Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Jumat, 17 Agustus 2012

Istiqamah di Atas Tauhid


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah.” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Jangan kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu
memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh pula di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan bagimu dari Yang Maha Pengampun dan lagi Maha penyayang.” (QS. Fushilat : 30-32)
Makna lafadh:
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah.” Kemudian mereka istiqamah.
Maksudnya adalah mereka berkata bahwa Allah adalah Rabb dan sembahan kami. Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Dia. Mereka mengatakan hal itu dengan terang-terangan dan didasari dengan keimanan.
Selain itu mereka tetap kokoh tegar dan istiqamah di atas apa yang diucapkan. Mereka tidak mengganti, merubah dan meninggalkan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka melakukan segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Demikian Syaikh Abu Bakr Al Jazairi menerangkan dalam Aisarut Tafasir 4/575.
Ada beberapa penafsiran para shahabat dan tabi’in tentang makna istiqamah dalam ayat tersebut:
a.
Abu Bakr Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Mereka tidak mempersekutukan Allah sedikit pun dan tidak berpaling kepada selain Allah. Mereka istiqamah di atas keyakinan bahwa Allah adalah Rabb mereka.”
b.
Ibnu Abbas Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Mereka istiqamah di atas persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali Allah.”
c.
Umar bin Al Khathab Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Mereka istiqamah dengan taat kepada Allah dan tidak menyimpang sebagaimana menyimpangnya serigala.”
d.
Ali Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Mereka istiqamah dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan.”
e.
Mujahid dan Ibrahim An Nakha’i Rahimahumallah berkata: “Mereka mengucapkan La ilaha illallah dengan tidak berbuat syirik setelahnya hingga berjumpa dengan Allah.”
f.
Abul Aliah berkata: “Mereka berkata (Rabb kami adalah Allah) kemudian mengikhlaskan agama dan amalannya untuk Allah.”
g.
Qatadah berkata: “Mereka istiqamah di atas ketaatan kepada Allah.”
Demikianlah beberapa penafsiran yang disebutkan oleh sebagian ahli tafsir antara lain Imam Al Qurthubi, Imam Asy Syaukani dan Imam Ibnu Rajab Al Hanbali yang dinukil dalam Kitab Jami’ul Ulum wal Hikam.
Imam Al Qurthubi setelah menyebutkan beberapa penafsiran di atas mengatakan:
Pendapat-pendapat ini antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi tetapi intinya adalah mereka konsekuen di atas ketaatan kepada Allah, baik dalam segi aqidah, ucapan maupun perbuatan mereka. Mereka istiqamah di atas semua itu.
Para malaikat turun kepada mereka.
Yaitu para malaikat yang mulia yang terus-menerus turun kepada mereka. Mereka memberi kabar gembira kepada kaum Mukminin menjelang sakaratul maut. (Taisir Karimir Rahman 6/573)
(Para malaikat berkata): “Jangan kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih.”
Maknanya adalah:
Jangan kalian takut terhadap perkara akhirat yang akan kalian hadapi dan jangan bersedih atas urusan duniawi yang kalian tinggalkan, baik menyangkut anak, keluarga dan harta atau utang-piutang. Kamilah yang akan menjamin semua perkara itu.
Demikian perkataan beberapa ahli tafsir antara lain Mujahid, Ikrimah dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir 4/99)
Seorang Mukmin ketika mendengar kabar gembira tersebut dia akan senang dan sangat cinta untuk berjumpa dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa cinta berjumpa dengan Allah maka Allah cinta berjumpa dengan dia. Dan barangsiapa benci berjumpa dengan Allah maka Allah benci berjumpa dengan dia.” Aisyah bertanya (atau sebagian istri Nabi): “Bukankah kita benci kepada maut?” (Nabi) menjawab: “Bukan demikian maksudnya! Akan tetapi seorang Mukmin ketika maut menjemputnya dia diberi kabar gembira dengan keridlaan Allah dan kemuliaan yang Allah berikan. Maka tidak ada sesuatu yang paling dia cintai dibandingkan dengan apa yang ada di hadapannya (yakni apa yang dia hadapi setelah kematian, pent.). Dia cinta berjumpa dengan Allah dan Allah pun cinta berjumpa dengan dia. Adapun orang kafir ketika sakaratul maut diancam dengan adzab Allah dan siksa-Nya. Maka tidak ada sesuatu yang paling dia benci dibandingkan apa yang ada di hadapannya. Dia benci berjumpa dengan Allah. Allah juga benci berjumpa dengan dia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasai dari Aisyah Radliyallahu ‘Anha)
Kami adalah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat.
Imam Ismail bin Katsir Rahimahullah menerangkan maknanya adalah bahwa ketika sakaratul maut para malaikat berkata kepada orang-orang Mukmin: “Kamilah wali-wali kalian yang menyertai kalian di dunia ini. Kami menemani kalian di dalam kengerian alam kubur dan kedahsyatan ketika sangkakala hari kiamat ditiup. Kami menjaga keamanan kalian ketika hari kebangkitan pada hari kiamat. Dan kami akan menjalankan kalian di atas shiratal mustaqim hingga sampai ke surga yang penuh kenikmatan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Bagi kalian di dalamnya apa yang kalian inginkan dan kalian minta.
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah berkata:
Maknanya adalah bagi kalian apa yang kalian minta dari setiap apa yang kalian inginkan dan dari berbagai macam kelezatan dan kesenangan yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terbetik dalam hati. (Tafsir Al Karimir Rahman 6/574)
Sebagai hidangan dari Yang Maha Pengampun dan Yang Maha Penyayang.
Maknanya adalah balasan yang berlipat ganda dan kenikmatan yang terus-menerus merupakan rizki yang dipersiapkan untuk kalian dan rezki ini termasuk karunia Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasan Ayat
Allah menerangkan keadaan orang-orang kafir pada ayat-ayat sebelumnya (Fushilat 25-29). Mereka adalah orang-orang yang merugi dan akan merasakan adzab yang sangat pedih akibat keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah. Keadaan orang-orang kafir tersebut merupakan keadaan yang paling jelek di akhirat nanti.
Lain halnya dengan keadaan kaum Muslimin yang Allah terangkan pada ayat-ayat sesudahnya (Fushilat 30-32). Keadaan mereka adalah yang terbaik. Tempat kembali mereka merupakan tempat yang terindah yaitu surga yang penuh kenikmatan.
Hal itu mereka dapatkan tidak lain karena mereka mengatakan: “Rabb kami adalah Allah. Tidak ada sesembahan yang haq (benar) melainkan Allah.”
Mereka tetap istiqamah di atas apa yang mereka ucapkan. Tidak mempersekutukan Allah dengan sesembahan lainnya sedikit pun ketika beribadah kepada-Nya. Mereka benar-benar memurnikan ibadah, agama, hidup dan mati mereka semata-mata untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu mereka tetap istiqamah dalam meniti jalan atau petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan tidak menyimpang sedikit pun kepada jalan-jalan yang menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para shahabatnya.
Oleh karena itu ketika menjelang wafat, para malaikat turun memberi kabar gembira: “Kalian jangan takut terhadap perkara-perkara yang akan kalian hadapi, baik di alam barzakh atau alam kubur. Kalian jangan bersedih hati karena meninggalkan anak, keluarga dan harta harta kalian.”
Para malaikat juga memberi kabar gembira dengan hilangnya kesengsaraan mereka dan datangnya kebaikan untuk mereka: “Kamilah yang akan menjaga kalian dengan perintah Allah ketika di alam dunia. Dan kami tetap akan menyertai kalian hingga kalian memasuki surga.”
Selain itu para malaikat juga mengatakan: “Bagi kalian di dalam surga apa yang diinginkan oleh setiap jiwa, apa yang enak dipandang oleh mata dan bahkan tidak pernah terbetik di hati manusia sedikit pun. Kemuliaan dan kenikmatan tersebut adalah jaminan dan pemberian dari Dzat Yang Maha Mengampuni dosa-dosa kalian. Dialah Allah yang mengampuni dan menutupi dosa hamba-Nya. Kemudian merahmati hamba-hambanya dengan berbagai macam kenikmatan.”
Istiqamah di Atas Kemurnian Tauhid
Kalau kita melihat realita yang ada di negeri kita, mayoritas kaum Muslimin telah digerogoti oleh penyakit syirik tanpa mereka sadari. Aqidah mereka sedikit demi sedikit terkikis dengan perbuatan-perbuatan syirik yang mereka lakukan. Di antara mereka ada yang berdoa di makam-makam, minta kepada wali-wali yang telah meninggal, minta kepada dukun-dukun, mempercayai barang-barang mistik, keris pusaka, pedang pusaka, susuk konde dan berbagai keyakinan-keyakinan syirik lainnya.
Pada kenyataan lain terdapat sejumlah orang yang pada awalnya Muslim. Tetapi karena keimanan yang tipis dan penderitaan duniawi (kemiskinan) yang dialaminya mengakibatkan mereka dengan mudahnya menjual aqidah mereka dengan sebungkus mie dan selembar pakaian.
Dari kenyataan tersebut mestinya kita senantiasa mengkhawatirkan diri dan keluarga kita. Apakah kita sanggup untuk tetap istiqamah di atas Islam dan di atas aqidah yang murni hingga maut menjemput kita? Ataukah --na’udzubillah-- kita termasuk orang-orang yang merugi di dunia maupun di akhirat? Allah abadikan dalam Al Quran kisah bapak para Nabi yakni Ibrahim Alaihis Salam.
Beliau mengkhawatirkan dirinya dan anak keturunannya dari peribadatan kepada selain Allah atau perbuatan syirik:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Maka barangsiapa mengikutiku maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku dan barangsiapa yang mendurhakai aku maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrahim : 35-36)
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan menyatakan --setelah menyebutkan ayat tersebut--:
Apabila manusia telah mengetahui bahwa kebanyakan manusia terjerumus dalam syirik akbar dan tersesat karena menyembah berhala tentunya hal itu menyebabkan dia takut jangan sampai terjerumus seperti halnya kebanyakan manusia dalam kesyirikan yang tidak diampuni oleh Allah.
Ibrahim At Taimi berkata:
Siapakah yang merasa aman dari bala’ (terjerumus dalam kesyirikan, pent.) setelah Ibrahim? Tiada yang merasa aman dari terjerumus dalam kesyirikan kecuali orang yang tidak mengerti makna syirik dan tidak mengetahui perkara-perkara yang dapat membebaskan dia dari kesyirikan yakni mengenal Allah dan perintah Allah terhadap Rasul-Nya berupa kewajiban untuk bertauhid dan larangan berbuat syirik. (Fathul Majid halaman 93)
Oleh karena itu Ibrahim Alaihis Salam mendapatkan pujian dari Allah karena keistiqamahan beliau di atas agama tauhid meskipun dia hidup di tengah-tengah manusia yang ketika itu semuanya kafir atau musyrik. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang Imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. Dia mensyukuri nikmat-nikmat Allah …” (QS. An Nahl : 120-121)
Demikian halnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengkhawatirkan umatnya jangan sampai terjerumus dalam perbuatan syirik hingga syirik yang paling kecil sekali pun yaitu riya’:
Dari Mahmud bin Labid Radliyallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirkul ashgar (syirik kecil).” Para shahabat bertanya: “Apakah syirik ashgar itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada hari kiamat ketika membalas amal-amal manusia: ‘Pergilah kepada orang-orang yang kalian berbuat riya’ kepada mereka ketika di dunia! Lihatlah! Apakah kalian mendapatkan balasan di sisi mereka?’” (HR. Ahmad dan At Thabrani, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As Shahihah nomor 591 dan Shahih Al Jami’ nomor 1551. Lihat Fathul Majid halaman 94)
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Syirik itu lebih tersembunyi dari langkah semut.” Abu Bakar bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah syirik itu tidak lain beribadah kepada selain Allah atau mempersekutukan Allah ketika berdoa?” Rasulullah berkata: “Apakah ibumu telah kehilangan engkau (yakni kalimat hardikan)? Syirik itu bagi kalian lebih tersembunyi daripada langkah semut.” (HR. Bukhari nomor 4293)
Begitu khawatirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap para shahabatnya. Padahal mereka Radliyallahu ‘Anhum adalah orang-orang terbaik dari umat beliau. Tentunya hal itu menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk lebih mawas diri dari segala bentuk kesyirikan. Jangan menganggap remeh perkara syirik. Meskipun syirik kecil diperselisihkan oleh para ulama apakah termasuk dosa yang diampuni Allah atau tidak yang jelas kita wajib berhati-hati dari kesyirikan secara mutlak dan mengingat firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi yang dikehendaki-Nya ….” (QS. An Nisa : 48, 116)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa menjumpai Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah sedikit pun, dia akan masuk surga. Dan barangsiapa menjumpai-Nya dalam keadaan mempersekutukan-Nya dengan sesuatu, dia akan masuk neraka.” (HR. Muslim nomor 152 dari Jabir Radliyallahu ‘Anhu)
Penutup
Dari uraian di atas maka dapat diambil beberapa faidah:
a.
Keutamaan iman dan istiqamah di atas keimanan dengan menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan.
b.
Kabar gembira berupa surga bagi Ahli Iman dan istiqamah menjelang wafatnya.
c.
Kabar gembira tersebut hanya didapatkan oleh orang-orang yang membersihkan tauhidnya dari noda-noda syirik dan tetap menjaga kemurnian tauhidnya hingga berjumpa dengan Allah.
d.
Di dalam surga terdapat segala yang diingini oleh setiap jiwa dan segala kenikmatan yang belum pernah dilihat dengan mata, didengar oleh telinga dan terbetik di hati.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Hanif maknanya meninggalkan kesyirikan dan bertauhid kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/719)
Oleh: Azhari Asri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar