Prinsip Islam dalam Berhubungan dengan Pemerintah
إن الحمدلله نحمده ونستعينه ونستغفره
ونعوذبالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل
فلا هادي له.
وأشهد أن لاإله إلا الله وحده لاشريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
وأشهد أن لاإله إلا الله وحده لاشريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
أما بعد :
فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد j وشر الأمورمحدثاتُها
وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد j وشر الأمورمحدثاتُها
وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار
Ketahuilah,
semoga Allah memberi hidayah kita semua ke jalan yang benar, bahwa prinsip
mendasar lagi agung yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dalam beragama adalah kembali kepada bimbingan Allah ta’ala
dan bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta memahaminya dengan
pemahaman generasi terbaik umat ini dari kalangan para Shahabat, para tabi’in,
dan tabi’ut tabi’in baik itu dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalah,
dan semua aspek kehidupan, duniawiyah ataupun ukhrowiyah. Prinsip inilah yang
menghantarkan umat manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat yang dengannya
pula umat manusia akan selamat dari penyimpangan aqidah dan dekadensi
(kerusakan) akhlaq.
Banyak
sekali ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah yang shahih serta
ucapan-ucapan para ulama yang menjelaskan prinsip di atas. Berikut ini akan
kami paparkan prinsip di atas agar kita semua kaum muslimin memahami dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Perlu diingat, bahwa prinsip ini
berlaku untuk segenap kaum muslimin dari golongan mana pun, kelompok manapun,
baik dia sebagai pemerintah maupun rakyat jelata, kapan pun dan di mana pun dia
berada.
Pasal 1
Kewajiban kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dalam beragama
Berikut ini ayat-ayat yang menjelaskan masalah di atas:
Allah berfirman (artinya): “Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabbmu; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am: 106)
Kewajiban kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah dalam beragama
Berikut ini ayat-ayat yang menjelaskan masalah di atas:
Allah berfirman (artinya): “Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu dari Rabbmu; tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al An’am: 106)
Dan
Firman-Nya pula: “Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang
lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain),
Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu
diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am: 153)
Dan
Firman-Nya pula: “Dan Al-Quran itu adalah Kitab yang kami turunkan yang
diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al
An’am: 155)
Dan
Firman-Nya pula: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan
janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu
mengambil pelajaran (daripadanya).” (QS. Al A’raaf: 3)
Dan
Firman-Nya pula: “Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya Aku adalah utusan Allah
kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada
Rabb (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada
Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya
kamu mendapat petunjuk.” (QS. Al A’raaf : 158)
Dan
Firman-Nya pula: “Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah
hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (QS.
Yunus :158)
Dan
Firman-Nya pula: “Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” (QS. Al Ahzaab: 2)
Dan
Firman-Nya pula: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya.” (QS.Az Zumar: 55)
Dan
Firman-Nya pula: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah
kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al Jatsiyah: 18)
Dalam ayat
yang lainnya Allah ta’ala menjadikan sikap mengikuti Rasulullah sebagai bukti
kecintaan seseorang kepada-Nya dan sebagai sebab mendapatkan maghfiroh
(ampunan) dari-Nya, Allah ta’ala menyatakan: “Katakanlah: Jika kalian
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan
mengampuni dosa-dosa kalian. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali
Imran : 31)
Di ayat yang
lain Allah ta’ala memerintahkan segenap kaum muslimin untuk kembali kepada
bimbingan Allah ta’ala dan Rasulullah di saat terjadi perselisihan dan
perbedaan pemahaman di kalangan mereka dalam semua perkara kehidupan mereka,
dan ini sebagai bukti keimanan kepada Allah ta’ala dan hari akhir serta sebagai
solusi terbaik di masa sekarang dan akan datang. Allah ta’ala berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya, dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisaa’ : 59)
Inilah sikap
dan prinsip yang harus ditunjukkan oleh setiap muslim yakni mendengar dan
menta’ati bimbingan Allah dan Rasulullah, Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya
jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar
Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan
kami patuh”. Daan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. An-Nuur : 51)
Allah ta’ala
juga berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan
barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya. Maka sungguhlah dia telah sesat
dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al Ahzab : 36)
Ayat yang
paling jelas dan gamblang menjelaskan prinsip ini adalah firman Allah ta’ala:
“Apa-apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al Hasyr : 7)
Ayat di atas
diuraikan dengan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam
مَانَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ
Artinya:
“Apa saja yang aku melarang kalian daripadanya maka jauhilah dan apa saja yang
aku memerintahkan kepada kalian untuk melaksanakannya maka kerjakanlah semampu
kalian.” (HR. Bukhary 13/251 – Fath dan Muslim 1337 dari Abu Huroiroh
radliallahu anhu)
Dan masih
banyak lagi ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas dan tegas memerintahkan kaum
muslimin untuk mengikuti bimbingan Al Qur’an dan Sunnah (ajaran) Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa salam, menjadikan keduanya sebagai ideologi dan barometer
dalam menjalani kehidupan dunia menuju alam akhirat yang kekal abadi.
Belum lagi
ayat-ayat yang mewajibkan kaum muslimin untuk meta’ati Allah dan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa salam yang itu merupakan bukti kejujuran seseorang dalam
berupaya kembali dan mengikuti bimbingan Allah ta’ala dan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa salam. Ayat yang berbicara tentang masalah ini, jumlahnya tidak
hanya satu, dua ayat namun puluhan, bahkan Al Imam Abu Bakr Muhammad bin Al
Husein Al Ajurry yang wafat tahun 360 H. salah satu seorang imam besar madzhab
Syafi’iyah pada zamannya menyebutkan ayat tentang masalah ini mencapai lebih
dari 30 ayat di dalam Al Qur’an, periksa kitab Beliau ” Asy Syari’ah ” halaman
395 cetakan Darul Bashiroh Iskandariyah Mesir tanpa tahun
Ini semua
menunjukkan dengan gamblang bahwa masalah ini adalah prinsip mendasar yang
harus diyakini dan diamalkan oleh setiap muslim, adapun Hadits-hadits
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam yang menjelaskan kewajiban kembali
kepada bimbingan Allah ta’ala dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam
sangatlah banyak. Berikut ini akan kita bawakan beberapa di antaranya agar kita
semua semakin yakin dan mantap akan kebenaran prinsip ini.
Dari Abu
Huroiroh, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
كُلُّ أُمَّتِيْ يَدْخُلُوْنَ
الجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبَى قَالُوْا: وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِيْ
دَخَلَ الجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِيْ فَقَدْ أَبَى
“Semua
umatku akan masuk surga kecuali yang enggan, para Shahabat bertanya : ‘Siapakah
gerangan yang enggan itu ?’ jawab Beliau, orang yang ta’at kepadaku dia masuk
surga dan yang durhaka kepadaku maka sungguh dialah orang yang enggan itu.”
(HR. Bukhary 7280)
Dari Abu
Huroiroh radliallahu’anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ
تُضلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِي
“Aku
tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian
berpegang dengannya. Yaitu Kitabullah dan Sunnahku.” (HR. Al Hakim 1/93 dan
Beliau menshahihkannya) Hadits ini memiliki banyak penguat.
Dari Irbadl
bin Sariyah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ المَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا
عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ
“Barangsiapa
di antara kalian yang hidup nanti maka dia akan menyaksikan perselisihan yang
banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah
Khulafaur Rasyidin yang terbimbing sepeninggalku, pegangilah sunnahku dan
gigitlah dengan geraham-geraham kalian.” (HR. Abu Dawud 4607, At Tirmidzy 2676,
Ibnu Majah 440 dan Ahmad 4/126 dengan sanad yang shahih)
Dan masih
banyak lagi hadits yang menjelaskan prinsip mulia nan agung ini, wallahul
muwaffiq.
Untuk
melengkapi pembahasan ini dan semakin menjelaskan prinsip ini akan kita bawakan
penjelasan ulama-ulama besar pada masa Shahabat dan generasi yang setelahnya
yang semuanya mewajibkan kaum muslimin berpengang teguh dengan prinsip yang
mulia ini, di antaranya :
Ubay bin
Ka’ab a berkata, ” Ikutilah oleh kalian sunnah Rasulullah dan janganlah kalian
membikin kebid’ahan…..”
(Riwayat Muhammad bin Nasher Al Marwazy dalam As Sunnah (28) dan Ibnu Wadldloh dalam Al Bida’ (17)
(Riwayat Muhammad bin Nasher Al Marwazy dalam As Sunnah (28) dan Ibnu Wadldloh dalam Al Bida’ (17)
Az Zuhry
berkata, “Berpegang teguh dengan sunnah adalah keselamatan” (riwayat Al
Lalikaiy 15)
Abul Aliyah
berkata, “Wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnah nabi kalian dan apa
yang dijalani oleh para Shahabat “. (riwayat Abdur Rozzaq dalam Al Mushonnaf
20758, Al Marwazy dalam Sunnah 8 dan Lalikaiy 17)
Al Auza’iy
berkata, “Kita berjalan bersama dengan Sunnah kemanapun dia berjalan.” (riwayat
Al Lalikaiy 47)
PASAL II
ANCAMAN KERAS BAGI SIAPA SAJA YANG MENENTANG DAN MENYELISIHI SUNNAH
RASULULLAH Shalallahu ‘alaihi wa salam
Di antara
argumentasi yang tegas dan akurat untuk menunjukkan kewajiban kembali kepada
bimbingan Allah dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam adalah adanya
larangan dan ancaman keras bagi siapa saja yang berani menentang dan
menyelisihi prinsip yang mulia ini. Ada beberapa ayat dan hadits yang
menjelaskan permasalahan ini, berikut ini penjabarannya.
Allah ta’ala
berfirman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS. An Nuur 63)
Kalimat
(perintahNya) dalam ayat di atas ada sebagian ahli tafsir yang mengatakan :
‘Yang dimaksud adalah perintah Nabi dan adalagi yang mengatakan perintah Allah
, kedua pendapat ini tidak bertentangan sebab yang memerintah pada hakikatnya
adalah Allah ta’ala sementara Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam sebagai
muballigh-Nya.
Dalam ayat
yang mulia di atas Allah mengancam siapa saja yang menyelisihi perintahNya atau
perintah RasulNya atau perintah keduaNya dengan dua jenis hukuman yang keras,
yang satu hukuman dunia dan yang lainnya adalah hukuman akhirat :
1. Ditimpa
fitnah di dunia
- Para ulama menjelaskan maksud fitnah dalam ayat ini dengan uraian yang beragam :
Fitnah adalah pembunuhan
Fitnah adalah Gempa
Fitnah adalah berkuasanya penguasa bengis dan kejam memimpin rakyat
Fitnah adalah hati mereka akan tertutup dari kebenaran
- Para ulama menjelaskan maksud fitnah dalam ayat ini dengan uraian yang beragam :
Fitnah adalah pembunuhan
Fitnah adalah Gempa
Fitnah adalah berkuasanya penguasa bengis dan kejam memimpin rakyat
Fitnah adalah hati mereka akan tertutup dari kebenaran
Semua makna
di atas bisa dipakai untuk menjelaskan maksud fitnah sebab lafal fitnah pada
ayat di atas bersifat umum.
- Dengan
penafsiran di atas jelas menunjukkan bahwa di antara akibat menentang sunnah
adalah maraknya pembunuhan dengan berbagai macam modus, seringnya terjadi
bencana alam seperti gempa, banjir, longsor, tsunami dan lain sebagainya.
Masyarakat menjadi buta mata hatinya tanpa melihat lagi sisi kebenarannya
secara syar’i dan juga Allah akan menguasakan atas mereka para
pemimpin-pemimpin yang jahat, sadis, kejam, bengis, tidak ada rasa kasih pada
rakyatnya dan segala macam perangai jahat seorang penguasa.
- Sungguh
sangat mengerikan hukuman duniawi ini sebagai akibat dari perbuatan menentang
sunnah Rasulullah apalagi hukuman di akhirat nanti.
2. Ditimpa
adzab yang pedih di akhirat.
Ini semua menujukkan kewajiban kembali kepada sunnah Rasulullah dan keharaman menyelisihi dan menentangnya.
- Lihat uraian tentang ayat di atas dalam tafsir Fathul Qodir karya Imam Asy Syaukany 4/79 cetakan 2 Darul Wafa’ Al Manshuroh Mesir Th. 1997 M.
- Allah juga berfirman: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An Nisaa’ : 115)
Ini semua menujukkan kewajiban kembali kepada sunnah Rasulullah dan keharaman menyelisihi dan menentangnya.
- Lihat uraian tentang ayat di atas dalam tafsir Fathul Qodir karya Imam Asy Syaukany 4/79 cetakan 2 Darul Wafa’ Al Manshuroh Mesir Th. 1997 M.
- Allah juga berfirman: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An Nisaa’ : 115)
Dalam ayat
yang mulia ini ada ancaman yang tegas bagi orang-orang yang menentang
Rasulullah setelah dia tahu bahwa apa yang Beliau bawa adalah al Haq, ada dua
ancaman dalam ayat ini :
Di dunia, yaitu Allah akan menyimpangkan dia kemana saja yang dia inginkan oleh selera hawa nafsunya.v
Di akhirat, yaitu Allah akan memasukkan dia kedalam neraka Jahannamv sebagai tempat kembalinya yang sangat hina dina dan mengerikan. Wallahul Musta’an
Di dunia, yaitu Allah akan menyimpangkan dia kemana saja yang dia inginkan oleh selera hawa nafsunya.v
Di akhirat, yaitu Allah akan memasukkan dia kedalam neraka Jahannamv sebagai tempat kembalinya yang sangat hina dina dan mengerikan. Wallahul Musta’an
- Allah
berfirman: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu Hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An
Nisaa’ : 65)
Ayat yang
mulia ini juga secara tegas menunjukkan bahwa Allah meniadakan keimanan dari
seseorang hingga dia menjadikan Rasulullah sebagai Hakim yang memutuskan semua
permasalahannya, lalu dia patuh, tunduk dan menerima keputusan Beliau dengan
lapang dada dan penuh suka cita.
Maka siapa saja
yang tidak memiliki prinsip di atas maka dia akan terancam keimanannya, bisa
berkurang atau bahkan bisa pupus tergantung dari tingkatan penentangan dia
terhadap sunnah Rasulullah. Wallahul Musta’an
Begitu pula
dalam hadits-hadits yang shahih banyak terdapat ancaman dan hukuman bagi para
penentang dan yang menyimpang dari prinsip agama yang mulia ini. Penjelasan
para ulama di setiap generasi dari mulai masa shahabat sampai masa para imam
besar semisal, Imam Malik, Asy Syafi’ie, Ahmad dan lain-lain. Juga sama dengan
yang dijelaskan dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Ringkas kata
Al Imam Al Lalikaiy Hibatullah bin Al Hasan (wafat th. 418) dalam karya
besarnya Sarah Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Juz I/22 cetakan Dar
Thoyyibah tanpa tahun menyatakan : “…. Maka kami tidak mendapat dalam
Kitabullah, Sunnah Rasulullah dan penjelasan para Shahabat melainkan ajakan
(anjuran) untuk ittiba’ (mengikuti sunnah) dan larangan memberat-beratkan diri
dan kebid’ahan…”
PASAL III
KEHARUSAN KEMBALI KEPADA PEMAHAMAN GENERASI TERBAIK UMAT INI
Ketahuilah!
Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua bahwa Al Qur’an dan Sunnah tidak
boleh dipahami sesuai selera hawa nafsu kita atau kepentingan, perasaan dan
adat istiadat kita. Al Qur’an dan Sunnah haruslah dipahami dengan pemahaman
orang yang tahu seluk beluk keduanya, dan mereka adalah generasi terbaik umat
ini dari kalangan para shahabat, para tabi’in dan atba’ut tabi’in serta para
imam besar yang diakui keilmuannya oleh kaum muslimin yang sejalan dengan
langkah yang ditempuh oleh para pendahulunya.
Banyak dalil
yang menjelaskan tentang keharaman berbicara dalam perkara agama tanpa ilmu, di
antaranya adalah firman Allah: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawabannya.” (QS. Al Israa’ :
36)
Allah juga
berfirman, menjelaskan tentang hal-hal yang diharamkannya dimulai yang paling
ringan dosanya dan diakhiri dengan yang paling berat: “Katakanlah: “Tuhanku
hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui.” (QS. Al A’raaf : 33)
Dalam ayat
ini Allah jadikan tindakan berbicara atas nama Allah tanpa dasar ilmu sebagai
dosa diurutkan terakhir yang itu menunjukkan bahwa tindakan tersebut adalah
dosa terberat, bahkan dalam ayat di atas tindakan tersebut disebutkan setelah
dosa kesyirikan kepada Allah. Dengan dasar ayat ini para ulama menyatakan bahwa
berbicara tentang agama tanpa ilmu dosanya lebih besar daripada kesyirikan dari
sisi kalau kesyirikan pada umumnya hanya berhubungan dengan pelakunya saja,
sedangkan berbicara tanpa ilmu dampaknya meluas mengenai segenap kaum muslimin
yang terpengaruh dengannya.
Oleh karena
itu, berbicara tentang agama ini, memahami ayat dan hadits Rasulullah haruslah
diserahkan kepada ahlinya yang mengerti betul maksudnya, dan mereka itu adalah
generasi terbaik umat ini! Berikut ini argument yang kuat yang mengharuskan
kita meruju’ kepada pemahaman mereka:
1. Mereka
adalah generasi yang disanjung dan dipuji oleh Allah dan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa salam, Allah berfirman: ” Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka Surga - Surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya.
Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah : 100)
2. Mereka
itulah generasi pertama yang dimaksud dengan “sebaik-baik umat” adapun yang
setelah mereka maka akan mendapat predikat ini bila sejalan dengan mereka,
Allah berfirman: “Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
3. Mereka
adalah generasi terbaik umat ini dengan persaksian Rasulullah dalam sabdanya ;
خَيْرَ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ
الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik
orang adalah generasiku (shahabat) kemudian setelah mereka (tabi’in) dan
kemudian setelah mereka (tabi’ut tabi’in).”
4. Al Imam
Al Hafidz Al Hasan Al Bashri menguraikan sifat kemuliaan mereka dengan
perkataanya: “Sesunguhnya mereka (shahabat) adalah orang-orang yang paling baik
hatinya di kalangan umat ini dan yang paling dalam umurnya dan paling jarang
bersifat memberat-berakan diri. Mereka adalah suatu kaum yang dipilih oleh
Allah k untuk menemani Nabi.” Lalu beliau menasehatkan: “Hendaklah kalian
mencontoh akhlaq dan jalan hidup yang mereka tempuh sebab mereka itu demi Allah
Rabbnya Ka’bah sungguh di atas bimbingan yang lurus.” (Riwayat Ibnu Abdil Bar
dalam Al Jami’ 2/97 lihat Dzamnut Takwil halaman 39)
5. Mereka
adalah orang-orang yang menyaksikan langsung turunnya wahyu. Mereka tahu kapan
turunnya (ayat) di mana turunnya dan tentang apa diturunkannya serta bagaimana
kronologinya.
6. Mereka
adalah orang-orang yang mendengar langsung sabda-sabda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa salam dan menyaksikan langsung amaliah dan kehidupan Beliau
Shalallahu ‘alaihi wa salam
7. Kita
semua tahu bahwa Al Qur’an dan Sunnah menggunakan bahasa Arab yang jelas sedang
mereka adalah suku Arab yang pada masa itu telah mencapai puncak kefasihan
sastra Arab. Al Qur’an turun dengan bahasa mereka dan Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa salam dari kalangan mereka dan bersabda dengan bahasa mereka.
8. Mereka
adalah orang-orang yang langsung dididik (digembleng) oleh Rasulullah sehingga
kalaupun ada hal-hal rumit yang tidak mereka fahami di tengah-tengah mereka
maka ada seorang Rasul yang menjelaskan dan menguraikannya.
Dan masih
banyak lagi argumentsi lainnya bahkan ada 46 argumentasi dalam masalah ini
sebagaimana yang dijabarkan oleh Imam besar Madzhab Hambali pada masanya, yaitu
Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam karya besarnya ” I’lammul Muwaqqi’in ” Juz 4/99
– 126 cet. 3 Darul Hadits Mesir th. 1997 M. / 1417 H.
PASAL IV
PRINSIP ISLAM DALAM BERHUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH
Bila prinsip
yang mulia di atas dapat dipahami dengan baik maka pembicaraan tentang masalah
yang berhubungan dengan penguasa atau pemerintahpun harus selalu dalam koridor
prinsip tadi, tidak bisa dengan semata-mata semangat kebangsaan dan jiwa
patriotis apalagi dengan selera hawa nafsu untuk memuaskan ambisi kekuasaan.
Berikut ini
akan kita ulas prinsip besar yang diajarkan di dalam Islam sehubungan dengan
muamalah terhadap pemerintah supaya kita semua hidup berjalan di atas bimbingan
ilmu dan dalam naungan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam.
Ketahuilah!
Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua bahwa Islam memerintahkan segenap
kaum Muslimin untuk mendengar dan menta’ati penguasa mereka yang muslim. Hal
ini termaktub dengan jelas di dalam Al Qur’an dan Sunnah serta penjelasan para
ulama. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan
ta’atilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An Nisaa’ : 59)
Yang
dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para umaro’ (para penguasa)
dan ini adalah pendapat mayoritas ulama dahulu maupun sekarang, baik dari pakar
hadits, ahli tafsir atau imam fiqh. Sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi
dalam Syarah Shahih Muslim 12/223.
Keta’atan
kepada penguasa muslim adalah kewajiban setiap Muslim di manapun dia berada
dari manapun asal dan apa pun statusnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam
bersabda:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ
“Wajib atas
setiap muslim untuk mendengar dan ta’at dalam perkara yang disukai atau yang
dia benci…” (Muttafaqun ‘Alaih dari Ibnu Umar )
Keta’atan
pada penguasa, berlaku untuk semua jenis penguasa muslim bagaimanapun
keadaannya, baik itu adil atau dholim, dari bangsa budak atapun merdeka, baik
fisiknya bagus atau rusak.
Dari Ady bin
Hatim beliau bertanya: “Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam! kami
tidak bertanya tentang keta’atatan kepada penguasa yang bertaqwa, namun
penguasa yang berbuat begini dan begitu, lalu beliau menyebutkan kejelekan?”
Jawab Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam : “Bertakwalah kalian kepada Allah ,
dengarkan dan ta’atilah dia!!” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam ‘As Sunnah’ [1069])
Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa salam juga bersabda:
إِنْ أُمِرَعَلَيْكُمْ
عَبْدٌحَبَشِيٌّ مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا مَاقَادَكُمْ بِكِتَابِ
اللهِ
“Walaupun
kalian dipimpin oleh seorang budak Habasyah (Ethiopia) yang terpotong kedua
telinganya, maka dengarkan dan ta’atilah dia, selama dia membimbing kalian
dengan Kitabullah.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam ‘As Sunnah’ [1063])
Bahkan
penguasa yang bengis seperti perangai syaithon dengan sistem pemerintahannya
yang tidak islami sekalipun, tetap diwajibkan mendengar dan menta’atinya selama
dia masih muslim. Hal ini terekam dalam hadits Hudzaifah bin Al Yaman riwayat
Muslim (1847-52), Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda :
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةُ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ
وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِيْ أَوْ سَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ
قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ في جُسْمَانِ إِنْس قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَارَسُوْلَ اللهِ !
إِنْ أَدْرَكْتُ ذلِكَ ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلأَمِيْرِ
وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Akan ada
sepeninggalku nanti para pemimpin, mereka tidak terbimbing dengan petunjukku
dan tidak menjadikan sunnahku sebagai pedomannya dan akan muncul pada mereka
orang-orang yang hatinya (seperti) hati syaithon dalam jasad manusia” saya
bertanya ” ‘Wahai Rasulullah, apa yang harus aku perbuat bila aku mendapati hal
itu?’ jawab Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam : “Engkau mendengar dan
menta’ati sang penguasa walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas,
dengarkanlah dan ta’atilah…!”
Demikianlah
dengan jelas dan gamblang, prinsip ini diuraikan oleh Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa salam sehingga tidak ada yang samar dalam bab ini. Untuk itulah,
para ulama kita dahulu sampai sekarang bersepakat untuk mendengar dan ta’at
kepada penguasa yang muslim.
Yang juga
perlu diingat adalah bahwa keta’atan kepada penguasa itu berlaku untuk setiap
penguasa muslim yang sah, baik diangkat dengan cara yang sesuai syar’i yaitu
penunjukan dari penguasa sebelumnya seperti yang dilakukan oleh Abu Bakar
ketika menunjuk Umar ataupun dengan kesepakatan Ahlul Halli Wal Aqdi seperti
pengangkatan Utsman maupun dengan cara yang melanggar syar’i seperti denan
kudeta militer atau semisalnya, hal ini dengan kesepakatan para ahli fiqh
sebagaimana yang dinukil oleh Imam besar Madzhab Safi’iyah pada masanya, yaitu
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolany. Beliau berkata menukil ucapan Ibnu Baththol:
“Para ahli fiqh telah sepakat tentang kewajiban menta’ati penguasa yang
berkuasa dengan kudeta dan berjihad bersamanya, dan bahwasanya keta’atan
kepadanya lebih baik dari pada memberontak kepadanya sebab dengan itu akan
terjaga darah (kaum muslimin) dan keadaan akan kondusif.” (Fathul Baary 14/496,
Cet I, Daarul Fikr-Lebanon-Beirut-th. 1995 M/1415 H.)
Yang tidak
kalah penting untuk diketahui adalah bahwa penguasa yang harus dita’ati adalah
bukan hanya penguasa tunggal yang menguasai kaum muslimin seluruh dunia, tapi
juga penguasa muslim yang menguasai wilayah - wilayah kaum muslimin seperti
sekarang ini, sebab kaum Muslimin belum lagi punya khalifah akbar semenjak
pertengahan daulah Abbasiyah, demikian yang diuraikan oleh Ash Shon’any dalam
‘Subulus Salam’ (3/486-487 cet. I Darul Fikr-Beirut-th. 1991 M/1411 H.)
Ketaatan ini
berlaku untuk para penguasa muslim apa pun namanya baik itu Presiden, Perdana
Menteri, Raja, Sulthan atau yang lain, bahkan juga kepada jajaran pemerintah
militer atau sipil dari pusat hingga tingkat desa, demikin yang dijelaskan oleh
Syaikh Ibnul Utsaimin dalam ‘Syarah Aqidah Safariniyah’ hal 670 cet. Darul
Bashiroh-Iskandariyah-Mesir tanpa tahun.
Bila hal di
atas telah dipahami, maka ketauhilah! Semoga Allah merahmati kita bahwa
keta’atan kepada penguasa muslim tidaklah secara mutlaq, namun berkait dengan
suatu ketentuan yaitu “selama tidak bermaksiat kepada Allah “
Bila ada
unsur kemaksiatan, maka tidak boleh didengarkan dan dita’ati, hal ini
ditegaskan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam sabdanya:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ
بِمَعْصِيَّةٍ فَإِنْ أُمِرَ ِبمَعْصِيَّةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Wajib atas
setiap muslim untuk mendengar dan taat dalam perkara yang dia suka dan dia
benci kecuali bila diperintah dengan kemaksiatan, bila diperintah demikian maka
tidak didengarkan dan ditaati.” (Muttafaq ‘Alaih dari Ibnu Umar)
Dalam hadits
Ali bin Abi Tholib riwayat Al Bukhari (7145), Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
salam menegaskan :
إِنَّمَا الطَّاعَةُ في الْمَعْرُوْفِ
“Sesungguhnya keta’atan itu hanya dalam perkara kebaikan.”
إِنَّمَا الطَّاعَةُ في الْمَعْرُوْفِ
“Sesungguhnya keta’atan itu hanya dalam perkara kebaikan.”
Namun bukan
berarti diperbolehkan untuk memberontak dan melepaskan keta’atan, banyak hadits
yang melarang pemberontakan, ringkasnya apa yang diuraikan oleh Imam Harb Al
Karmany dalam ‘Al Aqidah’ yang dia nukil dari seluruh ulama terdahulu: “Bila
sang penguasa memerintahkan sesuatu yang ada unsur kemaksiatan kepada Allah
maka engkau tidak boleh menaatinya dan juga tidak boleh memberontaknya dan
menghalangi haknya.” (Lihat Aqidah Ahlul Islam hal. 20 karya Abdussalam Barjis)
Dengan
uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa perintah atau himbauan pemerintah
terbagi menjadi beberapa bagian:
1. Perintah
tersebut sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa salam , maka wajib untuk dita’ati.
2. Perintah
tersebut dalam perkara duniawi untuk kemaslahatan umum yang tidak ada unsur
kemaksiatan padanya, maka wajib dita’ati, seperti rambu-rambu lalu lintas,
memakai helm, sabuk pengaman dan sebagainya.
3. Perintah
tersebut ada unsur kemaksiatan kepada Allah, maka tidak ditaati. Demikian
ringkasan penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin sebagaimana dalam fatawa syar’iyah
hal. 83-85. Wallahul Muwaffiq
Maka dengan
dasar prinsip di atas dan semata-mata ikhlas mengharap ridlo Allah bukan karena
tendensi tertentu, bukan pula karena kepentingan pribadi ataupun golongan, kami
menyatakan:
1. NKRI adalah Negara berdaulat sebagai Negara tempat mayoritas kaum muslim berdomisili.
2. Bapak President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil President Yusuf Kalla adalah pemimpin Negara yang sah, harus didengar dan dita’ati dalam rangka ta’at kepada Allah.
3. Mendukung program/perintah/himbauan Pemerintah yang bersifat positif sesuai dengan bimbingan Allah dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam
4. Dengan ucapan maaf beribu maaf yang sebesar-besarnya, kita tidak bisa menta’ati perintah/himbauan Pemerintah yang bertentangan dengan ketentuan syariat bukan karena kita anti pemerintah bukan pula karena hendak memberontak namun semata-mata karena prinsip Islam yang harus kita pegangi dan kita dahulukan di atas segala-galanya. Seorang muslim yang ta’at dan baik, tentu akan mendahulukan perintah penciptanya dan Rasul-Nya dari pada perintah manusia mana pun.
1. NKRI adalah Negara berdaulat sebagai Negara tempat mayoritas kaum muslim berdomisili.
2. Bapak President Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil President Yusuf Kalla adalah pemimpin Negara yang sah, harus didengar dan dita’ati dalam rangka ta’at kepada Allah.
3. Mendukung program/perintah/himbauan Pemerintah yang bersifat positif sesuai dengan bimbingan Allah dan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam
4. Dengan ucapan maaf beribu maaf yang sebesar-besarnya, kita tidak bisa menta’ati perintah/himbauan Pemerintah yang bertentangan dengan ketentuan syariat bukan karena kita anti pemerintah bukan pula karena hendak memberontak namun semata-mata karena prinsip Islam yang harus kita pegangi dan kita dahulukan di atas segala-galanya. Seorang muslim yang ta’at dan baik, tentu akan mendahulukan perintah penciptanya dan Rasul-Nya dari pada perintah manusia mana pun.
Apalagi
Allah menegaskan hal ini dalam firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Hujurat: 1)
5. Justru
ketidaktaatan seorang muslim kepada pemerintahnya di saat dia diperintah untuk
bermaksiat adalah bukti kecintaan dia kepada pemerintah tersebut, dia tidak mau
penguasanya menanggung dosa sekian banyak rakyatnya akibat kemaksiatan tadi.
Semua orang yang berakal akan memahami masalah ini, sama halnya dengan seorang
bapak yang memukul atau menasehati anaknya ketika dia nakal, bukan berarti
bapak tersebut tidak cinta kepada anaknya, namun justru tindakannya tadi
sebagai bukti kecintaannya kepada sang anak, kalau sang bapak tersebut tidak
cinta lagi sama sang anak, maka dia tidak akan menggubrisnya dan membiarkannya
sesuai keinginannya. Wallahul muwafiq
Dalam
kesempatan ini ada beberapa perkara yang perlu kita angkat ke permukaan untuk
diketahui dengan jelas, bahwa seorang muslim tidak bisa mentaati penguasanya.
Dalam hal tersebut, semoga dapat dimaklumi oleh pemerintah NKRI
I. Perayaan Ulang Tahun hari besar terkhusus HUT RI
Sesuatu
acara yang berulang-berulang tiap bulan atau tahun disertai serangkaian amalan
dan perkumpulan orang yang dalam Islam disebut dengan ‘Ied (hari raya).
Dalam
prespektif Islam, ‘ied adalah suatu amalan yang bernilai ibadah, padanya
disyaria’atkan serangkaian amalan ibadah untuk bertaqarrub kepada Allah
sekaligus ada serangkaian untuk melakukan hal-hal yang mubah (boleh).
Dalam
realita ajaran Islam, ‘ied ditetapkan setelah melakukan ibadah-ibadah besar,
‘Iedul Fitri ditetapkan setelah ibadah puasa Ramadhan, ‘Iedul Adha adalah
setelah dan di tengah-tengah ibadah haji.
Bukti bahwa
‘ied adalah kegiatan ibadah yang tidak dapat keluar dari koridor syar’i.adalah
bahwa kita semua tahu, dalam islam hanya ada 2 ‘ied dalam setahun yaitu ‘Iedul
Fitri dan ‘Iedul Adha, hal ini dijelaskan dengan gamblang dalam hadits Anas bin
Malik a Beliau berkata: “Rasulullah datang dalam keadaan penduduk Madinah
memiliki 2 hari yang mereka biasa bermain-main padanya di masa Jahiliyah (yaitu
hari Nairuz dan Mahrojan, pent.), Beliau bersabda:
قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ
يَوْمَانِ تَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا في الجَاهلِيِّةِ وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ الله
ُبِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ النًّحْرِوَيَوْمَ الفِتْرِ
“Saya datang
kepada kalian, sedang kalian punya 2 hari yang kalian biasa bermain-main padanya
di masa jahiliyah, sungguh Allah k telah mengganti kedua hari itu dengan 2 hari
yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari Nahr (Adha) dan hari Fitri.” (HR. Ahmad
3/103,178,253, Abu Dawud 1134 dan An Nasaa’I 3/179 dengan sanad Shahih)
Perhatikanlah
hadits di atas, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam mengganti perayaan
penduduk madinah dengan 2 hari raya besar Islam, karena:
1. Perayaan mereka itu menyerupai ‘iednya bangsa Romawi dan Persia, sebab hari Nairuz dan Mahrojan adalah hari besar mereka.
2. Dua hari raya Islam lebih baik dan itu adalah ketentuan dari Allah yang tidak bisa ditambah.
1. Perayaan mereka itu menyerupai ‘iednya bangsa Romawi dan Persia, sebab hari Nairuz dan Mahrojan adalah hari besar mereka.
2. Dua hari raya Islam lebih baik dan itu adalah ketentuan dari Allah yang tidak bisa ditambah.
Kalau
seandainya melakukan kegiatan ulang tahun itu tidak masalah dalam Islam,
niscaya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam tidak akan melarang mereka, ini
menunjukkan bahwa urusan ultah harus ada bimbingannya dalam sunnah.
Karena
itulah Asy-Syaikh Ali Hasan Al-Halaby dalam kitabnya Ahkamul Iedain
halaman 14 menegaskan: “Adapun di masa sekarang, maka hari-hari raya ini hampir
tidak dapat dihitung di setiap negeri-negeri Islam apalagi negeri selain Islam,
engkau melihat adalah perayaan ultah untuk kubah-kubah, kuburan-kuburan,
seseorang, negara, dan lain sebagainya dari acara perayaan yang tidak diizinkan
oleh Allah, bahkan hal tersebut dalam sebagian konsensus bahwa muslimin India
mempunyai 144 perayaan dalam setahun.”
II. Sumbangan acara Agustusan
Biasanya
dalam bulan Agustus para pamong desa meminta dana Agustusan di masyarakat untuk
mensukseskan beragam agenda acara yang mereka buat, seringnya disebutkan
minimalnya.
Bila kita
memahami apa yang telah diuraikan di atas, maka kita akan tahu bahwa penarikan
dana ini tidak sesuai syar’i dengan alasan sebagai berikut:
1. Termasuk membantu acara yang tidak ada bimibinganya dalam agama Islam. Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2).
1. Termasuk membantu acara yang tidak ada bimibinganya dalam agama Islam. Allah berfirman: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al Maidah: 2).
2. Penarikan
dana tersebut tidak berdasar pada sebuah Perda sedikit pun bahkan terkesan
memaksa, terbukti mereka marah bila ada yang tidak menyumbang.
Ketahuilah!
Semoga Allah menambahkan umur kepada kita, bahwa harta seorang muslim adalah
haram untuk diambil kecuali dengan izin dan kerelaannya, maka menarik pungutan
tanpa dasar syar’i termasuk memakan harta orang lain dengan kebatilan. Allah
menyatakan: “Dan janganlah sebahagian kalian memakan harta sebahagian yang lain
di antara kalian dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kalian membawa
(urusan) harta itu kepada Hakim, supaya kalian dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian
Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188)
3. Uang
tersebut dipergunakan untuk acara yang sia-sia, hanya bersenang-senang dan
berfoya-foya. Walaupun ada sedikit unsur olah raga namun kemadlorotannya lebih
banyak, di antaranya: menghambur-hamburkan uang untuk perkara yang sia-sia,
bercampurnya lelaki dan wanita, alunan musik yang bertalu-talu, keluarnya
wanita dengan bersolek dan dandanan yang sengaja dipertunjukkan, adanya sikap
fanatisme terhadap desanya masing-masing karena diperlombakan, tidak jarang
terjadi tindakan anarkis antaranak desa, melalaikan sholat jama’ah pada
waktunya, seringkali kita melihat mereka tidak mengubris panggilan adzan untuk
menghadap Allah dan masih banyak lagi kerusakan yang lainnya.
Allah telah
mengecam tindakan tabdzir (sia-sia) dan pelakunya tergolong saudara syaithon,
firman-Nya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros..
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithon dan syaithon
itu adalah sangat ingkar kepada Robbnya.” (QS. Al Israa’: 26-27)
Dan ini
adalah tindakan yang sangat dibenci oleh Allah, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa salam bersabda:
إِنَّ الله َكَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثًا …
وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Sesungguhnya
Allah k membenci tiag perkara dari kalian …. dan menyia-nyiakan harta.” (HR.
Muslim 1715)
Bagaimana
mungkin kita bisa bergembira bila tindakan tadi dibenci dan dikecam oleh Allah?
siapa yang mau digolongkan dengan saudara-saudara syaithon? Orang yang berakal
sehat tentu akan menghindar dari hal-hal demikian.
Seharusnya
kita berpikir jernih, bukankah dahulu para pejuang kita membebaskan bumi
pertiwi ini dari kungkungan penjajah dengan tetesan darah dan air mata?
Mengorbankan jiwa raga, harta benda, sabar dalam berjuang dan menanggung
penderitaan demi penderitaan? Akankah kita generasi masa kini membalas budi
bakti mereka dengan tindakan sia-sia, foya-foya, senang-senang yang dibenci
oleh Allah bergembira di atas penderitaan orang lain? Apakah kita tidak melihat
bahwa bangsa ini sedang terjajah justru oleh anak-anak bangsa sendiri? Dapatkah
hati kita lapang ketika di saat yang sama kita menyaksikan anak-anak bangsa
dirundung duka dengan bencana yang menimpa mereka? Sekali lagi, akankah kita
bisa tenang berbahagia di saat anak-anak bangsa sendiri menderita?
Coba kita
pikirkan, kalau seadainya dana tersebut dikumpulkan, anggaplah satu desa bisa
mengumpulkan satu juta, berapa ribu desa yang ada ditanah air dari Sabang
sampai Merauke? Niscaya, akan terkumpul uang milyaran bahkan triliyunan rupiah,
coba kalau uang itu dialokasikan ke anak bangsa yang dirundung musibah,
tentunya akan sangat membantu dan menyenangkan hati mereka, pikirkanlah hal ini
baik baik wahai anak bangsa!!!.
III. Pemasangan bendera merah putih untuk hari-hari besar nasional
terkhusus HUT RI
Perlu
dipahami bahwa kita tidak mengingkari keberadaan bendera di sebuah Negara,
karena hal itu ada pada masa Rasulullah, demikian pula masalah warna bendera,
pada dasarnya tidak mengapa selama tidak ada padanya hal-hal yang melanggar
syar’i seperti gambar bernyawa, simbol-simbol khusus orang kafir dan
sebagainya.
Di zaman
Rasulullah bendera Beliau ada yang berwarna putih adapula yang berwarna hitam,
dari Ibnu Abbas Beliau berkata: “Dahulu bendera Rasulullah berwarna hitam.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi dengan sanad hasan.) Dalam riwayat At Tirmidzi disebutkan
“Bendera Beliau Shalallahu ‘alaihi wa salam berwarna putih.”
Dengan dasar
ini, maka kami mengakui keberadaan bendera merah putih untuk negeri kita yang
tercinta NKRI. Namun, kita perlu menengok sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wa salam dalam masalah bendera ini, apa fungsi dan kegunaannya?
Dalam banyak
riwayat di sebutkan bahwa bendera ini difungsikan oleh Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa salam untuk berjihad fisabilillah melawan orang-orang kafir, orang
yang menelaah sejarah beliau akan dapat memastikan hal ini, bahkan kalau kita
melihat dalam sejarah, mereka (para shahabat) mempertahankan bendera itu sampai
titik darah penghabisan, sedikitpun tidak membiarkan bendera itu jatuh ketanah
walaupun harus mengorbankan jiwa raga mereka. Berikut ini saya bawakan beberapa
riwayat yang menjelaskan masalah ini.
Dari Sahl
bin Sa’id, bahwasanya Rasulullah pada waktu perang khoibar bersabda :
َلأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا
رَجُلاً يُحِبُّ الله َوَرَسُوْلَهُ وَيُحِبُّهُ الله ُوَرَسُوْلُهُ يَفْتَحُ الله
ُعَلَى يَدَيْهِ
“Sungguh
besok aku akan berikan bendera ini kepada seorang yang cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya dan dicintai Allahkdan rasul-Nya, Allahkakan menangkan melalui kedua
tanganya” (muttafaq ‘alaih)
Dalam
lanjutan riwayat di atas disebutkan bahwa para Shahabat sampai begadang malam
membicarakan, siapakah gerangan yang bakal diserahi bendera? Bahkan mereka
semua berkeinginan untuk mendapatkannya, dan ternyata yang mendapatkannya
adalah Ali bin Ali Tholib. Riwayat ini jelas menunjukkan bahwa bendera tersebut
untuk kepentingan Jihad fisabilillah.
Juga dalam
riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya dari Abdullah bin Ja’far disebutkan, bahwa
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam mengutus pasukan perang dan menunjuk
Zaid bin Harits sebagai panglima, beliau bersabda: “Bila Zaid terbunuh maka
panglima kalian adalah Ja’far, bia dia terbunuh maka panglima kalian adalah
Abdullah bin Rawahah.” Pasukan pun berhadapan dengan musuh, panglima Zaid pun
memegang bendera, beliau berperang hingga terbunuh, kemudian bendera perang
diambil oleh Ja’far, beliau berperang hingga terbunuh, kemudian bendera diambil
oleh Abdullah bin Rawahah, beliau berperang hingga terbunuh, lalu bendera
dipegang oleh Kholid bin Walid, maka Allah menangkan melalui tangannya.
(lihat: ‘ Jami’us Shahih ‘ 3/246-247, karya Syaikh Muqbil dan beliau
menshahihkan riwayat ini.)
Lihatlah!
Bagaimana para panglima tadi mempertahankan bendera, tidak dia lepas sedikit
pun hingga dia terbunuh.
Inilah
fungsi bendera di masa itu, dan inilah yang kita baca dalam sejarah perjuangan
NKRI, para pejuang-pejuang kita dengan gigihnya mempertahankan bendera merah
putih sampai titik darah penghabisan, itu semua mereka lakukan untuk melawan
kebringasan para penjajah kafir di masa itu, maka fungsikanlah bendera ini
sebagaimana mestinya!!!
Adapun
pemasangan bendera dalam rangka peringatan hari besar nasional, maka tidak
pernah kita lihat dilakukan di zaman Rasulullah karena tidak ada dalam
bimbingan beliau peringatan-peringatan seperti itu sebagaimana yang kita
uraikan dalam pembahasan sebelumnya.
وخير الهدي هدي محمد
“Sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah.”
Demikianlah
apa yang bisa kami tulis, sebenarnya masih banyak perkara yang tidak bisa
ditaati karena adanya larangan dalam agama Islam seperti PEMILU, dan lainnya.
Insya’ Allah bila ada kesempatan kami akan berusaha melanjutkannya. Semoga
Allah memberi hidayah kita semua ke jalan yang diridloiNya. Amin …..
Penulis: Al-Ustadz Muhammad Afifudin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar