Dakwah adalah amalan
yang mulia di dalam Islam karena dengannya Islam tersebar ke berbagai penjuru
dunia. Para Rasul diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk berdakwah
menyampaikan risalah dari Allah yang padanya ada kebaikan dunia dan akhirat
bagi seluruh manusia. Di dalam Al Quran banyak ayat yang memerintahkan kepada
Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam untuk berdakwah. Di antranya firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala :
“Hai Nabi,
sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan
izin-Nya dan untuk menjadi cahaya yang menerangi.” (QS. Al Ahzab : 45-46)
“ … dan serulah
kepada (agama) Rabbmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang
lurus.” (QS. Al Hajj : 67)
“ … serulah mereka ke
(jalan) Rabbmu dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Rabb.” (QS. Al Qashash : 87)
Katakanlah :
“Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk beribadah kepada Allah dengan tidak
mempersekutukan sesuatupun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku seru (manusia) dan
hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS. Ar Ra’du : 36)
Perintah untuk
berdakwah pada ayat-ayat di atas tidak hanya berlaku bagi Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam saja akan tetapi berlaku juga bagi seluruh
umatnya. Karena pada dasarnya perintah Allah terhadap Rasul-Nya juga merupakan
perintah terhadap umatnya.
Allah berfirman :
“Kamu adalah umat
terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah
dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran : 110)
Pada ayat ini Allah
menjelaskan bahwa berdakwah dengan cara amar ma’ruf dan nahi munkar termasuk
sifat khusus bagi kaum Mukminin. Dengan demikian jelaslah bahwa berdakwah
merupakan tugas bagi seluruh kaum Muslimin sesuai dengan kamampuan dan
keilmuannya masing-masing. Hanya saja dalam hal ini para ulama mempunyai
kekhususan dalam dakwahnya yakni kewajiban untuk menyampaikan
kemuliaan-kemuliaan Islam, hukum-hukum, dan makna-maknanya yang detail serta permasalahan-permasalahan
ijtihad. Hal ini dikarenakan luasnya ilmu mereka dan pengetahuan mereka tentang
berbagai macam masalah[1]. Akan tetapi perlu diingat, setiap dakwah yang
dilancarkan oleh siapa saja dari kalangan kaum Muslimin harus didasari ilmu. Sedangkan
ilmu itu adalah Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Sebagaimana yang
dipahami dari perkataan Ibnul Qayyim[2].
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
Katakanlah (Ya
Muhammad) : “Inilah jalan (agama)ku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan bashirah (ilmu) aku dan orang-orang yang
mengikutiku. Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.”
(QS. Yusuf : 108)
Dengan demikian
seluruh dakwah yang disampaikan harus didasari Al Quran dan As Sunnah dengan
pemahaman Salaf. Dakwah seperti inilah yang diistilahkan dengan dakwah
Salafiyah atau dakwah Ahlus Sunnah. Di samping adanya dakwah Salafiyah muncul
pula berbagai macam dakwah hizbiyah, yakni seruan untuk mengikuti dan membela
pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari pemahaman Salaf yang dibawa oleh para
tokoh atau pemimpin dan pembesar-pembesar. Mereka mengukur kebenaran dengan
para tokoh, pemimpin, dan pembesarnya, tidak diukur dengan Al Quran dan As
Sunnah dengan pemahaman Salaf. Oleh karena itu semakin kaburlah kebenaran di
kalangan umat disebabkan munculnya dakwah hizbiyah ini. Salah seorang shahabat
yang mulia, Ali radliyallahu 'anhu pernah berwasiat :
“Wahai Harits, Al Haq
itu tidak diketahui (yakni diukur) dengan para tokoh-tokoh. Ketahuilah Al Haq,
kamu akan mengetahui siapa Ahlul Haq itu[3].” (Ushul fil Bida’ was Sunnan oleh
Ahmad Muhammad Al Adawy halaman 16)
Wasiat ini mengandung
peringatan agar jangan mengukur kebenaran dengan orang tertentu. Apakah itu
para tokoh, pemimpin, pembesar, ulama, umara, dan yang lainnya. Akan tetapi
belajarlah Al Haq kemudian ukurlah para tokoh, pemimpin, ulama, umara, dan
pembesar dengan Al Haq tersebut. Dengan demikian dapat diketahui apakah mereka
termasuk Ahlul Haq atau bukan?
Wasiat ini sangat
penting bagi kita agar berhati-hati dari dakwah hizbiyah karena kaburnya Al Haq
dan timbulnya berbagai macam perpecahan dan perselisihan. Dari mereka inilah
muncul berbagai macam syubhat dari orang-orang yang menginginkan kebathilan, di
antaranya :
“Mengapa dakwah yang
mengajak kepada suatu kelompok, golongan, dan organisasi Islam yang dipimpin
oleh seorang tokoh dikatakan dakwah hizbiyah padahal bukanlah Ahlus Sunnah wal
Jamaah juga merupakan suatu kelompok yang dipimpin ulama? Kenapa dakwah Ahlus
Sunnah wal Jamaah tidak disebut dengan dakwah hizbiyah?”
Dalam tulisan ini
kami akan membahas makna dari Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sejarah munculnya
pemahaman tersebut. Mudah-mudahan dengan demikian akan dapat memperjelas
keadaan dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan perbedaannya dengan dakwah hizbiyah.
Kemudian kami juga Insya Allah akan menjelaskan hakikat dakwah hizbiyah beserta
jalan keluar dari dakwah hizbiyah tersebut.
Makna Ahlus Sunnah
wal Jamaah
Ibnu Rajab berkata :
“As Sunnah adalah jalan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang dia berada di
atasnya dan juga para shahabat yang selamat dari berbagai macam syubhat dan
syahwat.” (Kasyful Kurbah oleh Ibnu Rajab halaman 11-12)
Berkata Imam Al Alusy
dalam kitabnya Ghayatul Amaany : “Kata As Sunnah pada asalnya adalah setiap
perkara yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berada di atasnya dan apa
saja yang telah di sunnahkan atau perintahkan dengannya baik dalam permsalahan
ushuluddin maupun dalam permasalahan furu-furu (cabang-cabangnya)[4]. (Kata
ini) juga digunakan pada setiap perkara yang mana para Salafush Shalih berada
di atasnya, baik dalam masalah imamah, pengutamaan (di antara para shahabat)
maupun menahan diri dari setiap perkara yang para shahabat Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam berselisih padanya.” (Ghayatul Amaany, Al Ahisy
1/428)
Dari definisi di
atas, Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh
dengannya dalam seluruh perkara yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
berada di atasnya dan juga para shahabatnya. Oleh karena itu Ahlus Sunnah yang
sebenarnya adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan
orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.
Imam Ibnu Hazm
berkata dalam kitabnya : “Ahlus Sunnah adalah Ahlul Haq sedangkan yang selain
mereka adalah ahlul bid’ah. Sesungguhnya mereka (Ahlus Sunnah) adalah para
shahabat radliyallahu 'anhum dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj
mereka dari kalangan para tabi’in yang mendapatkan rahmat Allah atas mereka
kemudian para Ashhabul Hadits dan orang yang mengikuti mereka dari para fuqaha,
generasi demi generasi sampai masa kita sekarang ini. Demikian pula orang-orang
yang mencontoh mereka dari orang-orang awam di bagian Timur dan Barat bumi ini.
Semoga Allah melimpahkan rahmatnya atas mereka[5].” (Al Fashl 2/107)
Adapun sebab penamaan
mereka dengan Ahlus Sunnah adalah sebagaimana yang telah disebutkan Ibnu
Taimiyah dengan perkataannya : “Hanya saja mereka dinamakan dengan Ahlus Sunnah
karena mereka mengikuti sunnah beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.” (Al
Muntaqa halaman 190). Hal yang sama juga diucapkan oleh Abu Mudhaffar Al
Isfirayini : “Tidak ada pada kelompok-kelompok yang ada pada umat ini (orang)
yang paling banyak mengikuti khabar-khabar dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam dan sunnahnya di antara mereka melainkan mereka dinamakan Ahlus
Sunnah.” (At Tafshir Fiddin oleh Al Isfirayini halaman 167)
Nama Al Jamaah
memiliki beberapa pengertian :
1.
Jama’atul Muslimin,
yakni mereka (kaum Muslimin) yang berada di atas sesuatu yang Rasulullah dan
para shahabatnya berada di atasnya. Sebagaimana yang telah disebutkan pada
sebagian hadits seperti hadits Hudzaifah Ibnul Yaman radliyallahu 'anhu
bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“ … engkau berpegang
dengan Jamaatul Muslimin dan imam mereka … .” (HR. Bukhari dan Muslim)
2.
Sesuatu yang
mencocoki Al Haq.
Hal ini seperti yang
diucapkan oleh Ibnu Mas’ud tentang pengertian Al Jamaah :
“Al Jamaah adalah
sesuatu yang mencocoki Al Haq walaupun engkau sendiri (yang mengikutinya).”
(Riwayat Al Laalikaiy dari Ibnu Mas’ud dalam Kitab As Sunnah dan Abu Syamah
dalam Al Ba’its ‘Ala Inkari Bida’ Wal Hawaadits halaman 22 dan Ibnul Qayyim
dalam Kitab Ighatsatul Lahfan halaman 1/70)
Abu Syamah dalam
kitabnya menguatkan pengertian kedua ini dengan perkataannya : “Sebagaimana
telah datang perintah untuk berpegang dengan Al Jama’ah maka yang dimaksudkan
dengannya adalah berpegang kepada Al Haq
dan mengikutinya walaupun sendirian sedangkan yang menyelisihinya banyak. Hal
itu dikarenakan Al Haq itu adalah sesuatu yang berada di atasnya jamaah pertama
dari masa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Tidak dapat
dipandang dari banyaknya ahlul bathil setelah mereka.”
Beliau berkata :
“Sesuatu yang mencocoki Al Haq pada permasalahan aqidah saja yang telah
menyimpang darinya para ahlul bid’ah. Oleh karena itu kita dapati Abu Hanifah
memberi makna Al Jama’ah dengan pengertian seperti ini.” (Al Ba’its ‘Ala Inkari
Bida’ Wal Hawaadits halaman 22)
3.
Al Jamaah adalah jika
engkau mengutamakan Abu Bakar, Umar, Ali, dan kemudian Utsman[6]. Engkau tidak
menganggap kurang dari salah seorang dari shahabat Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam dan tidak pula mengkafirkan manusia (kaum Muslimin) dengan
perbuatan dosanya. Engkau menshalatkan orang yang mengucapkan Laa Ilaaha
Illallah dan shalat di belakang mereka serta yang mengusap kedua khuf-nya
(ketika berwudhu) … . (Al Intiqa’ fi Fadli Tsalasati ‘Aimmatil Fuqaha oleh Ibnu
Abdil Bar halaman 163-164)
4.
Bermakna jamaah kaum
Muslimin yang mana mereka berkumpul di bawah satu amir[7]. Makna ini
sebagaimana telah disebutkan oleh Imam Thabari dalam riwayatnya bahwasanya
‘Amar bin Huraits bertanya kepada Said bin Zaid : “Kapan Abu Bakar harus
dibaiat?” Beliau (Said bin Zaid) menjawab : “Pada hari meninggalnya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang mana mereka (para shahabat) benci untuk
tinggal pada sebagian hari sedangkan mereka tidak dalam keadaan berjamaah.”
(Tarikh Ath Thabary halaman 2/447)
5.
Al Jamaah juga
berarti berpegang teguh dengan tali Allah secara berjamaah, tidak berpecah dan
berselisih. Hal ini disebutkan dalam sebuah riwayat dari Ali radliyallahu
'anhu, ia berkata : “Tetapkanlah oleh kamu sekalian sebagaimana yang kamu
tetapkan. Sesungguhnya aku benci perselisihan hingga manusia menjadi
berjamaah.” (Riwayat Bukhari dalam Shahih-nya dan Fathul Bari 7/17)
Ibnu Hajar berkata :
“Perkataan (sesungguhnya aku membenci perselisihan) maksudnya adalah
perselisihan yang membawa kepada pertentangan.” Ibnu Tin berkata : “Yaitu
menyelisihi Abu Bakar dan Umar.” Sebagian yang lain berkata : “Perselisihan
yang membawa pada pertentangan dan fitnah.” Hal ini dikuatkan pula dengan
perkataannya yang selanjutnya : “Hingga manusia berjamaah.” (Fathul Bary oleh
Ibnu Hajar 7/73)
Makna jamaah yang
seperti ini pernah terjadi pada tahun ketika Hasan bin Ali bin Abi Thalib
menyerahkan jabatannya sebagai khalifah sepenuhnya kepada Mu’awiyah --semoga
Allah meridhai keduanya--. Sehingga tahun tersebut dinamakan Tahun Al Jamaah.
Ibnu Baththal berkata : “Hasan menyerahkan urusan (kekhalifahannya) kepada
Mu’awiyah dan membaiatnya atas dasar menegakkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.
Mu’awiyah pun akhirnya memasuki Kufah dan manusia pun membaiatnya. Oleh karena
itu dinamakanlah (tahun tersebut) dengan Tahun Al Jamaah karena manusia bersatu
dan perang berhenti[8].” (Tarikh Khalifah bin Khayath halaman 203 dan Ma’almu
As Sunnan oleh Khathaby 4/311)
Mengenai sebab
penamaan Ahlus Sunnah dengan Al Jamaah, Imam Abdul Qaahir Al Baghdaady
rahimahullah berkata : “Bahwasanya Ahlus Sunnah sebagiannya tidak mengkafirkan
kepada sebagian yang lain. Dan tidak ada di antara mereka perselisihan yang
menimbulkan sikap bara’ (berlepas diri di antara mereka) dan tidak pula
pengkafiran (sesama mereka). Jadi, merekalah Ahlul Jamaah yang menegakkan Al
Haq dan (oleh karena itu mereka dinamakan) Ahlul Haq. Mereka tidak terjatuh ke
dalam perselisihan dan pertentangan. Tidak ada satu kelompok pun dari kelompok
yang menyelisihi sunnah melainkan pasti terjadi di antara mereka pengkafiran
sebagian mereka terhadap sebagian yang lain dan berlepas diri sebagian mereka
terhadap sebagian yang lain. Kelompok-kelompok tersebut seperti Khawarij,
Rawafid, Qadariyah, dan lain-lainnya. Sehingga apabila berkumpul tujuh orang
dari mereka pada satu majelis niscaya mereka berpecah-belah karena pengkafiran
sebagian mereka kepada sebagian yang lain[9].”
Ibnu Taimiyyah
berkata : “ … (Ahlus Sunnah) dinamakan Ahlul Jamaah karena Al Jamaah adalah
berkumpul sedangkan kebalikannya adlah berpecah walaupun terkadang lafadz Al
Jamaah menjadi satu makna untuk suatu kaum yang berkumpul. Dan ijma’ adalah
dasar yang ketiga yang dipegang atasnya dalam permasalahan ilmu dan Dien.”
Ahlus Sunnah mengukur
dengan tiga dasar ini (Quran, Sunnah, dan Ijma’) seluruh perkataan dan
perbuatan manusia, baik lahir maupun bathin yang mempunyai hubungan/kaitan
dengan Dien[10].
Dari perkataan Ibnu
Taimiyyah di atas dapat diambil pengertian bahwa Ahlus Sunnah dinamakan Ahlul
Jamaah karena mereka berkumpul di atas Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam, dan apa-apa yang disepakati oleh Salafus Shalih[11].
Dengan beberapa
keterangan tentang makna Ahlus Sunnah wal Jamaah di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah orang-orang yang mengikuti
Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya dalam
seluruh perkara yang berkaitan dengan Dien dan mereka berkumpul di atas Sunnah
tersebut. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Sejarah Munculnya
Nama Ahlus Sunnah wal Jamaah
Yang kami maksudkan
dalam hal ini adalah sejarah terjadinya pembedaan nama Ahlus Sunnah wal Jamaah
dari berbagai nama kelompok-kelompok ahlul bid’ah wal firqah. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata :
[ Jalan mereka (Ahlus
Sunnah) adalah Dienul Islam yang Allah utus dengannya Muhammad Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi tatkala Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam mengkhabarkan bahwa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan yang
seluruhnya di dalam neraka kecuali satu golongan --yakni Al Jamaah-- atau dalam
hadits yang lain beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Mereka adalah orang
yang seperti aku dan para shahabatku pada hari ini.”
Jadilah orang yang
berpegang dengan Islam, bersih dari berbagai macam campuran (pemikiran yang
sesat) sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah. Di antara mereka ada orang-orang yang
shiddiq (jujur), para syuhada, dan orang-orang shalih[12]. Perkataan Ibnu
Taimiyyah ini menunjukkan bahwa awal terjadinya penamaan Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah ketika terjadinya perpecahan sebagaimana yang dikhabarkan Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Karena sebelum terjadinya perpecahan tidak ada
istilah-istilah itu sedikitpun, baik istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Syiah,
Khawarij, dan lain-lain. Pada saat itu kaum Muslimin seluruhnya berada di atas
Dien dan pemahaman yang satu yaitu Islam.
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya agama
(yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran : 19)
Orang yang berpegang
teguh dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Al Jamaah pada
mulanya tidak membutuhkan untuk membedakan diri dengan memakai nama tertentu.
Karena mereka berpegang pada pemahaman yang pertama dan benar di dalam Islam
sedangkan yang terpisah dari mereka adalah orang yang menyelisihi Sunnah.
Menurut kaidah, sesuatu yang asal (pertama) tidak membutuhkan pada sesuatu yang
dapat membedakan dia dari yang lain. Akan tetapi yang butuh pada sesuatu yang
dapat membedakan diri dari yang lain adalah sesuatu yang sudah menjadi cabang
dari yang asal (pertama tersebut). Sehingga dengan demikian perkara cabang itu
menjadi masyhur dengan sesuatu yang membedakan dia dari yang lain. Seperti
inilah keadaan ahlul bid’ah yang telah menyimpang dari Sunnah. Ia masyhur
dengan nama yang menunjukan kepada kebid’ahan dan penyimpangannya dari Sunnah.
Hal ini terjadi tatkala timbulnya berbagai macam perselisihan dan perpecahan.
Pada saat itulah dimunculkannya nama Ahlus Sunnah wal Jamaah yang pada mulanya nama
itu tidak pernah disebutkan. ]
Imam Malik
rahimahullah ketika ditanya tentang Ahlus Sunnah beliau menjawab dengan
mengatakan :
“Ahlus Sunnah adalah
orang-orang yang tidak memiliki laqab (gelar tertentu) yang mereka dikenal
dengannya. (Mereka) bukanlah Jahmiyyun (pengikut pemahaman Jahmiyah) bukan
Qadariyyun (pengikut pemahaman Qadariyah) dan bukan pula Rafidliyyun (pengikut
pemahaman Syiah Rafidlah).” (Al Intiqa Ibnu Abdil Barr halaman 35)
Dari sini kita
sepakat dengan apa yang telah dikatakan oleh Doktor Mustafa Hilmy :
“Ahlus Sunnah wal
Jamaah adalah pelanjut pemahaman kaum Muslimin pertama yang ditinggalkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam keadaan beliau ridha terhadap
mereka sedangkan kita tidak bisa membuat batasan permulaan (munculnya mereka)
yang kita bisa berhenti padanya sebagaimana yang dapat kita lakukan pada
kelompok-kelompok yang lain. Tidak ada tempat (bagi kita) untuk menanyakan
tentang (sejarah) munculnya Ahlus Sunnah seperti halnya jika kita bertanya
tentang (sejarah) munculnya kelompok-kelompok yang lain.” (Nidzhamul Khilafah
Fi Fikratil Islam halaman 292)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata di dalam Kitabnya, Minhaju As Sunnah :
“Madzhab Ahlus Sunnah
wal Jamaah adalah madzhab yang terdahulu dan telah terkenal sebelum Allah
menciptakan Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Ia adalah madzhab para
shahabat yang diterima dari Nabi mereka. Barangsiapa yang menyelisihi (madzhab)
tersebut maka dia adalah ahlul bid’ah menurut (kesepakatan) Ahlus Sunnah wal
Jamaah.” (Minhaju As Sunnah 2/482, tahqiq Muhammad Rasyad Salim)
Dari penjelesan di
atas dapat kita pahami bahwa pertanyaan tentang sejarah timbulnya pemahaman
Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah pertanyaan yang tidak dapat dibenarkan. Hal itu
berbeda keadaannya dengan kelompok-kelompok yang menyimpang dari Sunnah.
Pertanyaan yang benar dalam masalah ini adalah pertanyaan tentang awal mula
timbulnya penamaan madzhab ini dengan nama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sebenarnya
asal penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah bagi mereka yang mengikuti Sunnah dan
berpegang dengan Al Jamaah telah ada pada nash-nash yang memerintahkan untuk
senantiasa mengikuti Sunnah dan berpegang teguh dengan Jamaah. Nama Ahlus
Sunnah wal Jamaah juga terdapat di dalam Sunnah dan perkataan para Salaf.
Jadi yang kami
maksudkan dengan sejarah timbulnya penamaan Ahlus Sunnah wal Jamaah di sini
adalah sejarah mulai dimunculkan dan disebarluaskannya nama Ahlus Sunnah wal
Jamaah sebagai satu-satunya madzhab yang bersih dari kesesatan bukan sejarah
mulai dibuatnya pemahaman Ahlus Sunnah wal Jamaah[13] dan digunakannya nama
tersebut. Kami berharap dengan adanya keterangan-keterangan di atas akan
semakin jelas kesalahan orang yang menganggap bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah kelompok tertentu dan termasuk dakwah hizbiyyah.
Hakikat Dakwah
Hizbiyyah
Pada uraian berikut
ini akan kami jelaskan tentang hakekat dakwah hizbiyah dan perbedaannya dengan
dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Ahlus Sunnah wal
Jamaah yaitu mereka yang berpegang teguh pada Sunnah dan Jamaah di mana sejarah
mulai disebarluaskannya nama tersebut ketika timbulnya berbagai macam
perpecahan dan perselisihan. Sedangkan dakwah hizbiyah adalah dakwah yang
mengajak pada kelompok atau golongan tertentu yang menyimpang dari Sunnah dan
manhaj yang shahih yang ditinggalkan oleh Salaful Shalih.
Para da’i yang
mengajak untuk mengikuti manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah para da’i yang
mengajak umat untuk kembali kepada Al Quran dan Sunnah dengan pemahaman Salafus
Shalih bukan mengajak kepada kelompok atau golongan tertentu yang menyimpang
dari Sunnah dan manhaj yang shahih. Digunakannya nama Ahlus Sunnah wal Jamaah
adalah dalam rangka membedakan dari berbagai kelompok dan golongan sesat yang
menyimpang dari Sunnah. Nama ini bukan nama yang dibuat untuk suatu kelompok
atau aliran tertentu yang telah menyempal dari Sunnah.
Akan tetapi banyak
dari orang-orang jahil yang menuduh dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah hizbiyah.
Mereka menuduh para da’i Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengajak kepada Sunnah,
mencintai Ahlus Sunnah, dan menjauhi bid’ah serta membenci ahlul bid’ah adalah
para da’i yang mengajak kepada hizbiyah. Menurut orang-orang jahil tersebut,
Ahlus Sunnah hanya menganjurkan kaum Muslimin untuk mengikuti dakwahnya saja
dengan meninggalkan dakwah lainnya yang masih merupakan dakwah Islamiyah. Di
samping itu --menurut mereka-- para da’i tersebut mengikat pengikutnya untuk
belajar hanya kepadanya saja dan tidak boleh belajar kepada para da’i lain yang
berbeda manhaj dengan mereka.
Tuduhan-tuduhan
seperti ini sering muncul dari mulut-mulut orang yang benci kepada da’i Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang bermanhaj Salaf yang mengajak kaum Muslimin berpegang
teguh pada Sunnah dan menjauhi bid’ah serta mencintai Ahlus Sunnah dan membenci
ahlul bid’ah. Tuduhan ini sebenarnya timbul hanya karena semata-mata mereka
merasa dirugikan baik dari segi pribadi atau dakwah dan kelompoknya.
Pribadi-pribadi mereka merasa dirugikan karena ia tidak akan mendapatkan atau
paling tidak akan berkurang pengikutnya yang dapat mereka gunakan untuk
memenuhi ambisi hawa nafsunya yang disembunyikan di balik nama Islam. Sedangkan
kelompok mereka merasa dirugikan karena banyak kaum Muslimin yang akan lari
dari dakwah dan kelompok mereka disebabkan adanya para da’i Ahlus Sunnah yang
memberikan peringatan agar berhati-hati dari dakwah dan kelompok yang telah
menyempal dari Sunnah. Mereka yang melancarkan tuduhan seperti di atas tidak
lain adalah para hizbiyyun (orang-orang yang terkena penyakit hizbiyah/fanatik
golongan). Para hizbiyun tersebut terdiri dari kalangan Ikhwanul Muslimin,
Jamaah Tabligh, Hizbut Tahrir, NII dan kelompok sempalan yang lainnya.
Oleh karena itu perlu
kiranya diterangkan tentang bagaimana sebenarnya hakekat dakwah hizbiyah agar
jelas mana dakwah hizbiyah dan mana yang tidak hizbiyah di antara sekian banyak
dakwah yang ada sekarang ini. Hal ini mengingat sangat rancunya permasalan
tersebut pada kebanyakan kaum Muslimin sehingga muncullah berbagai tuduhan seperti
di atas terhadap dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengajak umat untuk
berpegang teguh dengan Sunnah. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi timbul pula
tuduhan dari sebagian da’i yang mengaku bermanhaj Salaf karena banyak
terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran bid’ah Ikhwaniyyah. Mereka menuduh bahwa
para da’i Ahlus Sunnah yang bermanhaj Salaf yang selalu men-tahdzir
(memperingatkan) umat dari bahaya pemikiran para da’i yang tidak paham manhaj
Salaf yang akan dapat menjauhkan umat dari shiratal mustaqim serta menjauhkan
umat dari para da’i yang mengajak ke neraka Jahannam dengan cara melarang duduk
bermajelis mengambil ilmu dari mereka[14] sebagai da’i yang mengajak sebagai da’i yang mengajak kepada hizbiyah
(fanatik golongan) dan mengajarkan taklid. Mereka juga menuduh para pengikutnya
sebagai orang-orang yang muqallid. Wallahul Musta’an.
Wahai saudaraku kaum
Muslimin, --semoga Allah merahmati dan menunjuki kita semua kepada jalan yang
lurus-- ketahuilah! Jalan yang selamat itu adalah dengan mengikuti Al Quran dan
As Sunnah. Hal ini adalah suatu perkara yang sudah maklum di kalangan kaum
Muslimin kecuali orang-orang yang Allah palingkan hatinya, baik mereka yang
masih mengaku sebagai Muslim atau tidak. Di dalam Al Quran terlalu banyak dalil
yang menunjukkan keharusan bagi kita mengikuti petunjuk Al Quran dan As Sunnah
demikian pula dalam hadits-hadits yang shahih serta parkataan para ulama[15].
Hanya saja kebanyakan kaum Muslimin --terlebih lagi pada masa sekarang ini--
kebingungan dalam mencari jalan yang benar dalam memahami Al Quran dan As
Sunnah. Mereka akhirnya terjerumus ke dalam berbagai jalan yang sesat dalam
memahami Al Quran dan As Sunnah. Namun Alhamdulillah dengan segala hidayah dan
rahmat-Nya Allah senantiasa membangkitkan di kalangan umat ini pada setiap
masanya orang-orang yang akan selalu membela Dien-nya, mengajak umat untuk
kembali kepada jalan-Nya dan membimbing umat untuk selalu mengikuti satu jalan
yang benar dalam memahami Al Quran dan As Sunnah[16]. Mereka terdiri dari para
shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam di antaranya Khulafaur
Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali radliyallahu 'anhum kemudian para
tabi’in, tabi’ut tabi’in, para Aimmatul Huda (imam-imam yang mendapatkan
petunjuk) dan para ulama Ahlus Sunnah pada setiap masa.
Mereka mengajarkan
kepada umat ini satu jalan yang selamat dalam memahami Al Quran dan As Sunnah.
Jalan itu adalah Sabilul Mukminin (jalannya kaum Mukminin) yakni jalan para
shahabat dan generasi awal dari umat ini dalam memahami Al Quran dan As Sunnah.
Jalan yang selamat ini yang diterima oleh Salaful Shalih tersebut dari
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Di atas jalan inilah mereka
menegakkan Al Wala’ (loyalitas) dan Al Bara’ (berlepas diri). Sedangkan
orang-orang yang menyimpang dari jalan ini adalah orang-orang yang binasa,
mereka menegakkan Al Wala’ dan Al Bara’-nya di atas jalan kesesatan yang mereka
terjerumus di dalamnya.
Allah Ta’ala
berfirman :
“Barangsiapa yang
mendurhakai Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
Pada ayat ini Allah
mengancam kepada orang-orang yang mendurhakai Rasul dan yang menyimpang dari
jalannya kaum Mukminin yakni para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam. Hal itu sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Nashiruddin Al Albani
dalam sebuah ceramahnya yang dikumpulkan dalam Muhadlarat fi Dakwah Salafiyah
dengan ancaman bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memalingkan mereka ke jalan
yang sesat sehingga sulit baginya untuk keluar dari jalan tersebut. Kemudian
Allah akan memasukkan dia ke neraka Jahannam sedangkan Jahannam itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali[17].
Demikianlah semakin
jelas betapa pentingnya mengikuti jalan kaum Mukminin tersebut sebagaimana yang
telah diajarkan oleh para ulama Ahlul Hadits kepada umat ini[18]. Kaum Muslimin
yang ingin terlepas dari kebingungan hendaknya memilih jalan yang tepat dalam
memahami Al Quran dan As Sunnah, harus mengikuti jalan yang selamat ini yakni
Sabilul Mukminin. Atas dasar ini pulalah ditegakkannya dakwah Ahlus Sunnah wal
Jamaah hingga Dien ini benar-benar seluruhnya untuk Allah dengan tuntunan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan pemahaman para shahabatnya
radliyallahu 'anhum. Jika tidak demikian berarti Dien ini tidak diserahkan
seluruhnya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala karena mereka hanya berdien menurut
akal dan hawa nafsunya masing-masing, tidak dengan syari’at yang telah Allah
turunkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan dengan pemahaman
para shahabatnya radliyallahu 'anhu. Akhirnya masing-masing kaum (yang berpecah
dan berselisih itu) memiliki sesuatu yang mana mereka membedakan dirinya dari
yang lainnya seperti (pemimpin) yang diagungkan dan dikultuskan, sesembahan
yang tidak Allah perintahkan untuk mengibadahi dan mentaatinya atau suatu
pendapat yang mereka ada-adakan sedangkan Allah tidak mengizinkan dan tidak
mensyari’atkannya. (Jami’u Ar Rasaail oleh Ibnu Taimiyah, tahqiq Muhammad
Rasyad Salim 2/230)
Selanjutnya
masing-masing kelompok tersebut bangga dengan apa yang ada di sisinya
sebagaimana firman-Nya :
“Yaitu orang-orang
yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap
golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Ruum
: 32)
Mereka menegakkan Al
Wala’ dan Al Bara’ di atas sesuatu yang ada pada kelompoknya masing-masing.
Oleh karena itu mereka hanya ber-wala’ kepada orang yang simpati atau para
pengikut kelompoknya dan mereka ber-bara’ dari setiap orang yang tidak
mengikuti kelompoknya. Sesuatu yang mereka bangga-banggakan itu di antaranya
adalah pemimpin-pemimpin yang mereka berdien dengan pendapatnya sekalipun
pendapatnya itu adalah bid’ah. Masing-masing kelompok senantiasa menyandarkan
berbagai macam pujian dan sanjungan kepada pemimpin kelompoknya tersebut
meskipun pemimpin-pemimpin mereka adalah orang yang bodoh dan tidak kuat dalam
masalah ilmu. (Tanbih Ulil Abshar karya As Suhaimiy halaman 253)
Setiap kelompok yang
membanggakan pemimpinnya dan hanya berdien dengannya akan menjadikan seluruh
pendapat pemimpinnya itu sebagai landasan dalam mengukur kebenaran segala
sesuatu. Mereka akan menggunakan akal serta pemikirannya untuk membela pendapat
(pemimpinnya) tersebut dengan cara mencarikan pendukung dari tiap-tiap kitab
dan karangan yang dahulu maupun sekarang. Padahal yang wajib untuk dijadikan
sebagai landasan untuk mengukur kebenaran segala sesuatu adalah Al Kitab dan As
Sunnah. Kemudian mencocokkan pendapat para syaikh dan pemimpin tersebut
kepadanya (Al Kitab dan As Sunnah). (Ath Thaifah fi Bara’ati Ahlis Sunnah Abdul
Aziz Al Utaiby halaman 11)
Masing-masing
kelompok memiliki nama-nama yang mereka jadikan ukuran untuk mengukur benar
atau salah dan dasar untuk saling tolong menolong serta bela membela. Mereka
juga saling panggil memanggil dengan nama-nama tersebut sehingga mereka
terjatuh dalam panggilan-panggilan jahiliyah. Ibnul Qayyim berkata :
“(Panggilan-panggilan
jahiliyah itu) adalah seperti panggilan (yang menunjukkan pembelaan) kepada
suku-suku, fanatik kepada seseorang, fanatik terhadap madzhab-madzhab,
kelompok-kelompok atau golongan-golongannya, pemimpin-pemimpin, (panggilan yang
menunjukkan) pengutamaan sebagian orang dari sebagian yang lain dengan dasar
hawa nafsu dan kefanatikan. Dan keadaannya (seseorang) menisbahkan diri pada
sesuatu menyeru dan mengajak kepada hal yang demikian. Dia ber-wala’ atas dasar
hal itu (hawa nafsu/kefanatikan) demikian pula (keadaannya) ketika dia
memusuhi. Mereka juga menimbang/mengukur manusia dengannya (yakni dengan hawa
nafsu dan kefanatikan). Maka seluruhnya ini termasuk panggilan-panggilan
jahiliyyah[19].” (Dinukil oleh Sulaiman bin Abdullah Alu Asy Syaikh di dalam
Taysirul Azizil Hamid halaman 515)
Dari beberapa
keterangan di atas kiranya cukup menjelaskan apakah hakikat dakwah hizbiyyah.
Yang semua itu timbul akibat penyimpangan dari dakwah Ahlus Sunnah dan
mengikuti Sabilul Mukminin. Jadi dapat kita simpulkan dari keterangan di atas
bahwa hakikat dakwah hizbiyyah adalah :
1.
Dakwah yang mengajak
kepada satu kelompok atau golongan yang menyimpang dari Sabilul Mukminin.
2.
Dakwah yang dipimpin
oleh seorang pimpinan atau syaikh yang memiliki pendapat-pendapat bid’ah dan
dengannya dakwah tersebut membedakan diri dari dakwah-dakwah yang lain.
3.
Dakwah yang
membanggakan para pimpinannya yang mengajak mereka menyimpang dari Sabilul
Mukminin. Dakwah tersebut dalam menegakkan Al Wala’ dan Al Bara’ didasarkan
cinta kepada pimpinannya. Mereka ber-wala’ kepada orang yang sepaham dengannya
dalam mengikuti para pemimpin itu dan bara’ kepada orang yang tidak sepaham
dengannya dalam mengikuti pemimpin itu. Akhirnya para pengikut dakwah hizbiyyah
ini mengambil seluruh pendapat pemimpinnya tanpa memperhatikan benar salahnya
pendapat tersebut menurut Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salaf.
Apabila mereka mendapatkan pendapat bid’ah pemimpin-pemimpin mereka, mereka
akan berusaha mencari berbagai macam alasan agar tetap bisa berpegang kepada
pendapat tersebut. Kemudian mereka menyandarkan berbagai macam pujian kepada
pimpinannnya walaupun pimpinannya adalah orang-orang yang bodoh dan tidak
berilmu dengan ilmu yang shahih dan kokoh.
4.
Dakwah yang memiliki
nama tertentu bagi kelompoknya yang dengannya memisahkan diri dari yang lainnya
kemudian mereka fanatik dengan nama tersebut dan menjadikannya sebagai landasan
kebenaran tolong menolong serta bela membela.
Dakwah-dakwah
hizbiyyah biasanya memang memiliki nama-nama tertentu dan masing-masingnya
terkenal dengan nama-nama tersebut. Mereka saling panggil memanggil dengan
panggilan seperti panggilan yang dilakukan oleh orang Arab terhadap suku-suku
mereka pada jaman jahiliyyah ketika terjadi perselisihan di antara mereka.
Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa seorang laki-laki yang suka bercanda dari kalangan Muhajirin
memukul dubur seorang shahabat dari kalangan Anshar hingga shahabat Anshar ini
menjadi sangat marah kepadanya. Akhirnya berakibat masing-masing shahabat
tersebut memanggil kelompoknya. Shahabat Anshar menyeru kelompoknya dengan
berkata : “Wahai (kaum) Anshar.” Sedangkan shahabat Muhajirin berkata : “Wahai
(kaum) Muhajirin.” (Setelah mendengar hal ini) Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam keluar seraya bersabda : “Ada apa dengan panggilan jahiliyyah ini? Apa
urusan mereka?” Kemudian diceritakanlah kepada beliau Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam kejadian seorang Muhajirin memukul pantat seorang Anshar. Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tinggalkan oleh kalian
panggilan-panggilan jahiliyah itu karena sesungguhnya panggilan itu adalah
(panggilan) yang jelek.” (HR. Bukhari)
Wahai saudaraku kaum
Muslimin! Inilah beberapa point tentang hakekat dakwah hizbiyah. Betapa bedanya
dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan dakwah hizbiyah, ibarat putih dengan
hitam.
Pada satu sisi dakwah
Ahlus Sunnah wal Jamaah menyeru untuk mengikuti Sabilul Mukminun di bawah
bimbingan para ulama Ahlul Hadits yang mengajarkan hujjah yang kuat dari Al
Quran dan As Sunnah dengan keyakinan bahwa para ulama tersebut tidaklah makshum
seperti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Jika mereka mendapatkan pendapat
ulama tersebut menyimpang dari Sabilul Mukminin maka mereka siap untuk
meninggalkannya. Imam Malik rahimahullah berkata :
“Setiap manusia dapat
diambil perkataannya dan dapat dibuang kecuali pemilik kubur ini.” Seraya
memberikan isyarat ke kubur Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam[20].
Dakwah Ahlus Sunnah
meletakkan dasar Al Wala’ dan Al Bara’ di atas Al Quran dan As Sunnah dengan
pemahaman Salaf bukan di didasarkan pada fanatik terhadap golongan (kelompok
dan pemimpinnya) masing-masing. Dakwah ini juga tidak memiliki nama-nama
tertentu melainkan hanya Ahlus Sunnah wal Jamaah, Al Firqatun Najiyah, Ath
Thaifah Al Manshurah, As Salaf (yakni dakwah Salafiyah), Ahlul Hadits, Ahlul
Atsar, Al Jamaah, Jamaatul Muslimin. Seluruh nama-nama ini dinisbatkan oleh
para ulama Ahlul Hadits dari beberapa riwayat yang shahih tentang perpecahan
umat untuk menjelaskan tentang satu kelompok yang selamat dari mereka yaitu Al
Jamaah yang mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan para
shahabatnya serta beberapa riwayat tentang keutamaan Salafus Shalih. Di
antaranya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Penisbatan itu juga diambil dari penjelasan tentang adanya kelompok kecil (umat
Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) yang akan ditolong dan selalu membela
kebenaran hingga hari kiamat di antaranya hadits riwayat Imam Muslim dan Imam
Ahmad.
Dakwah Ahlus Sunnah
wal Jamaah dinisbatkan dengan nama-nama di atas agar dapat dibedakan dari
berbagai dakwah-dakwah sesat yang menyempal dari Sunnah di mana dakwah-dakwah
sesat tersebut juga mempunyai nama-nama yang mereka fanatik dengan
kelompok/golongan dan pemimpin mereka. Seperti syiah rafidlah, jahmiyah,
mu’tazilah, sufiyah atau nama kelompok hizbiyah yang sekarang seperti ikhwanul
Muslimin, jamaah tabligh, hizbut tahrir, NII, Islam jamaah dan lain-lain.
Syaikh Bakr Abdullah
Abu Zaid berkata dalam Kitabnya Hukmul Intima’ :
[ Nama-nama (Ahlus
Sunnah) yang mulia ini berbeda dengan berbagai nama yang dimiliki oleh
kelompok/golongan mana saja. Hal itu dapat ditinjau dari beberapa segi :
1.
Nama-nama yang
diberikan pada Ahlus Sunnah itu adalah penisbatan yang tidak pernah terpisah
sedikit pun dari kaum Muslimin semenjak terbentuknya di atas Manhaj Nubuwah.
Nama-nama itu mencakup seluruh kaum Muslimin yang berada di atas jalan generasi
awal (yakni Salafus Shalih) dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam
mengambil ilmu, cara memahaminya dan metode dakwah kepadanya (ilmu).
2.
Nama-nama tersebut
tidak memiliki bentuk khusus yang menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah, baik
dalam bentuk penambahan atau pengurangan.
3.
Nama-nama tersebut
adalah gelar yang di antaranya telah tsabit (tetap) di dalam sunnah yang
shahihah. Nama-nama ini disebutkan dalam menghadapi manhaj-manhaj Ahlul Ahwa
dan kelompok yang sesat untuk membantah bid’ah-bid’ah mereka, membedakan
dirinya dari mereka, menjauhi pergaulan dari mereka dan menyelisihi mereka.
Oleh karena itulah tatkala muncul berbagai bid’ah maka kaum Ahlus Sunnah
menampakkan dirinya dengan Sunnah. Tatkala ra’yu (rasio/akal) dijadikan
landasan hukum, mereka membedakan dirinya dengan berpegang pada hadits dan
atsar. Dan tatkala tersebarnya bid’ah dan hawa nafsu dari para khalaf, mereka
membedakan dirinya dengan berpegang pada Hadyus Salaf (bimbingan Salaf).
Demikianlah seterusnya.
4.
Ikatan Al Wala’ dan
Al Bara’, saling mencintai dan memusuhi bagi mereka adalah berdasarkan Islam
tidak dengan yang lainnya. Mereka tidak menyandarkannya pada suatu hizb dengan
nama-nama tertentu dan tidak pula memiliki batasan-batasan hizb-nya
masing-masing melainkan pada Al Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salafus
Shalih.
5.
Nama-nama ini tidak
mengajak umat untuk ber-ta’assub (fanatik) terhadap seseorang pun selain
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Fatawa jilid 3/346-347 berkata : “Oleh karena itulah dia mensifatkan Al
Firqatu An Najiyah dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mereka adalah Al Jumhurul
Akbar dan As Sawadul A’zham.”
6.
Nama-nama ini tidak
menjerumuskan pada bid’ah, maksiat dan tidak pula ashabiyah (sifat fanatik) terhadap
orang dan kelompok tertentu[21].
Demikianlah keadaan
dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah. ]
Pada sisi yang lain,
dakwah hizbiyah merupakan kebalikan dari dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah
sebagaimana yang telah kami jelaskan pada point hakekat dakwah hizbiyah.
Wallahu Al Musta’an.
Jalan Keluar Dari
Dakwah Hizbiyah
Timbulnya berbagai
macam dakwah hizbiyah adalah akibat menyimpang dari Sunnah dan terjatuhnya
mereka ke dalam bid’ah. Hal ini terlihat ketika munculnya golongan sesat yang
membawa pemikiran bid’ah dimulai dari syiah rafidlah, khawarij, qadariyah,
jabariyah dan yang lainnya. Pada saat itu muncul dakwah yang mengajak untuk
mengikuti golongan sesat yang memiliki pemikiran bid’ah tadi dan menyimpang
dari Sunnah. Keadaan ini terus berlanjut hingga masa kita sekarang ini. Oleh
karena itu tidak ada jalan keluar dari dakwah hizbiyah melainkan
mengembalikannya pada Sabilul Mukminin yaitu Al Quran dan As Sunnah dengan
pemahaman Salaf. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Aku wasiatkan kepada
kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat walaupun (yang memimpin
kalian) seorang budak Habsyi. Barangsiapa di antara kalian hidup (setelahku)
maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Jauhilah oleh kalian
mengada-adakan perkara baru (dalam agama) karena sesungguhnya hal itu adalah
sesat. Barangsiapa yang mendapatkan keadaan demikian di antara kamu maka wajib
atasnya berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, gigitlah
oleh kamu sekalian (Sunnah-Sunnah) tersebut dengan gigi gerahammu.” (HR.
Turmudzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan yang selain mereka, lihat Shahih Turmudzi
2/341-342)
Ibnu Qudamah setelah
menyebutkan beberapa dalil dalam masalah kewajiban mengikuti Salafus Shalih
mengatakan dalam kitabnya :
“Telah tetap
kewajiban mengikuti para Salaf rahimahullah dengan (dalil) Al Quran, Sunnah,
dan ijma[22].”
Selanjutnya beliau
berkata :
“Jadi sesungguhnya
satu-satunya jalan untuk terlepas dari bid’ah dan atsar-atsar yang jelek adalah
dengan berpegang teguh pada Al Quran dan As Sunnah, baik dalam bentuk
keyakinan, ilmu ataupun amal[23].”
Semua itu dengan
bimbingan Salaf, pemahaman dan manhaj serta praktek mereka terhadap dua wahyu
yang mulia (Al Quran dan As Sunnah). Dengan demikian mereka adalah orang yang
paling besar kecintaannya pada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, paling
kuat mengikuti beliau, paling banyak keinginannya (untuk itu) dan paling dalam
ilmu dan luas pengetahuannya[24].
Jalan keluar dari
hizbiyah seperti yang disebutkan di sini sebenarnya adalah jalan yang mudah dan
gampang bagi orang yang Allah mudahkan baginya untuk mengikuti Al Haq. Akan
tetapi hal ini membutuhkan kesungguhan untuk berilmu dan berdakwah kepadanya.
Saling bahu membahu dan tolong-menolong dengan landasan rasa cinta dan
persaudaraan di atas Sunnah untuk menjalaninya dan menjauhkan diri dari
berbagai macam penyakit hizbiyah (fanatik terhadap golongan/kelompok yang
menyempal dari Sunnah) di dalam mengikutinya. Hal itu sesuai dengan firman
Allah :
“Dan tolong menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al Maidah : 2)
Penutup
Kami sebagai Muslim
Sunny Salafy[25] mengajak kepada saudara-saudaraku sesama Muslim dalam rangka
memberikan nasehat kepada mereka untuk senantiasa kembali kepada yang hak,
dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan meninggalkan dakwah-dakwah hizbiyyah yang
akan membuat kita semua menyimpang dari jalan yang lurus yang telah digariskan
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan Salafus Shalih radliyallahu
'anhum.
Ketahuilah!
Dakwah-dakwah hizbiyyah itu adalah jalan-jalan setan yang akan menjauhkan kita
dari Sabilul Mukminin[26] dan menjerumuskan kita ke dalam lubang perpecahan dan
perselisihan karena setiap dakwah yang menyimpang dari Sabilul Mukminin
merupakan penyebab perpecahan dan perselisihan walaupun yang mengikuti dakwah
tersebut banyak dan berkumpul dalam satu organisasi, satu perkumpulan, satu
tandhim (peraturan) atau satu negeri dan selalu mendengungkan persatuan. Akan
tetapi sebaliknya dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah jalan yang lurus karena
ditegakkan di atas hujjah yang kokoh yang datang dari Allah yakni Al Quran dan
As Sunnah dengan pemahaman Salaf. Dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah dakwah
yang mengajak kepada Al Jamaah (persatuan) lawan dari Al Firqah (perpecahan)
atas dasar berpegang teguh dengan tali Allah sekalipun orang yang mengikutinya
hanya satu atau beberapa orang dan tidak berada dalam satu organisasi,
kumpulan, tempat, tandhim atau satu negeri. Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud :
“Al Jamaah adalah
apa-apa yang mencocoki Al Haq walaupun kamu sendirian.” (Dikeluarkan oleh
Baihaqi dalam Al Madkhal)
Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman :
“Jikalau Rabbmu
menghendaki tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh
Rabb-mu.” (QS. Huud : 118-119)
Berkata Imam Qatadah
:
“Orang-orang yang
dirahmati Allah adalah Ahlul Jamaah meskipun terpisah negeri-negeri dan
badan-badan mereka. Sedangkan ahlul maksiat (orang-orang yang bermaksiat)
kepada-Nya adalah ahlul firqah walaupun berkumpul negeri-negeri dan badan-badan
mereka[27].”
Jadi dakwah Ahlus
Sunnah wal Jamaah sebenarnya mengajak kepada Al Jamaah (persatuan) atas dasar
Al Haq dan menjauhi perpecahan. Dengan ini pula berarti menunjukan kedustaan
dakwah-dakwah hizbiyyah seperti ikhwanul Muslimin, jamaah tabligh dan lain-lain
dalam ajakan mereka untuk bersatu. Kalaupun seandainya mereka dapat
mengumpulkan massa kemudian mereka menamakannya dengan persatuan pada
hakekatnya itu hanyalah merupakan perpecahan dari Sabilul Mukminin dan
merupakan persatuan dalam subul (jalan jalan syaithan).
Dengan penjelasan di
atas telah terbantah seluruh tuduhan yang menyatakan bahwa dakwah Ahlus Sunnah
wal Jamaah adalah dakwah hizbiyyah karena Ahlus Sunnah mengajak kembali kepada
Sunnah dan bahkan memerangi hizbiyyah. Terbantah pula seluruh tuduhan terhadap
para da’i Salafy yang mengajak untuk mengikuti manhaj Salaf, memperingatkan
umat agar berhati-hati dari pemikiran-pemikiran ahlul bid’ah yang menyimpang
dari manhaj Salaf dan dari para da’i yang tidak memahami manhaj Salaf dengan
benar karena seruan itu bukanlah menyeru kepada hizbiyyah. Padahal mereka (para
da’i Salafy) bermaksud dengan dakwah mereka yang demikian adalah agar umat
terlepas dari belenggu-belenggu hizbiyyah yang telah dipasang oleh dakwah
hizbiyyah.
Adapun tuduhan kepada
para pengikut da’i-da’i Salafy tadi bahwa mereka adalah para muqallid adalah
tuduhan yang keliru dan batil. Karena para pengikut da’i-da’i Salafy tadi
mengikuti mereka bukan semata-mata fanatik tetapi karena mereka berada di atas
manhaj Salaf dan jauh dari hizbiyyah. Justru orang-orang yang menuduh mereka
muqallid itulah sebenarnya para muqallid, fanatik buta terhadap para pemimpin
mereka yang menyimpang dari Sunnah. Para pengikut da’i-da’i Salafy tersebut
tidak belajar selain kepada mereka adalah untuk menjaga akal dan pikiran mereka
agar tidak dimasuki pemikiran bid’ah yang dilontarkan para ahlul bid’ah dan
para da’i yang tidak paham manhaj Salaf, bukan ingin menjadi muqallid. Wallahul
Musta’an.
Para Salafus Shalih
telah mengajarkan kepada kaum Muslimin cara pengambilan ilmu sebagaimana telah
diriwayatkan di dalam Sunan Ad Darimi dari Abul Aliyah dia berkata :
[ Kami apabila
mendatangi seorang laki-laki untuk mengambil (ilmu) daripadanya maka kami
melihat apabila dia shalat. Maka apabila dia baik dalam shalatnya, kami duduk
bersamanya (untuk mengambil ilmu). Kami katakan : “Dia untuk amal yang
selainnya lebih baik.” Dan apabila dia buruk dalam shalatnya, kami
meninggalkannya (untuk tidak mengambil ilmu). Kami katakan : “Dia untuk amalan
yang selainnya lebih buruk lagi.” ] (Sunan Ad Darimi 1/93-94)
Ibrahim An Nakha’i
rahimahullah berkata :
“Mereka (Salafus
Shalih) apabila mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya maka mereka
melihat shalatnya, ittiba’-nya terhadap Sunnah dan keadaannya. Kemudian mereka
mengambil ilmu darinya.” (Dharuratul Ihtimam Abdus Salam bin Barjas halaman 12)
Inilah manhaj Salafus
Shalih dalam pengambilan ilmu. Hal ini juga telah mereka terapkan di dalam
pengambilan hadits. Ibnu Abbas radliyallahu 'anhu berkata :
[ Sesungguhnya kami
dahulu apabila mendengar seseorang berkata :
“Bersabda Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam.”
Maka
pandangan-pandangan kami segera tertuju kepadanya dan kami hadapkan
telinga-telinga kami kepadanya. (Akan tetapi) tatkala manusia dalam keadaan
yang rusak dan hina maka kami tidak menerima dari mereka kecuali apa yang kami
ketahui. ]
Ibnu Sirin
rahimahullah berkata :
[ Mereka dulunya
tidak bertanya tentang isnad (ketika menerima hadits). Maka tatkala terjadi
fitnah, mereka berkata (ketika menerima hadits) :
“Sebutkan rijal
(perawi-perawi)nya pada kami.”
Maka dilihat jika
Ahlus Sunnah diambil hadits mereka dan jika ahlul bid’ah tidak diambil hadits
mereka. ] (Muqadimah Shahih Muslim 1/13-15. Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal
Jamaah Fi Naqdi Ar Rijal DR. Rabi’ Al Madkhaly halaman 37)
Perkataan Ibnu Abbas
dan Ibnu Sirin ini memberitahukan kepada kita bahwasanya hal ini adalah madzhab
keumuman para Salaf di masa terakhir para shahabat dan orang-orang sesudah
mereka dari kalangan tabi’in.
Karena adanya
beberapa keterangan di atas inilah orang-orang yang mengikuti dakwah Ahlus
Sunnah wal Jamaah tidak belajar kepada para ahlul bid’ah dan para da’i yang
telah menampakkan penyimpangan mereka dari manhaj Salaf. Wallahu A’lam.
Maka dengan adanya
tuduhan-tuduhan di atas, saya menegaskan kembali bahwa seluruh tuduhan tersebut
adalah tuduhan yang muncul dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Mereka hanya ingin merongrong dakwah Salafiyah dengan cara membuat keraguan
bagi umat terhadap kebenaran dakwah Salafiyah dan menjatuhkan kepercayaan umat
terhadap para da’inya dengan tuduhan yang batil untuk menjelek-jelekkan mereka.
Hal ini mereka lakukan untuk mengumbar hawa nafsu hizbiyyah mereka. Mereka lupa
dengan prinsip persatuan umat yang ada pada mereka yang melarang untuk saling
menjelek-jelekkan di antara kaum Muslimin yang berakibat timbulnya perpecahan
serta mengajak untuk saling mengakui keutamaan masing-masing dan saling
memaafkan kesalahan masing-masing walaupun kesalahan itu terdapat pada
dasar-dasar dien. Akhirnya karena lupa terhadap prinsip mereka ini, mereka
menuduh para da’i Salafy dengan tuduhan yang jelek karena dirasa bahwa para
da’i itu merugikan hawa nafsu mereka.
Akan tetapi anehnya
mereka tidak melakukan hal yang sama terhadap ahlul bid’ah bahkan mereka justru
mengajak untuk inshaf (adil menurut mereka) terhadapnya dengan menutup mata
dari kesesatan-kesesatannya dan menonjolkan kebaikan-kebaikannya serta mencari
beribu alasan untuk membelanya. Karena ahlul bid’ah tersebut menguntungkan hawa
nafsu mereka.
Bertaubatlah kepada Allah
wahai para penuduh-penuduh, pengumbar hawa nafsu yang tidak bertanggung jawab
sebelum datang ajal kalian dalam keadaan kalian berada di tepi jurang-jurang
neraka Jahannam. Kembalilah kepada dakwah Salafiyah! Dan tinggalkan seluruh
penyakit hizbiyyah! Apa yang memberatkan kalian untuk meninggalkan para
pemimpin kalian yang sesat itu? Apakah kalian tergiur dengan berbagai macam
kesenangan dunia yang mereka tawarkan? Maka jangan kalian ganti Dien ini dengan
kesenangan dunia yang menipu dan harga dirinya yang sedikit. Apalah artinya
dana yang berbentuk uang atau kesenangan dunia yang menipu dan harga dunia yang
sedikit jika dibandingkan dengan pahala yang Allah janjikan bagi kaum Mukminin
yang teguh di atas kebenaran di akhirat nanti? Pahala yang berbentuk Surga yang
penuh dengan kesenangan dan kenikmatan yang tidak pernah dilihat dengan mata,
tidak terdengar dengan telinga, dan tidak pernah terbetik sedikitpun dalam hati
manusia selama di dunia. Maka kalau kalian masih memiliki akal yang sehat dan
fitrah yang suci, bersegeralah untuk menyelamatkan diri kalian dari adzab Allah
yang pedih yang kalian tidak akan sanggup menahannya sedikitpun. Tinggalkanlah
para pemimpin kalian terombang-ambing dalam kesesatan mereka karena kalian
tidak akan ditanya pada hari kiamat tentang kesesatan mereka.
Ya Allah Yang Maha
Hidup dan senantiasa mengurus para makhluk-Nya, Maha Pengampun lagi Penyayang,
ampunilah dosa-dosa kami dan perbaikilah amal-amal kami. Serta tunjukilah kami
kepada jalan yang Engkau ridlai. Amien ya Rabbal Alamien. Wallahu A’lamu bis
Shawab.
[1] Lihat Al Hikmah
Fi Dakwah Ilallah. Sa’id Ibnu Ali bin Wahaf Al Qahthany halaman 117.
[2] Lihat Muhaadharah
Fi Dakwah Salafiyah. Syaikh Al Albany (Muhadharah yang kedua halaman 10).
[3] Lihat Ushulun Fil
Bida’i was Sunnan. Ahmad Muhammad Al Adawy halaman 16.
[4] Pembagian dien
pada Ushul dan Furu’ adalah pembagian yang bathil dan merupakan dasar dari
dasar-dasar penyebab sesatnya suatu kaum. Lihat Dlaruratu Al Ihtimam bi As
Sunnani An Nabawiyah, Abdus Salam Barjas halaman 110-118.
[5] Lihat pula Talbis
Iblis karya Ibnul Jauzi halaman 16-17.
[6] Imam Ibnu Abdil
Izzi Al Hanafy mengatakan dalam Syarh Aqidah Ath Thahawiyah, diriwayatkan dari
Abu Hanifah (tentang) pengutamaan Ali di atas Utsman padahal dhahir madzhabnya
adalah mengutamakan Utsman di atas Ali dan ini adalah pendapat kebanyakan Ahlus
Sunnah. (Syarh Aqidah Thahawiyah halaman 483)
Ibnu Taimiyah
mengatakan dalam fatwanya : “Dan permasalahan ini --masalah pengutamaan antara
Utsman dan Ali-- tidaklah termasuk dari ushul-ushul (dasar-dasar) yang
disesatkan orang yang menyelisihi padanya. Akan tetapi masalah yang disesatkan
orang yang menyelisihi padanya adalah permasalahan Khilafah.” (Majmu’ Fatawa
Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 153)
[7] Lihat Al I’tisham
karya Imam Syathibi jilid 2 halaman 264.
[8] Lihat Fathul Bary
karya Ibnu Hajar Al Asqalany jilid 13 halaman 63.
[9] Lihat Al Farqu
bainal Firaq karya Abdul Qahir bin Thahir Al Baghdady halaman 361.
[10] Lihat Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah jilid 3 halaman 157.
[11] Disadur dari
Kitab Mas’alat Taqrib baina Ahlus Sunnah was Syiah DR. Nashir bin Abdullah bin
Ali Al Qaffary halaman 23-24.
[12] Lihat Majmu’
Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah jilid 3 halaman 159.
[13] Disadur dari
Kitab Mas’alat Taqrib Baina Ahlus Sunnah was Syi’ah oleh DR. Nashir bin
Abdullah bin Ali Al Qaffary halaman 35-43.
[14] Lihat sikap
Salaf dalam masalah ini dalam Kitab Ilmu Ushulul Bida’ karya Syaikh Ali bin
Hasan Abdul Hamid Al Atsary, hal. 295-308.
[15] Lihat Salafy
edisi perdana rubrik Tafsir halaman 18-26.
[16] Hal ini seperti
yang dikabarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan Muslim, Ahmad, dan yang lain-lain tentang adanya Thaifah Al
Manshurah yang akan selalu membela kebenaran hingga datangnya hari kiamat.
[17] Lihat keterangan
lebih lanjut dalam masalah ini pada Salafy edisi 2 rubrik Tafsir halaman 32-37.
[18] Para ulama Ahlul
Hadits ini adalah Ath Thaifah Al Manshurah yang akan selalu membela kebenaran
sebagaimana yang dikabarkan dalam hadits riwayat Imam Muslim, Ahmad, dan
lainnya. Pendapat ini adalah pendapat Ibnul Mubarak, Yazid bin Harun, Ibnul
Madini, Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Khathib Al Baghdady, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu
Rajab. Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Fi Naqdir Rijaal karya Syaikh Rabi’
bin Hadi Al Madkhaly halaman 18.
[19] Lihat Ad Da’wah
Illallah karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Atsary halaman 20,73, dan 81.
[20] Sebenarnya
perkataan ini adalah perkataan yang pernah diucapkan Ibnu Abbas sebagaimana
yang disebutkan oleh Taqiyuddin As Sabky dalam Al Fataawiy 1/148. Kemudian Imam
Mujahid mengambil perkataan ini dari beliau sebagaimana disebutkan Ibnul Abdil
Baar dalam Jami’ul Bayaanil Ilmu wa Fadllihi 1/191 dan Al Ihkam fi Ushulil
Ahkam 1/145. Lalu Imam Malik mengambilnya dari Imam Mujahid. Imam Ahmad bin
Hambal juga pernah mengatakan perkataan yang semakna sebagaimana yang telah
disebutkan Abu Dawud dalam Masa’il Imam Ahmad halaman 276. (Lihat Hal lil
Muslimin Mulzamun Bit Tiba’i Madzhabin Mu’ayyan karya Muhammad Sulthan Al
Ma’shumi, tahqiq Syaikh Salim Al Hilali halaman 42)
[21] Lihat Hukmul
Intima’ Ilal Firaq wal Ahzab wal Jama’atil Islamiyah oleh Bakr bin Abdullah Abu
Zaid halaman 41-43.
[22] Lihat Dzammut
Ta’wil oleh Ibnu Qudamah halaman 35.
[23] Lihat Hurmatul
Ibtida’ Fid Dien oleh Abu Bakr Al Jazairy halaman 44.
[24] Lihat Ilmu
Ushulil Bida’ Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman 314.
[25] Seorang yang
menisbatkan pemahamannya kepada para Salaf dengan menyebutkan dirinya sebagai
Salafy tidak dapat dikatakan hizbiyah bahkan semestinya seorang Ahlus Sunnah
yang mengaku mengikuti Salaf harus menyebutkan dirinya salafy. Karena
penisbatan ini adalah penisbatan yang dituntut ketika munculnya berbagai macam
kelompok bid’ah. Hal ini serupa dengan orang yang menamakan dirinya Ahlus
Sunnah. (Al Ashalah nomor 9 tahun 1414 halaman 86, dinukil dari tulisan Syaikh
Al Albany rahimahullah. Lihat Salafy edisi perdana rubrik Mabhats halaman 8-10)
[26] Hal ini semakna
dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika menggariskan satu
garis lurus lalu mengatakan hal ini jalan Allah yang lurus dan menggariskan
garis-garis lain di sebelah kanan dan kini garis lurus tersebut. Lalu
mengatakan, ini jalan-jalan yang tidak ada satu jalan pun melainkan ada setan
yang menyeru kepadanya. (HR. Ahmad 1/453 dan 465, Ath Thayalisi 244, dan An
Nasa’i dalam Al Kubra sebagaimana dalam At Tuhfah 7/49, sanadnya lihat Al
Hawadits wal Bida’ Imam Ath Thurthusy tahqiq Syaikh Ali Hasan Al Atsary halaman
32)
[27] Lihat Tafsir
Ibnu Katsir cetakan Darul Faiha (Damsyiq) dan Darus Salam (Riyadl) jilid 2
halaman 611.
Oleh: Ust. Abdul Mu’thi As Salafy
http://assunnah.cjb.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar