pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh pula di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan bagimu dari Yang Maha Pengampun dan lagi Maha penyayang.” (QS. Fushilat : 30-32)
Makna
lafadh:
Sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami adalah Allah.” Kemudian mereka
istiqamah.
Maksudnya
adalah mereka berkata bahwa Allah adalah Rabb dan sembahan kami. Tidak ada
sesembahan yang haq kecuali Dia. Mereka mengatakan hal itu dengan
terang-terangan dan didasari dengan keimanan.
Selain
itu mereka tetap kokoh tegar dan istiqamah di atas apa yang diucapkan. Mereka
tidak mengganti, merubah dan meninggalkan penghambaan diri kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Mereka melakukan segala perintah-Nya dan meninggalkan
segala larangan-Nya. Demikian Syaikh Abu Bakr Al Jazairi menerangkan dalam Aisarut
Tafasir 4/575.
Ada beberapa penafsiran para shahabat dan tabi’in tentang
makna istiqamah dalam ayat tersebut:
a.
|
Abu Bakr Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Mereka
tidak mempersekutukan Allah sedikit pun dan tidak berpaling kepada selain
Allah. Mereka istiqamah di atas keyakinan bahwa Allah adalah Rabb mereka.”
|
b.
|
Ibnu Abbas Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Mereka
istiqamah di atas persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah
kecuali Allah.”
|
c.
|
Umar bin Al Khathab Radliyallahu ‘Anhu
berkata: “Mereka istiqamah dengan taat kepada Allah dan tidak menyimpang
sebagaimana menyimpangnya serigala.”
|
d.
|
Ali Radliyallahu ‘Anhu berkata: “Mereka
istiqamah dalam menjalankan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan.”
|
e.
|
Mujahid dan Ibrahim An Nakha’i Rahimahumallah
berkata: “Mereka mengucapkan La ilaha illallah dengan tidak berbuat
syirik setelahnya hingga berjumpa dengan Allah.”
|
f.
|
Abul Aliah berkata: “Mereka berkata (Rabb kami adalah
Allah) kemudian mengikhlaskan agama dan amalannya untuk Allah.”
|
g.
|
Qatadah berkata: “Mereka istiqamah di atas ketaatan
kepada Allah.”
|
Demikianlah
beberapa penafsiran yang disebutkan oleh sebagian ahli tafsir antara lain Imam
Al Qurthubi, Imam Asy Syaukani dan Imam Ibnu Rajab Al Hanbali yang dinukil
dalam Kitab Jami’ul Ulum wal Hikam.
Imam
Al Qurthubi setelah menyebutkan beberapa penafsiran di atas mengatakan:
Pendapat-pendapat
ini antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi tetapi intinya adalah
mereka konsekuen di atas ketaatan kepada Allah, baik dalam segi aqidah, ucapan
maupun perbuatan mereka. Mereka istiqamah di atas semua itu.
Para malaikat turun kepada mereka.
Yaitu para malaikat yang mulia yang terus-menerus turun
kepada mereka. Mereka memberi kabar gembira kepada kaum Mukminin menjelang sakaratul
maut. (Taisir
Karimir Rahman 6/573)
(Para malaikat berkata): “Jangan kamu merasa takut dan
janganlah kamu merasa sedih.”
Maknanya adalah:
Jangan kalian
takut terhadap perkara akhirat yang akan kalian hadapi dan jangan bersedih atas
urusan duniawi yang kalian tinggalkan, baik menyangkut anak, keluarga dan harta
atau utang-piutang. Kamilah yang akan menjamin semua perkara itu.
Demikian perkataan beberapa ahli tafsir antara lain
Mujahid, Ikrimah dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir 4/99)
Seorang Mukmin ketika mendengar kabar gembira tersebut
dia akan senang dan sangat cinta untuk berjumpa dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa cinta berjumpa dengan Allah maka Allah cinta
berjumpa dengan dia. Dan barangsiapa benci berjumpa dengan Allah maka Allah
benci berjumpa dengan dia.” Aisyah bertanya (atau sebagian istri Nabi):
“Bukankah kita benci kepada maut?” (Nabi) menjawab: “Bukan demikian maksudnya!
Akan tetapi seorang Mukmin ketika maut menjemputnya dia diberi kabar gembira
dengan keridlaan Allah dan kemuliaan yang Allah berikan. Maka tidak ada sesuatu
yang paling dia cintai dibandingkan dengan apa yang ada di hadapannya (yakni
apa yang dia hadapi setelah kematian, pent.). Dia cinta berjumpa dengan Allah
dan Allah pun cinta berjumpa dengan dia. Adapun orang kafir ketika sakaratul
maut diancam dengan adzab Allah dan siksa-Nya. Maka tidak ada sesuatu yang
paling dia benci dibandingkan apa yang ada di hadapannya. Dia benci berjumpa
dengan Allah. Allah juga benci berjumpa dengan dia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Nasai dari
Aisyah Radliyallahu ‘Anha)
Kami adalah pelindung-pelindungmu di dunia dan akhirat.
Imam
Ismail bin Katsir Rahimahullah menerangkan maknanya adalah bahwa ketika
sakaratul maut para malaikat berkata kepada orang-orang Mukmin: “Kamilah
wali-wali kalian yang menyertai kalian di dunia ini. Kami menemani kalian di
dalam kengerian alam kubur dan kedahsyatan ketika sangkakala hari kiamat
ditiup. Kami menjaga keamanan kalian ketika hari kebangkitan pada hari kiamat.
Dan kami akan menjalankan kalian di atas shiratal mustaqim hingga sampai ke
surga yang penuh kenikmatan.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)
Bagi kalian di dalamnya apa yang kalian inginkan dan
kalian minta.
Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah
berkata:
Maknanya adalah
bagi kalian apa yang kalian minta dari setiap apa yang kalian inginkan dan dari
berbagai macam kelezatan dan kesenangan yang tidak pernah dilihat oleh mata,
didengar oleh telinga dan terbetik dalam hati. (Tafsir Al
Karimir Rahman 6/574)
Sebagai hidangan dari Yang Maha Pengampun dan Yang Maha
Penyayang.
Maknanya
adalah balasan yang berlipat ganda dan kenikmatan yang terus-menerus merupakan
rizki yang dipersiapkan untuk kalian dan rezki ini termasuk karunia Allah yang
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penjelasan Ayat
Allah
menerangkan keadaan orang-orang kafir pada ayat-ayat sebelumnya (Fushilat
25-29). Mereka adalah orang-orang yang merugi dan akan merasakan adzab yang
sangat pedih akibat keingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah. Keadaan
orang-orang kafir tersebut merupakan keadaan yang paling jelek di akhirat
nanti.
Lain
halnya dengan keadaan kaum Muslimin yang Allah terangkan pada ayat-ayat
sesudahnya (Fushilat 30-32). Keadaan mereka adalah yang terbaik. Tempat kembali
mereka merupakan tempat yang terindah yaitu surga yang penuh kenikmatan.
Hal
itu mereka dapatkan tidak lain karena mereka mengatakan: “Rabb kami adalah
Allah. Tidak ada sesembahan yang haq (benar) melainkan Allah.”
Mereka
tetap istiqamah di atas apa yang mereka ucapkan. Tidak mempersekutukan Allah
dengan sesembahan lainnya sedikit pun ketika beribadah kepada-Nya. Mereka
benar-benar memurnikan ibadah, agama, hidup dan mati mereka semata-mata untuk
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu mereka
tetap istiqamah dalam meniti jalan atau petunjuk Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Dan tidak menyimpang sedikit pun kepada jalan-jalan yang
menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
shahabatnya.
Oleh karena itu ketika menjelang wafat, para malaikat
turun memberi kabar gembira: “Kalian jangan takut terhadap perkara-perkara yang
akan kalian hadapi, baik di alam barzakh atau alam kubur. Kalian jangan bersedih hati karena meninggalkan anak, keluarga dan harta
harta kalian.”
Para malaikat juga memberi kabar gembira dengan hilangnya
kesengsaraan mereka dan datangnya kebaikan untuk mereka: “Kamilah yang akan
menjaga kalian dengan perintah Allah ketika di alam dunia. Dan kami tetap akan menyertai kalian hingga kalian memasuki surga.”
Selain itu para malaikat juga mengatakan: “Bagi kalian di
dalam surga apa yang diinginkan oleh setiap jiwa, apa yang enak dipandang oleh
mata dan bahkan tidak pernah terbetik di hati manusia sedikit pun. Kemuliaan
dan kenikmatan tersebut adalah jaminan dan pemberian dari Dzat Yang Maha
Mengampuni dosa-dosa kalian. Dialah Allah yang mengampuni dan menutupi dosa
hamba-Nya. Kemudian merahmati hamba-hambanya dengan berbagai macam kenikmatan.”
Istiqamah di Atas Kemurnian Tauhid
Kalau kita melihat realita yang ada di negeri kita,
mayoritas kaum Muslimin telah digerogoti oleh penyakit syirik tanpa mereka
sadari. Aqidah mereka sedikit demi sedikit terkikis dengan perbuatan-perbuatan
syirik yang mereka lakukan. Di antara mereka ada yang berdoa di makam-makam,
minta kepada wali-wali yang telah meninggal, minta kepada dukun-dukun,
mempercayai barang-barang mistik, keris pusaka, pedang pusaka, susuk konde dan
berbagai keyakinan-keyakinan syirik lainnya.
Pada kenyataan lain terdapat sejumlah orang yang pada
awalnya Muslim. Tetapi karena keimanan yang tipis dan penderitaan duniawi
(kemiskinan) yang dialaminya mengakibatkan mereka dengan mudahnya menjual
aqidah mereka dengan sebungkus mie dan selembar pakaian.
Dari kenyataan tersebut mestinya kita senantiasa
mengkhawatirkan diri dan keluarga kita. Apakah kita sanggup untuk tetap
istiqamah di atas Islam dan di atas aqidah yang murni hingga maut menjemput
kita? Ataukah --na’udzubillah-- kita termasuk orang-orang yang merugi di
dunia maupun di akhirat? Allah abadikan dalam Al Quran kisah bapak para Nabi
yakni Ibrahim Alaihis Salam.
Beliau mengkhawatirkan dirinya dan anak keturunannya dari
peribadatan kepada selain Allah atau perbuatan syirik:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku,
jadikanlah negeri ini (Mekah) negeri yang aman dan jauhkanlah aku beserta anak
cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala
itu telah menyesatkan kebanyakan manusia. Maka barangsiapa mengikutiku maka
sesungguhnya orang itu termasuk golonganku dan barangsiapa yang mendurhakai aku
maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ibrahim : 35-36)
Syaikh Abdur Rahman bin Hasan menyatakan --setelah
menyebutkan ayat tersebut--:
Apabila manusia
telah mengetahui bahwa kebanyakan manusia terjerumus dalam syirik akbar dan
tersesat karena menyembah berhala tentunya hal itu menyebabkan dia takut jangan
sampai terjerumus seperti halnya kebanyakan manusia dalam kesyirikan yang tidak
diampuni oleh Allah.
Ibrahim At Taimi berkata:
Siapakah yang
merasa aman dari bala’ (terjerumus dalam kesyirikan, pent.) setelah
Ibrahim? Tiada yang merasa aman dari terjerumus dalam kesyirikan kecuali orang
yang tidak mengerti makna syirik dan tidak mengetahui perkara-perkara yang
dapat membebaskan dia dari kesyirikan yakni mengenal Allah dan perintah Allah
terhadap Rasul-Nya berupa kewajiban untuk bertauhid dan larangan berbuat
syirik. (Fathul Majid halaman 93)
Oleh karena itu Ibrahim Alaihis Salam mendapatkan
pujian dari Allah karena keistiqamahan beliau di atas agama tauhid meskipun dia
hidup di tengah-tengah manusia yang ketika itu semuanya kafir atau musyrik.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang Imam yang dapat
dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.
Dia mensyukuri nikmat-nikmat Allah …” (QS. An
Nahl : 120-121)
Demikian halnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mengkhawatirkan umatnya jangan sampai terjerumus dalam perbuatan
syirik hingga syirik yang paling kecil sekali pun yaitu riya’:
Dari Mahmud bin Labid Radliyallahu ‘Anhu
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah
syirkul ashgar (syirik kecil).” Para shahabat bertanya: “Apakah syirik ashgar
itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Riya’. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman pada hari kiamat ketika membalas amal-amal manusia: ‘Pergilah kepada
orang-orang yang kalian berbuat riya’ kepada mereka ketika di dunia! Lihatlah!
Apakah kalian mendapatkan balasan di sisi mereka?’” (HR. Ahmad dan At Thabrani, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam As
Shahihah nomor 591 dan Shahih Al Jami’ nomor 1551. Lihat Fathul
Majid halaman 94)
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Syirik itu lebih tersembunyi dari langkah semut.” Abu
Bakar bertanya: “Wahai Rasulullah, bukankah syirik itu tidak lain beribadah
kepada selain Allah atau mempersekutukan Allah ketika berdoa?” Rasulullah
berkata: “Apakah ibumu telah kehilangan engkau (yakni kalimat hardikan)? Syirik
itu bagi kalian lebih tersembunyi daripada langkah semut.” (HR. Bukhari nomor 4293)
Begitu
khawatirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap para
shahabatnya. Padahal mereka Radliyallahu ‘Anhum adalah orang-orang
terbaik dari umat beliau. Tentunya hal itu menjadi pelajaran berharga bagi kita
untuk lebih mawas diri dari segala bentuk kesyirikan. Jangan menganggap remeh
perkara syirik. Meskipun syirik kecil diperselisihkan oleh para ulama apakah
termasuk dosa yang diampuni Allah atau tidak yang jelas kita wajib berhati-hati
dari kesyirikan secara mutlak dan mengingat firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik dan
Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi yang
dikehendaki-Nya ….” (QS. An Nisa :
48, 116)
Juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Barangsiapa menjumpai Allah dalam keadaan tidak
mempersekutukan Allah sedikit pun, dia akan masuk surga. Dan barangsiapa menjumpai-Nya dalam keadaan mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu, dia akan masuk neraka.” (HR. Muslim
nomor 152 dari Jabir Radliyallahu ‘Anhu)
Penutup
Dari uraian di atas maka dapat diambil beberapa faidah:
a.
|
Keutamaan iman dan istiqamah di
atas keimanan dengan menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan
larangan-larangan.
|
b.
|
Kabar gembira berupa surga bagi Ahli Iman dan
istiqamah menjelang wafatnya.
|
c.
|
Kabar gembira tersebut hanya didapatkan oleh
orang-orang yang membersihkan tauhidnya dari noda-noda syirik dan tetap
menjaga kemurnian tauhidnya hingga berjumpa dengan Allah.
|
d.
|
Di dalam surga terdapat segala yang diingini oleh
setiap jiwa dan segala kenikmatan yang belum pernah dilihat dengan mata,
didengar oleh telinga dan terbetik di hati.
|
Wallahu Ta’ala A’lam.
Hanif maknanya meninggalkan kesyirikan dan
bertauhid kepada Allah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/719)
Oleh: Azhari Asri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar