Di antara fitnah yang
sangat berbahaya terhadap dakwah salafiyah adalah seruan pada persatuan antara
Ahli Sunnah dengan ahli bid’ah dengan alasan bahwa mereka masih memiliki banyak
kebaikan, masih memberikan banyak saham terhadap Islam, demi keadilan, dan
alasan-alasan lain yang tidak dapat diterima oleh akal yang sehat lebih-lebih
secara naql (nash atau dalil, ed.). Namun aneh, mereka yang mempunyai pemahaman
seperti ini berani menyalahkan ulama Ahli Sunnah ketika para ulama tersebut
mengkritik ahli bid’ah sementara mereka sendiri memperalat para ulama Ahli
Sunnah dalam hal tazkiyah (pemberian rekomendasi) terhadap ulama mereka.
Mungkin kita sempat
tertarik dengan manhaj mereka ini karena kita menganggapnya baik. Akan tetapi
kalau kita menelaah kitab para ulama Ahli Sunnah barulah kita mengetahui
kebathilan manhaj mereka karena tidak ada seorang ulama pun dari para ulama
Ahli Sunnah mempunyai pemahaman seperti itu. Bahkan mereka sangat keras
terhadap kebid’ahan dan ahli bid’ah. Di antara pendapat-pendapat mereka tentang
ahli bid’ah yaitu :
1. Abu Fadhl Al Hamadzani berkata : “Ahli
bid’ah serta orang-orang yang memalsukan hadits lebih berbahaya daripada
orang-orang kafir yang secara terang-terangan menentang Islam. Orang-orang
kafir bermaksud menghancurkan Islam dari luar sedangkan ahli bid’ah bermaksud
menghancurkan Islam dari dalam. Mereka seperti penduduk suatu kampung yang ingin
menghancurkan keadaan kampung tersebut sedangkan kaum kuffar bagaikan musuh
yang sedang menunggu di luar benteng sampai pintu benteng tersebut dibuka oleh
ahli bid’ah. Sehingga ahli bid’ah lebih jelek akibatnya terhadap Islam
dibanding orang yang menentang secara terang-terangan.” (Al Maudlu’at Ibnul
Jauzi lihat kitab Naqdur Rijal halaman 128)
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya As Siyasah Asy Syar’iyyah halaman 123 mengatakan : “Sekelompok dari
kalangan pengikut Imam Syafi’i, Ahmad, dan selainnya memperbolehkan membunuh
orang yang berdakwah pada kebid’ahan yang menyelisihi Al Qur’an. Demikian pula
pengikut Imam Malik, mereka mengatakan bahwa Imam Malik membolehkan membunuh
Qadariyah bukan karena mereka murtad (keluar dari Islam) tetapi karena mereka
menyebarkan kerusakan di muka bumi.” (Naqdur Rijal halaman 127)
3. Ibnu Abbas radliyallahu 'anhuma berkata
tentang tafsir ayat :
“Hari yang pada waktu
itu putih wajah-wajah.”
Yaitu Ahli Sunnah Wal
Jamaah dan ayat :
“Dan hitam wajah-wajah.”
Yaitu ahli furqah dan
ahli bid’ah. Kita katakan kepada ahli bid’ah:
“Apakah kalian berani
kembali pada kekafiran setelah kalian beriman?”
[ Lihat kitab Ma Ana
‘Alaihi wa Ashhabi oleh Syaikh Ahmad Salam halaman 187 dan Tafsir Ibnu Katsir
tafsir surat Ali Imran ayat 106 ]
4. Allah berfirman :
“Dan apabila kamu
melihat orang-orang yang memperolok-olok ayat Kami maka tinggalkanlah mereka
sampai mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan
kamu lupa maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang dhalim itu sesudah
teringat.” (Al An’am : 68)
Ketika menafsirkan
ayat ini, Imam Thabari menyebutkan dari Abu Ja’far Muhammad bin Ali
radliyallahu 'anhu bahwasanya ia berkata :
“Janganlah kalian
duduk dengan orang yang suka berdebat karena mereka itulah orang yang
memperolok-olok ayat-ayat Allah.”
5. Fudhail bin ‘Iyadl berkata : “Barangsiapa
mencintai ahli bid’ah niscaya Allah akan menggugurkan amalnya dan mengeluarkan
cahaya Islam dari hatinya. Barangsiapa menikahkan anak perempuannya dengan ahli
bid’ah maka dia telah memutuskan silaturahminya. Barangsiapa duduk dengan ahli
bid’ah maka dia tidak akan diberi hikmah. Dan kalau Allah telah mengetahui
bahwa seseorang telah memiliki rasa benci kepada ahli bid’ah maka saya berharap
semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.”
6. Sebagian ahli bid’ah berkata kepada Abi
‘Imran An Nakha’i : “Dengarlah dariku satu kata!” Lalu Abu ‘Imran berpaling
darinya seraya berkata : “Saya tidak mau mendengar sekalipun setengah kata.”
(Lihat Al Jami’ li Ahkamil Qur’an oleh Imam Al Qurthubi jilid 7 halaman 11)
7. Yahya bin Abi Katsir berkata : “Jika
engkau bertemu dengan ahli bid’ah di satu jalan maka carilah jalan lain.” (Asy
Syari’ah Al Ajurri. Lihat pula kitab Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan
halaman 298)
8. Pernah suatu ketika ada seorang laki-laki
yang dilaporkan kepada Al Auza’i bahwa dia berkata : “Saya duduk bersama Ahli
Sunnah dan suatu ketika juga saya duduk dengan ahli bid’ah.” Maka Al Auza’i
berkata : “Orang ini ingin menyamakan antara yang haq dengan yang bathil.”
(Ilmu Ushulil Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan halaman 300)
9. Sebagian ahli bid’ah datang kepada Ibnu
Taimiyah dengan niat ingin memperindah dan menghiasi bid’ah mereka di hadapan
beliau. Mereka berkata : “Ya Syaikh, betapa banyak orang yang bertaubat karena
dakwah kami!” Ibnu Taimiyah berkata : “Mereka taubat dari perbuatan apa?” Kata
mereka : “Mereka taubat dari mencuri, merampok, dan lain-lainnya.” Lalu Ibnu
Taimiyah menjawab : “Keadaan mereka sebelum bertaubat (karena dakwah kalian,
ed.) lebih baik daripada keadaan mereka sekarang, karena sesungguhnya mereka
dahulu dalam keadaan fasiq dan meyakini keharaman apa yang mereka kerjakan
sehingga mereka selalu mengharap rahmat dari Allah dan mereka ingin bertaubat.
Adapun sekarang mereka menjadi sesat dan musyrik akibat dakwah kalian bahkan
mereka keluar dari Islam dan mencintai apa yang dibenci Allah dan membenci apa
yang disukai Allah … .” Kemudian Ibnu Taimiyah menjelaskan kepada mereka bahwa
bid’ah yang mereka kerjakan lebih jelek daripada kemaksiatan lainnya. (Lihat
pula kitab Ilmu Ushulil Bida’ halaman 220)
Demikianlah beberapa
pendapat ulama Ahli Sunnah tentang hukum bershahabat dengan ahli bid’ah. Dari
sini jelaslah bagi kita tentang kebathilan manhaj yang diistilahkan dengan
manhaj al inshaf (sururiyah) terhadap ahli bid’ah karena kita lihat begitu
keras sikap para ulama Ahli Sunnah terhadap ahli bid’ah. Demikian pula sikap
mereka terhadap kitab-kitab ahli bid’ah sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa
ahli bid’ah itu lebih berbahaya daripada orang-orang kafir yang jelas-jelas
menentang Islam. Maka marilah kita menyelamatkan diri kita dari
‘kalajengking-kalajengking’ yang menyembunyikan kepala dan tangan mereka di
dalam tanah dan mengeluarkan ekornya, kapan saja mereka mempunyai kesempatan
maka mereka langsung menyengat[1] sedangkan kita tidak menyadarinya.
Demikianlah perumpamaan ahli bid’ah yang sangat halus caranya untuk menipu umat
kepada kebid’ahannya. Tidak ada jalan bagi kita untuk menelaah buku-buku mereka
sekarang karena masih tipis ilmu yang kita miliki dan begitu halus politik dan
tipu daya mereka.
Kita baru mengetahui
politik-politik ahli bid’ah tersebut kalau kita sudah menelaah kitab-kitab
mereka yang telah dibantah oleh para ulama Ahli Sunnah.
Contoh Pertama :
Seperti seorang sufi yang bernama Hasan Al Banna ketika memberikan muhadlarah
(kuliah) di Mesir, dia mengatakan : [ Di sini saya tegaskan bahwa permusuhan
kita dengan Yahudi bukanlah karena agama karena Al Qur’an telah menganjurkan
kepada kita untuk berkasih sayang dan berteman dengan mereka. Al Qur’an juga
telah membuat kesepakatan antara kita dengan mereka. Sebagaimana firman Allah :
“Dan janganlah kalian
berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang terbaik … .” (Al Ankabut :
46)
Juga ketika Al Qur’an
menyinggung Yahudi selalu dalam rangka penetapan hukum sebagaimana firman Allah
:
“Maka disebabkan
kedhaliman orang-orang yahudi Kami haramkan atas mereka (memakan makanan yang
baik-baik) yang dahulu dihalalkan bagi mereka … .” (An Nisa’ : 160) ]
Lihat betapa bahaya
perkataan semacam ini. Kita harus memahami bahwa jika yang dimaksud oleh Hasan
Al Banna di atas ialah permusuhan antara kelompoknya (Ikhwanul Muslimin (IM),
ed.) dengan orang yahudi maka benar perkataan di atas (permusuhan IM dengan orang
yahudi bukan karena agama, ed.). Akan tetapi jika yang ia maksud ialah seluruh
kaum Muslimin, maka hal ini menunjukkan kesesatan yang jelas. Allah Ta’ala
berfirman :
“Sesungguhnya engkau
dapati orang yang paling keras permusuhannya dengan orang-orang yang beriman
ialah orang-orang yahudi dan orang-orang musyrik.” (Al Maidah : 82)
“Orang-orang yahudi
dan nashrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”
(Al Baqarah : 120)
Dua ayat di atas
menunjukkan bahwa permusuhan antara kita dengan orang yahudi ialah karena
agama. Di samping itu juga perlu kita ketahui bahwa orang yahudi adalah kufar
sekalipun Hasan Al Banna tidak mengakuinya. (Lihat Da’watul Ikhwanil Muslimin
fi Mizanil Islam halaman 153-154)
Contoh Kedua :
Seorang mu’tazili yang bernama Yusuf Qardlawi. Kita lihat keberaniannya menolak
hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam hanya karena tidak cocok dengan
perasaan dan pemikirannya seperti dia menolak hadits :
“Orang yang mengubur
anak perempuannya hidup-hidup dan yang dikubur hidup-hidup tempatnya di
neraka.” (HR. Imam Ahmad dari Abi Salamah dan haditsnya shahih. Lihat Kaifa
Nata’malu Ma’as Sunnah halaman 96. Lihat pula Da’watul Ikhwanil Muslimin fi
Mizanil Islam halaman 186-187[2])
Karena tidak cocok
dengan perasaannya dia mengatakan : “Ketika saya membaca hadits ini maka dada
saya merasa sempit/goncang, kemudian saya mengatakan : ‘Mungkin hadits ini
lemah’.”
Hadits lain yang
diingkarinya yaitu riwayat Bukhari Muslim :
Dari Ibnu Umar
radliyallahu 'anhuma ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
bersabda : “Jika penduduk Surga telah menempati Surga dan penduduk neraka telah
menempati neraka maka maut pun didatangkan di antara Surga dan neraka kemudian
disembelih. Kemudian tukang panggil mengumumkan : ‘Wahai penduduk Surga
sesungguhnya tidak ada lagi kematian. Wahai penduduk neraka sesungguhnya tidak
ada lagi kematian’. Sehingga penghuni Surga pun bertambah senang dan penghuni
neraka pun bertambah sedih.” (HR. Bukhari Muslim)
Qardlawi mengomentari
: “Bagaimana mungkin maut disembelih? Apakah mungkin maut mati?” Kemudian dia
mengatakan : “Pantas saja Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengatakan
demikian kepada para shahabatnya yang memang akal mereka kemampuannya rendah.
Sedangkan sekarang, khurafat semacam ini tidak pantas lagi diceritakan karena
tidak dapat diterima oleh akal orang sekarang (moderen).” (Da’watul Ikhwanil
Muslimin fi Mizanil Islam halaman 196)
Masih banyak lagi
perkataan Yusuf Qardlawi yang sangat menyimpang dari kebenaran, seperti
terjadinya ikhtilat di madrasah-madrasah Qathr dan lain-lainnya yang juga
akibat dari fatwanya. (Lihat Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam)
Contoh Ketiga : Yaitu
seorang rafidli (syiah ekstrim) yang mutasattir (berpura-pura) dengan sunnah
yang bernama Abul A’la Al Maududi yang tidak hanya mencerca shahabat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahkan para Nabi dan Rasul pun dicercanya
sebagaimana dalam kitabnya Al Khilafah wal Mulk. Di antaranya dia menyatakan
dalam kitabnya Qur’an Kaifa Jara Baina Yadai Istilahain halaman 156 :
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintah Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam agar meminta ampun karena kekurangannya dalam menyampaikan
risalah Nubuwah[3].”
Dia juga
menjelek-jelekkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyah, dan ‘Aisyah radliyallahu
'anhuma ajma’in (sebagaimana dalam kitabnya Al Khilafah wal Mulk). Untuk lebih
lengkapnya lihat kitab Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil Islam oleh Farid
bin Ahmad bin Manshur Alul Bait halaman 84.
Setelah kita melihat
perkataan-perkataan di atas timbul pertanyaan di benak kita : “Senangkah kita
jika agama dan Nabi kita dihina seperti ini?” Tentu kita tidak senang, bahkan
kita harus membelanya dari pelecehan-pelecehan seperti itu. Sekarang timbul pertanyaan
lagi setelah itu : “Maukah kita diajak bekerjasama atau menutup mata dari
pelecehan semacam itu dengan alasan ‘ala kulli hal (secara umum, ed.) mereka
juga masih banyak kebaikan terhadap Islam? Atau dengan alasan karena mereka
juga mujtahid? Atau dengan alasan inshaf dan adil?” Tentu akal sehat akan
menjawab sebagai berikut :
1. “ … sesungguhnya mereka itulah musuh!
Maka waspadalah terhadap mereka.” (Al Munafiqun : 4)
2. “ … maka siapakah yang lebih dhalim
daripada orang-orang yang membuat kedustaan atas Allah untuk menyesatkan
manusia tanpa ilmu? … .” (Al An’am : 144)
3. “Alangkah jeleknya kata-kata yang keluar
dari mulut mereka. Mereka tidak mengatakan sesuatu kecuali dusta.” (Al Kahfi :
5)
Atau paling tidak
kita menjawab dengan jawaban yang pernah dilontarkan para ulama Ahli Sunah Wal
Jamaah seperti :
1. Ucapan Asy Syathibi : “Ahlul bid’ah ialah
musuh dan penghancur syariat.” (Al I’tisham jilid 1 halaman 65 tahqiq Salim Al
Hilali)
2. Ucapan Umar bin Khaththab radliyallahu
'anhu : “Hati-hatilah kalian dari ashhabir ra’yi (kaum yang menilai kebenaran
dengan akalnya) karena sesungguhnya mereka itu adalah musuh-musuh sunnah.
Mereka merasa sulit untuk menghapal hadits sehingga mereka berkata dengan
akalnya dan akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (Sunan Ad Daruquthni, Al
Washaya 4/146, Jami’ Bayanil Ilmi 2/123, dan Al Lalika’i 1/123. Lihat kitab
Muqaddimat fil Ahwa’ wal Bida’ oleh Nasir bin Abdul Karim Al ‘Aql halaman 61)
3. Ucapan Said bin Jubair radliyallahu 'anhu :
“Kalau seandainya anakku berteman dengan perampok yang sunni maka lebih aku
sukai daripada dia berteman dengan ahli ibadah yang mubtadi’ (ahli bid’ah).”
(Lihat kitab Ilmu Ushulil Bida’ halaman 218)
4. Perkataan Ibnu Taimiyah : “Sesunguhnya ahli
bid’ah itu lebih jelek daripada ahli maksiat yang berupa syahwat. Karena dosa
ahli maksiat karena mengerjakan larangan seperti mencuri, zina, minum khamr,
atau memakan harta secara bathil. Sedangkan dosa ahli bid’ah yaitu karena
meninggalkan perintah untuk mengikuti sunah dan ijma’ kaum Mukminin.” (Ilmu
Ushulil Bida’ halaman 219)
Inilah jawaban yang
seharusnya kita ucapkan terhadap orang yang mengajak kita untuk berbasa-basi
terhadap ahli bid’ah. (Lihat Dakwah Ikhwanul Muslimin halaman 68)
Demikianlah beberapa
bahaya ahli bid’ah yang telah menjalar ke dalam tubuh umat ini serta beberapa
sikap tegas para ulama dalam rangka menutup pintu bagi bahaya tersebut.
Bimbingan para ulama adalah cahaya bagi kita semua. Semoga Allah senantiasa
memelihara umat ini dari rongrongan bid’ah dan ahli bid’ah. Amin.
Wallahu A’lam Bis
Shawab.
Maraji’ :
1. Al Jami’ li Ahkamil Qur’an. Imam Al
Qurthubi.
2. Al I’tisham. Imam Asy Syathibi.
3. Ilmu Ushulil Bida’. Syaikh Ali Hasan.
4. Manhaj Ahli Sunnah wal Jamaah fi Naqdir
Rijal wal Kutub wath Thawaif. Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali.
5. Da’watul Ikhwanil Muslimin fi Mizanil
Islam. Farid bin Ahmad bin Manshur Alul Bait.
6. Muqaddimah fil Ahwa’ wal Bida’. DR. Nashir
bin Abdil Karim Al ‘Aql.
7. Ma Ana ‘Alaihi wa Ashhabi. Syaikh Ahmad
Salam.
[1] Perumpamaan ini
ialah perumpamaan bagi ahli bid’ah. Mereka seperti kalajengking maksudnya
mereka bergaul dengan orang banyak dengan mencari kesempatan kapan saja untuk menyampaikan
apa yang mereka inginkan (kebid’ahannya, ed.). (Lihat Ilmu Ushulil Bida’
halaman 291)
[2] Kalaupun
seandainya hadits ini dlaif, penilaian Yusuf Qardlawi seperti itu tetap tidak
dapat diterima karena para ulama menilai hadits dengan ilmu Musthalahul Hadits,
bukan dengan perasaan (seperti caranya Qardlawi, ed.). Maksud hadits tersebut
sebenarnya berlaku khusus bagi Mulaikah dan orang yang dikuburnya hidup-hidup
sebagaimana pada lafadh seterusnya dalam hadits di atas.
[3] Padahal maksudnya
ialah : “Mintalah ampun kepada Allah dengan senantiasa berdzikir kepada-Nya.”
(Lihat Al Jami’ li Ahkamil Qur’an jilid 20 oleh Al Qurthubi)
oleh: Musthafa Mahmud Adam Al Buthani
Sumber: SALAFY XXIV/1418/1998/NASEHATI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar