Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan
ampunan serta
perlindungan pada-Nya dari kejahatan diri kita dan kejelekan
amalan kita, barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat
menyesatkannya, dan
barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tak ada yang dapat memberi
petunjuk
kepadanya. Saya bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak untuk
disembah kecuali
Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah hamba
dan utusan-Nya. Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang
beriman bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenarbenarnya
taqwa, dan janganlah
kalian mati kecuali dalam keadaan Islam.” (Ali Imron: 102).
Firman-Nya juga:
“Wahai manusia
bertaqwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari diri
yang satu dan dari
padanya Allah menciptakan istrinya dan daripada keduanya Allah
memperkembangbiakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada
Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan
(peliharalah) hubungan
silaturrahmi, sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi
kamu.” (An-Nisaa’: 1).
Wahai orang-orang yang
beriman bertaqwalah kalian pada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar, niscaya
Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni
bagimu dosa-dosamu.
Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya maka
sesungguhnya dia telah
mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71). Amma
ba’du,
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitab Allah dan
sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah, dan sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan dan
setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu
sesat dan setiap
kesesatan itu dalam neraka. Waba’du,
Allah Ta’ala berfirman: “Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang
yang diberi rahmat
oleh Rabb-nya.” (Huud: 118-119).
. 2
Diriwayatkan oleh Ath-Thobari rohimahullah dengan
sanad yang shahih1 dari Mujahid
rohimahullah: “walaa yazaaluuna mukhtalifiina” Mujahid rohimahullah berkata: (mereka
adalah) pengikut kebatilan, “illaa marrohima robbuk” Mujahid berkata: (mereka adalah)
pengikut kebenaran.
“Dan janganlah kalian
saling berselisih yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan
hilang kekuatanmu.”
(Al-Anfaal: 46).
Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqity rohimahullah berkata: Di dalam ayat ini Allah
subhanahu wata’ala melarang kaum mukminin untuk saling berselisih,
dan juga
menerangkan bahwa perselisihan itulah yang menyebabkan kegagalan
dan hilangnya
kekuatan dan juga melarang dari perpecahan di ayat-ayat yang lain.
Seperti firman Allah
Ta’ala
“Dan berpegang
teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu
bercerai berai.” (Ali
Imron: 103) dan ayat-ayat yang lain.2
Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda:
“Dan jadilah kalian
hamba Allah yang saling bersaudara.” (HR. Bukhari: 6077). Dan yang
dimaksud dengan persaudaraan di sini adalah persaudaraan yang
disyariatkan oleh
Islam, yaitu persaudaraan yang dilandaskan kepada al-haq.
Sebagaimana yang
dikatakan oleh Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rohimahullah ketika menafsirkan ayat 103
dari surat Ali Imron tersebut di atas: “Tali Allah adalah
agama-Nya dan kitab-Nya.”3
Sambil kita memahami dan merenungi ayat-ayat dan hadits tersebut
di atas, marilah
kita coba mengoreksi diri;
Sudah sejauh manakah
kita mengamalkan firman Allah Ta’ala dan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam yang tersebut di atas …?
Masihkah kita
mencari-cari dan membesar-besarkan sebab perpecahan,
ataukah kita termasuk orang-orang yang
senantiasa mencari sebab-sebab
ishlah dan menjauhkan diri dari perpecahan …?
Sudahkah hawa nafsu kita
tunduk kepada al-haq sehingga kita dahulukan
firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam atas
hawa nafsu kita …?
Masihkah ada dalam diri
kita ini fanatisme perorangan (tokoh) sehingga kita
tidak tunduk kepada al-haq dan mengikutinya …?
Berangkat dari kenyataan yang kita hadapi ini, maka sudah
sepantasnyalah kita –
sebagai ikhwah fillah- untuk saling menasehati dan mengingatkan di
antara kita. Maka
1 Dishahihkan oleh Syeikh Prof.
Dr. Hikmat bin Basyir hafidzahullah (dosen tafsir Fak. Al-Quran Universitas
Islam Madinah) dalam “At-Tafsir Ash-Shahih”: 3/75
2 Tafsir “Adhwaa’ul Bayaan fii Iidhohil Qur’an bil
Qur’an” surat Al-Anfal: 46
3 Taisiiril Kariimir
Rohman min Tafsiiri Kalaamil Mannan (Tafsir As-Sa’di) surat Ali Imron: 103.
. 3
berdasarkan latar belakang tersebut kami berusaha untuk menyusun
beberapa fatwa
para ulama salafiyyin yang berkenaan dengan ikhtilaf dan adab-adabnya. Dan perlu
kami tekankan bahwa disusunnya fatwa-fatwa ini adalah untuk
kepentingan kita
bersama dan bukan untuk membela salah satu pihak atau memojokkan
yang lainnya …!
Saksikanlah ya Allah
ucapan kami …
Maka harapan kami yang terakhir setelah kita membaca dan merenungi
fatwa-fatwa
ulama kita ini adalah:
Mengoreksi diri kita
sendiri sebelum menyibukkan diri untuk mengoreksi
orang lain. Allah subhanahu wata’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman
peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6. Kita sama-sama
lihat perilaku kita, seandainya memang masih ada yang kurang
sesuai dengan
nasihat para ulama kita, marilah kita berusaha untuk
memperbaikinya, dan
seandainya telah sesuai marilah bersyukur kepada Allah subhanahu wata’ala
yang telah memberi petunjuk-Nya kepada kita.
Tunduk kepada al-haq
apabila telah jelas bagi kita, meskipun hal tersebut
tidak sesuai dengan apa yang kita yakini dan
kita lakukan selama ini.
“Ya Allah Robb Jibril, Mikail, Isrofil, Pencipta langit dan bumi,
yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang menghukumi antara hamba-Mu
dalam hal yang
mereka perselisihkan, tunjukilah kami dalam perselisihan ini
kepada yang haq dengan
izin-Mu, sesungguhnya Engkau menunjuki siapa yang Engkau kehendaki
ke jalan yang
lurus.” Aamiiin …
Wa akhiru da’waana ‘anil
hamdulillahi robbil ‘alamin, washallallahu ‘alaa Nabiyyina
muhammadin wa ‘alaa
aalihi wa shahbihi wa sallam.
Madinah, Senin 12 Rabiul Awwal 1422 H
Abdullah Zaen
(Mahasiswa Fak.Hadits, Universitas Islam Madinah)
Anas Burhanuddin
(Mahasiswa Fak. Syari’ah, Universitas Islam Madinah)
. 4
Nasehat Fadhilatus Syaikh Abdul Muhsin
Al-Abbad Al-Badr4
(Ulama besar dan Muhaddits Madinah Nabawiyah)
Pertanyaan:
Apakah batasan-batasan atau kriteria dalam suatu ikhtilaf (perbedaan pendapat)
sehingga dikatakan bahwa ikhtilaf itu
tidak menyebabkan pelakunya keluar dari lingkup
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
Jawaban:
Ikhtilaf yang tidak mengeluarkan pelakunya dari lingkup
Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’, masalah-masalah yang dibolehkan
untuk berijtihad di dalamnya. Ikhtilaf dalam
masalah-masalah furu’ inilah yang masih
bisa ditoleransi atau diperbolehkan. Akan tetapi ikhtilaf yang ada diantara Ahlus Sunnah
wal Jama’ah tidak boleh disertai dengan adanya rasa saling bermusuhan (saling
menjauhi) diantara mereka, bahkan mereka
harus tetap menjaga rasa saling
mencintai dan menyayangi.
Hal ini sebagaimana terjadi di kalangan shahabat radhiallaahu‘anhum, dimana mereka
berselisih dalam beberapa masalah tapi bersamaan dengan itu,
mereka radhiallaahu
‘anhum tidak saling bermusuhan satu sama lain dengan
sebab ikhtilaf tersebut. Setiap
shahabat berpegang dengan ijtihadnya (pendapat) masing-masing.
Mereka radhiallaahu
anhum mengetahui bahwa orang yang benar dalam ijtihadnya
akan mendapat 2 pahala
sedangkan orang yang salah dalam berijtihad hanya mendapat 1
pahala. Sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya: ”Apabila seorang hakim berijtihad
dan dia benar dalam ijtihadnya maka baginya 2 pahala, dan jika dia
berijtihad dan salah
dalam ijtihadnya maka baginya 1 pahala”
4 Nasehat ini berasal dari
fatwa beliau yang disampaikan pada hari Ahad, 5 Safar 1422 H di Masjid Nabawy,
dan beliau telah mengijinkan penyebarluasan fatwa ini.
. 5
Nasehat Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
Segala puji bagi Allah, kita memuji-Nya, meminta pertolongan dan
ampunan serta
perlindungan pada-Nya dari kejahatan diri kita dan kejelekan
amalan kita, barangsiapa
yang diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada yang dapat
menyesatkannya, dan
barangsiapa yang Allah sesatkan maka tak ada yang dapat memberi
petunjuk
kepadanya, saya bersaksi bahwa tidak ada Illah yang berhak
disembah kecuali Allah
dan saya bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan
utusan-Nya, Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian
kepada Allah dengan
sebenar-benarnya taqwa, dan janganlah kalian mati kecuali dalam
keadaan Islam”(Ali-‘Imran:102)
firman-Nya juga: “Wahai manusia,
bertaqwalah kepada
Rabb kalian, yang
telah menciptakan kalian dari diri yang satu dan daripadanya, Allah
menciptakan istrinya
dan dari pada keduanya, Allah memperkembang biakkan laki-laki
dan perempuan yang
banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan)
nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan (peliharalah)
hubungan silaturahmi,
sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”(An-
Nisaa:1)
“Wahai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar,
niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya dia
telah mendapat kemenangan yang besar”(Al-Ahzab:70-71)
Amma ba’du:
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah kitab Allah dan
sebaik-baik petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah, dan sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan dan
setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah
sesat dan setiap
kesesatan itu di neraka.
Wa ba’du
Ini adalah jawaban dari pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Ibrahim bin ‘Amir
Ar-Ruhaily hafidohullah pada hari Ahad sore tanggal 30 Dzulhijah 1422 H,
kami
memohon kepada Allah agar jawaban ini memberi manfaat kepada kita
semua serta
menjadikannya sebagai sebab terjadinya ishlah
(perbaikan/persatuan) antara ikhwah
Salafiyyin
“Ya Allah Robb Jibril, Mikail, Isrofil, Pencipta langit dan bumi,
yang mengetahui yang
ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang menghukumi antara hambamu
dalam hal yang
mereka perselisihkan, tunjukilah kami dalam perselisihan ini
kepada yang haq dengan
izin-Mu, sesungguhnya Engkau menunjuki siapa yang Engkau kehendaki
ke jalan yang
lurus, aamiiin ”
. 6
1. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh,…bagaimanakah
sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara
ikhwah salafiyyin
-khususnya- perselisihan yang terjadi di Indonesia?”
Jawaban:
“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam
serta keberkahan
semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam, keluarganya,
para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya
sampai hari
kiaman, amma ba’du:
Sesungguhnya kewajiban seorang muslim adalah:
1. Mengetahui al-haq dan
membelanya, inilah sikap yang benar
bagi seorang muslim
dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah
(keilmuaan)
ataupun masalah amaliyah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan
dakwah
ataupun yang lainnya
Kewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama
adalah
mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi
perselisihan dalam suatu
masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syar’i yang
bermanfaat untuk
mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu
dalam masalahmasalah
ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta
mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun
mengambil sikap yang
jelas dan gamblang dalam masalah ini.
2. Apabila perselisihan itu terjadi diantara ahlus
sunnah, maka wajib baginya untuk
bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang
memecah
belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang
berselisih, tapi jika
perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya
setiap mereka
menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam
menghadapi ikhwan
yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari
mereka bersalah, wajib
baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang
pertama adalah
mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?
3. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya
untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan
mendekatkan sudut pandang,
kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang
paling utama sebagaimana firman Allah:
“Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan
dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma’ruf atau
mengadakan perdamaian
diantara manusia” (An-Nisaa:114)
. 7
Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya
sebab perdamaian
dan kunci kebaikan
4. Tidak melakukan tindakan
yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan
menukil/menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan
tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
5. Bersikap wasath (netral) antara
ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yang menghitung
(membesar-besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada
orang banyak,
bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bid’ah atau
mengkafirkannya, dan
dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan),
yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka
selayaknya dia
menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah
serta mendekatkan
sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah “mudahanah”,
tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara
ikhwah di atas alhaq,
serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain
untuk bersabar
dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka
terhadap ikhwah
6. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang
dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap
ini lebih baik, dan
usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi
pemicu
perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan
7. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka
hendaklah di
berlaku adil dalam menghukumi pihak yang
lain, karena inilah sikap seorang
muslim.
Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya-
adalah perselisihan
antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah-
setiap pihak yang
berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk
Ahlus Sunnah, tapi
tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk
mendapatkannya,
sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang
seseorang berbuat
kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi
barangkali karena
kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga
diapun jatuh dalam
perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas
mereka serta mengakui
kebaikan dan keutamaan mereka.
Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama
Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita
terhadap Ahlul Bid’ah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang
lainnya,
karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi
terkadang berbeda
sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri
serta berusaha
untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan
dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan
seharusnya dia
menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia
bersikap seperti itu,
. 8
maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada
Allah agar
memberikan taufiq pada semua ....
2. Pertanyaan:
"Fadilatus
Syaikh,...kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan)
perselisihan yang
diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah:
perselisihan yang
tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup ahlus
sunnah..?
Jawaban:
"Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah: permasalahan yang
diperselisihkan oleh ahlus sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh
sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam
masalah-masalah
yang ma'lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan
salafus shalih dalam
masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah
"apakah ahlul mahsyar
(pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?", apakah yang
melihat Rabb itu kaum
mu’minin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar
semuanya? Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah
perselisihan antara ahlus sunnah yang tidak mengakibatkan orang
yang berselisih
dihukumi sebagai ahlul bid'ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap
permasalahan yang
diperselisihkan oleh salaf, seperti perselisihan mereka tentang
"hukum orang yang
meninggalkan shalat", juga perselisihan mereka tentang
"kafir tidaknya orang yang
meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya"
dan perselisihan
mereka tentang "orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia
meninggalkan salah
satunya karena malas", semua permasalahan ini menjadi perselisihan
dikalangan
ulama ahlus sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu
pendapat
mereka tidaklah dihukumi sebagai ahlul bid'ah, walaupun kita yakin
bahwa al-haq itu
berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena
al-haq itu tidak
mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma'af) pada ikhwah kita yang
berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari salaf,
inilah batasan
perselisihan yang diperbolehkan
Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu
tidak mengetahui al-haq dalam
banyak masalah, terkadang ada sebagian ahlus sunnah atau yang
menisbatkan
dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat ahlul
bid'ah. Maka
orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia
termasuk ahlus sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia
mengambil dalil
dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama salaf, mencintai ahlus
sunnah dan
ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia
berijtihad dan
salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan
dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan "kurang
ilmu", tapi tidak
. 9
mengeluarkan dia dari ahlus sunnah, karena yang namanya
kesempurnaan adalah
kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba'ah. Mereka menginginkan
yang haq tapi
terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai
dengan sebagian
pendapat ahlul bid'ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan
mereka adalah
menyepakati ahlul bid'ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah
yang benar.
Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya
kekurangan dalam
ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai ahlul bid'ah, karena mereka
menginginkan yang
haq tapi salah dalam memahami nash
Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap
orang yang berijtihad berdasarkan
pokok-pokok (tata cara) ijtihad ahlus sunnah
dalam mengambil dalil, kemudian dia
salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya
tersebut dima'afkan -insya Allah, dan
tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bid’ah, karena
sebagaimana kalian
ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati
sebagian
pendapat ahlul bid’ah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang
berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asy’ariyyah dalam beberapa penakwilanpenakwilan
mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka
ini
bersesuaian dengan ahlul bid’ah di dalam perkataan-perkataan
mereka, tapi mereka
tidak dinisbatkan kepada bid’ah, karena mereka pada dasarnya
diatas pokok-pokok
aqidah ahlus sunnah.
Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup
di negara yang jauh dari ulama, terkadang
terjerumus dalam kesalahan yang betulbetul
fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan
oleh
ahlus sunnah, tapi jika mereka termasuk ahlus sunnah, maka kita
berikan udzur
(maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele
atau ringan, tapi
karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah
hasil dari ijtihadnya.
Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati
agar kembali pada
para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan
perselisihan.
3. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh,…
mohon Anda jelaskan contoh dari hal-hal yang menyebabkan dan
menambah perpecahan
dan hal-hal yang menyebabkan ishlah (perdamaian)!”
Jawaban :
“Hal-hal yang menambah perpecahan adalah :
1. Ta’ashub (fanatik) yang tercela, yaitu fanatik sebagian orang terhadap golongan
tertentu karena mengikuti hawa nafsu, baik itu karena fanatik
tercela yang
disebabkan oleh kafanatikan terhadap ras atau golongan atau
kepentingan dunia
atau karena benci pada pihak yang menyelisihinya, inilah fanatik
yang
menambah perpecahan
. 10
2. Oleh karena itulah, maka wajib atas penuntut ilmu untuk mengikhlaskan
amalannya semata-mata karena Allah dan tidak memandang manusia karena
status dan kedudukannya yang akhirnya dia mengukur kebenaran
dengan
figur/tokoh tertentu, padahal justru kebenaran itulah yang menjadi ukuran
untuk menilai kedudukan seseorang. Semestinya dia harus membela kebenaran
dan orang yang berada diatasnya meskipun orang itu kecil atau
rendah
derajatnya, dan semestinya harus pula dia mencegah orang dzalim
dari
kedzolimannya walaupun mulia dan tinggi kedudukannya
3. Menukil perkataan dan menyebarluaskannya. Menukil perkataan diantara
manusia khususnya dalam perselisihan merupakan hal yang menambah
perpecahan, kalian tentunya tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
membenci “qilla wa qoola,
banyak bertanya dan membuang-buang harta” Qilla wa
qoola adalah banyak menukil perkataan antar manusia: “Kata Fulan
begini…,
kata Fulan begitu, Fulan dikatakan begini…, Fulan dikatakan
begitu..” sehingga
diapun menyibukkan waktu-waktunya dengan perkataan ini. Maka inilah
diantara sebab yang paling besar yang
menyebabkan kerasnya hati,
menimlbulkan hasad, dengki, permusuhan antara
ikhwah dan menambah
perpecahan.
Maka kewajiban penuntut ilmu adalah menjaga lisannya, tidak
memperbanyak
menukil perkataan, tidak pula memperbanyak pembicaraan yang tidak
ada
manfaatnya, dan sikap dia ketika tersebar masalah ini diantara
ikhwah adalah
menjauhinya dan mengatakan: “Tidak layak kita disibukkan dengan
hal ini tapi
sibukkan diri kita dengan menuntut ilmu dan hal-hal yang
bermanfaat,” kecuali
jika (menukil perkataan itu) ada maslahatnya untuk mendamaikan
antara
ikhwah, maka hal itu diperbolehkan.
4. Jahil (bodoh), yaitu bahwa sebagian mereka yang berselisih
terkadang
disebabkan oleh kejahilan, jahil terhadap yang haq atau jahil
terhadap ahli haq.
Jahil terhadap al-haq yaitu: tidak tahu dipihak mana kebenaran itu
berada.
Contohnya jika ada 2 golongan berselisih dalam masalah ilmiyah,
kemudian
datang orang yang tidak mengetahui al-haq dalam masalah yang
diperselisihkan
ini, sehingga diapun membela yang bathil. Inilah yang dapat
menambah
perpecahan dan perselisihan. Atau bisa jadi karena jahil terhadap
ahlul haq
(orang-orang yang mengikuti al-haq). Maksudnya, bahwa seseorang
yang berilmu
tahu al-haq dan tahu dalil-dalilnya, tapi dia tidak tahu keadaan
Fulan, dan ini
kadang terjadi pada para penuntut ilmu disebabkan karena mereka
tidak tidak
tahu apa yang terjadi di Indonesia, maka jika ada salah seorang
penuntut ilmu
yang mengatakan: “Kata Fulan begini…kata Fulan begitu..” tentunya
seorang
yang berilmu itu berbicara sesuai dengan berita yang disampaikan
pada dia.
Maka seharusnya bagi mereka yang menukil perselisihan antara
manusia
bersikap jujur dan terpercaya dalam menukil, tidak boleh dia
menukil hal yang
. 11
tidak pernah diperbuat oleh orangnya tidak juga hal yang tidak
pernah dikatakan
oleh orang tersebut, tidak boleh pula dia mengambil konsekwensi
perkataanya,
haruslah dia menukil perselisihan itu sesuai dengan kenyataannya.
Dan jahil
(tidak mengetahui) terhadap ahlul-haq ini tidaklah menjatuhkan
derajat ulama,
tidak pula merendahkan harkat mereka, karena mereka tidak tahu apa
sebenarnya yang sekarang terjadi di Indonesia -misalnya-, kecuali
dari nukilan
(sebagian penuntut ilmu) negara ini. Mereka tidak tahu apa yang
terjadi di negara
tertentu , tapi datang sebagian penduduknya dan menukil perkataan:
“Kata Fulan
begini,…kata Fulan begitu…” tentunya orang ‘alim itu berbicara
sesuai dengan
apa yang dia dengar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam :
”Sesungguhnya saya
hanya memutuskan sesuai dengan apa yang saya dengar” 5
Seorang hakim dan mufti menghukumi sesuai dengan apa yang dia
dengar, maka
selayaknya jika kita menukil sebuah khilaf atau meminta fatwa,
hendaknya kita
menukil sesuai dengan kenyataan sehingga menghasilkan hukum yang
benar,
karena seorang ‘alim bertugas untuk berijtihad dalam memutuskan
suatu
masalah ilmiyah tapi terkadang dia kurang tahu tentang keadaan
manusia dan
apa yang terjadi terhadap mereka, inilah sebagian dari sebab
terjadinya
perselisihan.
Adapun sebab-sebab perdamaian adalah :
1. Niat yang jujur dan
benar untuk mendamaikan,
Allah berfirman tentang dua
orang penengah yang mendamaikan suami-istri yang berselisih:
“Jika kedua hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi
taufik kepada suami
istri itu ”(An-Nisaa: 35), kalau
dalam masalah mendamaikan
suami istri saja Allah menjanjikan taufiq untuk mereka berdua,
apalagi orang
yang berusaha untuk mendamaikan antara kaum muslimin, tidak diragukan
lagi
dia akan diberi taufik -insya Allah-, apabila terpenuhi padanya
niat jujur (benar),
karena kejujuran niat itu merupakan salah satu sebab hilangnya
perselisihan,
sehingga diapun menjadi kunci kebaikan yang Allah mudahkan
dengannya terjadi
perdamaian
2. Do’a untuk kebaikan
ikhwah, yaitu mendo’akan
saudara-saudara kita dengan
mengikhlaskan niat dalam berdo’a agar Allah mengangkat
perselisihan,
mendamaikan dan menyatukan hati mereka diatas kebaikan dan taqwa
dan
membimbing mereka dalam kebenaran
3. Menasehati pihak yang
salah, kita katakan pada dia: “Anda
bersalah, maka
kembalilah kepada al-haq”, tapi ini bagi orang yang mampu
melakukannya,
5 HR. Bukhari no.7169
. 12
adapun orang yang tak mempunyai kemampuan untuk menasehatinya maka
tak
ada kewajiban baginya
4. Menasehati pihak yang
benar, yaitu agar bersabar, kita katakan pada mereka:
“Bersabarlah dan tahan diri kamu terhadap teman-temanmu (yang
bersalah)
karena merekapun ahlus sunnah, dan perselisihan mereka dengan kamu
bukan
berarti pula mereka membencimu, bukan berarti mereka tidak
menginginkan alhaq,
tapi mereka salah. Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun
berselisih dalam banyak masalah, bahkan terjadi fitnah di zaman
mereka, tapi
setiap mereka mengatakan pada temannya: “Kami tidak merasa lebih
dari kalian
dalam iman dan taqwa,” Ali bin Abi Thalib radhiallaahu anhu adalah orang paling
utama setelah kematian Utsman radhiallaahu anhu, beliau mengatakan: “(Mereka)
adalah saudara-saudara kita, kita tidak merasa melebihi mereka
dalam iman dan
taqwa” padahal beliau adalah orang yang paling utama –mudah-mudahan
Allah
meridhoinya-. Demikian pula Muawiyah radhiallaahu anhu, beliaupun mengakui
keutamaan Ali radhiallaahu anhu dan mengatakan: “Kami tidak memerangi beliau
dalam perkara ini (khilafah) dan mengakui keutamaan beliau”,
lihatlah !!!
Bagaimana mereka berselisih dan menginginkan haq walaupun sudut
pandang
mereka berbeda dalam banyak masalah, tapi mereka tidak saling
mencela satu
sama lainnya, bahkan mereka mengakui bahwa saudaranya menginginkan
al-haq
dan berijtihad, inilah mu’amalah yang harus dilakukan terhadap
saudarasaudara
kita.
4. Pertanyaan:
“Mudah-mudahan Allah
memberikan kebaikan pada Anda, sudilah kiranya Anda
menjelaskan tentang
tata-cara menasehati serta marotibnya (tingkatan) terhadap orang
yang menyelisihi kita
dalam suatu masalah..!?”
Jawaban :
“Kewajiban terhadap orang yang menyelisihi kita dalam suatu
masalah:
1. Kita tidak boleh berbicara dalam masalah ini kecuali dengan ilmu, bukan
dengan dzon (persangkaaan)
2. Tatsabut dan meneliti, karena bisa jadi dia yang benar dan kita yang
salah,
maka kita harus meneliti ucapan yang kita anggap salah ini
3. Kembali kepada nash-nash
(Al-Qur’an dan Sunnah) serta pemahaman salaf,
dan jika ada problem pada kita, kembalilah kepada ulama
4. Jika kita telah yakin bahwa dialah yang menyelisihi, maka wajib
untuk
menasehatinya dengan mengatakan: “Yaa Akhi…. Sesungguhnya Anda
tidak
menginginkan kecuali kebaikan, tapi Anda salah dalam masalah ini,
dan yang
benar adalah apa yang dikuatkan oleh nash-nash yang mengatakan
begini…”
. 13
Adapun langkah-langkah dalam
menasehati bukan hanya satu cara saja,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Barangsiapa yang
melihat kemungkaran
maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya , jika tak
mampu maka ubahlah
dengan lisannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan
hatinya…..”
Jadi kewajiban kita adalah :
1. Mengingkari kesalahan dalam hati. Setiap yang kita lihat
bersalah harus kita
ingkari dengan hati kita, serta tidak suka kesalahan tersebut ada
pada kaum
muslimin, ini adalah kewajiban setiap muslim
2. Setelah itu kita melihat, apakah kita ini termasuk orang yang
mampu dalam
mengingkari dengan lisan atau tidak..? karena manusia itu bukan
hanya satu
derajat, ada ulama-ulama besar yang diterima perkataanya oleh
manusia, apabila
para ulama itu berbicara merekapun mendengarnya sehingga hilanglah
perselisihan, ada pula para penuntut ilmu pemula yang apabila
mereka yang
berbicara bisa jadi malah menimbulkan fitnah pada manusia, maka
lihat keadaan
kita. Saya (Syaikh Ibrahim) memandang, apabila terjadi
perselisihan pada suatu
masyarakat, hendaklah melihat pada ahli ilmuyang diterima
perkataannya di
masyarakat itu, kemudian diminta untuk menasehati (mengingkari),
adakalanya
kedudukan kita mengharuskan kita untuk tidak mengingkari secara langsung,
tapi hendaknya kita datangi dulu seorang ahli ilmu yang diterima
perkataanya,
kita katakan pada dia: “Fulan telah berbuat begini dan begitu,
sebaiknya Anda
menasehatinya dan menerangkan pada dia (al-haq), mudah-mudahan
Allah
memberi petunjuk pada dia”. Inilah wujud pengingkaran dengan lisan
karena
mengingkari itu tidak harus secara langsung.
3. Kemudian tingkatan ketiga yaitu mengingkari dengan tangan
(kekuatan).
Tingkatan ini adalah hak orang yang punya kekuasaan, bukan cuma
pemerintah,
seorang pemimpin negara dapat mengingkari dengan kekuatannya,
seorang
ulama dapat mengingkari murid-muridnya, seorang ayah dapat
mengingkari
orang yang ada di rumahnya, demikianlah setiap orang yang
mempunyai
kekuasaan mengingkari dan mengubah sesuai dengan batas kekuasaannya,
selama tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dengan
pengingkaran
itu.
Adapun jika kemungkaran itu bukan dalam batas kekuasaan kita,
seperti
kemungkaran yang ada pada suatu masyarakat, sedangkan kita tidak
mempunyai kekuasaan, maka tidak boleh kita mengingkari dengan
kekuatan
karena hanya akan menimbulkan fitnah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggung jawaban
terhadap yang dipimpinnya”, maka apakah kemungkaran itu
ada pada orang yang berada dibawah kekuasaan kita !? Kita tidak
dibebani untuk
meningkari semua orang, tapi kita melaporkannya pada mereka yang
. 14
bertanggung jawab atau para ulama, atau hakim yang melaksanakan
kewajiban
ini, adapun kewajiban kita adalah mengingkari sesuai dengan batas
kekuasaan
kita, kamu di rumah dapat menginkari anak-anak dan istri, juga
keluarga kamu,
demikian pula saudara-saudara kamu –jika mereka menerima dan tidak
menimbulkan kemungkaran-. Ini adalah macam dari pengingkaran
dengan
tangan (kekuatan) tapi sesuai dengan kemaslahatan jika tidak
menimbulkan
kemungkaran yang lebih besar.
Kaidah dalam mengingkari adalah mengubah kemungkaran selama
pengingkaran
itu tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika
menimbulkan
kemungkaran yang lebih besar, maka tidak boleh kita
mengingkarinya, karena
syari’at bertujuan untuk mewujudkan kebaikan dan menghilangkan
keburukan.
Jika tidak mendatangkan kebaikan atau mencegah keburukan
(kemungkaran),
maka syari’at mendahulukan maslahat yang lebih besar (untuk
dilakukan) dan
mafsadah yang lebih besar (untuk dijauhi)
5. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh…mudah-mudahan
Allah memberikan kebaikan kepada Anda,
seandainya kita pulang
ke tanah air, kemudian ditanya tentang permasalahan ini, maka
apakah jawaban yang
benar dan tepat sehingga tidak menambah perpecahan ..?!”
Jawaban:
Jawaban terhadap pertanyaan ini sudah disebutkan tadi, yaitu
kalian berusaha untuk
mewujudkan ishlah (perdamaian) berdasarkan
al-haq dan memperdekat sudut pandang
mereka serta tidak menambah perpecahan, wajib bagi kita untuk
menasehati dan
mendamaikan, jika tidak mampu maka setidaknya tidak menambah
perpecahan, dan
kita katakan pada masyarakat umum :
Janganlah kalian disibukkan
oleh hal ini, karena ini bukan urusan kalian,
perselisihan ini adalah urusan para penuntut ilmu, tentunya mereka
lebih
tahu, adapun kalian jangan disibukkan dengan hal ini
Jagalah agama kalian, juga
shalat dan ibadah kalian
Ambillah faidah dari para
penuntut ilmu
Dan jangan kalian mengadu
antara perkataan mereka satu sama lainnya
Adapun para penuntut ilmu kita katakan pada mereka: “Kewajiban
kita semua adalah
berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah serta mempersatukan hati
mereka diatas
al-haq, kalau toh tidak mampu, paling tidak kita jauhi permusuhan
dan tidak
menambah perpecahan, entah kita menghindar dengan baik, atau
berusaha
mendamaikan.
. 15
6. Pertanyaan :
“Fadhilatus Syaikh..
kitab apakah yang Anda nasehatkan untuk dibaca dalam masalah
ini..?”
Jawaban:
Kitab para ulama ahlus sunnah yang menerangkan manhaj yang haq
dalam masalah
ini, ada kitab-kitab yang besar dengan pembahasan yang luas, yang
mungkin tidak
mudah untuk difahami oleh setiap penuntut ilmu, yaitu kitab
tentang pokok-pokok
aqidah dan nukilan perkataan ulama salaf seperti kitab ”As-Sunnah” karangan
Abdullah bin Imam Ahmad, “Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah” karangan Imam Al-
Laalikai, Kitab “As-Sunnah“
karangan Imam Al-Khollal, kitab “As-Sunnah”
karangan
Imam Ibu Abi ‘Ashim, kitab “Al-Ibanah” karangan
Imam Ibnu Batthoh dan kitab-kitab
yang lainnya. Ini adalah kitab-kitab yang menerangkan manhaj yang
haq tapi mungkin
sulit untuk dipahami oleh penuntut ilmu, sehingga perlu membaca
kitab-kitab yang
menerangkan manhaj ini, seperti kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu
Qoyyim dan ulama setelahnya seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
demikian pula para ulama zaman sekarang yang telah menjelaskannya
pada umat serta
menjelaskan batasan-batasan yang benar dalam masalah ini yang
dibutuhkan oleh
umat sekarang ini6
7. Pertanyaan:
”Semoga Allah menjaga
Anda…sering sekali kita mendengar tentang ‘Sururiyah’, harap
Anda jelaskan
hakikatnya ..! jazakumullahu khairan..”
Jawaban:
Sururiyah termasuk istilah yang muncul akhir-akhir ini. Sebagian
ulama telah berbicara
tentang mereka, dan tentunya ini dikembalikan pada orang yang
telah banyak meneliti
pemikiran-pemikiran mereka secara rinci. Adapun globalnya,
Sururiyah adalah: mereka
yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surur Zainal ‘Abidin, yang di dalam
manhajnya ada penyelewengan dari manhaj ahlus sunnah dalam masalah da’wah
dan muamalah terhadap pemerintah, yang
diambil dari manhaj-manhaj lain seperti
manhaj Ikhwanul Muslimin juga lainnya. Dan orang-orang yang menisbatkan
diri
kepadanya –sebagian mereka- terkadang berpemikiran sesuai dengan
pemikirannya
pada sebagian dasar-dasar manhaj mereka dengan sengaja atau tidak.
Akan tetapi tidak
benar untuk menisbatkan setiap orang yang
menyeleweng dalam masalah ini
kepada Sururiyah, karena barangkali seseorang itu aqidahnya sesuai
dengan aqidah
ahlus sunnah dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan mereka,
tapi dia telah
menyimpang dan penyimpangan itu telah terbetik dalam pikiran
mereka sebagaimana
6 Diantaranya adalah kitab
Syaikh Ibrohim sendiri, yaitu “Mauqif Alhus Sunnah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’”
. 16
penyimpangan itu terbetik dalam pikiran sururiyyin, maka tidak
boleh kita memecah
belah manusia.
Adapun orang yang menisbatkan dirinya pada Muhammad bin Surrur
serta ridho
dengan pemikirannya dan berguru padanya, maka ini lain lagi
urusannya, karena ada
sebagian orang yang terkadang sesuai dengan sebagian pendapat
mereka. Maka kita
tidak boleh memecah belah, sebab jika kita
golong-golongkan manusia dan
menisbatkan mereka, sangat susah mereka itu untuk
kembali kepada al-haq setelah
itu, lain halnya jika kita katakan: ”Anda mempunyai kesalahan dalam
hal ini,
kembalilah pada al-haq..! maka mudah baginya untuk kembali.
Kemudian, pengetahuan tantang jama’ah-jama’ah yang ada pada zaman
sekarang dan
pendalaman pemikiran-pemikiran mereka, mungkin sulit bagi seorang
penuntut ilmu
dan tidak wajib bagi dia, tapi wajib untuk mengetahui keburukan itu secara global,
sebagaimana kata Hudzaifah radhiallaahu’anhu: “Orang-orang bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan dan saya bertanya kepadanya
tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya”, dalam hal
ini dengan
mengetahui penyimpangan mereka secara global. Adapun menyibukkan
diri dengan
perkataan-perkataan mereka, apa yang dikatakan Fulan, apa yang
ditulis Fulan tentang
mereka dan apa bantahannya serta menghabiskan umur dengan hal ini
akan
memalingkan kita dari menuntut ilmu, padahal umur itu pendek
Maka kewajiban kita adalah untuk mengetahui pokok-pooko aqidah
ahlus sunnah,
dasar-dasar ilmu dan mengetahui masalah-masalah syar’i yang
dengannya kita dapat
membedakan ahlul haq dan ahlul batil. Jika kita telah menguasainya
maka tak akan
terpengaruh dengan perkataan Fulan, apakah kita mengetahui
perkataaannya atau
tidak, karena kita mempunyai landasan yang kuat. Misalnya, kita
telah tahu aqidah
ahlus sunnah dalam masalah takfir (pengkafiran), terkadang kita
tidak butuh untuk
mengetahui hukum seseorang karena kita mempunyai kaidah benar yang
dengannya
kita dapat menghukumi setelah itu, jika kita telah tahu manhaj
ahlus sunnah dalam
masalah hajr (pengucilan), kita tidak butuh lagi untuk bertanya
apakah si Fulan pantas
untuk dihajr (dikucilkan) atau tidak, karena jika telah
mengetahui kaidahnya, kita dapat
menerapkannya pada orang lain. Oleh karena itu, manusia butuh pada
ilmu syar’i dan
dasar-dasar ilmu. Adapun memperdalam tentang keadaan manusia,
menukil
perselisihan dan perkataan mereka, mungkin sulit dan melalaikan
kita dari menuntut
ilmu. Pendapat manusia dan apa yang ada mereka ada-adakan berupa
bid’ah dan
perselisihan tak akan ada habisnya, maka kita sibukkan diri dengan
ilmu dan ta’shil,
kemudian setelah itu kita punya kaidah yang benar dalam
bermuamalah dengan yang
menyimpang.
. 17
8. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh…
Semoga Allah mmberikan kebaikan pada Anda. Apakah
penyimpangan sebagian
orang dalam manhaj da’wah, mengeluarkan mereka dari lingkup
Ahlus sunnah wal jama’ah
..? jazaakumullahu kahoiron..”
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa ahlus sunnah mempunyai manhaj yang
jelas dalam da’wah
dan pokok-pokok da’wah, manhaj yang jelas dan tetap. Maka siapa
saja yang menyalahi
ahlus sunnah dalam manhaj ini, atau sebagian pokok-pokok yang
umum, tidak
diragukan lagi bahwa dia telah menyelisihi ahlus sunnah, tapi
apakah setiap
penyimpangan mengeluarkan orang dari aqidah ahlus sunnah? telah
disebutkan tadi
(lihat jawaban Syaikh pada soal no.2 peny)
Terkadang kesalahan itu jelas bahwa itu bukan pendapat ahlus
sunnah, tapi kita tidak
bisa menghukumi dia keluar dari aqidah ahlus sunnah, karena kita
harus bedakan
antara ucapan dan orang yang mengucapkannya sebagaimana yang
kalian ketahui.
Adapun ucapan, kita bisa hukumi bahwa itu bukan pendapat ahlus
sunnah, seperti
orang yang mencela pemerintah serta menyebarkan aib-aib
pemerintah, menghasut
manusia untuk memberontak atau bahkan mengkafirkan pemerintah
walaupun
kenyataan tidak kafir. Pemimpin-pemimpin umat Islam pada umumnya –alhamdulillahmenonjolkan
hukum Islam, maka tidak boleh kita menghukumi mereka (para
pemimpin)
dengan kekufuran, walaupun kita dapati mereka berbuat maksiat.
Adapun pemimpim
yang jelas-jelas membela agama dan mendakwahkannya, sebagaimana di
negara Saudi
ini, juga di negara lainnya, maka tidaklah mencela mereka kecuali
ahlul bid’ah, tidak
ada yang memalingkan manusia dari mereka kecuali pengikut hawa
nafsu, karena tak
ada seorangpun yang ma’shum, baik itu pemerintah atau ulama atau
para penuntut
ilmu.
Barangsiapa yang menyalahi pokok-pokok manhaj ahlus sunnah dalam
da’wah, kita
sifati perkataan mereka bahwa “itu bukan pendapat dan manhaj ahlus
sunnah”. Kita
harus melihat keadaan orang yang menyimpang
itu, apabila sunnah lebih dominan
pada dirinya dan dia berusaha keras untuk mewujudkannya, kita
katakan pada dia:
“Anda salah”, kemudian kita bersabar dan menasehatinya.
Adapun jika dia menyalahi
seluruh aqidah dan manhaj ahlus sunnah, tidak mau
peduli dengannya tapi justru cenderung dekat
dengan ahlul bid’ah, bahkan
berusaha keras untuk memalingkan manusia dari
aqidah ahlus sunnah kepada
manhaj lain yang menyimpang, seperti manhaj Khawarij dan manhaj bid’ah
lainnya,
maka tidak ragu lagi bahwa itu adalah penyimpangan dari sunnah,
bahkan
penyimpangan dari pokok-pokok manhaj ahlus sunnah. Karena manhaj
dalam dakwah
bercabang-bercabang dan itu melihat kepada mashlahat dan mafsadah,
jadi tidak ragu
. 18
lagi orang yang menyalahinya telah meruntuhkan sebagian
pokok-pokok aqidah ahlus
sunnah, seperti berpegang teguh dengan jama’ah kaum muslimin,
bersabar terhadap
penguasa walaupun mereka berbuat dzolim dan lemah lembut dalam
berdakwah. Tapi
seseorang yang banyak kebaikannya kemudian dia salah dalam
beberapa masalah, kita
harus sabar terhadap dia dan menasehatinya. Beda dengan orang yang
berada pada
garis ahlul bid’ah yang menyimpang dari manhaj ahlus sunnah dan
bersikeras atas
kesalahannya, maka jelas dia bukan ahlus sunnah.”
9. Pertanyaan:
“Semoga Allah
memberikan kebaikan pada Anda. Dengan apakah hujjah itu bisa
ditegakkan…?”
Jawaban:
Hujjah itu tegak apabila seorang yang bersalah mengetahui kesalahan dalam suatu
masalah dan tahu sebesar apa kesalahannya. Artinya dia tahu bahwa dia salah dan
tahu sebesar apa kesalahan itu dengan dalil-dalilnya. Jika orang
tersebut mengetahui
kesalahannya maka telah tegak pada dia hujjah, contohnya adalah
orang yang
meninggalkan shalat, jika orang yang meninggalkan shalat ini belum
tahu hukumnya,
maka belum tegak hujjah itu pada dia. Lantas jika kita terangkan
pada dia dalil-dalil
dan hukumnya, maka hujjah telah tegak pada dia. Tapi terkadang
orang tersebut hanya
memahami sebagian hujjah, seperti dia tahu bahwa meninggalkan
shalat itu haram
hukumnya dan tahu bahwa itu maksiat, tapi dia tidak tahu kadar
maksiat itu sehingga
tidak mengira bahwa meninggalkan shalat karena meremehkan itu
menjadikan
pelakunya kafir –misalnya-, maka orang semacam ini harus
diberitahu bahwa dia itu
salah, yaitu bahwa meninggalkan shalat itu kekufuran, dan
dijelaskan kepadanya kadar
kesalahan itu, inilah proses-proses yang harus dilalui. Dan hal
ini tidak diketahui
kecuali dengan dalil-dalil, yaitu bahwa orang yang bersalah
memahami nash dan dalil
yang menunjukkan kesalahan dia, maka jika dia telah faham, telah
tegaklah hujjah
pada dia, adapun jika dia mempunyai syubhat (kesamaran) atau ada penghalang
tegaknya hujjah pada dia, maka tidak bisa kita katakan bahwa
hujjah telah ditegakkan
pada dia.
Penilaian tentang tegak atau tidaknya hujjah
atas seseorang itu dikembalikan
kepada ulama besar, dengan merekalah hujjah bisa tegak. Maka jika
ulama tadi
mendebat orang yang menyimpang dan menjelaskan pada dia kebenaran,
pada waktu
itulah kita memperkirakan apakah dia faham atau tidak. Tidak
disyaratkan orang yang
menyimpang itu mengakui bahwa hujjah telah tegak pada dia, tapi
kapan saja kita tahu
bahwa fulan telah tahu kebenaran dan jelas pada dia dalilnya, maka
bisa kita katakan
bahwa hujjah telah tegak pada dia. Hujjah tidak bisa ditegakkan oleh setiap
orang,
tapi ulamalah yang menegakkan hujjah, hujjah tidak bisa tegak
dengan perkataan
seseorang: “Ketahuliah bahwa meninggalkan shalat adalah kufur,
jika kamu terus tidak
. 19
mau shalat, maka kamu kafir”. Hujjah bisa tegak dengan menerangkan pada dia dalildalil
dan menjawab syubhat-syubhat dia serta
menghilangkan syubhat tersebut dan
menghapuskan ketidaktahuan serta kejahilan yang ada pada dia
sampai kita yakin
bahwa orang yang menyimpang itu telah faham tapi terus melakukan
kesalahannya
karena menolak kebenaran dan sombong, pada waktu itulah kita dapat
menghukuminya.
Sebagian orang ada yang hujjah itu tidak bisa
tegak dengannya, seperti orang jahil
atau orang yang tidak bisa menegakkan hujjah dengan baik,
misalnya; tidak bisa
menjelaskan dalil dengan baik atau tidak berlemah lembut dalam
dakwahnya, karena
orang yang keras dalam dakwahnya tidak bisa
tegak hujjah dengannya,
Allah
berfirman kepada Nabi Musa dan Harun: “Pergilah kalian
berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia
melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan
kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan dia ingat atau takut.” (Thahaa: 43-44)
Padahal Allah tahu bahwa Fir’aun akan mati dalam keadaan kafir,
tapi Allah tetap
memerintahkan untuk berkata dengan lemah lembut padanya, karena
hujjah tak akan
tegak kecuali dengan ar-rifqu dan
al-liin (lemah lembut), adapun tanfir (cara yang
membuat orang lari) tidak akan bisa hujjah itu tegak dengannya.
Kemudian hujjah itu tidak bisa tegak kecuali dengan kesabaran dan penjelasan
terhadap orang yang bersalah.
Juga seorang ‘alim yang menegakkan hujjah haruslah dipercayai keilmuannya oleh
orang yang ditegakkan padanya hujjah, adapun jika penegak hujjah tidak dipercaya
olehnya, maka terkadang tidak membuahkan hasil.
Tidak ada suatu masalahpun yang dapat kita
katakan: “Bahwa penegakkan hujjah
tidak disyaratkan di dalamnya (dalam masalah
itu)”. Apabila orang yang bersalah
itu
tidak tahu hukumnya, maka Allah akan memberikan udzur padanya, ketika dia datang
kepada Rabbnya di hari kiamat dan mengatakan: “Saya jahil tentang
masalah ini”, dan
Allah tahu kejujuran perkataannya, maka Allah memberikan udzur kepadanya.
Walaupun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ada hal-hal
yang ma’lumun
minad diini bidh
dhoruroh (yang tidak-bisa-tidak pasti
diketahui oleh semua orang) tapi
ini menurut perkiraan kita, karena pada dasarnya hal-hal yang
seperti itu kebanyakan
tidak dilanggar kecuali oleh orang yang sombong atau keras kepala,
tapi pada
hakikatnya kalau kita katakan bahwa ini adalah masalah darurat
yang harus diketahui
dalam agama tapi ternyata si Fulan jahil terhadap hal ini, maka
tidak bisa kita hukumi
dengan kekafiran, karena Allah memberikan udzur dengan kejahilannya itu, firman
Allah ta’ala: “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”
(Al-
Baqarah: 286)
Dan ketidakfahaman dia diluar kemampuannya, dan manusia tidak sama
(tidak satu
tingkatan) dalam hal-hal yang ma’lumun minad diini bidh dhoruroh. Hal-hal yang
. 20
ma’lumun minad diini bidh
dhoruroh ini bagi para ulama berbeda
dengan hal-hal yang
ma’lumun minad diini
bidh dhoruroh bagi para penuntut ilmu, dan
hal-hal ini berbeda
antara penuntut ilmu dan orang awwam, negara yang tersebar di
dalamnya sunnah dan
ilmu berbeda dengan negara yang jauh dari sunnah dan ilmu.
Kaidah dalam hal ini adalah bahwa bagaimanapun kesalahan itu harus
kita minta
penjelasan. Ketika Mu’adz radhiallaahu’anhu datang kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian sujud padanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Apa ini yaa Muadz…?”, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengutusnya
untuk mengajarkan ilmu dan agama dan beliaupun seorang sahabat
yang faqih, tapi
ternyata hukum masalah ini tidak beliau ketahui, beliau melakukan
hal itu kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena takwil (karena beliau
melihat ahli kitab bersujud
pada rahib mereka, Beliaupun berpandangan bahwa kaum muslimin
lebih berhak untuk
bersujud kepada Nabinya)7. Demikian pula Hatib radhiallaahu’anhu, tersembunyi dari
beliau masalah itu, padahal hukumnya jelas, sebagaimana dalam
kisahnya (ketika
Rasulullah menyiapkan pasukan besar untuk fathu Mekah, Hatib
mengirimkan surat
memberitahukan salah seorang kerabatnya yang ada di Mekah, melalui
seorang wanita
yang kemudian Allah beritahukan dengan wahyu-Nya, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pun memaafkan beliau (lihat Shahih Bukhari 3/1095
no. 2845, Shahih
Muslim 4/1941 no.2394 --pent)
Kerena syubhat itu menghalangi seseorang dari al-haq, walaupun
itu seorang ulama,
maka harus kita minta penjelasan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam
melakukannya, kita katakan: “Apa yang membuat anda berbuat
demikian.??” Jika
ternyata alasannya bisa diterima ketika itulah kita terangkan pada
dia ilmu dan
menjawab syubhatnya dan tidak boleh kita menghukumi dia hanya
karena kesalahan.
10. Pertanyaan:
“Semoga Allah membalas
Anda dengan kebaikan. Apakah dhowabit (batasan-batasan
‘tahdzir’ dan ‘hajr’..?”
Jawaban:
Adapun tahdzir, kita lihat kesalahannya, tersebar atau tidak, jika kesalahan itu
tersebar di masyarakat, wajib atas kita untuk menasehati orang
yang bersalah tadi, kita
katakan padanya: “Anda salah, kesalahan Anda telah tersebar, maka
kembalilah kepada
yang haq !!”. Kita terangkan pada dia yang haq, sehingga hilang
kesalahan itu, karena
rujuknya orang yang bersalah dari kesalahannya lebih baik daripada
tahdziran kita
terhadapnya. Contohnya: kesalahan seorang pengajar di salah satu
kelas, kita katakan
pada dia: “Syaikh ..mungkin Anda lupa atau keliru dan yang benar
adalah begini,
7 Diriwayatkan oleh Ibnu Majah
dalam sunannya 1/595 no.1852 tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, kata
Syaikh Al-Bany: hasan shahih, lihat shahih sunan Ibnu Majah
no.1515 dan silsilah shahihah
no.1203..pent)
. 21
karena murid-murid akan membawa kesalahan itu dari Anda”, tidak
diragukan lagi jika
guru tersebut merujuk kepada yang haq, maka dia akan bersumpah
mengakui
kesalahannya. Maka hal ini akan menghilangkan kesalahan dan lebih
mengena dalam
menasehati. Beda jika kita katakan: “Pengajar itu salah dan
mengatakan begini dan
begitu”, terkadang bisa hilang kesalahan itu (dengan cara
tersebut), tapi hilangnya
kesalahan itu tidak sama dengan rujuknya guru tersebut kepada
al-haq, maka jika kita
mampu untuk menasehati dahulu, itulah yang harus dilakukan.
Jika ternyata orang yang bersalah ini tidak mau kembali pada yang haq, dan
kesalahannya tersebar di khalayak ramai (masyarakat luas), maka kita
wajib
mentahdzir dia dan kesalahannya tadi, tapi hanya sebatas tersebarnya kesalahan itu.
Contohnya jika seseorang berbicara pada suatu masyarakat atau
kelompok tertentu dan
salah dalam ucapannya, maka kita tahdzir dia sebatas masyarakat
atau kelompok
dimana orang itu berbicara dan tidak boleh kita masyhurkan orang
tadi di seluruh kota
dan kita katakan: “Fulan telah salah dan mengatakan begini dan
begitu”, karena hal ini
tidak akan mewujudkan mashlahat. Dan maksud dari tahdzir itu
adalah untuk
menghilangkan kesalahan yang ada pada masyarakat sesuai sesuai
dengan kadar
tersebarnya kesalahan itu. Jika kesalahan itu tersebar di suatu
negara, maka tidak
boleh kita tahdzir pula di negara lain, jika kesalahan itu
tersebar di sebuah kota, maka
tidak boleh kita tahdzir di kota lain. Contohnya juga kesalahan
yang terjadi pada
penuntut ilmu, bukan suatu maslahat kita mengumpulkan orang awwam
untuk
mentahdzir dia, karena mereka tidak mengetahuinya. Maka tahdzir
itu harus sesuai
dengan kadar tersebarnya kesalahan. Demikian juga jika kesalahan
itu di antara
salafiyyin saja, kita tahdzir dia sebatas salafiyyin, tidak boleh
kita bawa ahli bid’ah serta
memasyhurkannya, jika kesalahan itu sampai pada kelompok tertentu,
wajib kita
tahdzir sebatas tersebarnya kesalahan itu, dan jika kita tidak
sampai pada kelompok
tertentu, maka tidak boleh membawa kesalahan itu pada mereka,
karena mereka tidak
tahu tentangnya.
Kemudian ketika mentahdzir, kita harus membedakan antara kesalahan dengan orang
yang berbuat kesalahan. Adapun “kesalahan” kita
katakan bahwa ini salah, dan
adakalanya tanpa menyebutkan pelakunya dengan mengatakan Fulan bersalah.
Misalnya seseorang bersalah dalam suatu masalah, maka terkadang
tahdzir itu tidak
perlu untuk menyebutkan pelakunya, dengan kita katakan “ Yang
benar dalam masalah
ini adalah begini dan begitu” tanpa menyebutkan: “Fulan salah”
atau kita katakan:
“Sebagian orang atau sebagian penuntut ilmu telah mengatakan
begini”, sebagaimana
yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengatakan:
”Kenapa ada kaum yang melakukan begini dan begitu…”. Semuanya ini
adalah tahdzir
dari kesalahan, tidak boleh kita mencela jika orang yang salah itu adalah mujtahid
dari ahlul-haq, apalagi mengecam dan
menganggap sebagai ahlul bid’ah.
Adapun jika kesalahan itu berasal dari ahlul bid’ah atau orang yang bahayanya telah
menyebar dan kita takut masyarakat
terpengaruh dengannya, maka kita tahdzir dia,
. 22
karena kesalahannya tidak hanya sebatas dalam satu masalah saja,
bahkan
kesalahannya telah begitu masyhur dan tersebar di antara manusia,
kita katakan pada
orang-orang: “Berhati-hatilah dari Fulan karena dia telah
menyimpang dari manhaj dan
aqidah”
Jika pelaku kesalahan itu sudah sedemikian parahnya, sehingga mencapai tingkatan
yang keterlaluan, kita boleh menyinggung pribadi dia dengan
mengatakan: “Fulan ahlul
bid’ah dan penyebar fitnah” ini adalah termasuk nasehat, tapi
semuanya ini tidak
dilakukan kecuali jika telah pasti bahwa orang tersebut salah,
bukan semata-mata
dengan sangkaan, bukan pula nukilan isu yang kemudian lantas kita
sampaikan pada
manusia, inilah batasan-batasan tahdzir.
Adapun masalah hajr, berbeda sesuai dengan perbedaan maksudnya, ada
hajr untuk
mashlahat dakwah, seperti menghajr ahlul bid’ah, pelaku kejahatan
dan lainnya, ada
pula hajr untuk mashlahat haajir (yang menghajr), seperti orang yang takut akan
keselamatan diri dan agamanya jika bergaul dengan pelaku bid’ah
dan kejahatan, maka
dia dalam hal ini menghajr untuk kemashlahatan dirinya sendiri,
ada pula hajr untuk
kemashlahatan al mahjur (orang yang dihajr), artinya hajr itu terkadang berpengaruh
padanya sehingga diapun kembali kepada al-haq, maka hajr itu
berbeda sesuai dengan
perbedaan keadaan (situasi dan kondisi).
Adapun batasan-batasan hajr
untuk kemashlahatan haajir (yang menghajr) adalah
setiap orang yang takut akan kesematan diri dan agamanya jika dia
bergaul dengan
fulan atau kelompok tertentu, maka wajib bagi dia untuk menjauhinya.
Adapun
batasan-batasan hajr untuk kemashlahatan al
mahjur (yang dihajr), dilihat
keadaannya, apakah hajr itu akan bermanfaat bagi dia atau tidak.
Karena hajr itu
bukan sesuatu yang harus sehingga setiap yang menyimpang harus
dihajr, tapi kita
lihat apa yang lebih bermanfaat bagi dia, apakah yang lebih
bermanfaat bagi dia itu
adalah hajr sehingga dia kembali pada sunnah ataukah yang lebih
manfaat itu adalah
ta’lif (pendekatan), tapi kita harus melihat beberapa hal-hal yang lain:
1. Pengaruh al haajir
(orang yang menghajr), sebagian
orang ada yang
berpengaruh hajrnya, seperti para ulama, pemerintah atau orang
yang
mempunyai kedudukan, adapun yang hajrnya tidak berpengaruh,
seperti teman
kepada teman yang lain, terkadang hajrnya tidak berpengaruh
terhadap
temannya itu, bahkan terkadang hajrnya itu dipahami dengan yang
tidak-tidak.
Maka haruslah al haajir (orang yang menghajr) itu mempunyai
pengaruh
terhadap yang dihajr.
2. Melihat keadaan yang dihajr, apakah hajr itu berpengaruh pada dia atau tidak,
jika hajr itu malah membuat dia semakin sombong dan keras kepala,
maka dia
tidak layak untuk dihajr. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh:
“Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam terkadang menghajr dan
terkadang ta’lif
(melakukan pendekatan)”.
. 23
3. Melihat masa hajr,
hajr itu harus bermanfaat dan sesuai dengan kesalahan.
Berkata Ibnu Qoyyim rohimahulloh: “Hajr
itu bagaikan obat, jika kelebihan dosis
bisa membunuh atau membahayakan, dan jika kurang tak akan
bermanfaat.”
Maka masa hajr itu harus sesuai dengan jenis penyimpangannya, jika
kita
melihat orang yang dihajr itu kembali pada al-haq, maka tidak
boleh kita
menambah masa hajr, karena akan membahayakan dia.
4. Melihat keadaan masyarakat, jika masyarakatnya adalah masyarakat sunny
dimana mengakibatkan dia kembali pada al-haq, maka kita boleh
melakukan hajr
dalam masyarakat itu, adapun jika masyarakatnya adalah masyarakat
bid’ah
yang mungkin jika kita hajr orang itu akan diseret oleh ahlul bid’ah
dan dibawa
kepada kesesatan yang lebih besar sehingga bertambah penyimpangan
dia, maka
tidak boleh kita hajr. Jadi kita harus melihat keadaan masyarakat
yang
dilakukan hajr di dalamnya, inilah batasan-batasan yang harus
diperhatikan
ketika hendak menghajr.
5. Sebelum dan sesudahnya kita harus ikhlas semata karena Allah dalam
menghajr, bukan untuk keuntungan pribadi tapi untuk kemaslahatan syar’i,
karena hajr itu terkadang dilakukan untuk kemaslahatan dirinya,
atau
kemaslahatan yang didakwahi, atau kemaslahatan dakwah secara umum
dan
kemaslahatan kaum muslimin. Seperti ada seorang ‘alim dan ahlul
bid’ah, jika
orang ‘alim itu berhubungan dengan dia, mungkin bisa bermanfaat
bagi ahlul
bid’ah itu, tapi di sisi lain bisa jadi malah menjadi fitnah bagi
masyarakat,
sehingga mereka berkata: “Orang ‘alim ini tidak akan berkunjung
dan duduk
dengan dia kecuali karena orang itu di atas jalan yang benar.”
Maka orang (ahlul
bid’ah tadi) harus dihajr untuk kemaslahatan dakwah. Adapun orang
yang lebih
rendah kedudukannya dari ‘alim tadi, yang tidak berpengaruh
terhadap
masyarakat, maka boleh baginya untuk mengajari dan berhubungan
dengan ahli
bid’ah tadi.
11. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh …
adakah perbedaan antara hajr dan tahdzir, jika ada perbedaan,
apakah setiap orang
yang kita tahdzir itu harus dihajr …?
Jawaban:
Ya, ada perbedaan, tahdzir adalah memperingatkan manusia
dari kesalahan atau dari
orang yang bersalah, adapun hajr yaitu memboikot (mengucilkan)
seseorang untuk
kemaslahatan baik itu kemaslahatan agama kamu atau kemaslahatan
dakwah dan
ummat, tapi tidak setiap yang
kita tahdzir itu harus dihajr. Terkadang teman kita
bersalah kemudian kita tahdzir dari kesalahannya dan tidak kita
hajr, kita katakan: “si
fulan seorang yang baik, mempunyai keutamaan dan ilmu, tapi dia
salah dalam
masalah ini … .” Banyak para ulama yang mentahdzir kesalahan
sebagian ulama yang
lain, Syaikh Abdul ‘Aziz bin
Baz rahimahullah pernah ditanya tentang kesalahan
. 24
sebagian ulama dalam beberapa masalah, beliau menjawab: “’Alim
fulan salah dalam
masalah ini”, tapi beliau tidak menghajr dia, tidak juga
mencelanya, tapi beliau
menjelaskan kesalahannya, demikian pula para ulama sebelum beliau
ketika ditanya
tentang suatu masalah, mereka menjawab: “ini salah”, tapi tidak
mengharuskan orang
yang salah itu dihajr.
12. Pertanyaan:
“Fadhilatus Syaikh …
seberapa jauh kebenaran perkataan bahwa fulan ikhwany tapi
aqidahnya salafy, atau
tablighy tapi aqidahnya salafy, jika perkataan ini benar, lantas apa
makna perkataan itu …?
Jawaban:
Ikhwanul Muslimin mempunyai penyimpangan yang
banyak dalam aqidah, termasuk
kesalahan mereka yang paling besar dalam manhaj adalah menyatukan
manusia (tanpa
memilah aqidah) dan kaidah mereka yang salah yaitu “saling
memberikan udzur sesama
kita dalam hal-hal yang diperselisihkan, dan bersatu dalam hal-hal
yang kita sepakati”,
ini sangat bertentangan dengan aqidah ahlussunnah waljamaah. Jamaah Tabligh pun
mempunyai banyak kesalahan. Bagaimana mungkin bisa dikatakan fulan manhajnya
tablighy tapi aqidahnya salafy. Karena aqidah dan manhaj
ahlussunnah dua hal yang
tidak bisa dipisahkan, aqidah dan manhaj tidak mungkin dipisahkan
satu sama lainnya,
tapi (jika seorang sunny) salah, kita katakan: “fulan salah dalam
masalah ini tapi dia
masih di atas pokok-pokok ahlussunnah”, seperti halnya kita
katakan “murji’ah fuqoha”,
maknanya bahwa mereka adalah fuqoha dan ahlul ilmi serta murji’ah
ahlussunnah,
artinya dia ahlussunnah, tapi dalam masalah ini dia salah, ini
bisa dikatakan jika
kesalahannya bersifat juz’iy (cabang).
Adapun jika fulan menyimpang dari manhaj secara keseluruhan, tidak bisa kita
katakan: “dia manhajnya begini tapi aqidahnya begini, tapi kita
harus mengetahui
bahwa aqidah ahlussunnah dan manhajnya tidak bisa dipisahkan satu
sama lainnya.
13. Pertanyaan:
“Jazakumullohu khairan
atas nasihat ini, sekarang kami merasa sangat kurang dalam
usaha untuk
mendamaikan antara ikhwah apalagi dalam berdoa untuk kebaikan mereka,
terutama mendoakan
orang yang menyelisihi kami agar mendapatkan hidayah, juga
masalah niat,
terkadang ketika menasehati, kami tidak ikhlas karena Allah tapi karena
tujuan duniawi, maka
apakah nasihat Anda pada kami, dan bagaimanakah Salaf dalam
menjaga niat mereka
serta keinginan kuat mereka untuk mendoakan saudara-saudaranya
…?
Jawaban:
. 25
Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya karena Allah
dalam amalannya,
manusia dalam setiap amalannya bertujuan untuk mewujudkan
keselamatan dirinya.
Sebelum kita berusaha untuk mendamaikan dan
memberikan petunjuk (hidatul
irsyad, peny.) pada manusia, kita harus
berusaha menyelamatkan diri kita, dan ini
tidak bisa kita lakukan kecuali dengan mengikhlaskan niat karena
Allah semata serta
menginginkan wajah Allah di setiap amalan kita, juga merasa bahwa
Allah senantiasa
mengawasi kita, mungkin manusia tidak tahu niat kita karena niat
itu tersembunyi,
sehingga kita bisa membohongi diri kita dan manusia dengan
memperlihatkan nasihat,
padahal Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kita:
“Dan apa yang kalian
perlihatkan serta sembunyikan dalam diri kalian Allah akan hisab
kalian.” (QS.
Al-Baqarah: 284), maka wajib atas setiap muslim
untuk mengikhlaskan
niatnya.
Kaum Salaf sangat berkeinginan untuk memberi hidayah pada manusia, dan bahkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan yang pertama dalam hal ini. Saya
akan menceritakan pada kalian sebuah contoh dari sejarah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam: Abdullah bin Ubay adalah termasuk orang yang
paling banyak menyakiti Nabi
shallallahu ‘alaihi
wasallam. Ketika dia mati, anaknya,
yaitu Abdullah bin Abdullah bin
Ubay radhiyallahu’anhu (dan dia adalah seorang sahabat) datang pada Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memohon ampun untuk ayahnya,
Nabipun bergegas untuk memohonkan ampun baginya, tapi Umar radhiyallahu’anhu
melarang beliau, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku dilarang
untuk memohonkan ampun mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka aku
akan mohon
lebih dari tujuh puluh kali”, kemudian turunlah ayat:
“Janganlah kalian
menshalati orang yang mati dari mereka selamanya, dan jangan kamu
berdiri (mendoakan) di
kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mereka
mati dalam keadaan fasik.” (QS. At-Taubah: 84) (lihat Shahih
Bukhari 1/427 no. 1210
dan Shahih Muslim 4/1865 no. 2400. pent)
Lihatlah bagaimana keinginan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam …., seorang
munafik yang menyakiti beliau dan menghalang-halangi dakwah
beliau, beliau katakan:
“Akan saya mohonkan ampunan beginya lebih dari tujuh puluh kali”,
karena besarnya
keinginan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberikan hidayah kepada
manusia dan ini adalah termasuk nasihat karena Allah Ta’ala.
Wajib atas setiap muslim untuk tidak bermaksiat terhadap Allah di
bumi-Nya, dan
senang bila tidak ada penyimpangan di muka bumi dan tidak boleh gembira dengan
penyimpangan orang lain. Karena jika kita cinta kepada Allah, tentu
senang jika Allah
ditaati dan tidak dimaksiati, dan ini pada setiap orang, ketika
kamu cinta pada
seseorang, tentu kamu tidak senang jika dia berbuat maksiat dan
dibicarakan
. 26
kejelekannya, tapi jika kita senang dengan kesalahan orang lain
maka ini bukan nasihat
karena Allah, karena seorang mukmin senang jika Allah ditaati dan
tidak dimaksiati,
sampai orang Yahudi dan Nasrani pun kita senang jika mereka
beriman. Karena itu kita
harus tamak untuk memberi hidayah kepada manusia, lebih-lebih pada
ikhwah kita.
Oleh karena itu Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata pada ayahnya:
“Wahai ayahku, saya senang jika saya dan ayah dimasak dalam kuali
yang mendidih di
jalan Allah”, artinya keduanya dimasukkan dalam kuali yang penuh
minyak atau air
yang mendidih sehingga badan mereka pun hancur di jalan Allah, dan
ini adalah
nasihat karena Allah. Demikianlah kewajiban setiap muslim untuk
mengikhlaskan
amalannya karena Allah.
Termasuk dari contoh kekuatan nasihat dan ikhlas pada sejarah Salaf, apa yang
terjadi pada Ali radhiyallahu’anhu dalam perang tanding sebelum dimualinya
peperangan, beliau mengalahkan lawannya dan menjatuhkannya ke
tanah, ketika beliau
hendak memukulnya dan membunuhnya dengan pedang, orang itu
meludahi muka
beliau, maka beliau pun tidak jadi membunuhnya, lantas ditanya
mengapa anda tidak
membunuhnya. Jawab beliau: “Tadinya saya ingin membunuhnya karena
Allah, tapi
orang itu meludahi saya, sehingga saya pun marah, saya takut jika
saya membunuhnya
karena kepentingan pribadi (bukan karena Allah)”, …… lihat
bagaimana salaf menahan
diri, ini adalah taufik dari Allah yang tidak akan didapatkan
kecuali dengan muroqobah
(merasa diawasi oleh) Allah sehingga bisa menahan diri dengan baik. Ini semua
berasal
dari kekuatan ikhlas karena Allah. Ketika Allah tahu kejujuran
niat dan keikhlasannya,
Allah pun melindunginya dari segala sesuatu. Maka dari itu sangat
sulit bagi seseorang
untuk mengambil sikap dan menghadirkan niatnya dalam keadaan
seperti ini. Lihatlah
…! Beliau tidak senang untuk membunuh orang kafir itu setelah
beliau mampu
mengalahkannya padahal beliau dalam keadaan jihad. Salah seorang
dari kita bisa saja
untuk mengatakan: “saya membunuh karena Allah”, padahal pada
dirinya ada niat lain
yang tersembunyi, dia membunuhnya kerena kepentingan pribadi. Maka
merupakan
keharusan bagi kita untuk mengikhlaskan niat karena Allah serta
mendoakan saudarasaudara
kita, dan memohonkan bagi mereka hidayah, di waktu kita shalat malam
dan pada waktu-waktu dikabulkannya doa, juga menjadikan maksud kita setiap
berbicara dan berbuat hanya karena Allah semata, kita ikhlas
ketika berbicara, ikhlas
ketika diam, ikhlas ketika ‘uzlah (mengasingkan diri), sehingga
dalam keadaan
bagaimanapun kamu dalam kebaikan yang agung (besar). Adapun jika
kita kehilangan
niat ikhlas –mudah-mudahan Alah melindungi kita darinya-, walaupun
kita berbicara
haq, memberi nasihat dan Allah damaikan dengan sebab kita, serta
terwujud kebaikan,
sementara orang-orang memuji kita, maka amalan kita akan sia-sia,
karena tidak
terpenuhi niat yang ikhlas. Kita ambil pelajaran dari sebuah
hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya pada
hari kiamat nanti Allah turun pada hamba-Nya untuk memutuskan,
dan seluruh manusia
berlutut, orang yang pertama kali dipanggil adalah orang yang
membaca Al-Quran,
orang yang beperang di jalan Allah, dan orang yang mempunyai
. 27
banyak harta. Allah
berfirman kepada pembaca Al-Quran: “bukankan Aku telah ajarkan
padamu apa yang Aku
turunkan pada Rasul-Ku?” jawab orang itu: “benar ya Robbi”,
firman-Nya: “apa yang
kamu amalkan?” orang itu menjawab: “saya membacanya siang
malam”, firman-Nya: “bohong.!!”
Kata malaikat: “kamu bohong!!” firman-Nya: “kamu
membacanya karena
ingin disebut qori, dan telah dikatakan padamu”. Kemudian
didatangkan orang yang
mempunyai banyak harta, Allah berfirman padanya: “bukankan
Aku telah meluaskan
rizkimu sehingga kamu tidak butuh pada seorangpun?” jawabnya:
“benar ya Robbi”,
firman-Nya: “lantas apa yang kamu amalkan dengan pemberianku itu?”,
jawabnya: “dulu saya
menyambung silaturahmi dan bersedekah”, firman-Nya: “kamu
bohong!!”, kata
malaikat: “kamu bohong!!”, firman-Nya: “kamu berinfaq karena ingin
disebut dermawan dan
telah dikatakan padamu”. Kemudian didatangkan orang yang
terbunuh di jalan
Allah, Allah berfirman padanya: “apa yang kamu perangi?”, jawabnya:
“saya diperintahkan
untuk berjihad di jalan-Mu, saya pun berperang hingga terbunuh”,
firman-Nya: “kamu
bohong!!”, kata malaikat: “kamu bohong!!”, firman-Nya: “kamu
berperang karena ingin
disebut pemberani dan telah dikatakan padamu.”. Berkata Abu
Hurairah radhiyallahu’anhu:
kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memukul
lututnya seraya
bersabda: “Tiga orang ini adalah makhluk yang neraka disulut pertama kali
untuk mereka.”8
Yang perlu kita garis bawahi adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam “waqad
qiila” ini menunjukkan bahwa kebanyakan yang dikatakan di
dunia sebagai ‘alim atau
dermawan atau pemberani tidak menginginkan wajah Allah, kita takut
atas diri kita,
terkadang orang mengatakan tentang kita: “fulan ‘alim”, atau “fulan
ahlussunnah”, dan
Allah tahu hati kita, maka kita wajib untuk menyadari dalam
keadaan ini, karena jika
niat dimasuki riya’ akan dikatakan pada kita di hadapan seluruh
makhluk (pada hari
kiamat): “kamu berbuat itu karena ingin dikatakan begini dan sudah
dikatakan begitu
(di dunia)”, sehingga kita pun dilempar ke neraka, ini perkara
yang sangat berbahaya.
Hendaklah seorang insan memohon pada Allah keikhlasan dalam
perkataan dan
perbuatan dia di setiap waktu, tidak ada seorang manusia pun
kecuali dia lemah, tapi
apabila Allah mengetahui kekuatan ikhlas, kesungguhan dan
kesabaran seorang hamba,
maka Allah akan memberinya taufiq, sebagaimana dalam hadits:
“Senantiasa seorang
hamba bertaqorrub kepada-Ku dengan nawafil (amalan-amalan
sunnat) sehingga Aku
mencintainya.” (HR Bukhari 5/2384 no. 6137. Pent)
Dan sebagai pelindung bagi kita dari hal itu adalah dengan
memperbanyak amal shalih
dan ketaatan, jangan sampai kita disibukkan oleh ilmu dan
melupakan amal, karena
ilmu itu sarana untuk beramal. Jika kita disibukkan oleh ilmu dan
melupakan amal,
maka ilmu kita itu tidak bermanfaat. Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu:
8 (HSR Muslim 3/1513 no. 1905
dan At-Tirmidzi 4/591 no. 2382 tahqiq Ahmad Syakir dan hadits ini lafadz
Tirmidzi)
. 28
“Hubungilah ilmu
dengan amal, jika dia menjawab (maka kebaikan untuknya) dan jika
tidak, maka ilmu itu
akan pergi.”
Ketika kamu semakin istiqamah dalam ketaatan pada Allah, maka
Allah akan
melindungimu dari fitnah, jika kamu menjaga shalat, dzikir-dzikir
dan amalan baik,
(Allah akan melindungimu) ketika fitnah melanda manusia, dan kamu
mempunyai
kedudukan tinggi di sisi Allah. Bukankah Allah berfirman dalam
hadits qudsi: “Jika
seorang hamba senantiasa bertaqorrub pada-Ku sehingga Aku
mencintainya, maka Aku
pendengarannya yang dia mendengar dengannya, pandangannya yang dia
melihat
dengannya, tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang
dia berjalan
dengannya.” Mengapa? Karena Allah melindunginya, maka setiap orang
yang ingin
selamat dari fitnah hendaklah memperbanyak ketaatan dan ibadah,
inilah yang
bermanfaat. Demi Allah …!! ilmu saja tidak akan bermanfaat. Bisa
saja kamu orang
yang paling ‘alim tapi kamu terfitnah dalam agamamu karena kamu
tidak bisa
mengambil manfaat kecuali dengan ilmu dan fiqih dalam agama serta
istiqomah dalam
ketaatan. Karena itu jika kalian perhatikan, siapakah yang selamat
ketika fitnah
melanda ummat dan manusia? Ulama’lah … yang selamat, tapi apakah
mereka selamat
karena ilmu saja …? Tidak, mereka selamat karena mereka ahlul ibadah,
Allah
melindungi mereka karena ibadah, dan berjatuhanlah dalam fitnah
itu para ulamaulama
suu’ (jelek) dan orang-orang yang berbuat karena riya’, kita
berlindung kepada
Allah dari hal ini, karena seseorang terkadang menjadi hina
disebabkan amalannya.
Inilah kewajiban yang harus dilakukan oleh penuntut ilmu, untuk
sungguh-sungguh
melakukan ishlah, tapi sebelumnya kita harus memperbaiki diri
kita, apakah kita akan
mengishlah manusia sementara diri kita sakit, akankah kita
memperbaiki rumah orang
sementara rumah kita roboh …?
Kita perbaiki hati dan amalan kita serta selalu merasa diawasi
oleh Allah, sibukkanlah
diri kita dengan hal yang mendekatkan kita pada Allah, perkara itu
sungguh besar,
sungguh berbahaya, karena kita akan datang nanti untuk dihisab,
Allah akan
menghisab setiap orang apa yang ada pada dirinya “Pada hari
diperlihatkan seluruh
rahasia” (QS.
At-Thoriq: 9). Akan diperlihatkan pada
kita catatan amalan kita yang
bagaikan gunung, kemudian dihadapkan amalan itu kepada Allah
kemudian dikatakan
“ini (amalan) karena Allah dan ini (amalan) karena selain Allah
dan tidak tersisa (dari
amalan) kecuali amalan yang karena Allah”.
Kita doakan saudara-saudara kita dan memohon pada Allah. Jika
melihat kesalahan
maka kita katakan: “Segala puji bagi Allah yang telah
menyelamatkanku dari kesalahan
yang menimpa dia, dan Dia lah yang memberikan keutamaan padaku di
atas
kebanyakan makhluk-Nya dengan keutamaan yang besar”, kita mohonkan
bagi mereka
hidayah dan kita melihat orang yang menyimpang itu bagaikan
seorang pasien,
sebagaimana kata Ibnu Taimiyah: “Ahlul bid’ah itu bagaikan orang sakit”, maka bolehkah
kita memperolok orang yang sedang sakit badannya? Jika kita
melihat orang yang
buntung tangannya, apakah kita perolok …? Orang yang berakal tak
akan
. 29
melakukannya. Mereka (ahlul bid’ah) itu fitnahnya lebih besar,
karena mereka diuji
dalam agama mereka, kasihan mereka itu. Maka sayangilah dan
kasihanilah dia, jangan
kamu cela, jangan suka membicarakannya dan menyebarkan
kesalahannya, tapi kita
mohon pada Allah agar memberinya hidayah dan menyelamatkannya dari
apa yang
sedang menimpa dia, serta meminta perlindungan kepada Allah dari
musibah ini.
14. Pertanyaan:
“Jazakumullahu khairan
… mudah-mudahan Allah memberikan kebaikan pada Anda di
dunia dan akhirat,
apakah point-point penting dari nasihat tadi …?
Jawaban:
Point-point penting dari nasihat tadi adalah:
1. Mengikhlaskan niat karena Allah dalam perkataan dan perbuatan.
2. Menambah bekal ilmu syariat serta mengetahui apa yang
bermanfaat bagi kita, dan
ilmu itu ada yang wajib hukumnya ada juga yang sunnat, maka kita
memulai dari
apa yang Allah wajibkan atas kita, kemudian baru yang sunnat.
3. Memperbanyak ketaatan dan istiqomah dalam ketaatan pada Allah.
4. Menjauhi bid’ah dalam perkataan dan perbuatan kita.
5. Mempersedikit majelis yang tidak ada manfaatnya, bahkan
menjauhi majelis tersebut
dan menyibukkan diri dengan ketaatan pada Allah. Setiap majelis
yang mendekatkan
diri kita kepada Allah, kita duduk di dalamnya, dan setiap majelis
yang menjauhkan
diri kita dari Allah kita jauhi. Ini adalah hal yang dapat dirasakan
oleh setiap orang,
terkadang kamu merasa imanmu berkurang setelah bangkit dari suatu
majelis, tapi
sebagian majelis lagi justru sebaliknya malah menambah keimanan.
Maka duduklah
di majelis seperti itu, demikianlah … . Saya memohon pada Allah
agar memberikan
taufiq pada kita semua, shalawat dan salam serta barakah semoga
tercurah atas
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam ….
(Semoga Allah memberi balasan kepada Syaikh dengan sebaik-baiknya
balasan dan
Allah memberikan manfaat pada ilmunya, dan akhir ucapan kita
adalah alhamdulillahi
robbil ‘alamin).
Madinah, Jumat 12 Muharrom 1422 H.
. 30
Salinan dan terjemahan izin Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaily hafidzohullah untuk
penyebarluasan nasehat ini:
Artinya:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa
terlimpahkan atas
Rasulullah.
Lembaran-lembaran ini adalah salinan dari isi sebuah kaset yang
mencakup beberapa
pertanyaan dan jawaban-jawaban saya atasnya. Ini semua berdasarkan
atas tekad
beberapa mahasiswa Indonesia. Lantas mereka salin isi kaset
tersebut ke dalam
lembaran-lembaran ini.
Dan saya telah mengizinkan mereka untuk menyebarluaskannya,
seandainya mereka
melihat maslahat di dalamnya. Saya memohon kepada Allah agar
memberikan taufiq
kepada kita semua.
Ibrahim Ar-Ruhaily, 24/2/1422 H
. 31
Catatan:
Bagi para ikhwah yang berkeinginan untuk memastikan keotentikan
nasehat ini, maka
ditangan kami ada naskah asli yang berbahasa Arab dan kasetnya.
Silahkan
menghubungi :
1. Abdullah Zaen bin Zaeny Muhajjat
d/a : Pesantren Putri “Daarun Niswah Ash Sholihah, Ds Kedungwuluh
Rt.08/Rw.II, Kec. Kalimanah, Kab. Purbalingga-Jawa Tengah 53371
2. Anas Burhanuddin bin Musta’in Ahmad
d/a : Rt.06/Rw.02 no: 169 Beji Tulung, Klaten, Jawa Tengah 57482
…..Risalah
ini diketik ulang dan diletakkan di situs www.perpustakaan-islam.com
Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafidzohullah
(Ulama Besar dan Muhaddits Madinah-Saudi Arabia)
Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah
(Ketua Bagian Aqidah di Fak. Dakwah Universitas Islam Madinah & Pengarang
buku “Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah min Ahlil Bida’ wal Ahwaa’)
Disusun Oleh :
Abu Abdirrahman Abdullah Zaen
Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar