Pada bulan Sya’ban tahun kelima hijrah, terjadilah peristiwa
haditsul ifk yang masyhur. Kisah ini bermula ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang biasa jika hendak safar, melakukan undian di antara para isteri
beliau -itulah salah satu bentuk keadilan beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam-. Siapa yang keluar namanya dalam undian itu, dialah yang
menyertai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka, beliau pun mengundi. Keluarlah
nama ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sehingga beliaulah yang diajak Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Dalam perjalanan pulang, mereka berkemah di sebuah tempat, dan
istirahat di akhir malam. Waktu itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bermaksud hendak
buang hajat. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk
pergi di akhir malam. Setelah beliau berangkat, datanglah rombongan untuk
mengangkat sekedup (semacam tandu)-nya. Mereka tidak sadar bahwa ‘Aisyah tidak
ada di dalamnya karena tubuhnya yang kecil dan ringan. Beliau dinikahi oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia enam tahun dan mulai bergaul
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berusia sembilan tahun.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat meninggalkannya dalam usianya 18
tahun. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sendiri wafat dalam usia sekitar 63 tahun.
Merekapun mengangkat sekedup itu dalam keadaan mengira ‘Aisyah ada di dalamnya.
Ketika ‘Aisyah kembali dari keperluannya, dia tidak melihat seorangpun di tempatnya. Namun dengan akal dan kecerdasannya, dia tidak beranjak untuk mencari kesana
ke mari. Dia tetap tinggal di tempat itu dan berkata: “Mereka tentu kehilangan
saya dan akan kembali ke tempat saya.”
Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala berkuasa atas urusan-Nya. Dia mengatur segala sesuatu dari atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Selanjutnya, ‘Aisyah diserang kantuk cukup berat. Beliaupun tertidur dan tidak tergugah hingga mendengar suara Shafwan bin Mu’aththal mengucapkan istirja’: “Innaa lillahi wa inna ilaihi raji’un, isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ketika itu Shafwan berkemah di bagian belakang pasukan karena sering tidur, dan jika sudah tertidur tidak mudah terbangun kecuali jika Allah Subhanahu wa Ta'ala membangunkannya. Tatkala melihat sosok ‘Aisyah, dia segera mengenalnya, apalagi dia pernah melihatnya sebelum turun ayat hijab. Spontan dia mengucapkan kalimat istirja’, memanggil untanya dan mendekatkannya ke arah ‘Aisyah.
Dia tidak berbicara sepatahpun karena menghormati isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dia tidak ingin berbicara dengan keluarga beliau tanpa keberadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhainya.
Shafwan menderumkan untanya lalu meletakkan tangannya di atas lutut unta itu, namun tidak mengatakan: “Naiklah”, dan tidak bicara sepatahpun. Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menaiki unta itu dan merekapun berangkat menyusul rombongan pasukan. Shafwan menggiring unta tersebut tanpa menoleh ke arah ‘Aisyah dan tanpa berkata-kata sehurufpun. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhainya.
Akhirnya mereka menemukan rombongan pada waktu dhuha, ketika matahari beranjak naik. Betapa senangnya kaum munafikin saat mendapatkan celah untuk menjatuhkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mulai menuduh shahabat ini berselingkuh dengan seorang wanita mulia yang suci bersih, ranjang (isteri) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menuduh shahabat ini berbuat keji dengan beliau radhiyallahu 'anha. Lantas mereka pun menyebarkan berita keji ini, bahwa shahabat tersebut telah melakukan sesuatu (zina, ed.).
Dalam peristiwa ini, tergelincirlah tiga orang shahabat mulia. Mereka terjatuh dalam perkara yang menimpa kaum munafikin, yaitu Misthah bin Utsatsah, putera bibi (khalah) Abu Bakr (Ash-Shiddiq), Hassan bin Tsabit, dan Hamnah bintu Jahsy radhiyallahu 'anhum.
Berita Tersebar
Kegemparan terjadi. Orang-orang mulai berkomentar: “Ada apa ini? Bagaimana
bisa terjadi?” Ada
yang dilanda kegamangan. Ada
pula yang demikian kuat mengingkarinya.
Kata mereka: “Tidak mungkin ranjang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan ternoda. Karena ranjang beliau adalah ranjang paling suci di muka bumi ini.”
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan Keperkasaan, Kekuasaan, dan Hikmah-Nya menghendaki ketika itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha jatuh sakit sehingga tetap di rumah, tidak keluar. Biasanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menjenguk ‘Aisyah yang sedang sakit menanyakan perihalnya dan berbicara dengannya. Namun saat itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam seribu bahasa. Datang, masuk dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?”, lalu pergi. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha merasakan kejanggalan sikap beliau ini. Namun sama sekali tidak terlintas dalam benaknya ada orang-orang yang tengah menggunjingkan kehormatannya dan hal-hal yang isinya menodai kesucian ranjang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kaum munafikin semakin gencar menyebarkan kebohongan ini, bukan semata karena benci kepada pribadi ‘Aisyah radhiyallahu 'anha. Karena sesungguhnya mereka memang membenci seluruh kaum mukminin. Hanya saja mereka melakukan ini karena benci kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ingin menyakiti serta melampiaskan dendam kesumat mereka terhadap beliau. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melenyapkan mereka, bagaimana mereka bisa dipalingkan?
Mereka tidak menyebarkannya dengan kata-kata yang vulgar (si Fulan berzina dengan Fulanah, ed.), tapi dengan kalimat-kalimat sindiran, tidak terang-terangan, karena sejatinya mereka memang manusia-manusia pengecut.
Pembelaan dari Atas Langit
Sebulan penuh berlalu, ‘Aisyah radhiyallahu 'anha merasakan kepedihan. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun gelisah, belum juga turun wahyu menjelaskan masalah ini. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala betul-betul Maha Pengasih. Dia tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang berbuat ihsan. Apalagi kekasih-Nya, hamba yang paling dicintai dan diutamakan-Nya, Muhammad bin ‘Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akhirnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan sepuluh ayat Al Quran berkaitan dengan kisah ini, dimulai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ الَّذِيْنَ جَاءُوا بِاْلإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لاَ تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيْمٌ. لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِيْنٌ. لَوْلاَ جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللهِ هُمُ الْكَاذِبُوْنَ. وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيْهِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ. إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُوْنَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ. وَلَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَا يَكُوْنُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ. يَعِظُكُمَ اللهُ أَنْ تَعُوْدُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. وَيُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلآيَاتِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ. وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللهَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperbincangkan ini. Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.’ Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).” (An-Nur: 11-20)
Adapun yang mempunyai andil terbesar dalam penyebaran kabar bohong ini adalah gembong munafikin, Abdullah bin Ubai bin Salul Al-Munafiq. Karena sebetulnya dialah yang menyebarkan berita ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam tidak berbicara. Beliau hanya bermusyawarah dengan para shahabatnya, apakah menceraikan ‘Aisyah ataukah tetap menahannya (sebagai isteri). ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyarankan dengan sindiran agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikannya. Karena ‘Ali berpendapat bahwa ini adalah suatu hal yang meragukan, maka ‘Ali menyarankan agar beliau meninggalkan perkara yang meragukan ini dan berpegang dengan hal-hal yang meyakinkan agar terlepas dari keresahan dan kesedihan karena mendengar berita/omongan orang. Jadi, ‘Ali menawarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan pintas mengobati penyakit tersebut.
Sedangkan Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma, ketika mengetahui betapa besar cinta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah dan ayahandanya, juga betapa tinggi kemuliaan, kehormatan, dan kesuciannya serta ketakwaannya, yang terlalu agung (sangat mustahil, ed.) untuk terjatuh ke dalam perkara seperti itu, juga dengan karamah/kemuliaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedudukan beliau di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta pembelaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap beliau, tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala akan jadikan isteri kekasih-Nya, puteri Ash-Shiddiq, sebagaimana tuduhan keji para penyebar berita bohong tersebut.
Akhirnya, ketika para shahabat yang mengenal keadaan ini, mereka yang kokoh pengetahuannya tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, serta kedudukan beliau di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentu akan mengatakan sebagaimana perkataan Abu Ayyub dan para pembesar shahabat lainnya:
سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ
“Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.”
Perhatikanlah ucapan tasbih mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ini. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya ma’rifat mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjadikan untuk Rasul dan Khalil-Nya serta manusia paling mulia di sisi-Nya seorang isteri yang jahat dan jalang. Sehingga siapa saja yang mempunyai anggapan seperti ini terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, berarti dia su‘uzhan (buruk sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan orang-orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala serta Rasul-Nya, mengerti bahwa perempuan yang keji tidak ada yang pantas baginya kecuali laki-laki yang keji pula. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
الْخَبِيْثَاتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji.” (An-Nur: 26)
Sehingga merekapun memutuskan dengan seyakin-yakinnya, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah dusta besar dan kebohongan yang nyata.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya tentang ayat ini, menerangkan:
“Ini adalah kalimat yang ringkas namun bersifat umum, tidak ada satupun yang keluar darinya. Termasuk di antara kosakata paling agung, menunjukkan bahwa para nabi, terutama Ulul ’Azmi di antara mereka dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sayyid (penghulu, pemimpin) mereka, yang merupakan seutama-utama ath-thayyib (yang baik) dari sekalian makhluk secara mutlak. Tidak ada yang sepadan bagi mereka kecuali yang baik (thayyib) dari kalangan wanita. Sehingga cacian terhadap pribadi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan tuduhan seperti ini, justru merupakan penghinaan terhadap pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah sebetulnya tujuan berita dusta (haditsul ifk) ini.
Sekedar tahu bahwa beliau adalah isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sudah cukup dimengerti bahwa beliau adalah wanita yang baik, suci dari tuduhan keji ini. Lantas bagaimana pula bila ternyata dia adalah dia?! Seorang wanita shiddiqah, yang paling utama, paling berilmu, paling suci, kekasih Rasul (utusan) Rabb (Pencipta, Penguasa, Pengatur) semesta alam, yang tidaklah turun wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam selimut seorang wanita kecuali dia?!
Sehingga kalau ‘Aisyah, Ummul Mukminin, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengalami (atau sebagaimana tuduhan mereka), –dan mustahil terjadi demikian– maka sesungguhnya ini menampakkan kepada umat manusia bahwa suaminya adalah juga laki-laki yang keji dan kotor. Na’udzu billahi mindzalik. Karena wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Akan tetapi beliau radhiyallahu ‘anha adalah wanita suci, maka suaminya pun adalah seorang laki-laki yang suci. Suaminya adalah Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Beberapa Hikmah
Jika ada yang bertanya: “Kalau demikian, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tawaqquf/tidak berkomentar dalam urusan ini, menanyainya, meneliti dan bermusyawarah, padahal beliau adalah orang yang paling kuat ma’rifatnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, paling tahu tentang kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan paling tahu apa yang layak bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala? Mengapakah beliau tidak ikut mengucapkan: “Maha Suci Engkau Ya Allah, ini adalah kedustaan besar.” Sebagaimana diucapkan para pembesar shahabat?
Jawabnya: Ini merupakan hikmah nyata yang Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan kisah ini sebagai sebabnya, sekaligus ujian dan cobaan bagi Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga ujian bagi seluruh umat Islam sampai hari kiamat. Melalui kisah ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat satu golongan dan menghinakan golongan lainnya. Melalui kisah ini pula, Allah Subhanahu wa Ta'ala tambah keimanan dan petunjuk bagi mereka yang mau menerimanya. Sedangkan orang-orang yang zalim tidaklah bertambah kecuali kerugian belaka.
Semakin lengkap ujian beliau, dengan lambatnya wahyu datang kepada beliau hingga satu bulan lamanya. Semakin terungkap rahasia dan hikmah kelambatan ini, dengan bertambahnya keimanan dan kekokohan mereka yang jujur (dalam beriman). Bertambah pula baik sangka mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya, ahli bait beliau dan orang-orang yang shiddiq di antara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebaliknya, semakin tampaklah kedustaan kaum munafikin ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala tunjukkan kepada Rasul-Nya dan kaum mukminin, rahasia yang mereka sembunyikan selama ini (dendam dan kebencian terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ed.). Semakin lengkap pula ibadah yang dikehendaki dari Ash-Shiddiqah dan ibu bapaknya, begitu pula nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada mereka.
Dengan kelambatan wahyu ini pula, semakin terasa betapa butuh dan harapnya ‘Aisyah dan ayah ibunya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semakin dalam baik sangka (husnuzhann) mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pupus sudah harapan mereka untuk memperoleh pembelaan dari makhluk. Tumpah ruah seluruh harapan tertuju hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab itulah, ketika kondisi ini memuncak dan beliau sempurna mencapai kedudukan ini, dan tatkala ayah ibunya berkata kepadanya: “Berdirilah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam!” Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan wahyu tentang sucinya beliau dari semua tuduhan, ‘Aisyah justru berkata: “Demi Allah, saya tidak akan berdiri kepada beliau. Dan saya tidak akan memuji siapapun kecuali Allah. Dialah yang telah menurunkan wahyu tentang kesucianku.”
Ucapan ‘Aisyah ini menunjukkan betapa dalam pengetahuannya tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala. Betapa kuat imannya, kemurnian tauhidnya, kuatnya kemauan dan keyakinannya bahwa semua itu adalah nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, juga kepercayaannya betapa besar cinta Rasulullah kepadanya, sehingga beliau tujukan pujian itu hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Alangkah indahnya keteguhan dan ketabahan ini, di mana semua ini lebih dicintainya, pada saat hatinya pilu melihat perubahan sikap sang kekasih selama satu bulan, kemudian datanglah keridhaan dan penerimaan. Namun beliau tidak segera berdiri kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahagia dengan keridhaan dan kedekatan beliau padahal ‘Aisyah sangat mencintai beliau. Inilah puncak keteguhan dan kekokohan hatinya.
Di samping itu juga, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala ingin menampakkan kedudukan Rasul-Nya dan ahli bait beliau serta kemuliaan mereka di sisi-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala ingin melepaskan Rasul-Nya dari kasus ini, maka Dia sendirilah yang tampil membela dan membersihkan kekasih-Nya dari tuduhan musuh-musuh-Nya.
Hikmah lainnya; karena sasaran utama peristiwa ini tidak lain adalah pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang tertuduh adalah isteri yang sangat dicintainya. Sehingga tidak pantas kiranya beliau menjadi saksi kesucian isterinya, meskipun beliau sangat mengetahui, bahkan mempunyai bukti-bukti jauh lebih kuat daripada bukti yang dimiliki kaum mukminin tentang kesucian isterinya. Dan beliau tidak mungkin mempunyai praduga buruk sedikitpun terhadap isterinya. Sebab itulah ketika beliau meminta udzur dari para penyebar berita bohong ini, beliau berkata:
مَنْ يَعْذُرُنِي مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِيْ أَهْلِي فَوَ اللهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي إِلاَّ خَيْرًا وَقَدْ ذَكَرُوا رَجُلاً مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا وَمَا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِي إِلاَّ مَعِي
“Siapa yang memberiku udzur (kalau aku membalas, sehingga tidak mencelaku) dari seseorang yang gangguannya menimpa keluargaku (isteriku). Demi Allah, saya tidak mengetahui keadaan keluargaku (isteriku) kecuali kebaikan. Dan mereka menyebut-nyebut seorang laki-laki yang tidak aku ketahui tentang dia kecuali kebaikan, bahkan dia tidaklah masuk dalam keluargaku kecuali bersamaku?”
Jelaslah bahwa beliau mempunyai bukti kuat akan kesucian isterinya. Namun karena kesempurnaan kesabaran, keteguhan, kehalusan serta kepercayaan beliau kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau sempurnakan kesabaran dan baik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sampai turunnya wahyu yang menyejukkan pandangan, menyenangkan hati serta memuliakan kedudukan beliau. Di samping itu, semakin jelas pula bagi umatnya pembelaan dan perhatian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penutup
Telah kita singgung bahwa di antara para shahabat ada juga yang terjatuh ke dalam dosa ini. Maka setelah turunnya ayat surat An-Nur ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan agar mereka yang terlibat dikenakan hukum had. Akhirnya masing-masing mereka dicambuk 80 kali atas perbuatan mereka. Akan tetapi gembong munafik Abdullah bin Ubai bin Salul tidak dihukum sama sekali. Padahal dialah dalang dari semua kekeruhan ini. Mengapa demikian?
Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan, bahwa hukum had ini tujuannya adalah membersihkan orang yang beriman dan sebagai tebusan atas kesalahan atau dosa yang dilakukannya. Sedangkan orang yang keji, tidak pantas menerimanya. Apalagi Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah menyediakan untuknya siksaan yang sangat hebat di akhirat. Sehingga cukuplah azab itu sebagai hukum had yang menimpanya.
Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencambuk Mishthah bin Utsatsah, Hamnah bintu Jahsy, dan Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhum, yang jelas-jelas mereka adalah dari barisan kaum mukminin yang jujur imannya, sebagai tebusan dan penyucian atas dosa-dosa mereka. Dan beliau melepaskan Abdullah bin Ubai dari hukuman ini, karena memang dia tidak pantas untuk dibersihkan.
Dan Al-Hafizh Ibnul Qayyim juga menguraikan alasan-alasan lainnya, namun beliau memilih pendapat yang sudah dipaparkan di atas.
Terakhir, berdasarkan pendapat yang shahih, bahwasanya siapa saja yang melemparkan tuduhan terhadap salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tuduhan seperti ini, maka dia kafir keluar dari Islam. Karena hal itu berarti dia menjatuhkan kehormatan pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menegaskan, bahwa siapa saja yang menuduh salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala sucikan ‘Aisyah dengannya, maka dia kafir, murtad, wajib diminta bertaubat. Kalau dia bertaubat, itulah yang diharapkan, kalau tidak mau, dia harus dibunuh dengan memenggal kepalanya, lalu bangkainya dibiarkan begitu saja, tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak dishalatkan, karena masalah ini adalah masalah yang sangat berbahaya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ketika ‘Aisyah kembali dari keperluannya, dia tidak melihat seorangpun di tempatnya. Namun dengan akal dan kecerdasannya, dia tidak beranjak untuk mencari ke
Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala berkuasa atas urusan-Nya. Dia mengatur segala sesuatu dari atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki. Selanjutnya, ‘Aisyah diserang kantuk cukup berat. Beliaupun tertidur dan tidak tergugah hingga mendengar suara Shafwan bin Mu’aththal mengucapkan istirja’: “Innaa lillahi wa inna ilaihi raji’un, isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ketika itu Shafwan berkemah di bagian belakang pasukan karena sering tidur, dan jika sudah tertidur tidak mudah terbangun kecuali jika Allah Subhanahu wa Ta'ala membangunkannya. Tatkala melihat sosok ‘Aisyah, dia segera mengenalnya, apalagi dia pernah melihatnya sebelum turun ayat hijab. Spontan dia mengucapkan kalimat istirja’, memanggil untanya dan mendekatkannya ke arah ‘Aisyah.
Dia tidak berbicara sepatahpun karena menghormati isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dia tidak ingin berbicara dengan keluarga beliau tanpa keberadaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhainya.
Shafwan menderumkan untanya lalu meletakkan tangannya di atas lutut unta itu, namun tidak mengatakan: “Naiklah”, dan tidak bicara sepatahpun. Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menaiki unta itu dan merekapun berangkat menyusul rombongan pasukan. Shafwan menggiring unta tersebut tanpa menoleh ke arah ‘Aisyah dan tanpa berkata-kata sehurufpun. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala meridhainya.
Akhirnya mereka menemukan rombongan pada waktu dhuha, ketika matahari beranjak naik. Betapa senangnya kaum munafikin saat mendapatkan celah untuk menjatuhkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun mulai menuduh shahabat ini berselingkuh dengan seorang wanita mulia yang suci bersih, ranjang (isteri) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menuduh shahabat ini berbuat keji dengan beliau radhiyallahu 'anha. Lantas mereka pun menyebarkan berita keji ini, bahwa shahabat tersebut telah melakukan sesuatu (zina, ed.).
Dalam peristiwa ini, tergelincirlah tiga orang shahabat mulia. Mereka terjatuh dalam perkara yang menimpa kaum munafikin, yaitu Misthah bin Utsatsah, putera bibi (khalah) Abu Bakr (Ash-Shiddiq), Hassan bin Tsabit, dan Hamnah bintu Jahsy radhiyallahu 'anhum.
Berita Tersebar
Kegemparan terjadi. Orang-orang mulai berkomentar: “
Kata mereka: “Tidak mungkin ranjang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan ternoda. Karena ranjang beliau adalah ranjang paling suci di muka bumi ini.”
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan Keperkasaan, Kekuasaan, dan Hikmah-Nya menghendaki ketika itu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha jatuh sakit sehingga tetap di rumah, tidak keluar. Biasanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menjenguk ‘Aisyah yang sedang sakit menanyakan perihalnya dan berbicara dengannya. Namun saat itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam seribu bahasa. Datang, masuk dan bertanya: “Bagaimana keadaanmu?”, lalu pergi. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha merasakan kejanggalan sikap beliau ini. Namun sama sekali tidak terlintas dalam benaknya ada orang-orang yang tengah menggunjingkan kehormatannya dan hal-hal yang isinya menodai kesucian ranjang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kaum munafikin semakin gencar menyebarkan kebohongan ini, bukan semata karena benci kepada pribadi ‘Aisyah radhiyallahu 'anha. Karena sesungguhnya mereka memang membenci seluruh kaum mukminin. Hanya saja mereka melakukan ini karena benci kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ingin menyakiti serta melampiaskan dendam kesumat mereka terhadap beliau. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melenyapkan mereka, bagaimana mereka bisa dipalingkan?
Mereka tidak menyebarkannya dengan kata-kata yang vulgar (si Fulan berzina dengan Fulanah, ed.), tapi dengan kalimat-kalimat sindiran, tidak terang-terangan, karena sejatinya mereka memang manusia-manusia pengecut.
Pembelaan dari Atas Langit
Sebulan penuh berlalu, ‘Aisyah radhiyallahu 'anha merasakan kepedihan. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun gelisah, belum juga turun wahyu menjelaskan masalah ini. Namun Allah Subhanahu wa Ta'ala betul-betul Maha Pengasih. Dia tidak menyia-nyiakan hamba-Nya yang berbuat ihsan. Apalagi kekasih-Nya, hamba yang paling dicintai dan diutamakan-Nya, Muhammad bin ‘Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akhirnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan sepuluh ayat Al Quran berkaitan dengan kisah ini, dimulai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ الَّذِيْنَ جَاءُوا بِاْلإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لاَ تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ اْلإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيْمٌ. لَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوْهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَذَا إِفْكٌ مُبِيْنٌ. لَوْلاَ جَاءُوا عَلَيْهِ بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَإِذْ لَمْ يَأْتُوا بِالشُّهَدَاءِ فَأُولَئِكَ عِنْدَ اللهِ هُمُ الْكَاذِبُوْنَ. وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ لَمَسَّكُمْ فِي مَا أَفَضْتُمْ فِيْهِ عَذَابٌ عَظِيْمٌ. إِذْ تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُوْلُوْنَ بِأَفْوَاهِكُمْ مَا لَيْسَ لَكُمْ بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُوْنَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ. وَلَوْلاَ إِذْ سَمِعْتُمُوْهُ قُلْتُمْ مَا يَكُوْنُ لَنَا أَنْ نَتَكَلَّمَ بِهَذَا سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ. يَعِظُكُمَ اللهُ أَنْ تَعُوْدُوا لِمِثْلِهِ أَبَدًا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ. وَيُبَيِّنُ اللهُ لَكُمُ اْلآيَاتِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ. إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ. وَلَوْلاَ فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ وَأَنَّ اللهَ رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mukminin dan mukminat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan (mengapa tidak) berkata: ‘Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.’ Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta. Sekiranya tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena pembicaraan kamu tentang berita bohong itu. (Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar. Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita memperbincangkan ini. Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.’ Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali berbuat yang seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang-orang yang beriman, dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dan sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa azab yang besar).” (An-Nur: 11-20)
Adapun yang mempunyai andil terbesar dalam penyebaran kabar bohong ini adalah gembong munafikin, Abdullah bin Ubai bin Salul Al-Munafiq. Karena sebetulnya dialah yang menyebarkan berita ini.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam tidak berbicara. Beliau hanya bermusyawarah dengan para shahabatnya, apakah menceraikan ‘Aisyah ataukah tetap menahannya (sebagai isteri). ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyarankan dengan sindiran agar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceraikannya. Karena ‘Ali berpendapat bahwa ini adalah suatu hal yang meragukan, maka ‘Ali menyarankan agar beliau meninggalkan perkara yang meragukan ini dan berpegang dengan hal-hal yang meyakinkan agar terlepas dari keresahan dan kesedihan karena mendengar berita/omongan orang. Jadi, ‘Ali menawarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jalan pintas mengobati penyakit tersebut.
Sedangkan Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma, ketika mengetahui betapa besar cinta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah dan ayahandanya, juga betapa tinggi kemuliaan, kehormatan, dan kesuciannya serta ketakwaannya, yang terlalu agung (sangat mustahil, ed.) untuk terjatuh ke dalam perkara seperti itu, juga dengan karamah/kemuliaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedudukan beliau di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta pembelaan Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap beliau, tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala akan jadikan isteri kekasih-Nya, puteri Ash-Shiddiq, sebagaimana tuduhan keji para penyebar berita bohong tersebut.
Akhirnya, ketika para shahabat yang mengenal keadaan ini, mereka yang kokoh pengetahuannya tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya, serta kedudukan beliau di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentu akan mengatakan sebagaimana perkataan Abu Ayyub dan para pembesar shahabat lainnya:
سُبْحَانَكَ هَذَا بُهْتَانٌ عَظِيْمٌ
“Maha Suci Engkau (Wahai Rabb kami), ini adalah dusta yang besar.”
Perhatikanlah ucapan tasbih mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala ini. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya ma’rifat mereka terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak mungkin Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjadikan untuk Rasul dan Khalil-Nya serta manusia paling mulia di sisi-Nya seorang isteri yang jahat dan jalang. Sehingga siapa saja yang mempunyai anggapan seperti ini terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, berarti dia su‘uzhan (buruk sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan orang-orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala serta Rasul-Nya, mengerti bahwa perempuan yang keji tidak ada yang pantas baginya kecuali laki-laki yang keji pula. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
الْخَبِيْثَاتُ لِلْخَبِيْثِيْنَ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji.” (An-Nur: 26)
Sehingga merekapun memutuskan dengan seyakin-yakinnya, tidak diragukan lagi bahwa ini adalah dusta besar dan kebohongan yang nyata.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya tentang ayat ini, menerangkan:
“Ini adalah kalimat yang ringkas namun bersifat umum, tidak ada satupun yang keluar darinya. Termasuk di antara kosakata paling agung, menunjukkan bahwa para nabi, terutama Ulul ’Azmi di antara mereka dan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sayyid (penghulu, pemimpin) mereka, yang merupakan seutama-utama ath-thayyib (yang baik) dari sekalian makhluk secara mutlak. Tidak ada yang sepadan bagi mereka kecuali yang baik (thayyib) dari kalangan wanita. Sehingga cacian terhadap pribadi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan tuduhan seperti ini, justru merupakan penghinaan terhadap pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah sebetulnya tujuan berita dusta (haditsul ifk) ini.
Sekedar tahu bahwa beliau adalah isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sudah cukup dimengerti bahwa beliau adalah wanita yang baik, suci dari tuduhan keji ini. Lantas bagaimana pula bila ternyata dia adalah dia?! Seorang wanita shiddiqah, yang paling utama, paling berilmu, paling suci, kekasih Rasul (utusan) Rabb (Pencipta, Penguasa, Pengatur) semesta alam, yang tidaklah turun wahyu kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan beliau dalam selimut seorang wanita kecuali dia?!
Sehingga kalau ‘Aisyah, Ummul Mukminin, isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengalami (atau sebagaimana tuduhan mereka), –dan mustahil terjadi demikian– maka sesungguhnya ini menampakkan kepada umat manusia bahwa suaminya adalah juga laki-laki yang keji dan kotor. Na’udzu billahi mindzalik. Karena wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji. Akan tetapi beliau radhiyallahu ‘anha adalah wanita suci, maka suaminya pun adalah seorang laki-laki yang suci. Suaminya adalah Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Beberapa Hikmah
Jika ada yang bertanya: “Kalau demikian, mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tawaqquf/tidak berkomentar dalam urusan ini, menanyainya, meneliti dan bermusyawarah, padahal beliau adalah orang yang paling kuat ma’rifatnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, paling tahu tentang kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan paling tahu apa yang layak bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala? Mengapakah beliau tidak ikut mengucapkan: “Maha Suci Engkau Ya Allah, ini adalah kedustaan besar.” Sebagaimana diucapkan para pembesar shahabat?
Jawabnya: Ini merupakan hikmah nyata yang Allah Subhanahu wa Ta'ala jadikan kisah ini sebagai sebabnya, sekaligus ujian dan cobaan bagi Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, juga ujian bagi seluruh umat Islam sampai hari kiamat. Melalui kisah ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat satu golongan dan menghinakan golongan lainnya. Melalui kisah ini pula, Allah Subhanahu wa Ta'ala tambah keimanan dan petunjuk bagi mereka yang mau menerimanya. Sedangkan orang-orang yang zalim tidaklah bertambah kecuali kerugian belaka.
Semakin lengkap ujian beliau, dengan lambatnya wahyu datang kepada beliau hingga satu bulan lamanya. Semakin terungkap rahasia dan hikmah kelambatan ini, dengan bertambahnya keimanan dan kekokohan mereka yang jujur (dalam beriman). Bertambah pula baik sangka mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul-Nya, ahli bait beliau dan orang-orang yang shiddiq di antara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebaliknya, semakin tampaklah kedustaan kaum munafikin ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala tunjukkan kepada Rasul-Nya dan kaum mukminin, rahasia yang mereka sembunyikan selama ini (dendam dan kebencian terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ed.). Semakin lengkap pula ibadah yang dikehendaki dari Ash-Shiddiqah dan ibu bapaknya, begitu pula nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada mereka.
Dengan kelambatan wahyu ini pula, semakin terasa betapa butuh dan harapnya ‘Aisyah dan ayah ibunya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Semakin dalam baik sangka (husnuzhann) mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pupus sudah harapan mereka untuk memperoleh pembelaan dari makhluk. Tumpah ruah seluruh harapan tertuju hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab itulah, ketika kondisi ini memuncak dan beliau sempurna mencapai kedudukan ini, dan tatkala ayah ibunya berkata kepadanya: “Berdirilah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam!” Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan wahyu tentang sucinya beliau dari semua tuduhan, ‘Aisyah justru berkata: “Demi Allah, saya tidak akan berdiri kepada beliau. Dan saya tidak akan memuji siapapun kecuali Allah. Dialah yang telah menurunkan wahyu tentang kesucianku.”
Ucapan ‘Aisyah ini menunjukkan betapa dalam pengetahuannya tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala. Betapa kuat imannya, kemurnian tauhidnya, kuatnya kemauan dan keyakinannya bahwa semua itu adalah nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala, juga kepercayaannya betapa besar cinta Rasulullah kepadanya, sehingga beliau tujukan pujian itu hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Alangkah indahnya keteguhan dan ketabahan ini, di mana semua ini lebih dicintainya, pada saat hatinya pilu melihat perubahan sikap sang kekasih selama satu bulan, kemudian datanglah keridhaan dan penerimaan. Namun beliau tidak segera berdiri kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahagia dengan keridhaan dan kedekatan beliau padahal ‘Aisyah sangat mencintai beliau. Inilah puncak keteguhan dan kekokohan hatinya.
Di samping itu juga, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala ingin menampakkan kedudukan Rasul-Nya dan ahli bait beliau serta kemuliaan mereka di sisi-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala ingin melepaskan Rasul-Nya dari kasus ini, maka Dia sendirilah yang tampil membela dan membersihkan kekasih-Nya dari tuduhan musuh-musuh-Nya.
Hikmah lainnya; karena sasaran utama peristiwa ini tidak lain adalah pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan yang tertuduh adalah isteri yang sangat dicintainya. Sehingga tidak pantas kiranya beliau menjadi saksi kesucian isterinya, meskipun beliau sangat mengetahui, bahkan mempunyai bukti-bukti jauh lebih kuat daripada bukti yang dimiliki kaum mukminin tentang kesucian isterinya. Dan beliau tidak mungkin mempunyai praduga buruk sedikitpun terhadap isterinya. Sebab itulah ketika beliau meminta udzur dari para penyebar berita bohong ini, beliau berkata:
مَنْ يَعْذُرُنِي مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِيْ أَهْلِي فَوَ اللهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي إِلاَّ خَيْرًا وَقَدْ ذَكَرُوا رَجُلاً مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا وَمَا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِي إِلاَّ مَعِي
“Siapa yang memberiku udzur (kalau aku membalas, sehingga tidak mencelaku) dari seseorang yang gangguannya menimpa keluargaku (isteriku). Demi Allah, saya tidak mengetahui keadaan keluargaku (isteriku) kecuali kebaikan. Dan mereka menyebut-nyebut seorang laki-laki yang tidak aku ketahui tentang dia kecuali kebaikan, bahkan dia tidaklah masuk dalam keluargaku kecuali bersamaku?”
Jelaslah bahwa beliau mempunyai bukti kuat akan kesucian isterinya. Namun karena kesempurnaan kesabaran, keteguhan, kehalusan serta kepercayaan beliau kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, beliau sempurnakan kesabaran dan baik sangka kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, sampai turunnya wahyu yang menyejukkan pandangan, menyenangkan hati serta memuliakan kedudukan beliau. Di samping itu, semakin jelas pula bagi umatnya pembelaan dan perhatian Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penutup
Telah kita singgung bahwa di antara para shahabat ada juga yang terjatuh ke dalam dosa ini. Maka setelah turunnya ayat surat An-Nur ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan agar mereka yang terlibat dikenakan hukum had. Akhirnya masing-masing mereka dicambuk 80 kali atas perbuatan mereka. Akan tetapi gembong munafik Abdullah bin Ubai bin Salul tidak dihukum sama sekali. Padahal dialah dalang dari semua kekeruhan ini. Mengapa demikian?
Ibnul Qayyim rahimahullah menukilkan, bahwa hukum had ini tujuannya adalah membersihkan orang yang beriman dan sebagai tebusan atas kesalahan atau dosa yang dilakukannya. Sedangkan orang yang keji, tidak pantas menerimanya. Apalagi Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah menyediakan untuknya siksaan yang sangat hebat di akhirat. Sehingga cukuplah azab itu sebagai hukum had yang menimpanya.
Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencambuk Mishthah bin Utsatsah, Hamnah bintu Jahsy, dan Hassan bin Tsabit radhiyallahu 'anhum, yang jelas-jelas mereka adalah dari barisan kaum mukminin yang jujur imannya, sebagai tebusan dan penyucian atas dosa-dosa mereka. Dan beliau melepaskan Abdullah bin Ubai dari hukuman ini, karena memang dia tidak pantas untuk dibersihkan.
Dan Al-Hafizh Ibnul Qayyim juga menguraikan alasan-alasan lainnya, namun beliau memilih pendapat yang sudah dipaparkan di atas.
Terakhir, berdasarkan pendapat yang shahih, bahwasanya siapa saja yang melemparkan tuduhan terhadap salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tuduhan seperti ini, maka dia kafir keluar dari Islam. Karena hal itu berarti dia menjatuhkan kehormatan pribadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah menegaskan, bahwa siapa saja yang menuduh salah seorang isteri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta'ala sucikan ‘Aisyah dengannya, maka dia kafir, murtad, wajib diminta bertaubat. Kalau dia bertaubat, itulah yang diharapkan, kalau tidak mau, dia harus dibunuh dengan memenggal kepalanya, lalu bangkainya dibiarkan begitu saja, tidak dimandikan, tidak dikafani dan tidak dishalatkan, karena masalah ini adalah masalah yang sangat berbahaya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Harits AbrarKategori : Jejak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar