"Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu,
kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikannya ia
kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari akhir, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (An-Nisa : 59)
Asbabun Nuzul (sebab
turunnya ayat)
Dari As-Suddi, dia
berkata : "Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam mengirim sepasukan
sariyyah (pasukan yang tidak dipimpin oleh Rasulullah) dibawah komando Khalid
bin Al-Walid. Di antara mereka ada Ammar bin Yasir. Mereka kemudian berangkat
menuju suatu kaum yang diinginkan dan ketika sudah dekat, mereka pun berhenti
(untuk istirahat). Setelah itu datang kepada kaum tersebut Dzul Uyainatain
(pengintai musuh) dan memberitahukan kedatangn pasukan Khalid. Mereka pun lari
semua kecuali seorang laki-laki. Ia menyuruh keluarganya untuk mengumpulkan
barang-barangnya kemudian dia berjalan di kegelapan malam hingga sampai di
pasukan Khalid. Di sana ia bertanya tentang Ammar bin Yasir. Setelah itu
didatanginya (Ammar bin Yasir) dan bertanya kepadanya : "Wahai Abu
Yaqdzan, sesungguhnya aku telah Islam dan telah bersyahadat bahwa tidak ada
sesembahan yang hak kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya kaumku telah lari ketika mendengar kabar kedatangan kalian dan
hanya aku yang tinggal. Apakah Islamku bermanfaat bagiku besok? Kalau tidak
akupun lari." Ammar berkata : "Ya, keislamanmu akan bermanfaat bagimu,
maka tetaplah kamu di tempat." Maka laki-laki itupun menetap. Ketika pagi
datang, Khalid bin Walid menyerbu mereka dan tidak menjumpai siapa-siapa selain
laki-laki tadi. Maka dia ditangkap dan diambil hartanya, khabar (penangkapan)
tersebut akhirnya sampai kepada Ammar. Ia segera datang kepada Khalid seraya
berkata : "lepaskan laki-laki ini karena sesungguhnya dia telah Islam dan
dia dalam jaminan keamanan dariku." Berkata Khalid : "kenapa kamu
lindungi dia?" maka keduanya saling menyalahkan dan mengadukannya kepada
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa
sallam membolehkan jaminan keamanan dari Ammar tetapi melarang Ammar untuk
melanggar hak-hak Amir lagi untuk kedua kalinya. Maka Allah menurunkan ayat
yang artinya :
"Taatilah kepada
Allah dan taatilah kepada Rasul dan Ulil Amri di antara kalian."
(At-Thabari 4/151)
Tafsir
Al-Qurthubi berkata :
"Di dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk taat kepada-Nya, kemudian
kepada Rasul-Nya, kemudian kepada para Umara, menurut perkataan jumhur, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas dll."
Ibnu Khuwaidzi Mandad
berkata : "Adapun taat kepada sultan maka wajib dalam rangka taat kepada
Allah dan tidak wajib dalam perkara maksiat kepada Allah…." (Al-Jami' lil
Ahkamil Qur'an 5/167, 168)
Syaikh Abdur Rahman
As-Sa'di berkata : (Dalam ayat ini) Allah memerintahkan (kaum mukminin) untuk
taat kepadaNya dan kepada Rasul-Nya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya
baik yang wajib maupun yang sunnah dengan menjauhi larangan keduanya. Dan Allah
juga memerintahkan (kepada kaum mukminin) untuk taat kepada Ulil amri, yaitu
orang yang mengurusimkepentingan ummat, baik itu umarah, pemerintah ataupun
muft-mufti karena sesungguhnya tidak akan konsisten urusan Dien dan dunia
kecuali dengan taat kepada mereka dan tunduk kepada perintah-perintah mereka
dalam rangka taat kepada Allah dan mengharap pahala yang ada di sisiNya. Akan
tetapi dengan syarat mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Apabila mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak ada taat kepada makhluk dalam
bermaksiat kepada Allah. Barangkali inilah rahasia dibuangnya fi'il athi'u
(taatilah) dalam perintah taat kepada ulil amri. Disamping itu disebutkanny
perintah taat kepada mereka itu meyertai taat kepada rasullah shalallahu alaihi
wasallam, karena rasu tidak pernah memerintahkan selain kepada Allah sehingga
barangsiapa yang taat kepadanya (Rasulullah) maka dia telah taat kepada Allah.
Disamping itu Allah
memerintahkan untuk mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan oleh
umat manusia kepada Allah dan RasulNya, yakni taat kepada kitab (Al-Quran) dan
As-Sunnah. Ini karena Al-Quran dan As-Sunnah adalah hakim yang menyelesaikan
segala permasalahan khilagiyah (permasalahan yang diperselisihkan) baik itu
dari nash yang sharih (jelas) nash umum, syarat peringatan, mamupun pemahamn
ayat. Agama ini dibangun di atas pondasi al-Quran dan As-Sunnah sehingga tidak
akan istiqomah (komitmen) iman seseorang kecuali dengan berpegangan kepada
Al-Quran dan As-Sunnah. Oleh karena itu kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah
merupakan syarat keimanan. Allah berfirman (yang artinya) :
"Jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir" (An-Nisa: 59)
Maka ayat ini
menunujukkan bahwasannya orang-orang yang tidak mengembalikan masalah
khilafiyah kepada Al-Quran dan As-Sunnah, dia bukanlah seorang mukmin yang
hakiki, bahkan dia adalah seorang yang beriman kepada thogut (sebagaimana yang
akan disebutkan dalam ayat sesudahnya 4:60).
Kembali kepada Allah
dan Rasul-Nya itu lebih baik balasannya dan lebih baik akibatnya, karena hukum
Allah dan Rasul-Nya adalah sebaik-baik hukum dan merupakan hukum yang membawa
maslahah (kebaikan) bagi umat manusia baik itu dalam urusan Dien (agama) maupun
urusan dunia. (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan 2/89-90)
Menyoroti ayat ini,
Ibnul Qoyyim berkata dalam I'lamul Muwaaqi'in 1/38 : "(Dalam ayat ini)
Allah memerintahkan (kaum muslimmin) unutk taat kepada-Nya dan kepada
rasul-Nya,dan Allah mengulang fi'il (=taatilah) sebagai i'lam (pemberitahuan)
bahwa taat kepada rasul itu harus disendirikan dengan tanpa dicocokkan terlebih
dahulu kepada apa yang diperintahkan allah dalam Al-Quran. Jadi, kalau
rasulullah shalallahu alaihi wasallam memerintahkan sesuatu maka wajib ditaati
secara mutlak, baik perintah itu ada dalam alquran ataupun tidak,karena
Rasulullah shalallahu alahi wasallam diberi Al-Quran dan juga yang semisalnya (
As-Sunnah).”
“Dalam ayat ini juga,
Allah memerintahkan untuk menyendirikan taat kepada Ulil Amri. Bahkan Allah
membuang fi'il (AYAT) dan menjadikannya didalam kandungan taat kepada Rasul,
sebagai pemberitahuan bahwa mereka (Ulil Amri) itu ditaati dalam rangka taat
kepada Rasul." (Lihat Hujiyyatu Ahaditsil Ahad fil Ahkam Al-Aqaid hal.
11-12).
Perintah untuk Taat
Kepada Rasul dan Peringatan Untuk Menyelisihinya
Allah subhanahu
wata'ala mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk taat kepada Rasul-Nya dan
menjadikan ittiba' (mengikuti) Rasul-Nya sebagai dalil (bukti) kecintaan hamba
kepada Rabb-Nya. Allah ta'ala berfirman :
" Katakanlah :
jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya allah akan
mencintai dan mengampuni dosa-dosamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (Ali Imran : 31)
"Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah…" (Al-Hasyr : 7).
"Dari Abu
Hurairah radhiallahu 'anhu dari nabi shalallahu 'alaihi walsallam beliau
bersabda: 'setiap umatku akan masuk surga kecuali orang- yang enggan.' Para
sahabat bertanya: 'wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu? Rasulullah
menjawab : 'barangsiapa yang taat kepadaku maka dia masuk surga dan barangsiapa
yang durhaka kepadaku maka sungguh dia telah enggan'." (HR.Bukhari 13/214
dan Ahmad 2/361).
Dalam Asy-syifa' 2/6,
Al-Qadhi Iyadh berkata : "Allah azza wa jalla menjadikan ketaatan kepada
Rasul-Nya seperti ketaatan kepada-Nya dan menggandengkan ketaatan kepada Ulil
Amri dengan ketaatan dengan ketaatan kepada rasul-Nya. Allah menjanjikan pahala
yang besar bagi orang-orang yang taat kepada rasul-Nya dan mengancam
orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya dengan adzab yang pedih. Allah
juga mewajibkan (kepada kaum mukminin) untuk mengerjakan perintah rasul-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya." (Lihat Hujiyyatu ahadittsil ahad Fi ahkam
wal Aqaid karya Muhammad hal. 10)
Allah melarang dan
memerintahkan kaum mu'minin untuk menyelisihi perintah Rasulnya shalallahu
alaihi wasalllam dan mengancam orang-orang yang berbuat demikian (menyelisihi
perintah Rasul-Nya) dengan firman-Nya :
"Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau
ditimpa adab yang pedih." (An-Nur: 63)
Berkata Ibnu Katsier
dalam tafsirnya 3/410: "Yakni hendaklan takut orang-orang yang menyalahi
syariat Rasul secara Dhohir dan Bathin takut akan ditimpa fitnah dan dalam
hatinya yang berupa kekufuran, nifaq dan bid'ah atau ditimpa adzab yang pedih
di dunia yang berupa pembunuhan, hukum hadd, dipenjara atau yang lainnya."
"Dan barangsiapa
yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia dalam jahannam, dan jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali." (An-Nisa: 115)
Dari Al-Irbadh bin
Sariyyah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda
: 'berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin
yang mendapat petunjuk setelahku. Pegang erat-erat sunnah itu, gigitlah sunnah
itu dengan gigi-gigi geraham dan hati-hatilah kalian dari perkara yang di
ada-adakan karena perkara yang diada-adakan itu adalah bidah dan setiap bid'ah
itu sesat." (HR. Tirmidzi 5/44 hadits ke 2676, hadits hasan shahih, dan
dishahihkan pula oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim, disepakati oleh Imam Dzahabi)
Manhaj Ahlus Sunnah
wal Jamaah dalam Bermuamalah dengan Wulatul Umur (Pemerintah Muslim, baik itu
Umara maupun Sulthan)
Manhaj Ahlus Sunnah
wal Jamaah dalam bermuamalah dengan Wulatul umur adalah manhaj yang adil dan
pertengahan, yang tegak di atas asas ittiba' kepada atsar (sunnah-sunnah).
Mereka ittiba' dan tidak berbuat bid'ah dan tidak mempertentangkan sunnah
rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan akal fikiran dan hawa nafsu
mereka.
Dalam hal ini, Ibnu
Mas'ud berkata: "Ittiba'lah kalian dan jangan kalian ibtida' (berbuat
bid'ah), karena kalian telah dicukupi (dengan syari'ah ini) dan setiap
kebid'ahan adalah sesat." Beliau juga mengatakan: "hati-hatilah
kalian dengan perbuatan bid'ah dan memfasih-fasihkan dalam berbicara masalah
agama. Berpegang teguhlah kalian dengan atsar (sunnah) orang dhulu (Salafus
Shalih)." (Al-Ibanah 1/32, 324)
Di dalam kitab yang
sama, Abul Aliyah Ar-Rayahi juga berkata: "Pelajarilah oleh kalian akan
islam. Bila kalian telah mempelarinya maka kalian jangan membecinya. Dan
berjalanlah kalian di atas jalan yang lurus. Karena jalan yang lurus itu adalah
islam. Janganlah kalian menyeleweng dari jalan yang lurus ke arah kanan dan
kiri. Berpegang teguhlah kalian dengan sunnah Nabi, dan hati-hatilah kalian
dengan hawa nafsu yang melemparkan rasa permusuhan dan kebencian di kalangan
orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah." (Al-Ibanah 1/338)
Oleh sebab itu,
barangsiapa yang ingin berbahagia di dunia dan akhirat, hendaklah ia menempuh
jalan mereka (salafus Shalih) dan mengikuti manhaj mereka.
Adapun Manhaj Ahlus
Sunnah wal Jamaah dalam bermuamalah dengan Wulatul umur adalah : wajib
mendengar dan taat kepada mereka, baik mereka itu orang yan g baik (adil)
maupun yang dhalim. Ketaatan kepada mereka dibatasi dalam hal kebaikan. Apabila
mereka memerintahkan kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
bermaksiat kepada Allah. Ahlus Sunnah justru menasehati dan tidak membiarkan
mereka (Wulatul Umur), bahkan mendoakan kebaikan buat mereka. Ahlus Sunnah
tidak memandang adanya kebolehan untuk keluar dari mereka, memerangi mereka dan
tidak pula mencabut ketaatan dari mereka, sekaliun mereka itu dhalim dan
bertindak sewenang-wenang. Bahkan Salafus Shalih menggolongkan perbuatan yang
demikian (keluar dari mereka, memberontak dan memerangi mereka) ke dalam
perbuatan bid'ah yang diada-adakan.
Imam Ahlus Sunnah
(Imam Ahmad) berkata: "Ushul-ushul sunnah menurut kami adalah berpegang
teguh dengan apa yang dipahami dan diamalkan oleh para shahabat Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam, ittiba' kepada mereka dan tidak berbuat bid'ah
karena setiap bid'ah itu sesat. Tidak berdialog dan tidak duduk-duduk bersama
ahli bid'ah dan tidak berdebat tentang masalah agama. Sedangkan sunnah menurut
kami adalah atsar-atsar Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Sunnah digunakan
sebagai tafsir bagi Al-Quran. Tidak ada qiyas dalam sunnah dan sunnah tidak
bisa dipahami dengan akal dan hawa nafsu. Dan sunnah-sunnah lazimah yang bila
ditinggalkan salah satu daripadanya, seseorang itu tidak dikatakan Ahlus
Sunnah."
Kemudian Imam Ahmad
menyebutkan beberapa hal yang antara lain : " mendengar dan taat kepada
para imam dan amirul mukminin (pemimpin kaum mukminin), baik yang shalih (adil)
maupun yang fajir (dhalim), dan taat kepada khalifah yang desepakati dan
diridhai oleh kaum mukminin. Jihad bersama mereka (yang adil maupun yang
dhalim) secara terus menerus hingga hari kiamat, mengadakan pembagian harta
fa'i (harta rampasan yang diperoleh tanpa melakukan perlawanan), juga terus
menerus menjalankan hukum had. Tidak boleh bagi siapapun untuk mencela dan
menyelisihi mereka, mengerjakan shalat Jum'at di belakang mereka dua raka'at.
Barangsiapa yang mengulangi shalatnya, maka dia adalah mubtadi' (ahli bid'ah)
yang meninggalkan atsar, menyelisihi sunnah dan tidak mendapat keutamaan Jum'at
sedikitpun. Barangsiapa yang memberontak kepada Imam kaum muslimin yang telah
disepakati atau dan diakui kekhilafahannya, maka sungguh dia telah memecahkan
tonggak kaum muslimin dan telah menyalahi atsar-atsar yang datang dari
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Apabila ia mati ketika melakukan hal
itu, dia mati secara jahiliyyah. Dan tidak halal (diharamkan) bagi siapapun
untuk memerangi sulthan dan memberontaknya. Barangsiap yang berbuat demikian,
dia adalah mubtadi' yang tidak berjalan di atas sunnah dan tidak pula berjalan
di atas jalan yang lurus." (Syarah Ushul I'tiqad 1/160-161)
Abu Muhammad Abdur
Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy berkata : "Saya bertanya kepada bapakku dan
Abu Zur'ah tentang madzab Ahlus Sunnah dalam Ushuluddin dan apa yang beliau
berdua yakini dalam hal ini. Maka beliau berdua berkata : "Kami jumpai
para ulama di seluruh penjuru negeri, di Hijaz, Irak, Syam dan Yaman
beri'tiqad. Kemudian beliau berdua menyebutkan bebrapa hal antara lain : dan
kita menegakkan jihad dan haji bersama imam-imam kaum muslimin di sepanjang zaman.Kita
tidak memberontak dan tidak pula memerangi mereka karena dikhawatirkan fitnah.
Kita mendengar dan taat kepada Wulatul Umur. Demikian pula kita tidak mencabut
ketaatan dari mereka. Kita ittiba' kepada sunnah dan jamaah dan menjauhi
persengketaan dan perpecahan. Jihad bersama mereka tetap berjalan sejak
diutusnya Nabi kita shalallahu 'alaihi wa sallam sampai hari kiamat kelak, dan
tidak ada sesuatupun yang membatalkannya dan begitu juga haji." (Syarah
Ushul I'tiqad 1/176-180)
Sahl bin Abdullah
At-Tutsani berkata ketika ditanya : "Kapankah seseorang itu mengetahui
bahwa dirinya di atas sunnah dan jama'ah?
Seseorang itu di atas sunnah dan jama'ah bila mengetahui adanya sembilan
(9) hal pada dirinya” :
1. Dia tidak
meninggalkan jamaah.
2. Dia tidak mencela
para shahabat Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam.
3. Dia tidak
memberontak umat ini dengan pedang.
4. Dia tidak
mendustakan takdir.
5. Dia tidak
ragu-ragu dalam beriman.
6. Dia tidak
memperdebatkan masalah agama.
7. Dia menshalati
Ahlul Kiblat yang mati dalam keadaan berdosa.
8. Dia mengusap kedua
sepatu pada waktu bepergian atau mukmin (yaitu mengimani adanya sunnah
tersebut, red.)
9. Dia tidak
meninggalkan shalat di belakang Wulatul Umur baik itu yang adil maupun yang
dhalim.
Berkata Abu Ja'far
At-Thahawi : "kita tidak memandang adanya kebolehan untuk memberontak
imam-imam dan Wulatul Umur sekalipun mereka itu dhalim dan kita tidak mendoakan
kejelekan buat mereka. Kita tidak mencabut tangan ketaatan kepada mereka dan
kita pun memandang ketaatan kepada mereka merupakan bagian dari ketaatan kepada
Allah, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan. Kita juga
mendoakan kepada mereka."
(Syarah Aqidah
Thahawiyyah 368)
Imam Al-Barbahari
berkata : "Ketahuilah, bahwa kedhaliman sulthan tidak mengurangi
sedikitpun kewajiban yang diwajibkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya (yakni
untuk taat kepada sulthan), kedhaliman dia (sulthan) atas dirinya dan ketaatan
serta kebaikanmu bersamanya, sempurna isnya Allah, yakni ketaatan kau
berjama'ah, shalat Jum'at dan jihad bersamanya, dan bergabunglah bersamanya
dalam setiap amalan ketaatan. Bila kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan
buat sulthan ketahuilah bahwa dia pelaku bid'ah. Dan bila kamu mendengarkan
seseorang mendoakan kabaikan buatnya, ketahuilah bahwa dia itu Ahlus Sunnah,
insya Allah." (Syarhus Sunnah 51)
Fudhail bin Iyadh
berkata : "Kalaulah aku punya doa yang mustajab (terkabulkan), niscaya aku
gunakan buat (kebaikan) sulthan, karena kita diperintah untuk mendoakan
kebaikan buat mereka. Kita tidak diperintah untuk mendoakan kejelekan buat
mereka sekalipun mereka dhalim dan bertindak sewenang-wenang, karena kedhaliman
mereka berakibat fatal bagi diri mereka sendiri dan juga bagi kaum mukminin.
Demikian pula sebaliknya, kebaikan mereka bermanfaat bagi diri mereka sendiri
dan juga bagi kaum mukminin." (Thabaqat fi Bayanil Mahajjah 1/236)
Imam Abu Ismail
Ash-Shabuni berkata : "Ashabul Hadits menasehatkan untuk shalat Jum'at,
Hari Raya dan shalat-shalat lainnya di belakang imam kaum muslimin, yang baik
maupun yang fajir. Demikian pula jihad bersama mereka sekalipun mereka dhalim
dan bertindak semena-mena. Dan mereka mendoakan kebaikan buat imam kaum
muslimin : berdoa supaya mereka diberi taufiq oleh Allah dan supaya mereka
berbuat adil terhadap rakyat. Mereka tidak memberontak kepada Umara sekalipun
mereka melihat penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan dan sekalipun mereka
(Umara) berbuat dhalim dan bengis. Dan mereka (Ashabul Hadits) memerangi
kelompok-kelompok yang memberontak kepada Umara, sampai mau kembali taat
kepadanya." (Aqidah Salaf Ashabul Hadits 92,93)
Pendapat para ulama
Ahlus Sunnah tentang masalah ini banyak sekali dan bisa dilihat dalam
kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah seperti : Kitab As-Sunnah karya Ibnu
Bathah, Syarah Ushul I'tiqad karya AL-Lalika'i, Aqidah Salaf Ashabul Hadits
karya Abu Ismail Ash-Shabani, Al-Hujjah fi Bayanil Mahajjah karya Abul Qasim
Al-Asbahani, Syarah Aqidah Thahawiyyah karya Ibnul Abil Izz, dll. Semua kitab
itu bisa menjelaskan manhaj Ahlus Sunnah dalam bermuamalah dengan Umara,
sulthan dan Walatul umur.
Pendapat-pendapat itu
tidak hanya tertulis di kitab-kitab saja, tetapi juga telah dipraktekkan secara
langsung oleh para ulama Ahlus Sunnah, diantaranya :
1. Imam Ahmad bin
Hambal
Pernah datang kepada
beliau sekelompok Ahli Fiqih (fuqaha) Baghdad untuk bermusyawarah dengan beliau
agar meninggalkan dan tidak ridha kepada pemerintahan Al-Watsiq. Al-Watsiq
telah mempopulerkan pendapat "Al-Qur'an itu makhluk. " Dia
mendakwahkannya dan memerintahkan anak-anak mereka untuk mempelajarinya, bahkan
dia mengasingkan, menjauhkan dan memenjarakan orang-orang yang menyelisihinya.
Mendengar hal itu, Imam Ahmad mengingkari usulan-usulan mereka dan melarang
mereka dengan keras. Semua itu menunjukkan ketegasan beliau dalam bersikap.
Beliau berkata : "Janganlah kalian mencabut ketaatan dan janganlah kalian
memecahkan tonggak kaum muslimin. Jangan pula kalian tumpahkan darah-darah
kalian dan darah-darah kaum muslimin bersama kalian. Lihatlah oleh kalian
akibat perkara kalian ini dan janganlah kalian tergesa-gesa (dalam
berbuat)…" (Dsikru Mihnah Imam Ahmad bin Hambal hal. 70)
Dalam kitab itu pula,
Hambal bin Ishaq bin Hambal berkata : "… ketika Al-Watsiq memunculkan
perkataan ini (bahwa Al-Qur'an itu makhluk), memukul dan memenjarakan orang
yang menyelisihinya, datanglah sekelompok fuqaha dari Baghdad kepada Imam
Ahmad. Di antaranya terdapat Bakr bin Abdillah, Ibrahim bin Ali Mathbahi, Fadl
bin Ashim dan yang lainnya. Mereka mendatangi Abu Abdillah (Imam Ahmad) dan
meminta izin untuk menemuinya. Setelah diizinkan mereka pun masuk dan berkata :
"Wahai Abu Abdillah, sesungguhnya urusan ini sudah tersebar luas dan
nampak sempai pada puncaknya, sedang kita khawatir laki-laki ini akan berbuat
lebih dari yang ia lakukan." Mereka pun kemudian menyebutkan bahwa Ibnu
Abi Daud[1] menyuruh para guru untuk mengajari anak-anak bahwa Al-Qur'an begini
dan begitu (yakni bahwa Al-Qur'an itu makhluk). Mendengar hal itu Imam Ahmad
berkata : "Lalu apa yang kalian maukan?" mereka menjawab :"Kami
datang kepadamu untuk bermusyawarah tentang apa yang kami inginkan." Imam
Ahmad bertanya lagi : "Apa yang kalian inginkan?" mereka berkata : "(yang
kami inginkan adalah) kami tidak ridha dengan dengan kesulthanan dan
kepemimpinan dia (Al-Watsiq)." Maka Imam Ahmad mendebat mereka beberapa
saat sampai beliau berkata kepada mereka - sedangkan saya (Hambal bin Ishaq bin
Hambal) hadir di situ - : "Bagaimana pendapat kalian kalau perkara ini
tidak tuntas? Bukankah ini akan menyeret kalian pada hal-hal yang tidak kalian
inginkan? Pikirkanlah masak-masak, janganlah kalian cabut tangan ketaatan dan
janganlah kalian memecah tonggak. Lihatlah akibat urusan kalian ini dan
janganlah kalian tergesa-gesa. Bersabarlah kalian tergesa-gesa. Bersabarlah
kalian sampai tenang (dipimpin) Imam yang adil." Maka terjadilah
pembicaraan panjang di antara mereka dan tidak aku (Hambal bin Ishaq) hafal,
dan Abu Abdilah telah membantahnya dengan perkataannya tadi. Berkatalah
sebagian dari mereka : "sesungguhnya kita khawatir akan anak cucu kami
bila hal ini (perkataan bahwa Al-Qur'an itu makhluk) nampak dan yang
lain-lainnya tidak diketahui oleh mereka. Dan kami khawatir Islam akan hancur
dan punah." Maka Abu Abdillah berkata : "sekali-kali tidak demikian.
Sesungguhnya Allah-lah yang menolong agama-Nya. Agama ini punya Rabb yang akan
menolongnya, dan sesungguhnya Islam itu agama yang mulia dan mencegah adanya
pertumpahan darah (suka perdamaian)." Akhirnya merekapun meninggalkan Abu
Abdillah, sedang Abu Abdillah tidak memenuhi sedikitpun yang mereka inginkan.
Bahkan beliau melarang mereka dan mendebat mereka supaya mereka mau mendengar
dan taat kepada pemerintah sampai Allah bukakan jalan keluar dari permasalahan ini.
Tetapi mereka tidak mau mendengar nasehat Abu Abdillah.
Maka tatkala mereka
keluar, berkatalah sebagian mereka kepadaku (Hambal bin Ishaq) : "Ikutlah
dengan kami ke rumah orang (yang mereka sebut) untuk kita ajak berunding
tentang perkara yang kita inginkan." Maka saya beritahukan hal ini kepada
ayahku (Ishaq bin Hambal). Ayahku berkata : "Kamu jangan ikut pergi dan
carilah alasan untuk tidak ikut mereka. Aku tidak merasa aman kalau nanti
mereka akan melibatkan kamu dalam masalah ini, sehingga nama Abu Abdillah akan
ikut disebut-sebut." Maka aku pun mencari alasan untuk tidak ikut dengan
mereka. Tatkala mereka pergi, aku dan ayahku mendatangi Abu Abdillah lalu
berkatalah Abu Abdillah kepada ayahku: "Wahai Abu Yusuf, aku kira yang
membuat mereka begini ini telah meresap pada hati mereka. kita minta
keselamatan kepada Allah. Aku tidak senang ada orang yang berbuat seperti
mereka ini." Maka aku bertanya kepadanya : "Wahai Abu Abdillah,
apakah yang mereka perbuat ini menurutmu benar?" Imam Ahmad menjawab :
"Tidak, tidak benar. Perbuatan seperti ini hanya menyalahi atsar-atsar
yang memerintahkan kita untuk bersabar." Kemudian beliau berkata :
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Kalau dia (sulthan)
memukulmu, maka sabarlah, kalau dia memerangimu, maka sabarlah … dan berkata
Ibnu Mas'ud : begini dan begitu. Abu Abdillah kemudian menyebutkan hal-hal yang
tidak aku hafal." Akhirnya Ishaq bin Hambal berkata : "Maka kaum
itupun melaksanakan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak mendapatkan apa yang
mereka inginkan dari perbuatan mereka yang tidak terpuji ini. Mereka malah lari
terbirit-birit dari serangan sulthan dan akhirnya ada di antara mereka yang
tertangkap, dipenjara dan mati di dalamnya." (Dzikru Mihnati Al-Imam Ahmad
bin Hambal 70-72)
Kisah ini adalah
mau'idzah (nasehat) yang jelas sekali tentang bahayanya menyelisihi manhaj
Ahlus Sunnah wan Jammah demi asas yang agung ini dan bahwa menyelisihi manhaj
mereka akan mengakibatkan hal-hal seperti tersebut di atas.
2. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah
Beliau hidup di zaman
kesulthanan yang bengis dan dhalim. Beliau disiksa dan dianiaya oleh pihak
kesultanan karena menyebarkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan membantahi
firqah-firqah yang sesat seperti sufi, Asy'ari, dan yang lainnya. Bahkan beliau
dipenjara berkali-kali disebabkan hal ini sehingga sampai matipun beliau dalam
keadaan di penjara.
Walaupun demikian,
beliau sangat keras memperingatkan umat untuk tidak memberontak dan taat kepada
sulthan. Perbuatan ini (memberontak sulthan) menurut beliau akan menyebabkan
kerusakan yang lebih fatal. Dibandingkan kefasikan dan kedhaliman sulthan.
Beliau menjelaskan :
"Oleh karena inilah yang masyhur dari madzhab Ahlus Sunnah al Jamaah,
yaitu tidak memberontak atau tidak memerangi umara dengan pedang sekalipun
mereka itu dhalim dan bertindak semena-mena. Ini sesuai denga yang ditunjukan
oleh hadits-hadits shahih yang masyhur dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa
sallam , karena kerusakan yang ada pada peperangan dan pemberontakan lebih
fatal daripada kerusakan uyang ada pada kedahliman dan kelaliman sulthan. Dan
hampir-hampir tidak diketahui adanya suatu kelompok yang memberontak pemerintah
melainkan hanya menyebabkan kerusakan yang lebih fatal dibandingkan kerusakan
yang ingin dihilangkan (kedhaliman dan kelaiman suthan)." (Minhajus Sunnah
3/391)
Hadits-Hadits yang
memerintahkan untuk Taat Kepada Ulil Amri
Hadits-hadits yang
memerintahakan untuk taat kepada Ulil Amri sangat banyak dan bisa dijumpai
dalam kitab-kitab jadits yang ditulis oleh para ulama. Di sini akan disebutkan
beberapa hadits shahih tentang masalah ini :
Dari Abdullah bin
Umar dari Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Wajib bagi
setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada sulthan), baik dalam perkara
yang dia senangi maupun yang dia benci, kecuali kalau dia diperintah dalam
perkara maksiat, maka dia tidak boleh mendengar atau taat." (HR. Bukhari
4/329 Musnad 3/1469)
Dari Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu, dia berkata : Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
"Wajib atasmu
untuk mendengar dan taat (kepada sulthan) dalam kesulitan dan kemudahanmu,
dalam perkara yang menyenangkan dan yang kamu benci, dan tidak kamu
sukai." (HR. Muslim 3/1467)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah berkata : "Makna adalah :
sekalipun para sulthan ini memonopoli perkaramu, sehingga mereka tidak berlaku
adil terhadapmu dan mereka tidak menunaikan hakmu," seperti yang tersebut
dalam Bukhari dan Muslim dari Usaid bin Hudhair bahwa Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam bersabda” :
"Sesungguhnya
kalian akan menemui perkara yang tidak disenangi setelahku, maka hendaklah
kalian bersabar sampai kalian berjumpa denganku di telaga haudh nanti."
(HR. Bukhari 3/41 dan Muslim3/1474)
Dan juga dalam
riwayat lain dari Abdullah bin Mas'ud dia berkata : Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya
akan ada sepeninggalku perkara yang tidak kamu senangi dan kalian
ingkari." Para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, apa yang engkau
perintahkan kepada orang dari kalangan kami yang menjumpainya?" beliau
menjawab : "Kalian tunaikan kewajiban kalian dan kalian minta kepada Allah
akan hak kalian." (HR.Bukhari 4/312 dan Muslim 3/1472)
Dari Wail bin Hujr
radhiallahu 'anhu, dia berkata : Salamah bin Yazid Al-Ju'ti pernah bertanya
kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai Rasulullah, kalau
kita diperintah oleh sulthan yang meminta haknya, tapi tidak mau menunaikan hak
kami, apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Maka Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam berpaling darinya. Kemudian Salamah bertanya lagi dan
Rasulullah berpaling lagi. Kemudian Salamah bertanya lagi untuk yang ketiga
kalinya, maka ia ditarik oleh Al-Asy'ats bin Qais. Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi
wa sallam bersabda : "Dengar dan taatlah kalian, karena mereka akan
memikul dosa-dosa mereka dan kalian juga akan memikul dosa-dosa kalian
(sendiri)." (Muslim 3/1474)
Berkata Ibnu Abil
Aziz Al-Hanafi : "Adapun hikmah komitmen dalam mentaati mereka (Umara)
sekalipun mereka dhalim adalah karena memberontak dan tidak taat kepada mereka
akan mengakibatkan kerusakan yang fatal, lebih dari kedhaliman mereka sendiri,
bahkan bersabar dalam menghadapi kedhaliman mereka itu bisa menghapuskan
dosa-dosa dan bisa melipatgandakan pahala. Ini karena Allah tidak menguasakan
mereka atas kita melainkan karena rusaknya amalan kita. Maka wajib bagi kita
untuk bersungguh-sungguh dalam beristighfar, taubat dan memperbaiki amal. Allah
berfirman (yang artinya)” :
"Dan apa saja
yang meninpa kamu maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri dan
Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)." (Asy-Syura :
30)
“Maka apabila rakyat
ingin lepas dari belenggu kedhaliman Umara, maka hendaklah mereka itu (rakyat)
meninggalkan kedhaliman pula." (Syarh Aqidah Thahawiyyah 370)
Dari Abu Dzar
Al-Ghifari radhiallahu 'anhu, dia berkata : Kekasihku (Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam) pernah berwasiat kepadaku :
"Dengar dan
taatilah (Umara), sekalipun budak Habasyi yang juling matanya." Dan dalam
riwayat Bukhari : "sekalipun diperintah oleh budak Habasyi yang panjang
dan lebat rambut kepalanya." (HR. Muslim 3/1467 dan Bukhari 1/30)
Dari Auf bin Malik
radhiallahu 'anhu dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda
: "Sebaik-baik pimpinan kalian adalah kalian mencintai mereka dan mereka
mencintai kalian. Kalian doakan kesejahteraan bagi mereka dan mereka doakan
kesejahteraan bagi kalian. Dan sejelek-jelek pimpinan kalian adalah kalian memebenci
mereka dan mereka membenci kalian. Kalian melaknati mereka dan mereka melaknati
kalian." Kami para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, apakah
mereka boleh kita perangi ketika terjadi demikian?" Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam menjawab : "Tidak, selama mereka masih shalat bersama
kalian. Ketahuilah barangsiapa urusannya diurus oleh Ulil Amri (sulthan)
kemudian dia melihatnya berbuat maksiat kepada Allah, maka hendaklah dia benci
terhadap maksiat yang dia perbuat dan sungguh jangan cabut ketaatan padanya."
(HR. Muslim 3/1482)
Dari Ibnu Abbas
radhiallahu 'anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam
bersabda :
"Barangsiapa
yang melihat Amirnya berbuat sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia
bersabar karena tidak ada seorangpun di kalangan manusia yang keluar dari
sulthan sejengkal, kemudian dia mati atas perbuatannya ini melainkan dia mati
secara jahiliyyah." (Bukhari 4/313 dan Muslim 3/1478)
Dari Ali bin Abi
Thalib radhiallahu 'anhu bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Tidak ada
ketaatan dalam meksiat kepada Allah. Ketaatan itu hanya dalam perkara yang
ma'ruf (baik)." (HR. Bukhari 4/355 dan mUslim 3/1469)
Fatwa Para Syaikh dan
Ulama Tentang Masalah Ini
1. Syaikh Abdul Aziz
bin Abdullah bin Bazz
Beliau pernah ditanya
: "Apakah termasuk manhaj salaf menkritik sulthan di atas mimbar?
Bagaimana manhaj salaf dalam mengkritik mereka?" Maka beliau menjawab :
"Bukan termasuk manhaj salaf memasyhurkan dan menyebut-nyebut kejelekan
sulthan di atas mimbar, karena akan mengakibatkan kekacauan yang fatal dan akan
menjurus kepada perbincangan yang tak ada manfaatnya, bahkan bermudharat.
Tetapi jalan yang diikuti oleh para Salafus Shalih ialah menyampaikan nasehat
empat mata antara mereka (salaf) dengan sulthan, atau dengan mengirim surat
kepadanya. Bisa juga dengan melalui ulama yang biasa berhubungan dengan sulthan
sehingga mereka bisa menasehatinya dengan baik. (Dan perlu diketahui) bahwa mengingkari
keuangan bisa dilakukan tanpa menyebut pelakunya. Demikian juga mengingkari
zina, khamr, riba dan yang lainnya bisa dilakukan tanpa menyebut pelakunya.”
Ketika terjadi fitnah di jaman kekhalifahan Utsman, berkata sebagian orang
kepada Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhu : "Apakah kamu tidak mengingkari
perbuatan Utsman?" Maka Zaid menjawab : "Aku tidak mau mengingkari di
depan masyarakat, tetapi aku ingkari dengan (melakukan pembicaraan -red.) empat
mata antara aku dengannya, karena aku tidak mau membukakan pintu kerusakan atas
manusia."
“Maka ketika mereka
membukakan pintu kerusakan pada jaman Utsman radhiallahu 'anhu dan mengingkari
perbuatan Utsman secara terang-terangan, memuncaklah fitnah dan terjadilah
pembunuhan, peperangan dan kerusakan fatal yang tidak pernah punah bekasnya
sampai sekarang. Akhirnya terjadilah fitnah antara Ali dan Muawiyyah, dan
terbunuhlah Utsman, Ali dan banyak dari kalangan shahabat disebabkan
pengingkaran yang dilakukan secara terang-terangan. Kita mohon keselamatan
kepada Allah." (Haququl Ra'i wa Ra'iyyah 27-28)
Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam bersabda : "Barangsiapa yang ingin menasehati sulthan,
maka janganlah dia jelaskan terang-terangan (di depan mata), tapi hendaklah dia
ambil tangan sulthan dan menyendiri dengannya. Kalau sulthan itu menerima
nasehatnya, maka dia telah menasehatinya dan kalau sulthan itu tidak mau
menerima, maka dia telah menunaikan kewajibannya." (HR. Ahmad 3/403)
2. Syaikh Shalih bin
Fauzan Al-Fauzan
Beliau pernah ditanya
: "Bagaiman manhaj salaf dalam bermuamalah dengan pemerintah Islam adalah
mendengar dan taat kepada mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang
artinya) :
"Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara
kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu (hal) maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya." (An-Nisa : 59)
Demikian pula Nabi
shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
"Aku wasiatkan
kepada kalian untuk takwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada sulthan)
sekalipun kalian diperintah oleh budak (Habasyi), karena sesungguhnya
barangsiapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku, niscaya dia akan melihat
perselisihan yang banyak. Maka (pada saat itu) wajib atas kalian untuk
berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa'ur Rasyidin yang mendapat
petunjuk setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham." (HR. Abu Dawud,
Tirmidzi dan ia berkata : HASAN SHAHIH. Dishahihkan pula oleh Al-Albani dalam
Shahihul Jami' 2546)
“Hadits ini sesuai
betul dengan ayat tersebut di atas. Begitu juga hadits-hadits shahih lain yang
menganjurkan untuk mendengar dan taat kepada pemerintah Islam. Pemerintah Islam
harus ditaati dalam perkara taat kepada Allah. Tetapi kalau memerintahkan kepada
maksiat, maka tidak boleh ditaati. Sedangkan dalam masalah selain ini (selain
maksiat kepada Allah) mereka harus ditaati." (Wujud Tha'ati Sulthan 25-26)
Wallahu A'lam bi
Shawab.
[1] Salah satu tokoh
Mu'tazilah yang mendakwahkan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, dan dia adalah orang
yang mempengaruhi Khalifah Al-Watsiq sehingga Imam Ahmad dipenjara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar