Muqaddimah
Yang namanya bid’ah
memang tidak pandang bulu. Banyak sudah yang menjadi korbannya, besar atau
kecil, miskin atau kaya, kurus atau gemuk, dan lain sebagainya. Bid’ah memang
bahaya karena pelakunya menganggapnya baik. Berbeda dengan para pelaku maksiat
karena mereka mengetahui bahwa perbuatannya itu dosa.
Oleh karena itu,
Ahlus Sunnah meyakini bahwa iblis lebih mencintai ahli bid’ah daripada pelaku
maksiat. Penyebabnya apa? Seperti yang telah diutarakan tadi, penyebabnya yaitu
pelakunya menganggap hal tersebut adalah baik. Jadi, seorang Muslim yang
berzina lebih baik daripada seorang ulama yang ahli bid’ah. Karena apa? Karena
Muslim tadi mengakui bahwa yang ia lakukan adalah dosa. Berbeda dengan ulama
ahli bid’ah tadi. Ia malah menganggap hal tersebut adalah baik. Dengan
demikian, pada hakikatnya ia telah menganggap Allah dan Rasul-Nya belum
menyempurnakan agama ini hingga ia perlu menambah-nambahnya.
Nah, pada kesempatan
kali ini, kita akan membahas salah satu bid’ah yang biasa terjadi di
masjid-masjid, yaitu Bid’ahnya Mihrab.
Syubhat-Syubhat Dan
Bantahannya
Orang-orang yang
membantah pernyataan bahwa mihrab adalah bid’ah biasanya mengandalkan dalil
sebagai berikut:
1.
Bahwa hadits yang menyatakan
larangan membuat mihrab di masjid adalah dlaif, yaitu hadits berikut :
Dari Musa Al Juhani
berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Ummatku/umat ini
selalu berada di dalam kebaikan selama mereka tidak menjadikan di dalam
masjid-masjid mereka seperti mihrab-mihrabnya orang-orang kristen.” (HR. Ibnu
Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf)
2.
Dan bukankah ada contoh dari Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwa beliau masuk ke dalam mihrab dan berdoa
seperti di dalam hadits ini :
Dari Wa’il bin Hujr
radliyallahu 'anhu berkata, aku menyaksikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam ketika bangkit menuju masjid maka beliau masuk ke mihrab. Kemudian
beliau mengangkat kedua tangannya sambil bertakbir. Kemudian meletakkan tangan
kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Baihaqi)
Bukankah hadits ini
menunjukkan bahwa beliau masuk ke dalam mihrab, bahkan beliau shalat di situ
dan tidak menyatakan ini bid’ah? Atau mengingkari hal tersebut?
3.
Bukankah di sini berlaku istilah
Mashalihul Mursalah seperti tanda untuk arah kiblat?
Baiklah, sebenarnya
pada permasalahan ini sebelumnya sudah ada yang berpendapat seperti itu, yaitu
Al Kautsari, dia adalah seorang ahli di dalam masalah hadits. Akan tetapi dia
terbawa fanatisme (ta’ashshub) terhadap madzhabnya, yaitu Hanafi dan termasuk
pembawa bendera atau panji pemahaman Jahm bin Shafwan (menolak adanya sifat
Allah). Pendapat tersebut telah dibantah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani. Sekarang permasalahan hadits dan jawaban itu kita serahkan kepada
Syaikh untuk dijawab. Mari kita baca dari kitab beliau, Silsilah Al Hadits Adl Dla’ifah wal Maudlu’ah
juz 1 halaman 446.
Setelah membawakan
hadits pertama tadi (yaitu hadits dari Musa Al Juhani), Syaikh berkata, hadits
ini adalah dlaif, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al Mushannaf juz
1/107/1 :
Waqi’ telah berkata
kepada kami, ia berkata, Abu Israil bercerita kepada kami dari Musa Al Juhany,
ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : … .
Komentarku (Al
Albani) : Ini adalah sanad yang dlaif. Padanya ada dua ‘illat (penyakit) yaitu
:
Pertama,
I’dhal/Mu’dhal. Karena Musa Al Juhani, yakni Abu Abdillah hanya meriwayatkan
dari shahabat melalui perantara para tabi’in seperti Abdurrahman bin Abi Laila,
Sya’bi, Mujahid, Nafi’, dan lain-lainnya. Sedangkan ia (Musa Al Juhani) adalah
seorang tabi’ut tabi’in. As Suyuthi mengatakan dalam I’lamul Ariib bi Hudutsi
Bid’atil Mahaarib halaman 30 bahwa hadits ini adalah mursal. Sebenarnya
pernyataan ini kurang tepat karena mursal menurut istilah para Muhadditsin
(ulama Ahli Hadits) adalah ucapan tabi’in yang langsung menyebut sabda Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tanpa menyebutkan nama shahabat. Sedangkan ia
(Musa Al Juhani) adalah seorang tabi’ut tabi’in.
Kedua, dlaif
(lemahnya) Abu Israil yang nama aslinya adalah Ismail bin Khalifah Al ‘Absi. Al
Hafidh mengomentari orang ini dalam At Taqrib :
“Orangnya jujur tapi
jelek dari segi hafalannya.”
Yang demikian ini
terdapat dalam naskah Al Mushannaf kami yang masih berbentuk makhthuthath
(manuskrip/tulisan tangan). Sedangkan yang terdapat dalam nukilan As Suyuthi
dari Mushannaf dalam kitabnya, Al I’lam :
“Dia adalah Israil,
yakni Israil bin Yunus bin Abi Ishaq As Sabi’i. Ia adalah tsiqah yang termasuk
dalam Thabaqat Abu Israil. Mereka berdua termasuk guru-guru Waqi’ (seorang
tabi’in).”
Aku sama sekali tidak
bisa mencari yang lebih shahih dari dua naskah tersebut (Abu Israil atau
Israil). Dan jika yang lebih benar adalah pendapat yang pertama (Abu Israil)
maka naskah yang ada pada kamilah yang bagus karena asal naskah kami adalah
dari tahun 735 Hijriyah. Berdasarkan apa yang diterangkan oleh As Suyuthi maka
ia mengatakan :
“Ini adalah mursal,
shahihul isnad!”
Engkau sudah tahu
bahwa hadits ini mu’dhal. Inipun jika selamat dari Abu Israil. Aku (Albani)
tidak menganggap ini adalah selamat karena telah rajih bagiku bahwa ini adalah
riwayatnya. Setelah aku memperhatikan naskah Mushannaf 1/177/1 yang lainnya
maka aku dapati naskah ini sesuai dengan naskah yang pertama. Berdasarkan
inilah maka sanad ini adalah dlaif dan mu’dhal.
Adapun yang dimaksud
:
Dalam hadits ini
adalah mihrab sebagaimana diterangkan dalam Lisanul ‘Arab dan yang lainnya.
Seperti ketika menafsirkan hadits Ibnu Umar secara marfu’ dengan lafadh :
“Takutlah kalian
kepada
ini, yaitu
mihrab-mihrab.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Baihaqi 2/439 dan selain beliau dengan sanad yang hasan.
As Suyuthi berkata dalam risalahnya, Al I’lam halaman 21 :
“Hadits ini tsabit
(kokoh).”
Beliau berhujjah
serta berargumen dengan hadits ini tentang pelarangan membuat mihrab-mihrab di
masjid-masjid. Dan padanya ada permasalah yang telah aku terangkan dalam
Tsimarul Mustathab fii Fiqhis Sunnati wal Kitab yang kesimpulannya bahwa yang
dimaksud adalah bagian depan masjid sebagaimana yang ditetapkan oleh Al Manawi
dalam Al Faidh.
Kemudian As Suyuthi
mengatakan dalam risalahnya tadi bahwa mihrab di masjid adalah bid’ah. Pendapatnya
ini disepakati oleh Syaikh Ali Al Qari dalam Murqathul Mafatih 1/474 dan
lain-lainnya. Dan ini --yang kumaksud adalah kebid’ahannya-- tidak perlu
bersandar dengan hadits mu’dhal tadi. Walau hadits ini jelas-jelas menerangkan
tentang larangannya namun kita tidak perlu berhujjah dengan hadits yang tidak
tetap dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam akan tetapi kita berhujjah
dengan yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dari Ibnu Mas’ud bahwa :
“Beliau membenci
shalat di mihrab.”
Beliau mengatakan :
“Itu hanya untuk gereja-gereja maka kalian jangan bertasyabuh (meniru) ahli
kitab.”
Yakni beliau membenci
shalat di dalam mihrab. Al Haitsami 2/51 berkata : “Rijal hadits ini adalah
tsiqat.”
Aku (Albani) berkata,
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibrahim, ia berkata Abdullah (Ibnu Mas’ud,
pent.) berkata : “Takutlah kalian terhadap mihrab-mihrab ini.” Dan Ibrahim
tidak shalat di situ.
Aku berkata : Ini
shahih dari Ibnu Mas’ud, adapun Ibrahim, dia adalah Ibnu Yazid An Nakha’i,
walau ia tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud. Maka tampaknya secara dhahir ini
adalah mursal. Akan tetapi segolongan para imam menshahihkan hadits-haditsnya
yang mursal. Al Baihaqi mengkhususkan kemursalan Ibrahim dari Ibnu Mas’ud.
Mengapa demikian?
Aku berkata,
pengecualian bagi Ibrahim ini adalah benar. Berdasarkan yang diriwayatkan oleh
A’masy, ia berkata, aku bertanya kepada Ibrahim ketika ia menyambungkan riwayat
langsung kepada Ibnu Mas’ud maka ia berkata :
“Bila aku mengabarkan
suatu hadits kepada kalian dari seseorang dari Ibnu Mas’ud maka hadits tersebut
memang aku dengar sendiri (dari orang tersebut). Dan jika aku langsung berkata
dari Ibnu Mas’ud maka hadits tersebut aku dengar bukan dari satu orang saja!”
(Al Hafidh
memutlakkannya seperti ini di dalam At Tahdzib. Akan tetapi At Thahawi
me-maushul-kannya (1/133) dan juga Ibnu Sa’ad di dalam At Thabaqat 6/272. Dan
juga Abu Zur’ah di dalam Tarikh Dimasyq 2/121 dengan sanad yang shahih).
Aku berkata (Al
Albani), di dalam atsar ini, Ibrahim berkata dari Ibnu Mas’ud. Maka berarti ia
telah menerimanya dari jalan yang banyak. Dan mereka adalah para shahabat Ibnu
Mas’ud. Maka --ketika itu-- jiwa pun menjadi tenang dengan hadits mereka karena
mereka banyak. Walaupun mereka tidak diketahui karena mayoritas para tabi’in
adalah jujur. Dan khususnya shahabat-shahabat Ibnu Mas’ud radliyallahu 'anhu.
Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dari Salim bin Abul Ja’d, ia berkata :
“Janganlah kalian
membuat mihrab-mihrab di dalam masjid-masjid.”
Dan sanadnya adalah
shahih. Kemudian beliau (Ibnu Abi Syaibah) meriwayatkan dengan sanad yang
shahih dari Musa bin Ubaidah ia berkata :
“Aku melihat masjid
Abu Dzaar maka aku tidak melihat di situ ada mihrab.”
Dan dari Ibnu Abi
Syaibah meriwayatkan atsar-atsar yang banyak dari para Salaf tentang makruhnya
membuat mihrab di dalam masjid. Dan yang kita nukil di sini kiranya sudah
cukup.
Adapun pernyataan Al
Kautsari dalam ucapannya di dalam risalah Imam Suyuthi tadi (halaman 18) yaitu
bahwasanya mihrab adalah memang ada di masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam. Maka pendapat itu menyelisihi atsar-atsar yang pasti bagi orang yang
menelitinya bahwa mihrab adalah bid’ah. Oleh karena itu sudah tentu
pernyataannya itu menentang pernyataan para pakar hadits sebagaimana yang telah
lalu. Pegangannya dalam masalah tersebut adalah hadits yang tidak shahih. Maka
kita harus membicarakannya dengan tujuan membongkar syubhat-syubhat
(kerancuan-kerancuan) yang dilancarkan oleh Al Kautsari. Dan itu adalah hadits
Wa’il bin Hujr :
“Aku menyaksikan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika bangkit menuju masjid maka
beliau masuk ke mihrab Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sambil
bertakbir kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas
dadanya.”
Saya (Al Albani)
menyatakan, hadits ini adalah dlaif. Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi
2/30 dari Muhammad bin Hujr Al Hadhrami bahwa kami telah diberitahu oleh Sa’id
bin Abdil Jabbar bin Wail dan ada tambahan baginya. Diriwayatkan pula oleh
Thabrani dalam Al Kabir sebagaimana dalam Al Majma 1/232, 2/134-135 dan beliau
berkata : “Di dalamnya ada Sa’id bin Abdul Jabbar.” An Nasa’i berkata bahwa dia
laisa bi qawi (tidak kuat hafalannya).
Ibnu Hibban menyebut
dalam Ats Tsiqat : “Muhammad bin Hujr adalah dlaif (lemah).” Dan beliau berkata
di dalam tempat yang lain : “Di dalamnya ada Muhammad bin Hujr.” Imam Bukhari
berkata : “Padanya ada sebagian kritikan.” Imam Dzahabi berkata :
“Hadits-haditsnya mungkar.”
Aku berkata (Al
Albani), At Turkamani berkata seperti itu di dalam Al Jauhar An Naqi’ dan
menambahkan : “Dan ibunya Abdul Jabbar adalah Ummu Yahya, aku tidak mengetahui
keadaannya (asal-usulnya) dan tidak tahu siapa namanya.”
Maka jelas dari
ucapan para ulama di sini bahwa dalam sanad ini ada 3 ‘illat (penyakit/cacat)
yaitu pada :
1.
Muhammad bin Hujr
2.
Sa’id bin Abdul Jabbar
3.
Ibunya Abdul Jabbar
Dengan demikian
sebagian dari talbis (pengkaburan) yang dilakukan oleh Al Kautsari adalah ia
pura-pura diam dari dua ‘illat yang pertama tadi. Dan berusaha menimbulkan
keraguan di kalangan pembaca bahwa hadits tersebut tidak ada ‘illatnya kecuali
yang ketiga (yaitu ibunya Abdul Jabbar). Dan bersamaan dengan itu ia membela
dengan ucapannya : “Tidak menyebutkan ibunya si Abdul Jabbar bisa mengakibatkan
bahaya. Karena ia tidak menyendiri dari jumhur para rawi wanita. Adz Dzahabi
berkata tentang mereka : ‘Dan aku tidak mengetahui pada wanita-wanita itu ada
yang tertuduh dan juga yang meninggalkannya.’”
Aku (Al Albani)
berkata, makna ucapan Adz Dzahabi tidaklah seperti itu karena hadits-hadits
mereka (para wanita) adalah lemah. Akan tetapi kelemahannya tidaklah terlalu
parah. Maka pembelaan Al Kautsari adalah lemah. Terlebih lagi setelah kita
tunjukkan dua ‘illat tadi.
Ada juga yang lain
memberi muqaddimah risalah (As Suyuthi) ini dan memberi ta’liq (komentar) yaitu
Abdullah Muhammad As Shadiq Al Ghumari. Dia mengambil sikap di tengah-tengah
(netral) dalam hadits ini walaupun ia menyetujui Al Kautsari dalam penghasanan
hadits mihrab tadi. Dia menerangkan tentang kedlaifan hadits ini dan berkata
(halaman 20) yang seakan-akan ia membantah Al Kautsari. Aku perhatikan secara
pasti terhadap ucapannya :
“Dan yang benar bahwa
hadits ini adalah dlaif disebabkan kemajhulan ibunya si Abdul Jabbar dan juga
karena Muhammad bin Hujr bin Abdil Jabbar memiliki hadits-hadits yang mungkar
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi. Dan karena telah tetap
kedlaifannya maka wajib mentakwilkannya dengan mentakwilkan mihrab yang di
dalam hadits tersebut adalah mushalla (tempat shalat). Karena secara pasti telah
terbukti bahwa masjid Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak memiliki mihrab.
Oleh karena itulah pengarang (As Suyuthi) dan Al Hafizh Adam As Sayyid As
Samhudi menetapkan kebid’ahannya.”
Aku berkata, dan
apa-apa yang disampaikan olehnya dengan pentakwilannya itulah yang dikehendaki
dari hadits ini secara qath’i (pasti) karena telah tetap dengan adanya tambahan
dari Al Bazzar yaitu tempat mihrab. Karena dia telah mengatakan bahwa mihrab
memang tidak ada pada jaman Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Oleh sebab
itulh rawi mentakwilkannya dengan tempat mihrab.
Dari sini jelas bagi
pembaca yang adil tentang gugurnya pegangan Al Kautsari dengan hadits ini
secara sanad dan makna. Maka tidak bermanfaat syahid (pendukung) yang
disebutnya dari riwayat Abdul Muhaimin bin Abbas pada Thabrani dari hadits Sahl
bin Sa’d radliyallahu 'anhu. Dan dalam hadits tersebut ada tambahan : “Maka
ketika dibangun bagi beliau sebuah mihrab, beliau masuk ke sana … .”
Maka lafadz dibangun
bagi beliau sebuah mihrab adalah munkar karena Abdul Muhaimin menyendiri dalam
meriwayatkan lafadz ini. Dan selain itu juga dia telah didhaifkan bukan oleh
seorang ulama Ahli Hadits saja sebagaimana perkiraan Al Kautsari. Dan
keadaannya sebenarnya adalah lebih parah dari itu. Imam Bukhari mengomentari
tentangnya dengan ucapannya : “Dia adalah munkarul hadits.” Dan Imam Nasa’i
mengatakan tentangnya dengan : “Dia tidak tsiqah.”
Dengan begitu ia
sangat parah kelemahannya, tidak bisa dijadikan syahid (pendukung) sebagaimana
hal itu telah diterangkan dalam kitab-kitab Mushthalahul Hadits. Dan inipun
kalau-kalau hadits tersebut lafadznya sesuai dengan lafadz hadits Wa’il. Maka
bagaimana hal itu terjadi sedangkan keduanya tidak sesuai (lafadznya)
sebagaimana yang telah saya terangkan tadi?
Adapun penghasanan Al
Kautsari dan yang selainnya terhadap hadits mihrab ini dengan alasan di
dalamnya ada Maslahatul Mursalah yaitu sebagai tanda kiblat maka alasan seperti
ini adalah lemah ditinjau dari beberapa segi :
Pertama : Bahwa
mayoritas masjid sudah ada mimbarnya. Dan ini sudah cukup sebagai tanda. Maka
ketika itu tidak perlu lagi bagi kita untuk membuat mihrab di dalamnya
(masjid). Dan seharusnya itulah yang harus disepakati antara dua perselisihan
dalam masalah ini kalau saja mereka mau melakukan inshaf (keadilan)! Dan tidak
perlu lagi mereka berusaha mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatan
orang banyak dengan maksud untuk mencari keridhaan mereka (karena keridhaan
orang banyak adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai, pent.)!
Kedua : Bahwa yang
disyariatkan karena keperluan dan maslahat. Maka seharusnya seseorang itu
berhenti bila hal itu telah terpenuhi dan tidak menambahnya lagi. Jika tujuan
mihrab di masjid adalah hanya sebagai arah kiblat saja maka itu sudah cukup
dengan mihrab yang kecil yang dilekuk sedikit saja. Akan tetapi kita lihat
mayoritas mihrab-mihrab yang ada di masjid-masjid adalah besar-besar dan luas
serta lebar sampai-sampai imamnya sampai tertutup di situ dan tidak tampak
(oleh makmum). Akhirnya, mihrab-mihrab tersebut menjadi sebagai hiasan saja dan
diberi ukiran-ukiran yang akibatnya juga adalah melalaikan kekhusukan orang
yang shalat dan mengalihkan perhatian mereka dalam shalat mereka dan berakibat
mereka sibuk memikirkannya dan hal itu adalah terlarang secara qath’i (pasti).
Ketiga : Bahwa bila
sudah jelas bahwa mihrab adalah adat kebiasaan orang kristen di dalam
gereja-gereja maka ketika itu haruslah meninggalkan mihrab secara keseluruhan.
Dan menukarnya dengan yang lain yang dibolehkan menurut syariat seperti
meletakkan tiang ditempat imam karena ini ada asalnya dari sunnah. Imam Ath
Thabari mengeluarkan dalam Al Kabir 1/89/2 dari dua jalan yaitu dari Abdullah
bin Musa At Taimi, dari Usamah bin Zaid, dari Mu’adz bin Abdullah bin Khubaib,
dari Jabir bin Usamah Al Juhaini, ia mengatakan :
Aku bertemu dengan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya di pasar maka aku
bertanya kepada mereka : “Mau ke mana beliau?” Mereka menjawab :
“Menggaris/memberi tanda untuk masjid kaummu!” Maka akupun pulang kembali.
Ternyata di sana ada satu kaum yang sedang bekerja. Aku bertanya kepada mereka
: “Ada apa?” Mereka menjawab : “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
membuat garis untuk masjid kita. Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
menancapkan kayu di arah kiblat dan menegakkannya di situ.”
Saya (Al Albani)
mengatakan, sanad hadits ini hasan, semua rawi-rawinya adalah tsiqat dan ma’ruf
(dikenal) dalam rijalnya At Tahdzib. Tapi luput nama salah seorang mereka dari
Al Haitsami dalam Al Mujma’ 2/15. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Al
Ausath dan Al Kabir : “Dan di dalam hadits tersebut ada seseorang yang bernama
Mu’awiyah bin Abdullah bin Habib sedangkan aku tidak mendapatkan biografi
tentangnya.” Dia adalah Mu’adz bukan Mu’awiyah. Dan Ibnu Khubaib bukan Habib.
Berdasarkan pembenaran yang diriwayatkan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Al
Ishabah 1/220 dari riwayat Bukhari dalam Tarikh-nya dan juga oleh Ibnu Abi
Ashim dan Ath Thabrani. Dan pembenaran ini luput dari penta’liq (komentator)
risalah Imam As Suyuthi yaitu Al Ghumari. Ia (Al Ghumari) menukil ucapan Al
Haitsami dalam penulisan hadits Mu’awiyah bin Abdullah dan ia malah
menyetujuinya.
Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa mihrab dalam masjid adalah bid’ah. Dan tidak dibenarkan
membuatnya dengan maksud untuk kemaslahatan selama hal-hal yang disyariatkan
oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam selainnya dapat menggantikan
maksud itu dengan mudah dan jauh dari sifat menghias-hiasi masjid. (Silsilah Al
Ahadits Adh Dhaifah wal Maudhu’ah 1/639-697 hadits nomor 448-449)
Keterangan Dari Ulama
Ahlus Sunnah
Sekian penjelasan
dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, sekarang kita beralih kepada
pernyataan Syaikh Abu Bakar Ath Thurtusi yang mana beliau mengatakan di dalam
kitabnya Al Hawadits wal Bida’ dengan ta’liq dan tahqiq dari Syaikh Ali Hasan
halaman 103 beliau mengatakan : “Dan termasuk bid’ah-bid’ah yang terjadi di
dalam masjid adalah adanya mihrab-mihrab.”
Abdur Razzak
meriwayatkan dalam Mushannaf-nya nomor 3901, ia mengatakan di sana, Al Hasan
datang kepada Tsabit Al Bannani dengan tujuan ingin berziarah kepadanya maka
ketika waktu shalat telah masuk ia mengatakan kepada Al Hasan : “Majulah engkau
(untuk menjadi imam, pent.) wahai Abu Sa’id (kunyah bagi Al Hasan, pent.).” Maka
Al Hasan mengatakan : “Bahkan engkaulah yang maju ke depan, wahai Tsabit!” Maka
Tsabit mengatakan lagi : “Demi Allah, aku tidak mau mendahuluimu
selama-lamanya!” Maka majulah Al Hasan, akan tetapi ia menghindar dari mihrab
(yaitu tidak mau shalat di tempat itu). Adh Dhahhak bin Muzahim mengatakan :
“Yang pertama mengarah kepada syirik pada orang-orang yang shalat adalah
mihrab-mihrab ini!” (Riwayat Abdurrazzaq 3902)
Yang mau shalat di
mihrab adalah Sa’id bin Jubair dan Ma’mar. (Kita berbaik sangka, barangkali
belum datang kepada mereka dalil-dalilnya). Tapi ada pula ulama (tabi’in) yang
tidak mau shalat di mihrab seperti An Nakha’i, Sufyan Ats Tsauri, dan Ibrahim
At Taimi (dan ditambah dengan yang diterangkan oleh Syaikh Al Albani tadi,
pent.)
DR. Muhammad Al
Qasimi mengatakan bahwa Imam Jalaluddin As Suyuthi memiliki sebuah risalah
berbentuk tulisan tangan yang berjudul I’lamul Aryab bi Hudutsi Bid’atil
Maharib, beliau mengatakan dalam risalahnya tadi : “Ini adalah sebuah bagian
yang aku namakan dengan I’lamul Arub bi Hudutsi Bid’atil Maharib karena ada
sebuah kaum yang luput dari pengetahuan mereka bahwa mihrab di dalam masjid
adalah bid’ah. Dan mereka mengira bahwa mihrab itu memang ada di masjid Nabi di
masa beliau. Padahal sama sekali di masanya tidak ada mihrab. Juga tidak di
masa para Khalifah yang empat serta orang-orang yang setelah mereka sampai 100
tahun pertama. Akan tetapi apakah mihrab boleh di masa kita ini? Jawabannya
adalah tidak! Bahkan merupakan salah satu dari bid’ah-bid’ah yang begitu banyak
terjadi. Karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak membuat mihrab
di masjid beliau dan juga tidak dilakukan di masa para shahabat sesudah beliau.
Ini hanya terjadi setelah berlalunya generasi terbaik dari umat ini.” (Al
Masajid Bainal Ittiba’ alal Ibtida’ halaman 51)
Ada juga kita dengar
alasan dari orang-orang yang masih menolak kekuatan hujjah ini dengan alasan
bahwa Maryam juga berada di dalam mihrab? Bukankah ada dalam istilah ushul fiqh
syara’a man qablana (syariat orang sebelum kita)? Maka kepada orang ini kita
jawab : “Memang benar di dalam ushul fiqh ada istilah tersebut seperti puasa
misalnya. Akan tetapi di sini harus kita luruskan dulu tentang siapa yang
berhak membuat syariat itu atau dengan istilah haq at tasyri’ (hak pembuat syariat).
Bukankah Allah dan Rasul-Nya? Allah berfirman dalam Al Qur’an dan Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berbicara dengan hadits. As Sunnah adalah sebagai
penafsir terhadap Al Qur’an. Hal ini bisa kita simak dalam Syarah Ushul I’tiqad
Ahlus Sunnah wal Jamaah oleh Imam Al Laalikai juz 1, Al Aqidah Al Washitiyah,
Syarhus Sunnah, As Sunnah atau yang lain. Bagaimana Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam mencontohkannya? Apakah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
membuat mihrab di masjidnya? Dari riwayat yang lalu bisa diambil keterangan
bahwa masjid beliau tidak memiliki mihrab. Dan bukankah juga telah dinyatakan
tadi bahwa mihrab-mihrab itu merupakan perbuatan tasyabbuh (meniru) kaum
nashrani terhadap gereja-gereja mereka. Apakah kita ingin bertasyabbuh kepada
kaum nashara? Sedangkan bertasyabbuh kepada mereka mengakibatkan tumbuhnya rasa
cinta kepada mereka sebagaimana hal itu ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah di dalam kitabnya Iqtidha’ Shirathal Mustaqim Mukhalafah Ashhabul
Jahiim. Apakah kita cinta kepada mereka? Tentu tidak, wahai saudaraku.”
Nah, sekarang apa
lagi yang bisa kita bantah. Bahkan kita juga telah lihat sendiri bagaimana para
shahabat mengambil sikap dalam masalah ini. Dan kita tentu menyadari bahwa
mereka adalah orang-orang yang tidak akan bersepakat dalam kesalahan. Mereka
merupakan alumnus Madrasah Nabawiyah. Yang kemudian mereka mewariskan ilmu itu
kepada murid-muridnya yaitu para tabi’in. Dan seterusnya … .
Demikianlah, semoga
kita dapat mengambil pelajaran dari keterangan-keterangan di atas. Dan jika
kita ingin memperluas pembahasan ini, silakan membaca risalah Imam As Suyuthi
yaitu I’lamul Arib bi Hudutsi Bid’atil Mahariib. Kita meminta kepada Allah agar
senantiasa menetapkan hati-hati kita di atas jalan-Nya yang lurus. Amin.
Wallahu A’lam Bis Shawab.
Maraji’ :
1.
Silsilah Al Ahadits
Adh Dha’ifah wal Maudhu’ah oleh Syaikh Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al
Albani.
2.
Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali
Hasan Abdul Hamid Al Atsari.
3.
Iqtidha’ Shirathal Mustaqim oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
4.
Al Aqidah Al Wasithiyyah oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
5.
Al Hawadits wal Bida’ oleh Imam Abu
Bakar Ath Thurtusi, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
6.
Al Masajid Bainal Ittiba’ wal Ibtida’
oleh DR. Muhammad Al Qamisi.
7.
Shifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al
Albani.
8.
Ilmu Ushul Fiqh oleh Abdul Wahhab
Khalaf Al Matridi.
9.
As Sunnah oleh Imam Al Laalikai.
Oleh: Al Ustadz Muhammad Ali Ishmah Al Medani
http://assunnah.cjb.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar