunnah dari penyimpangan. Untuk itu mereka mendokumentasikannya dalam berbagai kitab agar nash-nashnya tetap terjaga, mereka menyusun rijalnya dan menjelaskan keadaan mereka secara mendetail, entah dari sisi ‘adalah (kelurusan) maupun jarh (kecacatan). Sistem dokumentasi seperti ini tidak pernah didapati di bangsa manapun di dunia ini.

Mereka juga mengarang berjilid-jilid kitab dalam berbagai disiplin limu dan medan yang luas yang tidak pernah ada bandingannya, bahkan mirip pun tidak sama sekali. Dengan adanya ikatan rasa orang-orang Muslim terhadap sunnah, khususnya muhadditsin (ahli hadits), dan yang tampil di barisan terdepan adalah para shahabat, merekapun bangkit menyusuri perjalanan panjang ke berbagai penjuru dunia Islam. Tidak ada penelusuran untuk kepentingan ilmu yang lebih hebat seperti yang mereka lakukan. Bahkan adakalanya di antara mereka melakukan perjalanan sebulan atau lebih hanya untuk menelusuri satu hadits saja, agar dia benar-benar merasa puas tentang keshahihan hadits tersebut. Bukankah semua ini menunjukkan kedudukan yang spesifik bagi sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam?

Meskipun begitu, sunnah yang suci ini tidak pernah sepi dari musuh, dari dalam maupun dari luar, di tempat manapun dan kapanpun. Saat sekarang ini contohnya, serangan para orientalis terhadap Sunnah Nabawi sangat gencar. Dan serangan mereka ini masih ditopang lagi oleh sekumpulan orang yang mengenakan jubah Islam, namun sebenarnya mereka memendam hati serigala yang siap mencaplok Islam dan Sunnah yang suci. Benar-benar sangat kita sayangkan.

Dalam situasi yang sangat rawan ini, Muhammad Al Ghazaly justru menggabungkan dirinya dalam barisan orang-orang yang memusuhi Sunnah. Bahkan dia menjadi pengibar bendera perang terhadap Sunnah. Buku-buku dan tulisannya bisa diibaratkan (sebagai) sekolah yang menjadi markas setiap orang yang mendengki Islam dan Sunnah Nabawi yang suci.

Dalam berbagai buku dan pernyataannya, seringkali dia menyangsikan sunnah, apalagi sikapnya terhadap kabar ahad. Menurutnya, hal ini merupakan sikap yang layak.
Karangan-karangannya yang muncul akhir-akhir ini mengandung serangan yang gencar dan tuduhan yang amat berbahaya terhadap hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang shahih. Serangan ini juga dia tujukan terhadap orang-orang yang hendak berpegang teguh kepada hadits-hadits tersebut.

Memang tidak dipungkiri, ada beberapa buku dan karangannya yang membela Islam. Tetapi kenyataannya, dia sendiri yang merobohkan bangunan Islam, karena adanya serangan-serangan ini. Sebab tidak ada Islam kecuali ada Sunnah. Jika bangunan sunnah diusik dan kedamaiannya diganggu, seperti oleh serangan-serangan Al Ghazaly ini, maka lama-kelamaan bangunannya bisa keropos tak berisi dan roboh. Kami tidak tahu persis, apakah Al Ghazaly juga mengetahui dampak dari tindakannya ini ataukah tidak? Di samping itu, apakah para pendukung dan orang-orang yang menawarkan pemikirannya juga mengetahui dampak ini?

Semoga ada orang yang bertanya, latar belakang apa yang mendorong Al Ghazaly bersikap seperti itu terhadap Sunnah, juga orang-orang yang berdiri di belakang punggungnya?
Kami yakin, sebabnya adalah keterbatasan pengetahuannya tentang makna-makna Sunnah. Sehingga dengan keterbatasan ini dia beranggapan, bahwa banyak hadits yang bertentangan dengan Al Qur’an atau bertentangan dengan penalaran. Padahal penalaran ini bisa saja datang dari otak seorang pengikut Jahmiyah, Mu’tazilah, Orientalis, maupun orang Eropa yang kafir. Kemudian dia sendiri tidak mau meneliti dan menelaah perkataan para Imam Hadits dan kritikus, yang dengan pemahaman dan pengetahuan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka bisa mengkompromikan pemahaman antara hadits dan ayat, antara hadits dan hadits.

Sebab tidak jarang antara keduanya tampak bertentangan di mata orang yang tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sehingga hal ini bisa menimbulkan ketidaksenangan terhadap hadits-hadits yang menyerempet perselisihan dengan hadits lain. Kalau dia ingin menyembuhkan kesalahannya, maka dia tidak boleh mengacu kepada kitab-kitab yang ditebari hadits-hadits maudlu’ dan cacat. Padahal para Ahli Hadits telah berusaha semaksimal mungkin mengkritik hadits-hadits maudlu’ tersebut, baik dari sisi sanad maupun matannya.

Kemudian mereka memilah-milahnya dalam berbagai kitab khusus, seperti Al Maudhu’at karangan Ibnul Jauzy, Al Ali’u Al Mashnu’ah karangan As Suyuthy, Al Fawa’id Al Majmu’ah karangan Asy Syaukany, Tanzihusy Syari’ah karangan Ibnu Iraq, Al Ilal karangan Ibnu Abi Hatim, Al Ilal karangan Ad Daruquthny, Al Ilal Al Mutnahiyah karangan Ibnul Jauzy. Sesudah itu dia bisa mengambil dari kitab manapun yang diyakini dan bahkan dia bisa menghampiri kitab-kitab yang menghimpun peninggalan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yaitu kitab-kitab Sunnah yang mulia, yang paling pokok adalah Shahihain (Shahih Al Bukhary dan Shahih Muslim).

Umat Islam menerima kedua kitab ini dan mengagungkannya. Dengan sejujurnya mereka mengatakan bahwa keduanya merupakan kitab yang paling shahih setelah Kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun Al Ghazaly memilih-milih dari hadits-hadits di dalamnya yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya. Sehingga hal ini membuka pintu untuk melemparkan serangan dan celaan.

Mau tidak mau, akhirnya ini juga mempengaruhi orang lain untuk menyerang dan mencela. Setiap Muslim tentu menyayangkan karangan-karangan Al Ghazaly yang dilihat dan dibacanya. Karena karangan-karangannya itu menyerupai granat yang dilemparkan kepada setiap orang yang berenang di kolam Sunnah Nabawi yang suci atau di sekitar akidah yang benar dan berdasarkan beratus-ratus keterangan yang akurat dari Kitab Allah serta Sunnah Rasul-Nya, yang ditopang oleh ijma’ shahabat dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka, lalu dijadikan pegangan oleh ummat, dari generasi ke lain generasi hingga saat ini.

Setelah Syaikh Rabi’ memaparkan beberapa contoh serangan Al Ghazaly terhadap Sunnah Nabawi dan orang-orang yang berpegang kepadanya, selanjutnya beliau menyatakan, beradabkah Anda terhadap Allah dan Rasul-Nya jika Anda selalu berucap tentang Sunnah Nabawi : “Ini hadits yang tertolak. Fulan menolak hadits yang itu. Ini pengkabaran yang bodoh. Tak seorangpun dari para imam yang empat melainkan pernah menolak hadits shahih?”

Apakah dalam ucapan-ucapan seperti ini terkandung ajakan untuk mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan menghormati Sunnah beliau? Ataukah ini merupakan peperangan terhadap Sunnah, dengan pura-pura melindungi para Imam? Padahal para imam sendiri terlepas dari permusuhan terhadap Sunnah ini. Bahkan mereka merupakan pemuka kaum Muslimin yang sangat menghormati Sunnah dan mengajak agar berhujjah kepadanya dalam masalah akidah, ibadah, penetapan halal dan haram. Bahkan banyak di antara mereka yang juga berhujjah dengan hadits-hadits mursal kalau diperlukan dalam masalah-masalah amaliyah dan memprioritaskannya daripada bersandar kepada pendapat seseorang ataupun qiyas. Mereka menyuruh meninggalkan pendapatnya apabila bertentangan dengan nash Kitab maupun Sunnah Nabawi.

Inilah Imam Abu Hanifah yang pernah berkata : “Apabila ada hadits shahih, maka itulah madzhabku.” (Al Hasyiyah, Ibnu Abidin, 1/63)
Dia juga berkata : “Jika saya mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan Kitab Allah atau pengkhabaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka tinggalkanlah kata-kataku.” (Al Aiqazh halaman 50)

Imam Syafi'i pernah berkata : “Seseorang bisa dilihat apakah dia itu berjalan pada Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ataukah menyimpang darinya. Boleh jadi aku pernah mengucapkan kata-kata atau aku mengacu kepada suatu dasar yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, yang ternyata berbeda dengan kata-kataku. Maka yang berlaku adalah ucapan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena itu pula yang menjadi pendapatku.” (Tarikhu Dimasqa, 15/1-2)
Dia juga berkata : “Kaum Muslimin telah sepakat bahwa jika seseorang sudah memahami Sunnah dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam secara jelas, maka dia tidak boleh mengacu kepada pendapat seseorang.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/361)
Dia juga berkata : “Apabila ada hadits shahih, maka itulah madzhabku.” (Al Majmu’, An Nawawy, 1/63)
Dia juga berkata : “Kamu sekalian lebih tahu tentang hadits dan rijalul hadits daripada aku. Apabila ada hadits shahih, maka ajarkanlah kepadaku, siapapun orangnya, baik dari Kufah, Bashrar, maupun Syam, agar aku bisa mengikutinya kalau ia memang benar-benar shahih.” (Adabusy Syafi’y, Ibnu Abi Hatim, halaman 94-95)

Imam Ahmad pernah berkata : “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka dia berada di ambang kehancuran.”
Kami katakan : “Adakah penghormatan yang lebih agung dari gambaran pernyataan para imam ini? Apakah jika orang-orang Salaf (terdahulu) berpegang kepada tali Sunnah dan mengagungkannya, lalu mereka menjadi meremehkan dan mencela para imam? Sama sekali tidak. Siapa yang menyombongkan diri terhadap Sunnah, berarti dia menyombongkan diri di hadapan para Imam, Nabi mereka yang mulia, dan Sunnah beliau yang suci.”

Kebencian Al Ghazaly Terhadap Khabar Ahad

Al Ghazaly merasa sesak dadanya terhadap pengkhabaran (hadits) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, jika datang dari jalan ahad, sekalipun disebutkan di dalam kitab Shahih Al Bukhary dan Muslim. Sedikitpun dia tidak mau menggunakannya jika bertentangan dengan jalan pikirannya, meskipun semua kalangan umat Islam menerimanya.

Dengan cara ini berarti dia mendukung ahli bid’ah dan orang-orang sesat, serta meninggalkan jumhur ulama dari kalangan Salaf maupun Khalaf.
Jumhur ulama berpendapat, jika kabar ahad diterima oleh umat sebagai pembenaran dan juga harus diamalkan, berarti ia merupakan ilmu yang bermanfaat. Di antara Imam terkenal yang juga sependapat dengan pemikiran ini adalah :

- As Sarakhsy dari madzhab Hanafy.
- Al Qadhy Abdul Wahhab dari madzhab Maliki.
- Syaikh Abu Hamid Al Isfirayainy.
- Al Qadhy Abu Thayyib Ath Thabary.
- Syaikh Abu Ishaq As Syirazy dan Sulain Ar Razy dari madzhab Syafi’i.
- Abu Abdullah bin Hamid, Al Qadhy Abu Ya’la Abul Khaththab, dan lain-lainnya dari madzhab Hanbaly.
Dari kalangan Asy’ariyah dan ahli kalam (teologi) juga banyak yang berpendapat sama, seperti Abu Ishaq Al Isfirayainy, Abu Bakar bin Faurak, Abu Manshur At Tamimy, Ibnus Sam’any, Abu Hasyim Al Jaba’y, dan Abdullah Al Bashry.
Pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnus Shalah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, Al Balqainy, Al Hafidh Ibnu Hajar, As Suyuthy, dan Ibnu Hazm.

Di antara kabar ahad yang memberi manfaat keilmuan adalah pengkhabaran yang disertai berbagai perbandingan. Yang membenarkan pendapat ini adalah Imamul Haramain, Abu Hamid Al Ghazaly, Al Amidy, Ibnul Hajib dan para pengikutnya. Yang juga termasuk khabar ahad adalah pengkhabaran yang disebutkan dari beberapa jalan. Jika tidak ada cacat dan cela di dalamnya, berarti ia memberi manfaat ilmu dalam ilmu hadits.
Mereka itu adalah Jumhur Ulama, baik dari kalangan pakar ushul, fiqh, maupun teologi. Mereka telah sepakat bahwa jika khabar ahad diterima oleh umat atau jika dibarengi perbandingan-perbandingan atau disebutkan (2). dari beberapa jalan, berarti ia memberi manfaat ilmu

Banyak sekali pengkhabaran di dalam Shahih Bukhari dan Muslim yang mencakup tiga kategori ini. Anehnya kami tidak mendapatkan Al Ghazaly menyebutkan tiga jenis ini dalam serangan-serangannya terhadap khabar ahad. Dia tidak peduli terhadap pengkhabaran-pengkhabaran di dalam Shahih Bukhari dan Muslim yang diterima oleh semua lapisan umat. Adapun hadits yang bertentangan dengan keinginannya, maka dia langsung memukulnya seperti pukulan yang dilayangkan ke onta liar, dicela, dan rawi-rawinya dijelekkan. Ini termasuk cara aneh yang dilakukan Al Ghazaly di antara orang-orang yang menolak khabar ahad dari kalangan ahli bid’ah. Bahkan dia juga mengingkari sekian banyak hadits di dalam Shahihain, hanya karena pertimbangan pendapatnya tentang khabar ahad, baik yang berkaitan dengan masalah akidah maupun masalah amal. Dia mengait-ngaitkan kepada ulama sesuatu yang tidak pernah mereka katakan dan juga bukan merupakan keyakinan mereka.

Kita ambil contoh perkataannya : “Hadits-hadits shahih yang berasal dari riwayat ahad hanya akan menghasilkan pengetahuan yang dikira-kira, bukan pengetahuan yang meyakinkan. Para ulama kita telah sepakat untuk mengamalkannya dalam cabang-cabang syariat. Saya melihat hanya sedikit dari golongan Zhahiriyah dan madzhab Hanbaly yang mengamalkan hadits-hadits ahad dalam masalah-masalah yang konkrit. Namun pendapat ini tertolak. Bagaimanapun keadaannya, akidah kami berlandaskan kepada nash-nash yang mutawatir, baik dari sisi lafadh maupun maknanya.” (Ath Thariq Min Huna halaman 62)

Al Ghazaly juga berkata : “Kesalahan mencolok yang kami perhatikan tentang manhaj Salafiyah ialah bermula dari tersebarnya hadits-hadits dlaif. Sebelum itu juga sudah menyebar berbagai pendapat yang tidak pernah ada di lingkungan fuqaha terdahulu, bahwa hadits ahad bisa menghasilkan ilmu yang meyakinkan, seperti yang terjadi pada hadits mutawatir. Seseorang yang berpegang kepada hadits ahad pernah berkata kepada saya, bahwa seorang guru yang sendirian juga bisa dipercaya ilmunya. Seorang duta besar juga bisa dipercaya untuk memberitakan tentang negaranya, meskipun dia sendirian. Dapat saya katakan bahwa hadits yang dinukil melalui seseorang tidak bisa disamakan dengan peristiwa kehidupan yang engkau sebutkan itu. Kalaupun kami hendak mendiskusikan bahwa keduanya bisa diserupakan dari segala sisi, toh hasil yang meyakinkan tidak bisa muncul dari peristiwa-peristiwa tersebut. Bisa saja seorang guru melakukan kesalahan, lalu dia meralatnya sendiri atau orang lain yang meralatnya. Seorang duta besar selalu diawasi pemerintahnya dan dia bisa ditarik jika melampaui batas kewajaran. Begitu pula berita yang dikirimkan wartawan meskipun disertai perbandingan-perbandingan yang tampaknya meyakinkan.” (As Sunnah An Nabawiyyah halaman 65)

Perhatikan bagaimana Al Ghazaly mengkait-kaitkan kepada para ulama sesuatu yang tidak pernah mereka ucapkan. Siapakah para ulama yang menyepakati pengamalan khabar ahad hanya dalam cabang-cabang syariat? Apakah pendapat yang tidak berkembang di kalangan fuqaha terdahulu? Yang jelas diketahui dan biasa berlaku di kalangan mereka adalah kecintaan terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, pengagungannya, dan berhujjah dengannya dalam segala urusan. Mereka tidak berdasarkan kepada madzhab Jahmiyyah dan mengekor di belakang golongan Mu’tazilah yang berlebih-lebihan serta yang selalu melecehkan Sunnah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.

Perhatikan pula bagaimana Al Ghazaly lebih memprioritaskan jenis-jenis pengkhabaran yang biasanya para rawi berasal dari kalangan orang-orang kafir, fasik, atau yang tidak tahu pengkhabaran-pengkhabaran Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Sebaliknya, dia meremehkan periwayatan dari jalan orang-orang Mukmin yang mukhlis, dari para penghapal yang terpecaya dan lurus, yang menyebutkan beberapa kandungan dan yang merasa tidak tahu kandungan yang lain tentang Sunnah beliau, karena ketakutan mereka kepada Allah. Mereka ini juga sangat takut terhadap ancaman yang keras jika mereka berdusta terhadap beliau. Tekad mereka untuk menjaga Sunnah beliau lebih besar daripada tekad mereka untuk menjaga hidupnya sendiri.

Al Ghazaly berkata : “Saya tegaskan sekali lagi, bahwa tidak seharusnya hadits-hadits ahad mengacaukan apa yang mesti dijaga dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, atau ia harus menampakkan hakikat-hakikat agama yang justru mengundang tuduhan.”

Kami katakan : “Logika macam apa ini? Adakah telinga orang-orang Mukmin pernah mendengar pelecehan dan kelancangan terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang menjelaskan, menguraikan, dan menguatkan Al Qur’an bisa mengacaukan isi Al Qur’an? Yang justru mengancam Al Qur’an dan As Sunnah yang seharusnya dijaga adalah orang yang berkata seperti itu dan konco-konco-nya dari kalangan orang-orang sesat, baik dahulu maupun sekarang!”

Dia juga berkata : “Ada baiknya kita mengetahui bahwa yang wajib tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang konkrit. Yang haram juga tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil yang konkrit. Sedangkan dalil yang berdasarkan perkiraan mempunyai pengertian yang lebih rendah lagi.”

Dapat kami katakan : “Apa bukti yang mendukung kaidah yang bisa mendorong manusia untuk mempercayainya secara membabi buta, sehingga bisa-bisa mereka tidak mau menentangnya? Apakah kebaikan kaidah yang menganggap Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak layak untuk menetapkan yang halal dan haram serta menetapkan yang wajib? Sudah sering dia menelanjangi dan mengacaukan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, sementara dengan cara ini dia menimbulkan dugaan orang lain bahwa dia adalah pembela Islam dan mengikuti langkah para ulama dan fuqaha. Padahal kedua belah pihak seperti yang tecermin dalam sebuah syair :
Dia pergi ke timur dan aku ke barat
Alangkah jauh jarak antara timur dan barat

Bila pembaca masih ingat uraian sebelum ini tentang jumhur ulama Salaf dan Khalaf dari kalangan pakar ushul, fiqh, dan teologi, tentu dia memperoleh kejelasan tentang ucapan Al Ghazaly ini, bahwa itu hanya sekedar khayalan belaka. Kesepakatan ulama seperti yang tertuang dalam pernyataannya (Al Ghazaly) ternyata bukan ulama yang lurus dan bukan orang-orang yang mendapat kepercayaan umat, karena mereka adalah ulama golongan Jahmiyyah dan Mu’tazilah yang terpengaruh oleh metode filosof Eropa, serta tokoh-tokoh ilmu logika, seperti Jamaluddin Al Afghany, Muhammad Abduh dan para pengikutnya.

===========================================================

* Kasyfu Mauqifi Al Ghazaly/Membela Sunnah Nabawy, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly, Maktabah Ibnul Qayyim, Madinah.

1. Lihat uraian masalah ini dalam buku An Nukat, Ibnu Hajar 1/371-379.
( Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 18/40-48 dan lain-lain.

 Penulis: Syaikh Rabi’ bin Hadi ‘Umair Al Madkhali *
Sumber : "Hizbut Tahrir Mu’tazilah Gaya Baru" (Cahaya Tauhid Press)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar