Janji
memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua
yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa
banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya.
Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan
meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan
dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang
kafir.
Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan
dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan
manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi
tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara
seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia
pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang
terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan
memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
وَأَوْفُوا
بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا ...
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji
dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….”
(An-Nahl: 91)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَأَوْفُوا
بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai
pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan
melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri
seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai
persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan
senjata, dan semisalnya.
Para Rasul Menepati Janji
Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan
akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan
panutan umat dan penyampai risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia,
menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim
‘alaihissalam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَإِبْرَاهِيْمَ
الَّذِي وَفَّى
“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah melaksanakan
seluruh apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ujikan dan perintahkan kepadanya
dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ismail
‘alaihissalam:
إِنَّهُ
كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ
“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam:
54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal
ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun
kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar
disembelih oleh bapaknya –karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala– ia pun
menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
memperoleh bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur
lagi terpercaya. Maka tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat
menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada
dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang
mengikuti dan beriman kepadanya.
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun keenam
Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta
para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika
sampai di Al-Hudaibiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin
dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin. Disepakatilah butir-butir
perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun,
tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini
tetapi tahun depan –di mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin
karena mereka harus membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk
Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke
Makkah.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut,
anak Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama
shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suhail pun mengatakan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika anaknya tidak dipulangkan
kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati
janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus membatalkan umrahnya.
Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah
tersebar dan ada nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama
perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya.
Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin
pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk
lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas
komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan
berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya
pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Zadul Ma’ad, 3/262)
Para Salaf dalam Menepati Janji
Dahulu ada seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bernama Anas bin An-Nadhr radhiyallahu ‘anhu. Dia amat menyesal karena tidak ikut
perang Badr bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berjanji jika
Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepadanya medan pertempuran bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perang ini kaum muslimin terpukul mundur
dan sebagian lari dari medan pertempuran. Di sinilah terbukti janji Anas. Dia
terus maju menerobos barisan musuh sehingga terbunuh. Ketika perang telah usai
dan kaum muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin
An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak ada
yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:
مِنَ
الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ
يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati
apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang
gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka
sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu
Katsir, Surat Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata: “Dahulu kami –berjumlah– tujuh atau delapan atau sembilan orang di
sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian
berbai’at kepada Rasulullah?” Maka kami bentangkan tangan kami. Lantas ada yang
berkata: “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu atas apa kami membaiat anda?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
أَنْ
تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُوا الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ
وَتَسْمَعُوا وَتُطِيْعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً - وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا
“Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya
sedikitpun, kalian menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada
penguasa) –dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat yang
samar– (lalu berkata), dan kalian tidak meminta sesuatu pun kepada manusia.”
‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh aku melihat
cambuk sebagian orang-orang itu jatuh namun mereka tidak meminta kepada seorang
pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya permasalahan menepati janji di mata
generasi terbaik umat ini. Karena mereka yakin bahwa janji itu akan dimintai
pertanggungjawabannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tiada kalimat yang
terucap kecuali di sisinya ada malaikat pencatat. Intinya, keimanan yang benar
itulah yang akan mewariskan segala tingkah laku dan perangai terpuji.
Hal ini sangat berbeda dengan orang yang hanya bisa memberi
janji-janji manis yang tidak pernah ada kenyataannya. Tidakkah mereka takut
kepada adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala karena ingkar janji? Tidakkah mereka
tahu bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin? Ya. Seruan ini mungkin
bisa didengar, tetapi bagaimana bisa mendengar orang yang telah mati hatinya
dan dikuasai oleh setannya.
Iblis Menebar Janji Manis
Semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam
‘alaihissalam dan memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian
dan menyalalah api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis berikrar akan
menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai arah sehingga dia
mendapat teman yang banyak di neraka nanti. Berbagai cara licik dilakukan oleh
Iblis. Di antaranya dengan membisikkan pada hati manusia janji-janji palsu dan
angan-angan yang hampa.
Pada waktu perang Badr, Iblis datang bersama para setan
pasukannya dengan membawa bendera. Ia menjelma seperti seorang lelaki dari Bani
Mudlaj dalam bentuk seseorang yang bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Ia
berkata kepada kaum musyrikin: “Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang
atas kalian pada hari ini. Dan aku ini sesungguhnya pelindung kalian.” Tatkala
dua pasukan siap bertempur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil
segenggam debu lalu menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin sehingga mereka
lari ke belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi Iblis. Ketika Iblis
melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada genggaman seorang lelaki, ia
berusaha melepaskannya kemudian lari terbirit-birit beserta pasukannya. Lelaki
tadi berkata: “Wahai Suraqah, bukankah kamu telah menyatakan pembelaan terhadap
kami?” Iblis berkata: “Aku melihat apa yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu
Katsir, 2/330 dan Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 304)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ
زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ فَلَمَّا
تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ
إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ
إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَاللهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan
mereka dan mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas
kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka
tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu
berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari
kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya
aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48)
Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak
menjaga perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu pula
ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang jelek
serta rusaknya hati.
آيَةُ
الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila
berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul
Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia
berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika
dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya.
Sesungguhnya menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang
yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat
Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)
Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir
Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan generasi Salafush Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan
ikatan perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan terhadap
lawan pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan
musyrikin, tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jaga, sampai mereka
sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِلاَّ
الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوْكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا
فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan
perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi
perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu,
maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)
Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhuma ada
ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu
Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum
habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya
dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan berkhianat!”
Ternyata dia adalah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
bernama ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Barangsiapa antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal
baginya untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan
perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah
menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan
Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu
lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin, kecuali perjanjian yang maksiat, maka
tidak boleh dilaksanakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ
شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian
mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan
yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303)
Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang
Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang
apabila jatuh temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ
يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا
يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin
menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan
barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah akan
melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)
Adapun menunaikan nadzar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ
يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang
adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7)
Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحَقُّ
الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat
yang kalian halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)
Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah
yang berkaitan dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak melanggar
aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan syariat maka tidak
boleh dilakukan, seperti seorang wanita yang mau dinikahi dengan syarat ia
(laki-lakinya) menceraikan isterinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari,
9/218)
Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil
Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan
agama Islam, meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau
tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka
perangai yang tercela.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari
shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhuma dia berkata: “Pada suatu hari
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami,
(tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri
kamu sesuatu!’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada
ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا
إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka
ditulis bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498,
lihat Ash-Shahihah no. 748)
Di dalam hadits ini ada faedah bahwa apa yang biasa diucapkan
oleh manusia untuk anak-anak kecil ketika menangis seperti kalimat janji yang
tidak ditepati atau menakut-nakuti dengan sesuatu yang tidak ada adalah
diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/ 229)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
لاَ
يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلاَ هَزْلٍ، وَلاَ أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لاَ يُنْجِزُ لَهُ
“Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan
tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.”
(Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)
Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat
Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta
sesuatu yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang
memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau mengikat
perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan, maka menepati janji
pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang yang beriman, dan wajib
untuk tidak menunaikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي
مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR.
Ahmad dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)
Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji
Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih.
Dan surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah
Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya
adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan bagi
orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah menepati
janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ
هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah
bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi
amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan
kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)
Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam
Siksa
Siapapun orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka
kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah
masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji
hanya sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang
disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan tidak akan
risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
إِنَّ
شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ عَاهَدْتَ
مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ
لاَ يَتَّقُوْنَ
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi
Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu)
orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu
mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut
(akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 55-56)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِكُلِّ
غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada
pantatnya di hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu
Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Khatimah
Demikianlah indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika
dan adab pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia
saat ini berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta pengkhianatan
mereka terhadap kaum muslimin.
Saat menapaki sejarah, kita bisa menyaksikan, para pengkhianat
perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentunya tidak lupa dari ingatan
kita tentang nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizhah, Bani
An-Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang berkhianat setelah mengikat tali perjanjian
dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berujung dengan kehinaan.
Di antara mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat melekat pada diri mereka
karena tidak adanya keimanan yang benar. Tetapi bagi orang-orang yang
mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong atas musuh-musuhnya, mereka
menjadikan etika yang mulia sebagai salah satu modal dari sekian modal demi
tegaknya kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terwujudnya harapan. Yakinlah,
Islam akan senantiasa tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya. Wallahu
a’lam.
Penulis
: Al-Ustadz Abu Muhammad AbdulMu’thi, Lc.
Makkah Fajr - 15th November 2024
-
*Makkah Fajr *
(Surahs Sajdah & Insaan) *Sheikh Dosary*
Download 128kbps Audio
2 hari yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar