Saat itu tengah malam di kota Madinah. Kebanyakan
warga kota sudah tidur. Umar bin Khatab r.a. berjalan menyelusuri jalan-jalan
di kota. Dia coba untuk tidak melewatkan satupun dari pengamatannya. Menjelang
dini hari, pria ini lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Tanpa sengaja,
terdengarlah olehnya percakapan antara ibu dan anak perempuannya dari dalam
rumah dekat dia beristirahat.
Berkatalah si Ibu. “Nak, tuangkanlah susu itu ke dalam
baskom. Besok pagi Ibu akan menjualnya di pasar.” Ketika menuangkan susu ke
dalam baskom itu, tiba-tiba sedikit susu tertumpah. “Ibu, sedikit susu
tertumpah ketika aku menuangkan ke dalam baskom” kata anak. “Campurkanlah susu
itu dengan air, supaya nampak seperti asalnya” suruh ibu kepada anak
gadisnya. Si anak berkata “Jangan Ibu, Amirul Mukminin telah membuat
peraturan. Tidak boleh menjual susu yang dicampur air”. “Banyak orang
melakukannya, campurlah sedikit saja. Toh insyaallah Amirul Mukminin tidak
mengetahuinya” kata si Ibu mencoba meyakinkan anaknya. “Ibu, Amirul Mukminin
mungkin tidak mengetahuinya, tetapi Tuhan dari Amirul Mukminin pasti
melihatnya” tegas si Anak menolak. Mendengar percakapan ini berurailah air mata
Umar bin Khottob karena haru, betapa mulianya hati gadis ini. Umar
memerintah Aslam untuk menandai rumah itu.
Karena subuh menjelang, bersegeralah dia ke masjid untuk memimpin shalat Subuh. Sesampai di rumah, dipanggilah anaknya untuk menghadap dan berkata, “Wahai Ashim putra Umar bin Khattab. Sesungguhnya tadi malam saya mendengar percakapan istimewa. Pergilah kamu ke rumah si anu dan selidikilah keluarganya.”
Ashim bin Umar bin Khattab melaksanakan perintah ayahndanya yang tak lain memang Umar bin Khattab, Khalifah kedua yang bergelar Amirul Mukminin. Sekembalinya dari penyelidikan, dia menghadap ayahnya dan mendengar ayahnya berkata,
“Pergi dan temuilah mereka. Lamarlah anak gadisnya itu untuk menjadi isterimu. Aku lihat insyaallah ia akan memberi berkah kepadamu dan anak keturunanmu. Mudah-mudahan pula ia dapat memberi keturunan yang akan menjadi pemimpin bangsa.”
Begitulah, menikahlah Ashim bin Umar bin Khattab dengan anak gadis tersebut. Dari pernikahan ini, Umar bin Khattab dikaruniai cucu perempuan bernama Laila, yang nantinya dikenal dengan Ummi Ashim. Suatu malam setelah itu, Umar bermimpi. Dalam mimpinya dia melihat seorang pemuda dari keturunannya, bernama Umar, dengan kening yang cacat karena luka. Pemuda ini memimpin umat Islam seperti dia memimpin umat Islam. Mimpi ini diceritakan hanya kepada keluarganya saja. Saat Umar meninggal, cerita ini tetap terpendam di antara keluarganya.
Pada saat kakeknya Amirul Mukminin Umar bin Khattab terbunuh pada tahun 644 Masehi, Ummi Ashim turut menghadiri pemakamannya. Kemudian Ummi Ashim menjalani 12 tahun kekhalifahan Ustman bin Affan sampai terbunuh pada tahun 656 Maserhi. Setelah itu, Ummi Ashim juga ikut menyaksikan 5 tahun kekhalifahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Hingga akhirnya Muawiyah berkuasa dan mendirikan Dinasti Umayyah.
Pergantian sistem kekhalifahan ke sistem dinasti ini sangat berdampak pada Negara Islam saat itu. Penguasa mulai memerintah dalam kemewahan. Setelah penguasa yang mewah, penyakit-penyakit yang lain mulai tumbuh dan bersemi. Ambisi kekuasaan dan kekuatan, penumpukan kekayaan, dan korupsi mewarnai sejarah Islam dalam Dinasti Umayyah. Negara bertambah luas, penduduk bertambah banyak, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, tapi orang-orang semakin merindukan ukhuwah persaudaraan, keadilan dan kesahajaan Ali, Utsman, Umar, dan Abu Bakar. Status kaya-miskin mulai terlihat jelas, posisi pejabat-rakyat mulai terasa. Kafir dhimni pun mengeluhkan resahnya, “Sesungguhnya kami merindukan Umar, dia datang ke sini menanyakan kabar dan bisnis kami. Dia tanyakan juga apakah ada hukum-hukumnya yang merugikan kami. Kami ikhlas membayar pajak berapapun yang dia minta. Sekarang, kami membayar pajak karena takut.”
Kemudian Muawiyah membaiat anaknya Yazid bin Muawiyah menjadi penggantinya. Tindakan Muawiyah ini adalah awal malapetaka dinasti Umayyah yang dia buat sendiri. Yazid bukanlah seorang amir yang semestinya. Kezaliman dilegalkan dan tindakannya yang paling disesali adalah membunuh sahabat-sahabat Rasul serta cucunya Husein bin Ali bin Abi Thalib. Yazid mati menggenaskan tiga hari setelah dia membunuh Husein.
Akan tetapi, putra Yazid, Muawiyah bin Yazid, adalah seorang ahli ibadah. Dia menyadari kesalahan kakeknya dan ayahnya dan menolak menggantikan ayahnya. Dia memilih pergi dan singgasana dinasti Umayah kosong. Terjadilah rebutan kekuasaan dikalangan bani Umayah. Abdullah bin Zubeir, seorang sahabat utama Rasulullah dicalonkan untuk menjadi amirul mukminin. Namun, kelicikan mengantarkan Marwan bin Hakam, bani Umayah dari keluarga Hakam, untuk mengisi posisi kosong itu dan meneruskan sistem dinasti. Marwan bin Hakam memimpin selama sepuluh tahun lebih dan lebih zalim daripada Yazid.
Masih ingat kisah diatas?? Itulah awal mula nantinya akan lahir sesosok khalifah kedelapan yang tersohor adil dan zuhud itu. Kisah Umar bin Abdul Azis dimulai dari kisah hikmah yang dialami Khalifah Umar bin Khottob R.A Umar melamar gadis (anak wanita dalam kisah diatas) itu untuk dinikahkan dengan putranya Ashim. Pernikahan pun berlangsung. Dari hasil perkawinan itu lahir anak seorang perempuan yang kelak dinikahi oleh Abdul Azis bin Marwan. Dan kemudian lahirlah Umar bin Abdul Azis,Khalifah
Beberapa kisah keteladanan Umar bi Abdul Azis:
Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan dibesarkan dalam sekolah Islam dan terdidik dengan ilmu Al-Qur’an. Ayahnya adalah seorang khalifah. Abdul Malik bin Marwan dan suaminya juga seorang khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz. Keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam.
Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku jabatan khalifah. Sebagai putera dan saudari para khalifah, perkawinan Fatimah dirayakan dengan resmi dan besar-besaran, dan ditata dengan perhiasan emas mutu-manikam yang tiada ternilai indah dan harganya. Namun sesudah perkawinannya usai, sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta. Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?” Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai atau Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
“Demi Allah,” kata Fatimah, “Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”
Fatimah binti Abdul Malik bin Marwan dibesarkan dalam sekolah Islam dan terdidik dengan ilmu Al-Qur’an. Ayahnya adalah seorang khalifah. Abdul Malik bin Marwan dan suaminya juga seorang khalifah, yakni Umar bin Abdul Aziz. Keempat saudaranya pun semua khalifah, yaitu Al Walid Sulaiman, Al Yazid, dan Hisyam.
Ketika Fatimah dipinang untuk Umar bin Abdul Aziz, pada waktu itu Umar masih layaknya orang kebanyakan bukan sebagai calon pemangku jabatan khalifah. Sebagai putera dan saudari para khalifah, perkawinan Fatimah dirayakan dengan resmi dan besar-besaran, dan ditata dengan perhiasan emas mutu-manikam yang tiada ternilai indah dan harganya. Namun sesudah perkawinannya usai, sesudah Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah dan Amirul Mukminin, Umar langsung mengajukan pilihan kepada Fatimah, isteri tercinta. Umar berkata kepadanya, “Isteriku sayang, aku harap engkau memilih satu di antar dua.”
Fatimah bertanya kepada suaminya, “Memilih apa, kakanda?” Umar bin Abdul Azz menerangkan, “Memilih antara perhiasan emas berlian yang kau pakai atau Umar bin Abdul Aziz yang mendampingimu.”
“Demi Allah,” kata Fatimah, “Aku tidak memilih pendamping lebih mulia daripadamu, ya Amirul Mukminin. Inilah emas permata dan seluruh perhiasanku.”
Hikmah 1 : Kezuhudan beliau dan keluarganya
Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.
Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz menerima semua perhiasan itu dan menyerahkannya ke Baitulmal, kas Negara kaum muslimin. Sementara Umar bin Abdul Aziz dan keluarganya makan makanan rakyat biasa, yaitu roti dan garam sedikit.
Pada suatu hari raya puteri-puterinya datang
kepadanya, “Ya Ayah, besok hari raya. Kami tidak punya baju baru…”
Mendengar keluhan puteri-puterinya itu, khalifah Umar berkata kepada mereka. “Wahai puteri-puteriku sayang, hari raya itu bukan bagi orang yang berbaju baru, akan tetapi bagi yang takut kepada ancaman Allah.”
Mendengar keluhan puteri-puterinya itu, khalifah Umar berkata kepada mereka. “Wahai puteri-puteriku sayang, hari raya itu bukan bagi orang yang berbaju baru, akan tetapi bagi yang takut kepada ancaman Allah.”
Mengetahui hal tersebut, pengelola baitulmal berusaha
menengahi, “Ya Amirul Mukminin, kiranya tidak akan menimbulkan masalah kalau
untuk baginda diberikan gaji di muka setiap bulan.”
Umar bin Abdul Aziz sangat marah mendengar perkataan
pengurus Baitulmal. Ia berkata, “Celaka engkau! Apakah kau tahu ilmu gaib bahwa
aku akan hidup hingga esok hari!?”
Hikmah 2 : Menyadari beratnya tanggung jawab seorang
pemimpin
Ketika Umar bin Abdul Azis mendapat promosi, dari
Gubernur Madinah menjadi Khalifah, ia menangis dan pingsan. Ia menyatakan,
bahwa beban kewajiban seberat ribuan gunung telah diletakan kepundaknya, pada
hal untuk mengurus diri sendiri pun ia merasa belum mampu. Sekarang di beri
amanah mengurus umat. Setelah Umat bin Abdul Azis RA dilantik menjadi Khalifah,
beliau pergi ke mushallahnya dan menangis tersedu-sedu. Ketika di tanyakan
kepadanya tentang penyebab tangisnya, beliau menjawab,” aku memikul amanat umat
ini dan aku tangisi orang -orang yang menjadi amanat atasku, yaitu kaum fakir
miskin yang lemah dan lapar, ibnu sabil yang kehilangan tujuan dan terlantar,
orang-orang yang di zalimi dan di paksa menerimanya, orang-orang yang banyak
anaknya dan berat beban hidupnya. Merasa bertanggung jawab atas beban mereka,
karena itu, aku menangisi diriku sendiri karena beratnya amanat atas diriku.”
Konon semasa ia menjabat sebagai Khalifah, tak satu
pun mahluk dinegerinya menderita kelaparan. Tak ada serigala mencuri ternak
penduduk kota, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, tak ada penerima zakat
karena setiap orang mampu membayar zakat. Lebih mengagumkan lagi, penjara tak
ada penghuninya. Sejak di angkat menjadi Khalifah Umar bertekad, dalam hatinya
ia berjanji tidak akan mengecewakan amanah yang di embannya.
Hikmah 3 : Bagaimana seharusnya pemimpin bersikap
Simaklah sikapnya. Salah seorang Gubernurnya menulis
surat. Isinya minta dana untuk membangun benteng sekeliling kota. Khalifah
membalas suratnya. ‘Apa manfaatnya membangun benteng ? Bentengilah ibu kota
dengan keadilan, dan bersihkan jalan-jalannya dari kezaliman.” Ada pepatah
mengatakan,”seorang alim harus mengajar dirinya sebelum mengajar orang lain,
dan hendaknya mengajar dengan prilakunya sebelum mengajar dengan ucapan
-ucapannya.” Pepatah itu pas untuk pribadi Umar bin Abdul Azis.
Hikmah 4 : Berhati-hati, Halallan Toyyiban &
Menghindari hal yang syubhat
Suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Azis mendapat
hidangan sepotong roti yang masih hangat, harum dan membangkitkan selera dari
istrinya.” Dari mana roti ini ?”tanyanya.” buatan saya sendiri,” jawab
istrinya.” Berapa kau habiskan uang untuk membeli terigu dan bumbu-bumbunya?”
hanya tiga setengah dirham saja,” jawab istrinya.” Aku perlu tahu asal usul
benda yang akan masuk kedalam perutku, agar aku dapat mempertanggung
jawabkannya di hadirat Allah SWT. Nah, uang tiga setengah dirham itu dari mana
?” setiap hari saya menyisihkan setengah dirham dari uang belanja yang anda
berikan, wahai Amirul Mukminin, sehingga dalam seminggu terkumpul tiga setengah
dirham. Cukup untuk membeli bahan-bahan roti yang halalan thayyiban,” kata
istri Khalifah menjelaskan.” Baiklah kalau begitu. Saya percaya, asal usul roti
ini halal dan bersih. Namun, saya berpendapat lain. Ternyata biaya kebutuhan
hidup kita sehari-hari perlu di kurangi setengah dirham, agar kita tidak
mendapat kelebihan yang membuat kita mampu memakan roti atas tanggungan umat,”
tegas Khalifah. Dan sejak hari itu, umar membuat instruksi kepada bendaharawan
Baitul Maal untuk mengurangi jatah harian keluarga Umar sebesar setengah
dirham.” Saya juga akan berusaha menganti harga roti itu, agar hati dan perut
saya tenang dari gangguan perasaan, karena telah memakan harta umat demi
kepentingan pribadi,” sambung Khalifah.
Disebutkan lagi, suatu ketika Amirul Mukminin Umar bin
Abdil Azis, di kunjungi bibinya. Maksudnya meminta tambahan tunjangan dari
Baitul Maal. Ketika itu, Amirul Mukminin sedang makan kacang bercampur bawang
dan adas, makanan rakyat awam. Umar menghentikan makannya, lalu mengambil
sekeping uang logam satu dirham dan membakarnya.di bungkusnya uang itu dengan
sepotong kain dan di berikannya kepada bibinya seraya berkata,” Inilah tambahan
tunjangan uang yang bibi minta.” Bibi menjerit kepanasan ketika menyentuh
bungkusan berisi uang logam panas itu. Umar berkata,” Kalau api dunia terasa
sangat panas bagaimana kelak api neraka yang akan menbakar aku dan Bibi karena
menghianati amanah dan menyelewengkan harta kaum muslimin?” Masya Allah, itulah
berkah memegang amanah Allah. Betapa rezeki yang halal dengan izin Allah, bisa
membentuk pribadi-pribadi keturunan yang menawan.
Hikmah 5 : Qiyamullail
Fatimah Rahimahullah
berkata,
“Umar bin Abdul Aziz, jika masuk ke rumah, dia langsung menuju ke mushallanya, kemudian dia menangis dan berdo’a sampai kedua matanya lelah (tidur), kemudian bangun. Seperti itulah yang dia lakukan di setiap malam.” (Taarikh Khulafa, As-Suyuthi)
“Umar bin Abdul Aziz, jika masuk ke rumah, dia langsung menuju ke mushallanya, kemudian dia menangis dan berdo’a sampai kedua matanya lelah (tidur), kemudian bangun. Seperti itulah yang dia lakukan di setiap malam.” (Taarikh Khulafa, As-Suyuthi)
FatimahRahimahullahberkata,
“Mungkin ada orang yang lebih banyak mengerjakan shalat dan puasa daripada Umar bin Abdul Aziz, tetapi aku belum pernah melihat orang yang lebih takut kepada Tuhannya daripada Umar. Jika dia shalat Isya terakhir (malam) dia menyendiri di mushallanya, lalu berdo’a dan menangis sampai kedua matanya tertidur. Kemudian bangun, berdoa dan menangis lagi sampai kedua matanya tertidur. Terus begitu sampai datang waktu shubuh.” (Az-Zuhud, Imam Ahmad)
“Mungkin ada orang yang lebih banyak mengerjakan shalat dan puasa daripada Umar bin Abdul Aziz, tetapi aku belum pernah melihat orang yang lebih takut kepada Tuhannya daripada Umar. Jika dia shalat Isya terakhir (malam) dia menyendiri di mushallanya, lalu berdo’a dan menangis sampai kedua matanya tertidur. Kemudian bangun, berdoa dan menangis lagi sampai kedua matanya tertidur. Terus begitu sampai datang waktu shubuh.” (Az-Zuhud, Imam Ahmad)
Fatimah Rahimahullah berkata,
“Umar telah mengabdikan jiwa dan raganya untuk kepentingan manusia. Dia duduk untuk mereka di siang harinya, jika datang waktu sore dia masih melanjutkan tugasnya dalam memenuhi kebutuhan manusia sampai malam. Pada suatu sore dia sudah selesai dari tugas-tugasnya di siang hari, lalu dia mengambil lampu yang minyaknya diambil dari uangnya sendiri, kemudian berdiri dan shalat dua rakaat, kemudian dia merunduk dan meletakkan kepalanya di antara kedua tangannya, air matanya menetes di atas pipinya dan menangis tersedu-sedu. Demikianlah keadaannya pada malam itu sampai datang waktu subuh. Sedangkan pagi harinya dia berpuasa.” (Sirah Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Al-Jau
“Umar telah mengabdikan jiwa dan raganya untuk kepentingan manusia. Dia duduk untuk mereka di siang harinya, jika datang waktu sore dia masih melanjutkan tugasnya dalam memenuhi kebutuhan manusia sampai malam. Pada suatu sore dia sudah selesai dari tugas-tugasnya di siang hari, lalu dia mengambil lampu yang minyaknya diambil dari uangnya sendiri, kemudian berdiri dan shalat dua rakaat, kemudian dia merunduk dan meletakkan kepalanya di antara kedua tangannya, air matanya menetes di atas pipinya dan menangis tersedu-sedu. Demikianlah keadaannya pada malam itu sampai datang waktu subuh. Sedangkan pagi harinya dia berpuasa.” (Sirah Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Al-Jau
Pada suatu malam, Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah bangun
untuk shalat malam, lalu membaca firman Allah, “Wa al-laili izaa yaghsyaa”
(QS. Al-Lail), sampai pada firman Allah, “Fa andzartukum naaran
taladzdzaa“, dia menangis sehingga tidak mampu melanjutkan ayat selanjutnya
surat itu, dua atau tiga kali, sampai kemudian beliau membaca surat lainnya. (At-takwiif
min An-Naar, Ibnu Rajab)
Kisah yang lain,
Hikmah 6 :Kekhawatiranya pada hari Akhir
Umar bin Abdul Azis tertarik waktu hamba sahaya itu
bercerita.
“Ya, Amirul Mukminin. Semalam saya bermimpi kita sudah
tiba di hari kiamat. Semua manusia dibangkitkan Allah, lalu dihisab. Saya juga
melihat jembatan shiratal mustaqim.”
Umar bin Abdul Azis mendengarkan dengan seksama. “Lalu
apa yang engkau lihat?” tanyanya.
“Hamba melihat satu per satu manusia diperintahkan
berjalan melewati jembatan shiratal mustaqim. Penguasa Bani Umaiyah, Abdul
Malik bin Marwan, hamba lihat ada di antara orang yang pertama kali dihisab. la
berjalan melewati jembatan shiratal mustaqim. Tapi, baru dua langkah, dia sudah
jatuh ke dalam jurang neraka. Saat ia jatuh, tubuhnya tak terlihat lagi. Hamba
hanya mendengar suaranya. la terdengar menangis dan memohon ampun kepada
Allah,” jawab hamba sahaya itu.
Umar bin Abdul Azis tertegun mendengar cerita itu.
Hatinya gelisah.
“Lalu bagaimana?” ia bertanya dengan gundah.
“Setelah itu giliran putranya, Walid bin Abdul Malik
bin Marwan. Ia juga terpeleset dan masuk ke dalam jurang neraka. Lalu tiba
giliran para khalifah yang lain. Saya melihat, satu per satu mereka pun jatuh.
Sehingga tidak ada yang sanggup melewati jembatan shiratal mustaqim itu,” kata
sang hamba sahaya.
Umar bin Abdul Azis tercekat karena merasakan takut
dan khawatir dalam dadanya. Sebab, ia juga seorang khalifah. la sadar, menjaga
amanah kepemimpinan dan kekuasaan itu sangat berat. Dan ia pun yakin, setiap pemimpin
harus bisa mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Tidak ada seorang pun yang
akan lolos dari hitungan Allah.
Jantung Umar seketika berdegub kencang. Nafasnya
memburu. Ia cemas, jangan-jangan nasibnya akan sama dengan para pemimpin lain
yang dikisahkan hamba sahaya itu. Karena cemas dan takut, Umar bin Abdul Azis
meneteskan air mata. Ia menangis.
“Ya Allah, apakah aku akan bernasib sama dengan
mereka yang dilihat hamba sahaya ini di dalam mimpinya? Apakah aku telah
berlaku tidak adil selama memimpin? Pantaskah aku merasakan surgaMu, ya Allah?”
bisik Umar bin Abdul Azis di dalam hati. Air matanya kian deras mengalir.
“Lalu tibalah giliran Anda, Amirul Mukminin,” kata
hamba sahaya itu.
Ucapan hamba sahaya itu menambah deras air mata Umar
bin Abdul Azis. Umar kian cemas. Kecemasan Umar membuat tubuhnya gemetaran. Ia
menggigil ketakutan. Wajahnya pucat. Matanya menatap nanar ke satu sudut
ruangan.
Saat itu, Umar bin Abdul Azis mengingat dengan jelas
peringatan Allah SWT, “Ingatlah pada hari mereka diseret ke neraka atas muka
mereka. Dikatakan kepada mereka : Rasakanlah sentuhan api neraka.”
Hamba sahaya itu justru kaget melihat reaksi khalifah
Umar bin Abdul Azis yang luar biasa. Dalam hati, ia merasa serba salah. Sebab,
ia sama sekali tidak punya maksud untuk menakut-nakuti khalifah. Ia sekadar
menceritakan mimpi yang dialaminya.
Melihat kepanikan khalifah, hamba sahaya itu lalu
berusaha menenangkan Umar bin Abdul Azis. Namun, Umar bin Abdul Azis belum bisa
tenang. Maka, hamba sahaya itu pun meneruskan ceritanya dengan berkata, “Wahai
Amirul Mukminin, demi Allah, aku melihat engkau berhasil melewati jembatan itu.
Engkau sampai di surga dengan selamat!”
Mendengar itu, Umar bin Abdul Azis bukan tersenyum
apalagi tertawa. Ia diam. Cukup lama Umar tertegun. Cerita itu benar-benar
membuatnya berpikir dan merenung.
Ada hikmah yang lalu dipetik Umar dari cerita itu. Dan
sejak itu, ia menanamkan tekad untuk lebih berhati-hati dalam amanah kekuasaan.
Itu adalah amanah Allah yang sangat berat.
Hikmah 7 : Mau mengambil pelajaran &diingatkan
oleh orang yang lebih muda
Ketika Umar bin Abdul Aziz selesai menguburkan
sepupunya, Sulaiman bin Abdul Malik (Amirul Mukminin yang menjabat sebelum
dirinya), dia masuk ke kamar tidurnya untuk beristirahat sebentar. Akan tetapi
dia mendengar suara ketukan pintu. Setelah dia tahu bahwa anaknya, AbdulMalik,
meminta izin untuk masuk, maka ia mengizinkannya. Sesudah mengucapkan salam si
anak berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang ingin kau kerjakan?”
“Aku akan tidur sebentar,” kata Umar
“Engkau tidur siang dan tidak mencegah kezaliman dari pelakunya,” kata anak itu.
“Engkau tidur siang dan tidak mencegah kezaliman dari pelakunya,” kata anak itu.
“Wahai anakkku, sesungguhnya aku berjaga tadi malam
untuk mengurus pamanmu Sulaiman, setelah aku shalat Zhuhur nanti aku akan
kembali mencegah kezaliman dari pelakunya,” kata Umar.
Si anak kemudian berkata kepada bapaknya, “Saya tidak
tahu pasti apakah engkau tetap hidup sampai Zhuhur nanti, berdirilah sekarang
wahai amirul mukminin, tolaklah kezaliman dari pelakunya pertama kali.”
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Mendekatlah kepadaku
wahai anakku.”
Si anak lalu mendekat, Umar kemudian mencium keningnya
seraya berkata, “Segala puji milik Allah yang telah menjadikan dari tulang
sulbiku orang yang membantuku dalam urusan agamaku.”
Kekuasaan Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya berusia
tiga puluh bulan, tetapi kekuasaannya yang singkat itu bagi Allah Ta’ala
bernilai lebih dari tiga puluh abad. Beliau meninggalkan dunia fana ini dalam
usia muda, yakni pada usia empat puluh tahun.
Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekuasaan pemerintahan di Portugal dan Spanyol berada di bawah kekuasaannya.
Pada zaman pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, pasukan kaum muslimin sudah mencapai pintu kota Paris di sebelah barat dan negeri Cina di sebelah timur. Pada waktu itu kekuasaan pemerintahan di Portugal dan Spanyol berada di bawah kekuasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar