Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Jumat, 31 Agustus 2012

Nasehat Para Ulama dalam Menghadapi Ikhtilaf diantara Ikhwah Salafiyyin

Muqaddimah Penyusun
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan serta
perlindungan pada-Nya dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan kita, barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya, dan
barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tak ada yang dapat memberi petunjuk

kepadanya. Saya bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak untuk disembah kecuali
Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba
dan utusan-Nya. Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenarbenarnya
taqwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (Ali Imron: 102).
Firman-Nya juga:
“Wahai manusia bertaqwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri
yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan
(peliharalah) hubungan silaturrahmi, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.” (An-Nisaa’: 1).
Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kalian pada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni
bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya dia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71). Amma
ba’du,
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan
setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap
kesesatan itu dalam neraka. Waba’du,
Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang
yang diberi rahmat oleh Rabb-nya.” (Huud: 118-119).
. 2
Diriwayatkan oleh Ath-Thobari rohimahullah dengan sanad yang shahih1 dari Mujahid
rohimahullah: “walaa yazaaluuna mukhtalifiina” Mujahid rohimahullah berkata: (mereka
adalah) pengikut kebatilan, “illaa marrohima robbuk” Mujahid berkata: (mereka adalah)
pengikut kebenaran.
“Dan janganlah kalian saling berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu.” (Al-Anfaal: 46).
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqity rohimahullah berkata: Di dalam ayat ini Allah
subhanahu wata’ala melarang kaum mukminin untuk saling berselisih, dan juga
menerangkan bahwa perselisihan itulah yang menyebabkan kegagalan dan hilangnya
kekuatan dan juga melarang dari perpecahan di ayat-ayat yang lain. Seperti firman Allah
Ta’ala
“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai berai.” (Ali Imron: 103) dan ayat-ayat yang lain.2
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
“Dan jadilah kalian hamba Allah yang saling bersaudara.” (HR. Bukhari: 6077). Dan yang
dimaksud dengan persaudaraan di sini adalah persaudaraan yang disyariatkan oleh
Islam, yaitu persaudaraan yang dilandaskan kepada al-haq. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rohimahullah ketika menafsirkan ayat 103
dari surat Ali Imron tersebut di atas: “Tali Allah adalah agama-Nya dan kitab-Nya.”3
Sambil kita memahami dan merenungi ayat-ayat dan hadits tersebut di atas, marilah
kita coba mengoreksi diri;
􀂉 Sudah sejauh manakah kita mengamalkan firman Allah Ta’ala dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tersebut di atas …?
􀂉 Masihkah kita mencari-cari dan membesar-besarkan sebab perpecahan,
ataukah kita termasuk orang-orang yang senantiasa mencari sebab-sebab
ishlah dan menjauhkan diri dari perpecahan …?
􀂉 Sudahkah hawa nafsu kita tunduk kepada al-haq sehingga kita dahulukan
firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atas
hawa nafsu kita …?
􀂉 Masihkah ada dalam diri kita ini fanatisme perorangan (tokoh) sehingga kita
tidak tunduk kepada al-haq dan mengikutinya …?
Berangkat dari kenyataan yang kita hadapi ini, maka sudah sepantasnyalah kita –
sebagai ikhwah fillah- untuk saling menasehati dan mengingatkan di antara kita. Maka
1 Dishahihkan oleh Syeikh Prof. Dr. Hikmat bin Basyir hafidzahullah (dosen tafsir Fak. Al-Quran Universitas
Islam Madinah) dalam “At-Tafsir Ash-Shahih”: 3/75
2 Tafsir “Adhwaa’ul Bayaan fii Iidhohil Qur’an bil Qur’an” surat Al-Anfal: 46
3 Taisiiril Kariimir Rohman min Tafsiiri Kalaamil Mannan (Tafsir As-Sa’di) surat Ali Imron: 103.
. 3
berdasarkan latar belakang tersebut kami berusaha untuk menyusun beberapa fatwa
para ulama salafiyyin yang berkenaan dengan ikhtilaf dan adab-adabnya. Dan perlu
kami tekankan bahwa disusunnya fatwa-fatwa ini adalah untuk kepentingan kita
bersama dan bukan untuk membela salah satu pihak atau memojokkan yang lainnya …!
Saksikanlah ya Allah ucapan kami …
Maka harapan kami yang terakhir setelah kita membaca dan merenungi fatwa-fatwa
ulama kita ini adalah:
􀂉 Mengoreksi diri kita sendiri sebelum menyibukkan diri untuk mengoreksi
orang lain. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6. Kita sama-sama
lihat perilaku kita, seandainya memang masih ada yang kurang sesuai dengan
nasihat para ulama kita, marilah kita berusaha untuk memperbaikinya, dan
seandainya telah sesuai marilah bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala
yang telah memberi petunjuk-Nya kepada kita.
􀂉 Tunduk kepada al-haq apabila telah jelas bagi kita, meskipun hal tersebut
tidak sesuai dengan apa yang kita yakini dan kita lakukan selama ini.
“Ya Allah Robb Jibril, Mikail, Isrofil, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang menghukumi antara hamba-Mu dalam hal yang
mereka perselisihkan, tunjukilah kami dalam perselisihan ini kepada yang haq dengan
izin-Mu, sesungguhnya Engkau menunjuki siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang
lurus.” Aamiiin …
Wa akhiru da’waana ‘anil hamdulillahi robbil ‘alamin, washallallahu ‘alaa Nabiyyina
muhammadin wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Madinah, Senin 12 Rabiul Awwal 1422 H
Abdullah Zaen
(Mahasiswa Fak.Hadits, Universitas Islam Madinah)
Anas Burhanuddin
(Mahasiswa Fak. Syari’ah, Universitas Islam Madinah)
. 4
Nasehat Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad Al-Badr4
(Ulama besar dan Muhaddits Madinah Nabawiyah)
Pertanyaan:
Apakah batasan-batasan atau kriteria dalam suatu ikhtilaf (perbedaan pendapat)
sehingga dikatakan bahwa ikhtilaf itu tidak menyebabkan pelakunya keluar dari lingkup
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Jawaban:
Ikhtilaf yang tidak mengeluarkan pelakunya dari lingkup Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’, masalah-masalah yang dibolehkan
untuk berijtihad di dalamnya. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ inilah yang masih
bisa ditoleransi atau diperbolehkan. Akan tetapi ikhtilaf yang ada diantara Ahlus Sunnah
wal Jama’ah tidak boleh disertai dengan adanya rasa saling bermusuhan (saling
menjauhi) diantara mereka, bahkan mereka harus tetap menjaga rasa saling
mencintai dan menyayangi.
Hal ini sebagaimana terjadi di kalangan shahabat radhiallaahu‘anhum, dimana mereka
berselisih dalam beberapa masalah tapi bersamaan dengan itu, mereka radhiallaahu
‘anhum tidak saling bermusuhan satu sama lain dengan sebab ikhtilaf tersebut. Setiap
shahabat berpegang dengan ijtihadnya (pendapat) masing-masing. Mereka radhiallaahu
anhum mengetahui bahwa orang yang benar dalam ijtihadnya akan mendapat 2 pahala
sedangkan orang yang salah dalam berijtihad hanya mendapat 1 pahala. Sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: ”Apabila seorang hakim berijtihad
dan dia benar dalam ijtihadnya maka baginya 2 pahala, dan jika dia berijtihad dan salah
dalam ijtihadnya maka baginya 1 pahala”
4 Nasehat ini berasal dari fatwa beliau yang disampaikan pada hari Ahad, 5 Safar 1422 H di Masjid Nabawy,
dan beliau telah mengijinkan penyebarluasan fatwa ini.
. 5
Nasehat Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan ampunan serta
perlindungan pada-Nya dari kejahatan diri kita dan kejelekan amalan kita, barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada yang dapat menyesatkannya, dan
barangsiapa yang Allah sesatkan maka tak ada yang dapat memberi petunjuk
kepadanya, saya bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak disembah kecuali Allah
dan saya bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan
utusan-Nya, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian
kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam
keadaan Islam”(Ali-‘Imran:102) firman-Nya juga: “Wahai manusia, bertaqwalah kepada
Rabb kalian, yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan daripadanya, Allah
menciptakan istrinya dan dari pada keduanya, Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah)
hubungan silaturahmi, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”(An-
Nisaa:1)
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya dia telah mendapat kemenangan yang besar”(Al-Ahzab:70-71)
Amma ba’du:
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah, dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan
setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap
kesesatan itu di neraka.
Wa ba’du
Ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibrahim bin ‘Amir
Ar-Ruhaily hafidohullah pada hari Ahad sore tanggal 30 Dzulhijah 1422 H, kami
memohon kepada Allah agar jawaban ini memberi manfaat kepada kita semua serta
menjadikannya sebagai sebab terjadinya ishlah (perbaikan/persatuan) antara ikhwah
Salafiyyin
“Ya Allah Robb Jibril, Mikail, Isrofil, Pencipta langit dan bumi, yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang menghukumi antara hambamu dalam hal yang
mereka perselisihkan, tunjukilah kami dalam perselisihan ini kepada yang haq dengan
izin-Mu, sesungguhnya Engkau menunjuki siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang
lurus, aamiiin
. 6
1. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh,…bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara
ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yang terjadi di Indonesia?”
Jawaban:
“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan
semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya,
para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari
kiaman, amma ba’du:
Sesungguhnya kewajiban seorang muslim adalah:
1. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim
dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah (keilmuaan)
ataupun masalah amaliyah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah
ataupun yang lainnya
Kewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah
mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu
masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syar’i yang bermanfaat untuk
mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalahmasalah
ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta
mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang
jelas dan gamblang dalam masalah ini.
2. Apabila perselisihan itu terjadi diantara ahlus sunnah, maka wajib baginya untuk
bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah
belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, tapi jika
perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap mereka
menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan
yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib
baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang pertama adalah
mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?
3. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya
untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang,
kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang
paling utama sebagaimana firman Allah:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau
mengadakan perdamaian diantara manusia” (An-Nisaa:114)
. 7
Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian
dan kunci kebaikan
4. Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan
menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan
tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
5. Bersikap wasath (netral) antara ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yang menghitung
(membesar-besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak,
bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bid’ah atau mengkafirkannya, dan
dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan),
yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia
menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan
sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah “mudahanah”,
tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas alhaq,
serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar
dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah
6. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang
dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan
usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu
perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan
7. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di
berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim.
Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah perselisihan
antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah- setiap pihak yang
berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi
tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya,
sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang berbuat
kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena
kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam
perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui
kebaikan dan keutamaan mereka.
Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita
terhadap Ahlul Bid’ah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya,
karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda
sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha
untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan
dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya dia
menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu,
. 8
maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada Allah agar
memberikan taufiq pada semua ....
2. Pertanyaan:
"Fadilatus Syaikh,...kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan)
perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah:
perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup ahlus
sunnah..?
Jawaban:
"Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah: permasalahan yang
diperselisihkan oleh ahlus sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh
sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah
yang ma'lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan salafus shalih dalam
masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah "apakah ahlul mahsyar
(pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?", apakah yang melihat Rabb itu kaum
mu’minin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar
semuanya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah
perselisihan antara ahlus sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih
dihukumi sebagai ahlul bid'ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang
diperselisihkan oleh salaf, seperti perselisihan mereka tentang "hukum orang yang
meninggalkan shalat", juga perselisihan mereka tentang "kafir tidaknya orang yang
meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya" dan perselisihan
mereka tentang "orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah
satunya karena malas", semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan
ulama ahlus sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat
mereka tidaklah dihukumi sebagai ahlul bid'ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu
berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak
mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma'af) pada ikhwah kita yang
berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari salaf, inilah batasan
perselisihan yang diperbolehkan
Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam
banyak masalah, terkadang ada sebagian ahlus sunnah atau yang menisbatkan
dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat ahlul bid'ah. Maka
orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia
termasuk ahlus sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil
dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama salaf, mencintai ahlus sunnah dan
ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan
salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan
dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan "kurang ilmu", tapi tidak
. 9
mengeluarkan dia dari ahlus sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah
kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba'ah. Mereka menginginkan yang haq tapi
terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian
pendapat ahlul bid'ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah
menyepakati ahlul bid'ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar.
Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam
ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai ahlul bid'ah, karena mereka menginginkan yang
haq tapi salah dalam memahami nash
Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan
pokok-pokok (tata cara) ijtihad ahlus sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia
salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima'afkan -insya Allah, dan
tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bid’ah, karena sebagaimana kalian
ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian
pendapat ahlul bid’ah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang
berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asy’ariyyah dalam beberapa penakwilanpenakwilan
mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini
bersesuaian dengan ahlul bid’ah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka
tidak dinisbatkan kepada bid’ah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok
aqidah ahlus sunnah.
Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup
di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betulbetul
fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh
ahlus sunnah, tapi jika mereka termasuk ahlus sunnah, maka kita berikan udzur
(maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi
karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya.
Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada
para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.
3. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh,… mohon Anda jelaskan contoh dari hal-hal yang menyebabkan dan
menambah perpecahan dan hal-hal yang menyebabkan ishlah (perdamaian)!”
Jawaban :
“Hal-hal yang menambah perpecahan adalah :
1. Ta’ashub (fanatik) yang tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan
tertentu karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik tercela yang
disebabkan oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau kepentingan dunia
atau karena benci pada pihak yang menyelisihinya, inilah fanatik yang
menambah perpecahan
. 10
2. Oleh karena itulah, maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengikhlaskan
amalannya semata-mata karena Allah dan tidak memandang manusia karena
status dan kedudukannya yang akhirnya dia mengukur kebenaran dengan
figur/tokoh tertentu, padahal justru kebenaran itulah yang menjadi ukuran
untuk menilai kedudukan seseorang. Semestinya dia harus membela kebenaran
dan orang yang berada diatasnya meskipun orang itu kecil atau rendah
derajatnya, dan semestinya harus pula dia mencegah orang dzalim dari
kedzolimannya walaupun mulia dan tinggi kedudukannya
3. Menukil perkataan dan menyebarluaskannya. Menukil perkataan diantara
manusia khususnya dalam perselisihan merupakan hal yang menambah
perpecahan, kalian tentunya tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membenci “qilla wa qoola, banyak bertanya dan membuang-buang harta” Qilla wa
qoola adalah banyak menukil perkataan antar manusia: “Kata Fulan begini…,
kata Fulan begitu, Fulan dikatakan begini…, Fulan dikatakan begitu..” sehingga
diapun menyibukkan waktu-waktunya dengan perkataan ini. Maka inilah
diantara sebab yang paling besar yang menyebabkan kerasnya hati,
menimlbulkan hasad, dengki, permusuhan antara ikhwah dan menambah
perpecahan.
Maka kewajiban penuntut ilmu adalah menjaga lisannya, tidak memperbanyak
menukil perkataan, tidak pula memperbanyak pembicaraan yang tidak ada
manfaatnya, dan sikap dia ketika tersebar masalah ini diantara ikhwah adalah
menjauhinya dan mengatakan: “Tidak layak kita disibukkan dengan hal ini tapi
sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu dan hal-hal yang bermanfaat,” kecuali
jika (menukil perkataan itu) ada maslahatnya untuk mendamaikan antara
ikhwah, maka hal itu diperbolehkan.
4. Jahil (bodoh), yaitu bahwa sebagian mereka yang berselisih terkadang
disebabkan oleh kejahilan, jahil terhadap yang haq atau jahil terhadap ahli haq.
Jahil terhadap al-haq yaitu: tidak tahu dipihak mana kebenaran itu berada.
Contohnya jika ada 2 golongan berselisih dalam masalah ilmiyah, kemudian
datang orang yang tidak mengetahui al-haq dalam masalah yang diperselisihkan
ini, sehingga diapun membela yang bathil. Inilah yang dapat menambah
perpecahan dan perselisihan. Atau bisa jadi karena jahil terhadap ahlul haq
(orang-orang yang mengikuti al-haq). Maksudnya, bahwa seseorang yang berilmu
tahu al-haq dan tahu dalil-dalilnya, tapi dia tidak tahu keadaan Fulan, dan ini
kadang terjadi pada para penuntut ilmu disebabkan karena mereka tidak tidak
tahu apa yang terjadi di Indonesia, maka jika ada salah seorang penuntut ilmu
yang mengatakan: “Kata Fulan begini…kata Fulan begitu..” tentunya seorang
yang berilmu itu berbicara sesuai dengan berita yang disampaikan pada dia.
Maka seharusnya bagi mereka yang menukil perselisihan antara manusia
bersikap jujur dan terpercaya dalam menukil, tidak boleh dia menukil hal yang
. 11
tidak pernah diperbuat oleh orangnya tidak juga hal yang tidak pernah dikatakan
oleh orang tersebut, tidak boleh pula dia mengambil konsekwensi perkataanya,
haruslah dia menukil perselisihan itu sesuai dengan kenyataannya. Dan jahil
(tidak mengetahui) terhadap ahlul-haq ini tidaklah menjatuhkan derajat ulama,
tidak pula merendahkan harkat mereka, karena mereka tidak tahu apa
sebenarnya yang sekarang terjadi di Indonesia -misalnya-, kecuali dari nukilan
(sebagian penuntut ilmu) negara ini. Mereka tidak tahu apa yang terjadi di negara
tertentu , tapi datang sebagian penduduknya dan menukil perkataan: “Kata Fulan
begini,…kata Fulan begitu…” tentunya orang ‘alim itu berbicara sesuai dengan
apa yang dia dengar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
”Sesungguhnya saya hanya memutuskan sesuai dengan apa yang saya dengar” 5
Seorang hakim dan mufti menghukumi sesuai dengan apa yang dia dengar, maka
selayaknya jika kita menukil sebuah khilaf atau meminta fatwa, hendaknya kita
menukil sesuai dengan kenyataan sehingga menghasilkan hukum yang benar,
karena seorang ‘alim bertugas untuk berijtihad dalam memutuskan suatu
masalah ilmiyah tapi terkadang dia kurang tahu tentang keadaan manusia dan
apa yang terjadi terhadap mereka, inilah sebagian dari sebab terjadinya
perselisihan.
Adapun sebab-sebab perdamaian adalah :
1. Niat yang jujur dan benar untuk mendamaikan, Allah berfirman tentang dua
orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang berselisih:
Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami istri itu ”(An-Nisaa: 35), kalau dalam masalah mendamaikan
suami istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua, apalagi orang
yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan lagi
dia akan diberi taufik -insya Allah-, apabila terpenuhi padanya niat jujur (benar),
karena kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya perselisihan,
sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan dengannya terjadi
perdamaian
2. Do’a untuk kebaikan ikhwah, yaitu mendo’akan saudara-saudara kita dengan
mengikhlaskan niat dalam berdo’a agar Allah mengangkat perselisihan,
mendamaikan dan menyatukan hati mereka diatas kebaikan dan taqwa dan
membimbing mereka dalam kebenaran
3. Menasehati pihak yang salah, kita katakan pada dia: “Anda bersalah, maka
kembalilah kepada al-haq”, tapi ini bagi orang yang mampu melakukannya,
5 HR. Bukhari no.7169
. 12
adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka tak
ada kewajiban baginya
4. Menasehati pihak yang benar, yaitu agar bersabar, kita katakan pada mereka:
“Bersabarlah dan tahan diri kamu terhadap teman-temanmu (yang bersalah)
karena merekapun ahlus sunnah, dan perselisihan mereka dengan kamu bukan
berarti pula mereka membencimu, bukan berarti mereka tidak menginginkan alhaq,
tapi mereka salah. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman mereka, tapi
setiap mereka mengatakan pada temannya: “Kami tidak merasa lebih dari kalian
dalam iman dan taqwa,” Ali bin Abi Thalib radhiallaahu anhu adalah orang paling
utama setelah kematian Utsman radhiallaahu anhu, beliau mengatakan: “(Mereka)
adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka dalam iman dan
taqwa” padahal beliau adalah orang yang paling utama –mudah-mudahan Allah
meridhoinya-. Demikian pula Muawiyah radhiallaahu anhu, beliaupun mengakui
keutamaan Ali radhiallaahu anhu dan mengatakan: “Kami tidak memerangi beliau
dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau”, lihatlah !!!
Bagaimana mereka berselisih dan menginginkan haq walaupun sudut pandang
mereka berbeda dalam banyak masalah, tapi mereka tidak saling mencela satu
sama lainnya, bahkan mereka mengakui bahwa saudaranya menginginkan al-haq
dan berijtihad, inilah mu’amalah yang harus dilakukan terhadap saudarasaudara
kita.
4. Pertanyaan:
“Mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan pada Anda, sudilah kiranya Anda
menjelaskan tentang tata-cara menasehati serta marotibnya (tingkatan) terhadap orang
yang menyelisihi kita dalam suatu masalah..!?”
Jawaban :
Kewajiban terhadap orang yang menyelisihi kita dalam suatu masalah:
1. Kita tidak boleh berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu, bukan
dengan dzon (persangkaaan)
2. Tatsabut dan meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang salah,
maka kita harus meneliti ucapan yang kita anggap salah ini
3. Kembali kepada nash-nash (Al-Qur’an dan Sunnah) serta pemahaman salaf,
dan jika ada problem pada kita, kembalilah kepada ulama
4. Jika kita telah yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib untuk
menasehatinya dengan mengatakan: “Yaa Akhi…. Sesungguhnya Anda tidak
menginginkan kecuali kebaikan, tapi Anda salah dalam masalah ini, dan yang
benar adalah apa yang dikuatkan oleh nash-nash yang mengatakan begini…”
. 13
Adapun langkah-langkah dalam menasehati bukan hanya satu cara saja,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang
melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya , jika tak
mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan
hatinya…..”
Jadi kewajiban kita adalah :
1. Mengingkari kesalahan dalam hati. Setiap yang kita lihat bersalah harus kita
ingkari dengan hati kita, serta tidak suka kesalahan tersebut ada pada kaum
muslimin, ini adalah kewajiban setiap muslim
2. Setelah itu kita melihat, apakah kita ini termasuk orang yang mampu dalam
mengingkari dengan lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan hanya satu
derajat, ada ulama-ulama besar yang diterima perkataanya oleh manusia, apabila
para ulama itu berbicara merekapun mendengarnya sehingga hilanglah
perselisihan, ada pula para penuntut ilmu pemula yang apabila mereka yang
berbicara bisa jadi malah menimbulkan fitnah pada manusia, maka lihat keadaan
kita. Saya (Syaikh Ibrahim) memandang, apabila terjadi perselisihan pada suatu
masyarakat, hendaklah melihat pada ahli ilmuyang diterima perkataannya di
masyarakat itu, kemudian diminta untuk menasehati (mengingkari), adakalanya
kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung,
tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima perkataanya,
kita katakan pada dia: “Fulan telah berbuat begini dan begitu, sebaiknya Anda
menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan Allah
memberi petunjuk pada dia”. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan karena
mengingkari itu tidak harus secara langsung.
3. Kemudian tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan (kekuatan).
Tingkatan ini adalah hak orang yang punya kekuasaan, bukan cuma pemerintah,
seorang pemimpin negara dapat mengingkari dengan kekuatannya, seorang
ulama dapat mengingkari murid-muridnya, seorang ayah dapat mengingkari
orang yang ada di rumahnya, demikianlah setiap orang yang mempunyai
kekuasaan mengingkari dan mengubah sesuai dengan batas kekuasaannya,
selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dengan pengingkaran
itu.
Adapun jika kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita, seperti
kemungkaran yang ada pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak
mempunyai kekuasaan, maka tidak boleh kita mengingkari dengan kekuatan
karena hanya akan menimbulkan fitnah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggung jawaban terhadap yang dipimpinnya”, maka apakah kemungkaran itu
ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !? Kita tidak dibebani untuk
meningkari semua orang, tapi kita melaporkannya pada mereka yang
. 14
bertanggung jawab atau para ulama, atau hakim yang melaksanakan kewajiban
ini, adapun kewajiban kita adalah mengingkari sesuai dengan batas kekuasaan
kita, kamu di rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga keluarga kamu,
demikian pula saudara-saudara kamu –jika mereka menerima dan tidak
menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran dengan
tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak menimbulkan
kemungkaran yang lebih besar.
Kaidah dalam mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama pengingkaran
itu tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika menimbulkan
kemungkaran yang lebih besar, maka tidak boleh kita mengingkarinya, karena
syari’at bertujuan untuk mewujudkan kebaikan dan menghilangkan keburukan.
Jika tidak mendatangkan kebaikan atau mencegah keburukan (kemungkaran),
maka syari’at mendahulukan maslahat yang lebih besar (untuk dilakukan) dan
mafsadah yang lebih besar (untuk dijauhi)
5. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh…mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan kepada Anda,
seandainya kita pulang ke tanah air, kemudian ditanya tentang permasalahan ini, maka
apakah jawaban yang benar dan tepat sehingga tidak menambah perpecahan ..?!”
Jawaban:
Jawaban terhadap pertanyaan ini sudah disebutkan tadi, yaitu kalian berusaha untuk
mewujudkan ishlah (perdamaian) berdasarkan al-haq dan memperdekat sudut pandang
mereka serta tidak menambah perpecahan, wajib bagi kita untuk menasehati dan
mendamaikan, jika tidak mampu maka setidaknya tidak menambah perpecahan, dan
kita katakan pada masyarakat umum :
􀂉 Janganlah kalian disibukkan oleh hal ini, karena ini bukan urusan kalian,
perselisihan ini adalah urusan para penuntut ilmu, tentunya mereka lebih
tahu, adapun kalian jangan disibukkan dengan hal ini
􀂉 Jagalah agama kalian, juga shalat dan ibadah kalian
􀂉 Ambillah faidah dari para penuntut ilmu
􀂉 Dan jangan kalian mengadu antara perkataan mereka satu sama lainnya
Adapun para penuntut ilmu kita katakan pada mereka: “Kewajiban kita semua adalah
berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah serta mempersatukan hati mereka diatas
al-haq, kalau toh tidak mampu, paling tidak kita jauhi permusuhan dan tidak
menambah perpecahan, entah kita menghindar dengan baik, atau berusaha
mendamaikan.
. 15
6. Pertanyaan :
“Fadhilatus Syaikh.. kitab apakah yang Anda nasehatkan untuk dibaca dalam masalah
ini..?”
Jawaban:
Kitab para ulama ahlus sunnah yang menerangkan manhaj yang haq dalam masalah
ini, ada kitab-kitab yang besar dengan pembahasan yang luas, yang mungkin tidak
mudah untuk difahami oleh setiap penuntut ilmu, yaitu kitab tentang pokok-pokok
aqidah dan nukilan perkataan ulama salaf seperti kitab ”As-Sunnah” karangan
Abdullah bin Imam Ahmad, “Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah” karangan Imam Al-
Laalikai, Kitab “As-Sunnah“ karangan Imam Al-Khollal, kitab “As-Sunnah” karangan
Imam Ibu Abi ‘Ashim, kitab “Al-Ibanah” karangan Imam Ibnu Batthoh dan kitab-kitab
yang lainnya. Ini adalah kitab-kitab yang menerangkan manhaj yang haq tapi mungkin
sulit untuk dipahami oleh penuntut ilmu, sehingga perlu membaca kitab-kitab yang
menerangkan manhaj ini, seperti kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qoyyim dan ulama setelahnya seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
demikian pula para ulama zaman sekarang yang telah menjelaskannya pada umat serta
menjelaskan batasan-batasan yang benar dalam masalah ini yang dibutuhkan oleh
umat sekarang ini6
7. Pertanyaan:
”Semoga Allah menjaga Anda…sering sekali kita mendengar tentang ‘Sururiyah’, harap
Anda jelaskan hakikatnya ..! jazakumullahu khairan..”
Jawaban:
Sururiyah termasuk istilah yang muncul akhir-akhir ini. Sebagian ulama telah berbicara
tentang mereka, dan tentunya ini dikembalikan pada orang yang telah banyak meneliti
pemikiran-pemikiran mereka secara rinci. Adapun globalnya, Sururiyah adalah: mereka
yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surur Zainal ‘Abidin, yang di dalam
manhajnya ada penyelewengan dari manhaj ahlus sunnah dalam masalah da’wah
dan muamalah terhadap pemerintah, yang diambil dari manhaj-manhaj lain seperti
manhaj Ikhwanul Muslimin juga lainnya. Dan orang-orang yang menisbatkan diri
kepadanya –sebagian mereka- terkadang berpemikiran sesuai dengan pemikirannya
pada sebagian dasar-dasar manhaj mereka dengan sengaja atau tidak. Akan tetapi tidak
benar untuk menisbatkan setiap orang yang menyeleweng dalam masalah ini
kepada Sururiyah, karena barangkali seseorang itu aqidahnya sesuai dengan aqidah
ahlus sunnah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka, tapi dia telah
menyimpang dan penyimpangan itu telah terbetik dalam pikiran mereka sebagaimana
6 Diantaranya adalah kitab Syaikh Ibrohim sendiri, yaitu “Mauqif Alhus Sunnah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’”
. 16
penyimpangan itu terbetik dalam pikiran sururiyyin, maka tidak boleh kita memecah
belah manusia.
Adapun orang yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surrur serta ridho
dengan pemikirannya dan berguru padanya, maka ini lain lagi urusannya, karena ada
sebagian orang yang terkadang sesuai dengan sebagian pendapat mereka. Maka kita
tidak boleh memecah belah, sebab jika kita golong-golongkan manusia dan
menisbatkan mereka, sangat susah mereka itu untuk kembali kepada al-haq setelah
itu, lain halnya jika kita katakan: ”Anda mempunyai kesalahan dalam hal ini,
kembalilah pada al-haq..! maka mudah baginya untuk kembali.
Kemudian, pengetahuan tantang jama’ah-jama’ah yang ada pada zaman sekarang dan
pendalaman pemikiran-pemikiran mereka, mungkin sulit bagi seorang penuntut ilmu
dan tidak wajib bagi dia, tapi wajib untuk mengetahui keburukan itu secara global,
sebagaimana kata Hudzaifah radhiallaahu’anhu: “Orang-orang bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya
tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya”, dalam hal ini dengan
mengetahui penyimpangan mereka secara global. Adapun menyibukkan diri dengan
perkataan-perkataan mereka, apa yang dikatakan Fulan, apa yang ditulis Fulan tentang
mereka dan apa bantahannya serta menghabiskan umur dengan hal ini akan
memalingkan kita dari menuntut ilmu, padahal umur itu pendek
Maka kewajiban kita adalah untuk mengetahui pokok-pooko aqidah ahlus sunnah,
dasar-dasar ilmu dan mengetahui masalah-masalah syar’i yang dengannya kita dapat
membedakan ahlul haq dan ahlul batil. Jika kita telah menguasainya maka tak akan
terpengaruh dengan perkataan Fulan, apakah kita mengetahui perkataaannya atau
tidak, karena kita mempunyai landasan yang kuat. Misalnya, kita telah tahu aqidah
ahlus sunnah dalam masalah takfir (pengkafiran), terkadang kita tidak butuh untuk
mengetahui hukum seseorang karena kita mempunyai kaidah benar yang dengannya
kita dapat menghukumi setelah itu, jika kita telah tahu manhaj ahlus sunnah dalam
masalah hajr (pengucilan), kita tidak butuh lagi untuk bertanya apakah si Fulan pantas
untuk dihajr (dikucilkan) atau tidak, karena jika telah mengetahui kaidahnya, kita dapat
menerapkannya pada orang lain. Oleh karena itu, manusia butuh pada ilmu syar’i dan
dasar-dasar ilmu. Adapun memperdalam tentang keadaan manusia, menukil
perselisihan dan perkataan mereka, mungkin sulit dan melalaikan kita dari menuntut
ilmu. Pendapat manusia dan apa yang ada mereka ada-adakan berupa bid’ah dan
perselisihan tak akan ada habisnya, maka kita sibukkan diri dengan ilmu dan ta’shil,
kemudian setelah itu kita punya kaidah yang benar dalam bermuamalah dengan yang
menyimpang.
. 17
8. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh… Semoga Allah mmberikan kebaikan pada Anda. Apakah
penyimpangan sebagian orang dalam manhaj da’wah, mengeluarkan mereka dari lingkup
Ahlus sunnah wal jama’ah ..? jazaakumullahu kahoiron..”
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa ahlus sunnah mempunyai manhaj yang jelas dalam da’wah
dan pokok-pokok da’wah, manhaj yang jelas dan tetap. Maka siapa saja yang menyalahi
ahlus sunnah dalam manhaj ini, atau sebagian pokok-pokok yang umum, tidak
diragukan lagi bahwa dia telah menyelisihi ahlus sunnah, tapi apakah setiap
penyimpangan mengeluarkan orang dari aqidah ahlus sunnah? telah disebutkan tadi
(lihat jawaban Syaikh pada soal no.2 peny)
Terkadang kesalahan itu jelas bahwa itu bukan pendapat ahlus sunnah, tapi kita tidak
bisa menghukumi dia keluar dari aqidah ahlus sunnah, karena kita harus bedakan
antara ucapan dan orang yang mengucapkannya sebagaimana yang kalian ketahui.
Adapun ucapan, kita bisa hukumi bahwa itu bukan pendapat ahlus sunnah, seperti
orang yang mencela pemerintah serta menyebarkan aib-aib pemerintah, menghasut
manusia untuk memberontak atau bahkan mengkafirkan pemerintah walaupun
kenyataan tidak kafir. Pemimpin-pemimpin umat Islam pada umumnya –alhamdulillahmenonjolkan
hukum Islam, maka tidak boleh kita menghukumi mereka (para pemimpin)
dengan kekufuran, walaupun kita dapati mereka berbuat maksiat. Adapun pemimpim
yang jelas-jelas membela agama dan mendakwahkannya, sebagaimana di negara Saudi
ini, juga di negara lainnya, maka tidaklah mencela mereka kecuali ahlul bid’ah, tidak
ada yang memalingkan manusia dari mereka kecuali pengikut hawa nafsu, karena tak
ada seorangpun yang ma’shum, baik itu pemerintah atau ulama atau para penuntut
ilmu.
Barangsiapa yang menyalahi pokok-pokok manhaj ahlus sunnah dalam da’wah, kita
sifati perkataan mereka bahwa “itu bukan pendapat dan manhaj ahlus sunnah”. Kita
harus melihat keadaan orang yang menyimpang itu, apabila sunnah lebih dominan
pada dirinya dan dia berusaha keras untuk mewujudkannya, kita katakan pada dia:
“Anda salah”, kemudian kita bersabar dan menasehatinya.
Adapun jika dia menyalahi seluruh aqidah dan manhaj ahlus sunnah, tidak mau
peduli dengannya tapi justru cenderung dekat dengan ahlul bid’ah, bahkan
berusaha keras untuk memalingkan manusia dari aqidah ahlus sunnah kepada
manhaj lain yang menyimpang, seperti manhaj Khawarij dan manhaj bid’ah lainnya,
maka tidak ragu lagi bahwa itu adalah penyimpangan dari sunnah, bahkan
penyimpangan dari pokok-pokok manhaj ahlus sunnah. Karena manhaj dalam dakwah
bercabang-bercabang dan itu melihat kepada mashlahat dan mafsadah, jadi tidak ragu
. 18
lagi orang yang menyalahinya telah meruntuhkan sebagian pokok-pokok aqidah ahlus
sunnah, seperti berpegang teguh dengan jama’ah kaum muslimin, bersabar terhadap
penguasa walaupun mereka berbuat dzolim dan lemah lembut dalam berdakwah. Tapi
seseorang yang banyak kebaikannya kemudian dia salah dalam beberapa masalah, kita
harus sabar terhadap dia dan menasehatinya. Beda dengan orang yang berada pada
garis ahlul bid’ah yang menyimpang dari manhaj ahlus sunnah dan bersikeras atas
kesalahannya, maka jelas dia bukan ahlus sunnah.”
9. Pertanyaan:
“Semoga Allah memberikan kebaikan pada Anda. Dengan apakah hujjah itu bisa
ditegakkan…?”
Jawaban:
Hujjah itu tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu
masalah dan tahu sebesar apa kesalahannya. Artinya dia tahu bahwa dia salah dan
tahu sebesar apa kesalahan itu dengan dalil-dalilnya. Jika orang tersebut mengetahui
kesalahannya maka telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah orang yang
meninggalkan shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum tahu hukumnya,
maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan pada dia dalil-dalil
dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia. Tapi terkadang orang tersebut hanya
memahami sebagian hujjah, seperti dia tahu bahwa meninggalkan shalat itu haram
hukumnya dan tahu bahwa itu maksiat, tapi dia tidak tahu kadar maksiat itu sehingga
tidak mengira bahwa meninggalkan shalat karena meremehkan itu menjadikan
pelakunya kafir –misalnya-, maka orang semacam ini harus diberitahu bahwa dia itu
salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu kekufuran, dan dijelaskan kepadanya kadar
kesalahan itu, inilah proses-proses yang harus dilalui. Dan hal ini tidak diketahui
kecuali dengan dalil-dalil, yaitu bahwa orang yang bersalah memahami nash dan dalil
yang menunjukkan kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah tegaklah hujjah
pada dia, adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang
tegaknya hujjah pada dia, maka tidak bisa kita katakan bahwa hujjah telah ditegakkan
pada dia.
Penilaian tentang tegak atau tidaknya hujjah atas seseorang itu dikembalikan
kepada ulama besar, dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika ulama tadi
mendebat orang yang menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran, pada waktu
itulah kita memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak disyaratkan orang yang
menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi kapan saja kita tahu
bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka bisa kita katakan
bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak bisa ditegakkan oleh setiap orang,
tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa tegak dengan perkataan
seseorang: “Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur, jika kamu terus tidak
. 19
mau shalat, maka kamu kafir”. Hujjah bisa tegak dengan menerangkan pada dia dalildalil
dan menjawab syubhat-syubhat dia serta menghilangkan syubhat tersebut dan
menghapuskan ketidaktahuan serta kejahilan yang ada pada dia sampai kita yakin
bahwa orang yang menyimpang itu telah faham tapi terus melakukan kesalahannya
karena menolak kebenaran dan sombong, pada waktu itulah kita dapat
menghukuminya.
Sebagian orang ada yang hujjah itu tidak bisa tegak dengannya, seperti orang jahil
atau orang yang tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik, misalnya; tidak bisa
menjelaskan dalil dengan baik atau tidak berlemah lembut dalam dakwahnya, karena
orang yang keras dalam dakwahnya tidak bisa tegak hujjah dengannya, Allah
berfirman kepada Nabi Musa dan Harun: “Pergilah kalian berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (Thahaa: 43-44)
Padahal Allah tahu bahwa Fir’aun akan mati dalam keadaan kafir, tapi Allah tetap
memerintahkan untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena hujjah tak akan
tegak kecuali dengan ar-rifqu dan al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang
membuat orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.
Kemudian hujjah itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan
terhadap orang yang bersalah.
Juga seorang ‘alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya oleh
orang yang ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah tidak dipercaya
olehnya, maka terkadang tidak membuahkan hasil.
Tidak ada suatu masalahpun yang dapat kita katakan: “Bahwa penegakkan hujjah
tidak disyaratkan di dalamnya (dalam masalah itu)”. Apabila orang yang bersalah itu
tidak tahu hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur padanya, ketika dia datang
kepada Rabbnya di hari kiamat dan mengatakan: “Saya jahil tentang masalah ini”, dan
Allah tahu kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya.
Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal yang ma’lumun
minad diini bidh dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti diketahui oleh semua orang) tapi
ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang seperti itu kebanyakan
tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong atau keras kepala, tapi pada
hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah darurat yang harus diketahui
dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap hal ini, maka tidak bisa kita hukumi
dengan kekafiran, karena Allah memberikan udzur dengan kejahilannya itu, firman
Allah ta’ala: “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya” (Al-
Baqarah: 286)
Dan ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama (tidak satu
tingkatan) dalam hal-hal yang ma’lumun minad diini bidh dhoruroh. Hal-hal yang
. 20
ma’lumun minad diini bidh dhoruroh ini bagi para ulama berbeda dengan hal-hal yang
ma’lumun minad diini bidh dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan hal-hal ini berbeda
antara penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di dalamnya sunnah dan
ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.
Kaidah dalam hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus kita minta
penjelasan. Ketika Mu’adz radhiallaahu’anhu datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Apa ini yaa Muadz…?”, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusnya
untuk mengajarkan ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat yang faqih, tapi
ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan hal itu kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena takwil (karena beliau melihat ahli kitab bersujud
pada rahib mereka, Beliaupun berpandangan bahwa kaum muslimin lebih berhak untuk
bersujud kepada Nabinya)7. Demikian pula Hatib radhiallaahu’anhu, tersembunyi dari
beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas, sebagaimana dalam kisahnya (ketika
Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk fathu Mekah, Hatib mengirimkan surat
memberitahukan salah seorang kerabatnya yang ada di Mekah, melalui seorang wanita
yang kemudian Allah beritahukan dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun memaafkan beliau (lihat Shahih Bukhari 3/1095 no. 2845, Shahih
Muslim 4/1941 no.2394 --pent)
Kerena syubhat itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun itu seorang ulama,
maka harus kita minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya, kita katakan: “Apa yang membuat anda berbuat demikian.??” Jika
ternyata alasannya bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada dia ilmu dan
menjawab syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya karena kesalahan.
10. Pertanyaan:
“Semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan. Apakah dhowabit (batasan-batasan
‘tahdzir’ dan ‘hajr’..?”
Jawaban:
Adapun tahdzir, kita lihat kesalahannya, tersebar atau tidak, jika kesalahan itu
tersebar di masyarakat, wajib atas kita untuk menasehati orang yang bersalah tadi, kita
katakan padanya: “Anda salah, kesalahan Anda telah tersebar, maka kembalilah kepada
yang haq !!”. Kita terangkan pada dia yang haq, sehingga hilang kesalahan itu, karena
rujuknya orang yang bersalah dari kesalahannya lebih baik daripada tahdziran kita
terhadapnya. Contohnya: kesalahan seorang pengajar di salah satu kelas, kita katakan
pada dia: “Syaikh ..mungkin Anda lupa atau keliru dan yang benar adalah begini,
7 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam sunannya 1/595 no.1852 tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, kata
Syaikh Al-Bany: hasan shahih, lihat shahih sunan Ibnu Majah no.1515 dan silsilah shahihah
no.1203..pent)
. 21
karena murid-murid akan membawa kesalahan itu dari Anda”, tidak diragukan lagi jika
guru tersebut merujuk kepada yang haq, maka dia akan bersumpah mengakui
kesalahannya. Maka hal ini akan menghilangkan kesalahan dan lebih mengena dalam
menasehati. Beda jika kita katakan: “Pengajar itu salah dan mengatakan begini dan
begitu”, terkadang bisa hilang kesalahan itu (dengan cara tersebut), tapi hilangnya
kesalahan itu tidak sama dengan rujuknya guru tersebut kepada al-haq, maka jika kita
mampu untuk menasehati dahulu, itulah yang harus dilakukan.
Jika ternyata orang yang bersalah ini tidak mau kembali pada yang haq, dan
kesalahannya tersebar di khalayak ramai (masyarakat luas), maka kita wajib
mentahdzir dia dan kesalahannya tadi, tapi hanya sebatas tersebarnya kesalahan itu.
Contohnya jika seseorang berbicara pada suatu masyarakat atau kelompok tertentu dan
salah dalam ucapannya, maka kita tahdzir dia sebatas masyarakat atau kelompok
dimana orang itu berbicara dan tidak boleh kita masyhurkan orang tadi di seluruh kota
dan kita katakan: “Fulan telah salah dan mengatakan begini dan begitu”, karena hal ini
tidak akan mewujudkan mashlahat. Dan maksud dari tahdzir itu adalah untuk
menghilangkan kesalahan yang ada pada masyarakat sesuai sesuai dengan kadar
tersebarnya kesalahan itu. Jika kesalahan itu tersebar di suatu negara, maka tidak
boleh kita tahdzir pula di negara lain, jika kesalahan itu tersebar di sebuah kota, maka
tidak boleh kita tahdzir di kota lain. Contohnya juga kesalahan yang terjadi pada
penuntut ilmu, bukan suatu maslahat kita mengumpulkan orang awwam untuk
mentahdzir dia, karena mereka tidak mengetahuinya. Maka tahdzir itu harus sesuai
dengan kadar tersebarnya kesalahan. Demikian juga jika kesalahan itu di antara
salafiyyin saja, kita tahdzir dia sebatas salafiyyin, tidak boleh kita bawa ahli bid’ah serta
memasyhurkannya, jika kesalahan itu sampai pada kelompok tertentu, wajib kita
tahdzir sebatas tersebarnya kesalahan itu, dan jika kita tidak sampai pada kelompok
tertentu, maka tidak boleh membawa kesalahan itu pada mereka, karena mereka tidak
tahu tentangnya.
Kemudian ketika mentahdzir, kita harus membedakan antara kesalahan dengan orang
yang berbuat kesalahan. Adapun “kesalahan” kita katakan bahwa ini salah, dan
adakalanya tanpa menyebutkan pelakunya dengan mengatakan Fulan bersalah.
Misalnya seseorang bersalah dalam suatu masalah, maka terkadang tahdzir itu tidak
perlu untuk menyebutkan pelakunya, dengan kita katakan “ Yang benar dalam masalah
ini adalah begini dan begitu” tanpa menyebutkan: “Fulan salah” atau kita katakan:
“Sebagian orang atau sebagian penuntut ilmu telah mengatakan begini”, sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengatakan:
”Kenapa ada kaum yang melakukan begini dan begitu…”. Semuanya ini adalah tahdzir
dari kesalahan, tidak boleh kita mencela jika orang yang salah itu adalah mujtahid
dari ahlul-haq, apalagi mengecam dan menganggap sebagai ahlul bid’ah.
Adapun jika kesalahan itu berasal dari ahlul bid’ah atau orang yang bahayanya telah
menyebar dan kita takut masyarakat terpengaruh dengannya, maka kita tahdzir dia,
. 22
karena kesalahannya tidak hanya sebatas dalam satu masalah saja, bahkan
kesalahannya telah begitu masyhur dan tersebar di antara manusia, kita katakan pada
orang-orang: “Berhati-hatilah dari Fulan karena dia telah menyimpang dari manhaj dan
aqidah”
Jika pelaku kesalahan itu sudah sedemikian parahnya, sehingga mencapai tingkatan
yang keterlaluan, kita boleh menyinggung pribadi dia dengan mengatakan: “Fulan ahlul
bid’ah dan penyebar fitnah” ini adalah termasuk nasehat, tapi semuanya ini tidak
dilakukan kecuali jika telah pasti bahwa orang tersebut salah, bukan semata-mata
dengan sangkaan, bukan pula nukilan isu yang kemudian lantas kita sampaikan pada
manusia, inilah batasan-batasan tahdzir.
Adapun masalah hajr, berbeda sesuai dengan perbedaan maksudnya, ada hajr untuk
mashlahat dakwah, seperti menghajr ahlul bid’ah, pelaku kejahatan dan lainnya, ada
pula hajr untuk mashlahat haajir (yang menghajr), seperti orang yang takut akan
keselamatan diri dan agamanya jika bergaul dengan pelaku bid’ah dan kejahatan, maka
dia dalam hal ini menghajr untuk kemashlahatan dirinya sendiri, ada pula hajr untuk
kemashlahatan al mahjur (orang yang dihajr), artinya hajr itu terkadang berpengaruh
padanya sehingga diapun kembali kepada al-haq, maka hajr itu berbeda sesuai dengan
perbedaan keadaan (situasi dan kondisi).
Adapun batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan haajir (yang menghajr) adalah
setiap orang yang takut akan kesematan diri dan agamanya jika dia bergaul dengan
fulan atau kelompok tertentu, maka wajib bagi dia untuk menjauhinya. Adapun
batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan al mahjur (yang dihajr), dilihat
keadaannya, apakah hajr itu akan bermanfaat bagi dia atau tidak. Karena hajr itu
bukan sesuatu yang harus sehingga setiap yang menyimpang harus dihajr, tapi kita
lihat apa yang lebih bermanfaat bagi dia, apakah yang lebih bermanfaat bagi dia itu
adalah hajr sehingga dia kembali pada sunnah ataukah yang lebih manfaat itu adalah
ta’lif (pendekatan), tapi kita harus melihat beberapa hal-hal yang lain:
1. Pengaruh al haajir (orang yang menghajr), sebagian orang ada yang
berpengaruh hajrnya, seperti para ulama, pemerintah atau orang yang
mempunyai kedudukan, adapun yang hajrnya tidak berpengaruh, seperti teman
kepada teman yang lain, terkadang hajrnya tidak berpengaruh terhadap
temannya itu, bahkan terkadang hajrnya itu dipahami dengan yang tidak-tidak.
Maka haruslah al haajir (orang yang menghajr) itu mempunyai pengaruh
terhadap yang dihajr.
2. Melihat keadaan yang dihajr, apakah hajr itu berpengaruh pada dia atau tidak,
jika hajr itu malah membuat dia semakin sombong dan keras kepala, maka dia
tidak layak untuk dihajr. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkadang menghajr dan terkadang ta’lif
(melakukan pendekatan)”.
. 23
3. Melihat masa hajr, hajr itu harus bermanfaat dan sesuai dengan kesalahan.
Berkata Ibnu Qoyyim rohimahulloh: “Hajr itu bagaikan obat, jika kelebihan dosis
bisa membunuh atau membahayakan, dan jika kurang tak akan bermanfaat.”
Maka masa hajr itu harus sesuai dengan jenis penyimpangannya, jika kita
melihat orang yang dihajr itu kembali pada al-haq, maka tidak boleh kita
menambah masa hajr, karena akan membahayakan dia.
4. Melihat keadaan masyarakat, jika masyarakatnya adalah masyarakat sunny
dimana mengakibatkan dia kembali pada al-haq, maka kita boleh melakukan hajr
dalam masyarakat itu, adapun jika masyarakatnya adalah masyarakat bid’ah
yang mungkin jika kita hajr orang itu akan diseret oleh ahlul bid’ah dan dibawa
kepada kesesatan yang lebih besar sehingga bertambah penyimpangan dia, maka
tidak boleh kita hajr. Jadi kita harus melihat keadaan masyarakat yang
dilakukan hajr di dalamnya, inilah batasan-batasan yang harus diperhatikan
ketika hendak menghajr.
5. Sebelum dan sesudahnya kita harus ikhlas semata karena Allah dalam
menghajr, bukan untuk keuntungan pribadi tapi untuk kemaslahatan syar’i,
karena hajr itu terkadang dilakukan untuk kemaslahatan dirinya, atau
kemaslahatan yang didakwahi, atau kemaslahatan dakwah secara umum dan
kemaslahatan kaum muslimin. Seperti ada seorang ‘alim dan ahlul bid’ah, jika
orang ‘alim itu berhubungan dengan dia, mungkin bisa bermanfaat bagi ahlul
bid’ah itu, tapi di sisi lain bisa jadi malah menjadi fitnah bagi masyarakat,
sehingga mereka berkata: “Orang ‘alim ini tidak akan berkunjung dan duduk
dengan dia kecuali karena orang itu di atas jalan yang benar.” Maka orang (ahlul
bid’ah tadi) harus dihajr untuk kemaslahatan dakwah. Adapun orang yang lebih
rendah kedudukannya dari ‘alim tadi, yang tidak berpengaruh terhadap
masyarakat, maka boleh baginya untuk mengajari dan berhubungan dengan ahli
bid’ah tadi.
11. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh … adakah perbedaan antara hajr dan tahdzir, jika ada perbedaan,
apakah setiap orang yang kita tahdzir itu harus dihajr …?
Jawaban:
Ya, ada perbedaan, tahdzir adalah memperingatkan manusia dari kesalahan atau dari
orang yang bersalah, adapun hajr yaitu memboikot (mengucilkan) seseorang untuk
kemaslahatan baik itu kemaslahatan agama kamu atau kemaslahatan dakwah dan
ummat, tapi tidak setiap yang kita tahdzir itu harus dihajr. Terkadang teman kita
bersalah kemudian kita tahdzir dari kesalahannya dan tidak kita hajr, kita katakan: “si
fulan seorang yang baik, mempunyai keutamaan dan ilmu, tapi dia salah dalam
masalah ini … .” Banyak para ulama yang mentahdzir kesalahan sebagian ulama yang
lain, Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya tentang kesalahan
. 24
sebagian ulama dalam beberapa masalah, beliau menjawab: “’Alim fulan salah dalam
masalah ini”, tapi beliau tidak menghajr dia, tidak juga mencelanya, tapi beliau
menjelaskan kesalahannya, demikian pula para ulama sebelum beliau ketika ditanya
tentang suatu masalah, mereka menjawab: “ini salah”, tapi tidak mengharuskan orang
yang salah itu dihajr.
12. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh … seberapa jauh kebenaran perkataan bahwa fulan ikhwany tapi
aqidahnya salafy, atau tablighy tapi aqidahnya salafy, jika perkataan ini benar, lantas apa
makna perkataan itu …?
Jawaban:
Ikhwanul Muslimin mempunyai penyimpangan yang banyak dalam aqidah, termasuk
kesalahan mereka yang paling besar dalam manhaj adalah menyatukan manusia (tanpa
memilah aqidah) dan kaidah mereka yang salah yaitu “saling memberikan udzur sesama
kita dalam hal-hal yang diperselisihkan, dan bersatu dalam hal-hal yang kita sepakati”,
ini sangat bertentangan dengan aqidah ahlussunnah waljamaah. Jamaah Tabligh pun
mempunyai banyak kesalahan. Bagaimana mungkin bisa dikatakan fulan manhajnya
tablighy tapi aqidahnya salafy. Karena aqidah dan manhaj ahlussunnah dua hal yang
tidak bisa dipisahkan, aqidah dan manhaj tidak mungkin dipisahkan satu sama lainnya,
tapi (jika seorang sunny) salah, kita katakan: “fulan salah dalam masalah ini tapi dia
masih di atas pokok-pokok ahlussunnah”, seperti halnya kita katakan “murji’ah fuqoha”,
maknanya bahwa mereka adalah fuqoha dan ahlul ilmi serta murji’ah ahlussunnah,
artinya dia ahlussunnah, tapi dalam masalah ini dia salah, ini bisa dikatakan jika
kesalahannya bersifat juz’iy (cabang).
Adapun jika fulan menyimpang dari manhaj secara keseluruhan, tidak bisa kita
katakan: “dia manhajnya begini tapi aqidahnya begini, tapi kita harus mengetahui
bahwa aqidah ahlussunnah dan manhajnya tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
13. Pertanyaan:
“Jazakumullohu khairan atas nasihat ini, sekarang kami merasa sangat kurang dalam
usaha untuk mendamaikan antara ikhwah apalagi dalam berdoa untuk kebaikan mereka,
terutama mendoakan orang yang menyelisihi kami agar mendapatkan hidayah, juga
masalah niat, terkadang ketika menasehati, kami tidak ikhlas karena Allah tapi karena
tujuan duniawi, maka apakah nasihat Anda pada kami, dan bagaimanakah Salaf dalam
menjaga niat mereka serta keinginan kuat mereka untuk mendoakan saudara-saudaranya
…?
Jawaban:
. 25
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam amalannya,
manusia dalam setiap amalannya bertujuan untuk mewujudkan keselamatan dirinya.
Sebelum kita berusaha untuk mendamaikan dan memberikan petunjuk (hidatul
irsyad, peny.) pada manusia, kita harus berusaha menyelamatkan diri kita, dan ini
tidak bisa kita lakukan kecuali dengan mengikhlaskan niat karena Allah semata serta
menginginkan wajah Allah di setiap amalan kita, juga merasa bahwa Allah senantiasa
mengawasi kita, mungkin manusia tidak tahu niat kita karena niat itu tersembunyi,
sehingga kita bisa membohongi diri kita dan manusia dengan memperlihatkan nasihat,
padahal Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kita:
“Dan apa yang kalian perlihatkan serta sembunyikan dalam diri kalian Allah akan hisab
kalian.” (QS. Al-Baqarah: 284), maka wajib atas setiap muslim untuk mengikhlaskan
niatnya.
Kaum Salaf sangat berkeinginan untuk memberi hidayah pada manusia, dan bahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan yang pertama dalam hal ini. Saya
akan menceritakan pada kalian sebuah contoh dari sejarah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam: Abdullah bin Ubay adalah termasuk orang yang paling banyak menyakiti Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika dia mati, anaknya, yaitu Abdullah bin Abdullah bin
Ubay radhiyallahu’anhu (dan dia adalah seorang sahabat) datang pada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memohon ampun untuk ayahnya,
Nabipun bergegas untuk memohonkan ampun baginya, tapi Umar radhiyallahu’anhu
melarang beliau, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku dilarang
untuk memohonkan ampun mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka aku akan mohon
lebih dari tujuh puluh kali”, kemudian turunlah ayat:
“Janganlah kalian menshalati orang yang mati dari mereka selamanya, dan jangan kamu
berdiri (mendoakan) di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Taubah: 84) (lihat Shahih
Bukhari 1/427 no. 1210 dan Shahih Muslim 4/1865 no. 2400. pent)
Lihatlah bagaimana keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam …., seorang
munafik yang menyakiti beliau dan menghalang-halangi dakwah beliau, beliau katakan:
“Akan saya mohonkan ampunan beginya lebih dari tujuh puluh kali”, karena besarnya
keinginan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberikan hidayah kepada
manusia dan ini adalah termasuk nasihat karena Allah Ta’ala.
Wajib atas setiap muslim untuk tidak bermaksiat terhadap Allah di bumi-Nya, dan
senang bila tidak ada penyimpangan di muka bumi dan tidak boleh gembira dengan
penyimpangan orang lain. Karena jika kita cinta kepada Allah, tentu senang jika Allah
ditaati dan tidak dimaksiati, dan ini pada setiap orang, ketika kamu cinta pada
seseorang, tentu kamu tidak senang jika dia berbuat maksiat dan dibicarakan
. 26
kejelekannya, tapi jika kita senang dengan kesalahan orang lain maka ini bukan nasihat
karena Allah, karena seorang mukmin senang jika Allah ditaati dan tidak dimaksiati,
sampai orang Yahudi dan Nasrani pun kita senang jika mereka beriman. Karena itu kita
harus tamak untuk memberi hidayah kepada manusia, lebih-lebih pada ikhwah kita.
Oleh karena itu Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata pada ayahnya:
“Wahai ayahku, saya senang jika saya dan ayah dimasak dalam kuali yang mendidih di
jalan Allah”, artinya keduanya dimasukkan dalam kuali yang penuh minyak atau air
yang mendidih sehingga badan mereka pun hancur di jalan Allah, dan ini adalah
nasihat karena Allah. Demikianlah kewajiban setiap muslim untuk mengikhlaskan
amalannya karena Allah.
Termasuk dari contoh kekuatan nasihat dan ikhlas pada sejarah Salaf, apa yang
terjadi pada Ali radhiyallahu’anhu dalam perang tanding sebelum dimualinya
peperangan, beliau mengalahkan lawannya dan menjatuhkannya ke tanah, ketika beliau
hendak memukulnya dan membunuhnya dengan pedang, orang itu meludahi muka
beliau, maka beliau pun tidak jadi membunuhnya, lantas ditanya mengapa anda tidak
membunuhnya. Jawab beliau: “Tadinya saya ingin membunuhnya karena Allah, tapi
orang itu meludahi saya, sehingga saya pun marah, saya takut jika saya membunuhnya
karena kepentingan pribadi (bukan karena Allah)”, …… lihat bagaimana salaf menahan
diri, ini adalah taufik dari Allah yang tidak akan didapatkan kecuali dengan muroqobah
(merasa diawasi oleh) Allah sehingga bisa menahan diri dengan baik. Ini semua berasal
dari kekuatan ikhlas karena Allah. Ketika Allah tahu kejujuran niat dan keikhlasannya,
Allah pun melindunginya dari segala sesuatu. Maka dari itu sangat sulit bagi seseorang
untuk mengambil sikap dan menghadirkan niatnya dalam keadaan seperti ini. Lihatlah
…! Beliau tidak senang untuk membunuh orang kafir itu setelah beliau mampu
mengalahkannya padahal beliau dalam keadaan jihad. Salah seorang dari kita bisa saja
untuk mengatakan: “saya membunuh karena Allah”, padahal pada dirinya ada niat lain
yang tersembunyi, dia membunuhnya kerena kepentingan pribadi. Maka merupakan
keharusan bagi kita untuk mengikhlaskan niat karena Allah serta mendoakan saudarasaudara
kita, dan memohonkan bagi mereka hidayah, di waktu kita shalat malam
dan pada waktu-waktu dikabulkannya doa, juga menjadikan maksud kita setiap
berbicara dan berbuat hanya karena Allah semata, kita ikhlas ketika berbicara, ikhlas
ketika diam, ikhlas ketika ‘uzlah (mengasingkan diri), sehingga dalam keadaan
bagaimanapun kamu dalam kebaikan yang agung (besar). Adapun jika kita kehilangan
niat ikhlas –mudah-mudahan Alah melindungi kita darinya-, walaupun kita berbicara
haq, memberi nasihat dan Allah damaikan dengan sebab kita, serta terwujud kebaikan,
sementara orang-orang memuji kita, maka amalan kita akan sia-sia, karena tidak
terpenuhi niat yang ikhlas. Kita ambil pelajaran dari sebuah hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah turun pada hamba-Nya untuk memutuskan,
dan seluruh manusia berlutut, orang yang pertama kali dipanggil adalah orang yang
membaca Al-Quran, orang yang beperang di jalan Allah, dan orang yang mempunyai
. 27
banyak harta. Allah berfirman kepada pembaca Al-Quran: “bukankan Aku telah ajarkan
padamu apa yang Aku turunkan pada Rasul-Ku?” jawab orang itu: “benar ya Robbi”,
firman-Nya: “apa yang kamu amalkan?” orang itu menjawab: “saya membacanya siang
malam”, firman-Nya: “bohong.!!” Kata malaikat: “kamu bohong!!” firman-Nya: “kamu
membacanya karena ingin disebut qori, dan telah dikatakan padamu”. Kemudian
didatangkan orang yang mempunyai banyak harta, Allah berfirman padanya: “bukankan
Aku telah meluaskan rizkimu sehingga kamu tidak butuh pada seorangpun?” jawabnya:
“benar ya Robbi”, firman-Nya: “lantas apa yang kamu amalkan dengan pemberianku itu?”,
jawabnya: “dulu saya menyambung silaturahmi dan bersedekah”, firman-Nya: “kamu
bohong!!”, kata malaikat: “kamu bohong!!”, firman-Nya: “kamu berinfaq karena ingin
disebut dermawan dan telah dikatakan padamu”. Kemudian didatangkan orang yang
terbunuh di jalan Allah, Allah berfirman padanya: “apa yang kamu perangi?”, jawabnya:
“saya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, saya pun berperang hingga terbunuh”,
firman-Nya: “kamu bohong!!”, kata malaikat: “kamu bohong!!”, firman-Nya: “kamu
berperang karena ingin disebut pemberani dan telah dikatakan padamu.”. Berkata Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu: kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memukul
lututnya seraya bersabda: “Tiga orang ini adalah makhluk yang neraka disulut pertama kali
untuk mereka.”8
Yang perlu kita garis bawahi adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam waqad
qiila” ini menunjukkan bahwa kebanyakan yang dikatakan di dunia sebagai ‘alim atau
dermawan atau pemberani tidak menginginkan wajah Allah, kita takut atas diri kita,
terkadang orang mengatakan tentang kita: “fulan ‘alim”, atau “fulan ahlussunnah”, dan
Allah tahu hati kita, maka kita wajib untuk menyadari dalam keadaan ini, karena jika
niat dimasuki riya’ akan dikatakan pada kita di hadapan seluruh makhluk (pada hari
kiamat): “kamu berbuat itu karena ingin dikatakan begini dan sudah dikatakan begitu
(di dunia)”, sehingga kita pun dilempar ke neraka, ini perkara yang sangat berbahaya.
Hendaklah seorang insan memohon pada Allah keikhlasan dalam perkataan dan
perbuatan dia di setiap waktu, tidak ada seorang manusia pun kecuali dia lemah, tapi
apabila Allah mengetahui kekuatan ikhlas, kesungguhan dan kesabaran seorang hamba,
maka Allah akan memberinya taufiq, sebagaimana dalam hadits:
“Senantiasa seorang hamba bertaqorrub kepada-Ku dengan nawafil (amalan-amalan
sunnat) sehingga Aku mencintainya.” (HR Bukhari 5/2384 no. 6137. Pent)
Dan sebagai pelindung bagi kita dari hal itu adalah dengan memperbanyak amal shalih
dan ketaatan, jangan sampai kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal, karena
ilmu itu sarana untuk beramal. Jika kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal,
maka ilmu kita itu tidak bermanfaat. Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu:
8 (HSR Muslim 3/1513 no. 1905 dan At-Tirmidzi 4/591 no. 2382 tahqiq Ahmad Syakir dan hadits ini lafadz
Tirmidzi)
. 28
“Hubungilah ilmu dengan amal, jika dia menjawab (maka kebaikan untuknya) dan jika
tidak, maka ilmu itu akan pergi.”
Ketika kamu semakin istiqamah dalam ketaatan pada Allah, maka Allah akan
melindungimu dari fitnah, jika kamu menjaga shalat, dzikir-dzikir dan amalan baik,
(Allah akan melindungimu) ketika fitnah melanda manusia, dan kamu mempunyai
kedudukan tinggi di sisi Allah. Bukankah Allah berfirman dalam hadits qudsi: “Jika
seorang hamba senantiasa bertaqorrub pada-Ku sehingga Aku mencintainya, maka Aku
pendengarannya yang dia mendengar dengannya, pandangannya yang dia melihat
dengannya, tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang dia berjalan
dengannya.” Mengapa? Karena Allah melindunginya, maka setiap orang yang ingin
selamat dari fitnah hendaklah memperbanyak ketaatan dan ibadah, inilah yang
bermanfaat. Demi Allah …!! ilmu saja tidak akan bermanfaat. Bisa saja kamu orang
yang paling ‘alim tapi kamu terfitnah dalam agamamu karena kamu tidak bisa
mengambil manfaat kecuali dengan ilmu dan fiqih dalam agama serta istiqomah dalam
ketaatan. Karena itu jika kalian perhatikan, siapakah yang selamat ketika fitnah
melanda ummat dan manusia? Ulama’lah … yang selamat, tapi apakah mereka selamat
karena ilmu saja …? Tidak, mereka selamat karena mereka ahlul ibadah, Allah
melindungi mereka karena ibadah, dan berjatuhanlah dalam fitnah itu para ulamaulama
suu’ (jelek) dan orang-orang yang berbuat karena riya’, kita berlindung kepada
Allah dari hal ini, karena seseorang terkadang menjadi hina disebabkan amalannya.
Inilah kewajiban yang harus dilakukan oleh penuntut ilmu, untuk sungguh-sungguh
melakukan ishlah, tapi sebelumnya kita harus memperbaiki diri kita, apakah kita akan
mengishlah manusia sementara diri kita sakit, akankah kita memperbaiki rumah orang
sementara rumah kita roboh …?
Kita perbaiki hati dan amalan kita serta selalu merasa diawasi oleh Allah, sibukkanlah
diri kita dengan hal yang mendekatkan kita pada Allah, perkara itu sungguh besar,
sungguh berbahaya, karena kita akan datang nanti untuk dihisab, Allah akan
menghisab setiap orang apa yang ada pada dirinya “Pada hari diperlihatkan seluruh
rahasia” (QS. At-Thoriq: 9). Akan diperlihatkan pada kita catatan amalan kita yang
bagaikan gunung, kemudian dihadapkan amalan itu kepada Allah kemudian dikatakan
“ini (amalan) karena Allah dan ini (amalan) karena selain Allah dan tidak tersisa (dari
amalan) kecuali amalan yang karena Allah”.
Kita doakan saudara-saudara kita dan memohon pada Allah. Jika melihat kesalahan
maka kita katakan: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari kesalahan
yang menimpa dia, dan Dia lah yang memberikan keutamaan padaku di atas
kebanyakan makhluk-Nya dengan keutamaan yang besar”, kita mohonkan bagi mereka
hidayah dan kita melihat orang yang menyimpang itu bagaikan seorang pasien,
sebagaimana kata Ibnu Taimiyah: “Ahlul bid’ah itu bagaikan orang sakit”, maka bolehkah
kita memperolok orang yang sedang sakit badannya? Jika kita melihat orang yang
buntung tangannya, apakah kita perolok …? Orang yang berakal tak akan
. 29
melakukannya. Mereka (ahlul bid’ah) itu fitnahnya lebih besar, karena mereka diuji
dalam agama mereka, kasihan mereka itu. Maka sayangilah dan kasihanilah dia, jangan
kamu cela, jangan suka membicarakannya dan menyebarkan kesalahannya, tapi kita
mohon pada Allah agar memberinya hidayah dan menyelamatkannya dari apa yang
sedang menimpa dia, serta meminta perlindungan kepada Allah dari musibah ini.
14. Pertanyaan:
“Jazakumullahu khairan … mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan pada Anda di
dunia dan akhirat, apakah point-point penting dari nasihat tadi …?
Jawaban:
Point-point penting dari nasihat tadi adalah:
1. Mengikhlaskan niat karena Allah dalam perkataan dan perbuatan.
2. Menambah bekal ilmu syariat serta mengetahui apa yang bermanfaat bagi kita, dan
ilmu itu ada yang wajib hukumnya ada juga yang sunnat, maka kita memulai dari
apa yang Allah wajibkan atas kita, kemudian baru yang sunnat.
3. Memperbanyak ketaatan dan istiqomah dalam ketaatan pada Allah.
4. Menjauhi bid’ah dalam perkataan dan perbuatan kita.
5. Mempersedikit majelis yang tidak ada manfaatnya, bahkan menjauhi majelis tersebut
dan menyibukkan diri dengan ketaatan pada Allah. Setiap majelis yang mendekatkan
diri kita kepada Allah, kita duduk di dalamnya, dan setiap majelis yang menjauhkan
diri kita dari Allah kita jauhi. Ini adalah hal yang dapat dirasakan oleh setiap orang,
terkadang kamu merasa imanmu berkurang setelah bangkit dari suatu majelis, tapi
sebagian majelis lagi justru sebaliknya malah menambah keimanan. Maka duduklah
di majelis seperti itu, demikianlah … . Saya memohon pada Allah agar memberikan
taufiq pada kita semua, shalawat dan salam serta barakah semoga tercurah atas
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ….
(Semoga Allah memberi balasan kepada Syaikh dengan sebaik-baiknya balasan dan
Allah memberikan manfaat pada ilmunya, dan akhir ucapan kita adalah alhamdulillahi
robbil ‘alamin).
Madinah, Jumat 12 Muharrom 1422 H.
. 30
Salinan dan terjemahan izin Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily hafidzohullah untuk
penyebarluasan nasehat ini:

Artinya:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan atas
Rasulullah.
Lembaran-lembaran ini adalah salinan dari isi sebuah kaset yang mencakup beberapa
pertanyaan dan jawaban-jawaban saya atasnya. Ini semua berdasarkan atas tekad
beberapa mahasiswa Indonesia. Lantas mereka salin isi kaset tersebut ke dalam
lembaran-lembaran ini.
Dan saya telah mengizinkan mereka untuk menyebarluaskannya, seandainya mereka
melihat maslahat di dalamnya. Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq
kepada kita semua.
Ibrahim Ar-Ruhaily, 24/2/1422 H
. 31
Catatan:
Bagi para ikhwah yang berkeinginan untuk memastikan keotentikan nasehat ini, maka
ditangan kami ada naskah asli yang berbahasa Arab dan kasetnya. Silahkan
menghubungi :
1. Abdullah Zaen bin Zaeny Muhajjat
d/a : Pesantren Putri “Daarun Niswah Ash Sholihah, Ds Kedungwuluh
Rt.08/Rw.II, Kec. Kalimanah, Kab. Purbalingga-Jawa Tengah 53371
2. Anas Burhanuddin bin Musta’in Ahmad
d/a : Rt.06/Rw.02 no: 169 Beji Tulung, Klaten, Jawa Tengah 57482
…..Risalah ini diketik ulang dan diletakkan di situs www.perpustakaan-islam.com

􀂉 Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafidzohullah
(Ulama Besar dan Muhaddits Madinah-Saudi Arabia)
􀂉 Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
(Ketua Bagian Aqidah di Fak. Dakwah Universitas Islam Madinah & Pengarang
buku “Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwaa’)
Disusun Oleh :
Abu Abdirrahman Abdullah Zaen
Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar