Telah
kita ketahui kesepakatan ulama tentang kafirnya orang yang menentang kewajiban
shalat. Namun, bagi yang meninggalkannya karena malas, terlebih lagi ia masih
mengimani bahwa shalat itu amalan yang disyariatkan, ada perbedaan pendapat di
kalangan ulama, antara yang mengkafirkan dengan yang tidak mengkafirkan dan
apakah ia dibunuh1 atau tidak.
Masalah hukum orang yang meninggalkan shalat ini memang
merupakan masalah khilafiyyah sejak zaman dahulu di kalangan salaful ummah, dan
perselisihannya teranggap (mu’tabar). Oleh karena itu, janganlah kita gegabah
menuduh orang yang menyelisihi pendapat kita dalam hal ini, semisal kita
mengatakannya Murji` (pengikut pemahaman Murji`ah, karena tidak mengkafirkan
orang yang meninggalkan shalat) atau menvonisnya dengan Khariji (pengikut
pemahaman Khawarij, karena mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat). Hukum
asal dalam hal khilaf yang mu’tabar adalah seseorang tidak boleh mengingkari
pendapat orang lain dan mencelanya. Mencela seseorang karena mengikuti pendapat
ulama dari kalangan salaf (para imam yang dikenal) sama dengan mencela ulama
salaf tersebut. Karena itu sekali lagi kita tegaskan, janganlah kita memboikot
dan mencela saudara kita dalam permasalahan-permasalahan yang kita dapati para
ulama kita juga berbeda pendapat di dalamnya. Memang masalah fiqih yang seperti
ini, kita dapati para ulama sering berbeda pendapat, dan mereka pun melapangkan
bagi saudaranya selama permasalahan itu memang dibolehkan/ dilapangkan untuk
berijtihad.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu menyatakan
bahwa permasalahan meninggalkan shalat ini termasuk permasalahan yang sangat
besar yang pada hari ini banyak orang terjatuh di dalamnya (ditimpa musibah
dengan tidak menunaikannya). Dan ulama beserta para imam dari kalangan umat
ini, yang dahulu maupun sekarang, berselisih pendapat tentang hukumnya.
(Mukaddimah kitab Hukmu Tarikish Shalah hal. 3)
Orang yang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja berarti ia
telah melakukan dosa yang teramat besar. Dosanya di sisi Allah Subhanahu wa
Ta’ala lebih besar daripada dosa membunuh jiwa yang tidak halal untuk dibunuh,
atau dosa mengambil harta orang lain secara batil, atau dosa zina, mencuri dan
minum khamr. Meninggalkan shalat berarti menghadapkan diri kepada hukuman Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan kemurkaan-Nya. Ia akan dihinakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala baik di dunia maupun di akhiratnya. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha,
Ibnul Qayyim rahimahullahu, hal. 7)
Tentang hukuman di akhirat bagi orang yang menyia-nyiakan
shalat dinyatakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ. قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَ
“Apakah yang memasukkan kalian ke dalam neraka Saqar?” Mereka
menjawab, “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat….”
(Al-Muddatstsir: 42-43)
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّيْنَ الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُوْنَ
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang
lalai dari mengerjakan shalatnya….” (Al-Ma’un: 4-5)
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan
menemui kerugian2.” (Maryam: 59)
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
1. Abdullah bin Mubarak, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Hubaib dari
kalangan Malikiyyah berpendapat kafir3 orang yang meninggalkan shalat dengan
sengaja walaupun ia tidak menentang kewajiban shalat. Pendapat ini dihikayatkan
pula dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, dan Al-Hakam bin ‘Uyainah
radhiyallahu 'anhum. Sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu juga
berpendapat demikian4. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Nailul Authar, 2/403)
Mereka berargumen dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang
musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka.
Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka
untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(At-Taubah: 5)
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan harus
terpenuhinya tiga syarat barulah seorang yang tadinya musyrik dibebaskan dari
hukuman bunuh sebagai orang kafir yaitu bertaubat, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat. Bila tiga syarat ini terpenuhi berarti ia telah menjadi
seorang muslim yang terpelihara darahnya. Namun bila tidak, ia bukanlah seorang
muslim. Dengan demikian, barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja, tidak
mau menunaikannya, berarti tidak memenuhi syarat untuk dibiarkan berjalan, yang
berarti ia boleh dibunuh5.
Argumen mereka dari hadits adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran
adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)
Demikian pula hadits Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu 'anhu,
ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهُ فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka
barangsiapa yang meninggalkan shalat berarti ia kafir.” (HR. Ahmad 5/346,
At-Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi, Al-Misykat no. 574 dan juga
dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib hal. 299) [Lihat Tharhut Tatsrib, 1/323]
Dalam dua hadits di atas dinyatakan secara umum “meninggalkan
shalat” tanpa ada penyebutan “meninggalkan karena menentang kewajibannya”.
Berarti ancaman dalam hadits diberlakukan secara umum, baik bagi orang yang
meninggalkan shalat karena menentang kewajibannya atau pun tidak.
Seorang tabi’in bernama Abdullah bin Syaqiq rahimahullahu
berkata:
كَانَ أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ اْلأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ الصَّلاَةِ
“Adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak memandang adanya sesuatu dari amalan-amalan yang bila ditinggalkan dapat
mengkafirkan pelakunya kecuali amalan shalat.” (HR. At-Tirmidzi no. 2622,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi,
demikian pula dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 562)
Abdullah menyebutkan bahwa para sahabat sepakat ‘orang yang
meninggalkan shalat itu kafir’ dan mereka tidak mensyaratkan ‘harus disertai
dengan pengingkaran akan kewajibannya’ atau ‘menentang kewajiban shalat’.
Karena yang mengatakan shalat itu tidak wajib, jelas sekali kekafirannya bagi
semua orang. (Al-Majmu’ 3/19, Al-Minhaj 2/257, Tharhut Tatsrib 1/323, Nailul
Authar 2/403)
2. Sementara itu, dinukilkan pula pendapat mayoritas ulama yang
memandang tidak atau belum kafirnya orang yang meninggalkan shalat secara
sengaja. Al-Imam Abdul Haq Al-Isybili rahimahullahu dalam kitabnya Ash Shalah
wat Tahajjud (hal. 96) menyatakan, “Seluruh kaum muslimin dari kalangan Ahlus
Sunnah, baik ahli haditsnya maupun selain mereka, berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat secara sengaja dalam keadaan ia mengimani kewajiban shalat
dan mengakui/menetapkannya, tidaklah dikafirkan. Namun dia telah melakukan
suatu perbuatan dosa yang amat besar. Adapun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang secara zhahir menyebutkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat,
demikian pula ucapan ‘Umar radhiyallahu 'anhu dan selainnya, mereka takwil
sebagaimana mereka mentakwil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ...
“Tidaklah seorang pezina berzina dalam keadaan ia beriman saat
melakukan perbuatan zina tersebut.”6
Demikian pula hadits-hadits lain yang senada dengan ini. Adapun
ahlul ilmi yang berpendapat dibunuhnya orang yang meninggalkan shalat, hanyalah
memaksudkan ia dibunuh sebagai hukum had, bukan karena ia kafir. Demikian
pendapat ini dipegangi oleh Al-Imam Malik, Asy Syafi’i, dan selain keduanya.”
Al-Hafizh Al-‘Iraqi rahimahullahu berkata, “Jumhur ahlul ilmi
berpendapat tidak kafirnya orang yang meninggalkan shalat bila memang ia tidak
menentang kewajibannya. Ini merupakan pendapat para imam: Abu Hanifah, Malik,
Asy-Syafi’i, dan juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad bin Hambal. Terhadap
hadits-hadits yang shahih dalam masalah hukum meninggalkan shalat ini7, mereka
menjawab dengan beberapa jawaban, di antaranya:
Pertama: Makna dari hadits-hadits tersebut adalah orang yang
meninggalkan shalat pantas mendapatkan hukuman yang diberikan kepada orang
kafir yaitu dibunuh.
Kedua: Vonis kafir yang ada dalam hadits-hadits tersebut
diberlakukan kepada orang yang menganggap halal meninggalkan shalat tanpa
udzur.
Ketiga: Meninggalkan shalat terkadang dapat mengantarkan
pelakunya kepada kekafiran, sebagaimana dinyatakan bahwa ‘perbuatan maksiat
adalah pos kekafiran’.
Keempat: Perbuatan meninggalkan shalat adalah perbuatan
orang-orang kafir.” (Tharhut Tatsrib, 1/324-325)
Dalil yang dipakai oleh jumhur ulama adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta'ala:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa menyekutukan-Nya
dengan sesuatu8 (syirik) dan Dia mengampuni dosa selain syirik bagi siapa yang
dikehendaki-Nya.” (An-Nisa`: 48)
Sementara tidak mengerjakan shalat bukan perbuatan syirik,
namun salah satu perbuatan dosa besar yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan
untuk diberikan pengampunan bagi siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
kehendaki.
Juga hadits-hadits yang banyak, di antaranya hadits ‘Ubadah
ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ، فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ، كَانَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدًا يُدْخِلُهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ، إِنْ شاَءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ
“Shalat lima waktu Allah wajibkan atas hamba-hamba-Nya. Siapa
yang mengerjakannya tanpa menyia-nyiakan di antara kelima shalat tersebut
karena meremehkan keberadaannya maka ia mendapatkan janji dari sisi Allah untuk
Allah masukkan ke surga. Namun siapa yang tidak mengerjakannya maka tidak ada
baginya janji dari sisi Allah, jika Allah menghendaki Allah akan mengadzabnya,
dan jika Allah menghendaki maka Allah akan mengampuninya.” (HR. Abu Dawud no.
1420 dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud)
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam:
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الْمُسْلِمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلاَةُ الْمَكْتُوْبَةُ، فَإِنْ أَتَمَّهَا وَإِلاَّ قِيْلَ: انْظُرُوا هَلْ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ؟ فَإِنْ كاَنَ لَهُ تَطَوُّعٌ أُكْمِلَتِ الْفَرِيْضَةُ مِنْ تَطَوُّعِهِ، ثُمَّ يُفْعَلُ بِسَائِرِ اْلأَعْمَالِ الْمَفْرُوْضَةِ مِثْلُ ذَلِكَ
“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba nanti pada
hari kiamat adalah shalat wajib. Jika ia sempurnakan shalat yang wajib tersebut
maka sempurna amalannya, namun jika tidak dikatakanlah, ‘Lihatlah, apakah orang
ini memiliki amalan tathawwu’ (shalat sunnah)?’ Bila ia memiliki amalan
tathawwu’, disempurnakanlah shalat wajib yang dikerjakannya dengan shalat
sunnahnya. Kemudian seluruh amalan yang difardhukan juga diperbuat semisal
itu.” (HR. Ibnu Majah no. 1425 dan lainnya, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah dan Al-Misykat no. 1330-1331)
Demikian pula hadits dalam Ash-Shahihain yang dibawakan oleh
‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
مَنْ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّ عِيْسَى عَبْدُ اللهِ وَابْنُ أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِنْهُ، وَأَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ، وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ، أَدْخَلَهُ اللهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنْ عَمَلٍ
“Siapa yang mengucapkan, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali hanya Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya dan
aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, ‘Isa adalah hamba
Allah, putra dari hamba perempuan Allah, kalimat-Nya yang Dia lontarkan kepada
Maryam dan ruh ciptaan-Nya, dan surga itu benar adanya, neraka pun benar
adanya’, maka orang yang bersaksi seperti ini akan Allah masukkan ke dalam
surga apa pun amalannya.” (HR. Al-Bukhari no. 3435 dan Muslim no. 139)
Dalam satu riwayat Al-Imam Muslim (no. 141) dibawakan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ النَّارَ
“Siapa yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar
kecuali hanya Allah saja dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, maka
Allah haramkan neraka baginya.”
Selain itu, banyak didapatkan dalil yang menunjukkan tidak
kekalnya seorang muslim yang masih memiliki iman walau sedikit di dalam neraka,
bila ia telah mengucapkan syahadatain, seperti hadits Anas bin Malik
radhiyallahu 'anhu berikut ini. Anas berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ شَعِيْرَةً، ثُمَّ يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ بُرَّةً، ثُمَّ يُخْرَجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا يَزِنُ ذَرَّةً
“Akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha
illallah dan di hatinya ada kebaikan (iman) seberat sya’ir (satu jenis gandum).
Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha
illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat burrah (satu jenis gandum juga).
Kemudian akan dikeluarkan dari neraka orang yang mengucapkan Laa ilaaha
illallah dan di hatinya ada kebaikan seberat semut yang sangat kecil.” (HR.
Al-Bukhari no. 44 dan Muslim no. 477)
Ulama yang berpandangan tidak kafirnya orang yang meninggalkan
shalat tidaklah kemudian membebaskan pelakunya dari hukuman atau
meringan-ringankan hukumannya. Bahkan sebaliknya, hukuman berat dijatuhkan
sebagaimana yang akan kita baca dalam keterangan berikut ini.
Ibnu Syihab Az-Zuhri, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Umar bin Abdil
‘Aziz, Abu Hanifah, Dawud bin ‘Ali dan Al-Muzani berpendapat, orang yang
meninggalkan shalat karena malas, tidaklah divonis kafir, namun fasik. Ia harus
ditahan atau dipenjara oleh pemerintah muslimin9 dan dipukul dengan pukulan
yang keras sampai darahnya bercucuran. Hukuman ini terus ditimpakan padanya
sampai ia mau bertaubat dan mengerjakan shalat atau sampai mati dalam penjara10.
Hukuman bunuh tidak sampai dijatuhkan padanya kecuali bila ia menentang
kewajiban shalat, karena ada hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu 'anhu dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal ditumpahkan darah seseorang yang bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah saja dan ia
bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali salah satu dari tiga golongan,
yaitu seseorang yang sudah/pernah menikah melakukan perbuatan zina, karena jiwa
dibalas jiwa (seseorang membunuh orang lain maka balasannya ia diqishash/dibunuh
juga), dan orang yang meninggalkan agamanya, berpisah dengan jamaahnya kaum
muslimin.” (HR. Al-Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 4351) [Al-Majmu’ 3/19,
Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7-8]
Dalam hadits di atas tidak disebutkan hukum bunuh untuk orang
yang meninggalkan shalat. (Al-Minhaj, 2/257)
Madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat tanpa ada udzur, ia diminta bertaubat dari perbuatannya.
Bila tidak mau bertaubat maka dibunuh11 dengan cara dipenggal dengan pedang
menurut pendapat jumhur12. Namun hukuman bunuh ini dijatuhkan sebagai hukum had
baginya bukan dibunuh karena kafir. Setelah meninggal, ia dikafani, dishalati,
dan dikuburkan di pemakaman muslimin. (Al-Majmu’ 3/17, Al-Minhaj 2/257, Nailul
Authar, 2/403)
Dari keterangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu
dalam Majmu’ Fatawa (22/40-53) sehubungan dengan perkara shalat ini, tampak
bahwa beliau membagi manusia menjadi empat macam:
• Orang yang menolak untuk mengerjakan shalat sampai ia
dibunuh, sementara di hatinya sama sekali tidak ada pengakuan akan kewajiban
shalat dan tidak ada keinginan untuk mengerjakannya. Orang ini kafir menurut
kesepakatan kaum muslimin.
• Orang yang terus-menerus meninggalkan shalat sampai
meninggalnya, sama sekali ia tidak pernah sujud kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Ia pun tidak mengakui kewajibannya maka orang ini pun kafir.
• Orang yang tidak menjaga shalat lima waktu, ini adalah
keadaan kebanyakan manusia. Sekali waktu ia mengerjakan shalat, pada kali lain
ia meninggalkannya. Orang yang keadaannya seperti ini berada di bawah kehendak
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki akan
diadzab, kalau tidak maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuninya.
Dalilnya adalah hadits ‘Ubadah ibnush Shamit radhiyallahu 'anhu yang telah
disebutkan di atas.
• Kaum mukminin yang menjaga shalat mereka. Inilah yang
mendapat janji untuk masuk surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dari perbedaan pendapat yang ada, penulis sendiri lebih condong
pada pendapat yang menyatakan tidak kafir. Dan inilah pendapat yang menenangkan
hati kami, wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata ketika menguatkan
pendapat ini, “Terus-menerus kaum muslimin saling mewarisi dengan orang yang
meninggalkan shalat (dari kalangan kerabat mereka). Seandainya orang yang
meninggalkan shalat itu kafir dan tidak akan diampuni dosanya, tentu tidak
boleh mewarisi dan tidak mewariskan harta kepada kerabatnya. Adapun jawaban
argumen yang dibawakan oleh yang berpendapat kafirnya orang yang meninggalkan
shalat dengan hadits Jabir, hadits Buraidah dan riwayat Abdullah ibnu Syaqiq,
adalah bahwa hadits-hadits tersebut dibawa maknanya kepada orang yang
meninggalkan shalat akan menjadi serikat bagi orang kafir dalam sebagian hukum
yang diberlakukan kepadanya, yaitu ia wajib/harus dibunuh. Dengan takwil ini
terkumpullah nash-nash syariat dan kaidah-kaidah yang telah disebutkan.”
(Al-Majmu’, 3/19)
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu menyatakan, “Aku berpandangan
bahwa yang benar adalah pendapat jumhur. Adapun riwayat yang datang dari
sahabat bukanlah nash yang memastikan bahwa yang mereka maksudkan dengan kufur
adalah kufur yang membuat pelakunya kekal di dalam neraka13.” (Ash-Shahihah,
1/174)
Wallahu Ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Abdullah
ibnul Mubarak, Hammad bin Zaid, Waki’ ibnul Jarrah, Malik bin Anas, Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahuyah, dan murid/ pengikut
mereka berpandangan bahwa orang yang meninggalkan shalat dibunuh. Kemudian
mereka berbeda pendapat, apakah dibunuh sebagai seorang muslim yang menjalani hukum
had sebagaimana dibunuhnya zina muhshan (orang yang sudah/pernah menikah lalu
berzina), ataukah dibunuh karena kafir sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad
dan zindiq. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 7 dan 20)
2 فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ditafsirkan oleh Ibnu ‘Abbas dengan kerugian.
Qatadah berkata, “(Kelak mereka akan menjumpai) kejelekan.” Ibnu Mas’ud
menafsirkannya dengan sebuah lembah di neraka Jahannam yang sangat dalam lagi
sangat buruk makanannya. Adapula yang menafsirkannya dengan sebuah lembah di
Jahannam yang berisi darah dan nanah. (Al-Mishbahul Munir fit Tahdzib Tafsir
Ibni Katsir, hal. 830-831)
3 Bila sampai vonis kafir dijatuhkan berarti diberlakukan
padanya hukum-hukum orang kafir/murtad. Seperti tidak memperoleh warisan dari
kerabatnya yang meninggal, bila sudah beristri (dan istrinya seorang muslimah)
maka ia harus menceraikan istrinya, bila belum maka tidak boleh dinikahkan
dengan wanita muslimah. Bila ia meninggal dunia, jenazahnya tidak boleh
dimakamkan di pekuburan muslimin dan seterusnya.
4 Dan pendapat ini pula yang dipegangi oleh sebagian besar imam
dakwah pada hari ini. Di antaranya Samahatusy Syaikh Ibn Baz, Asy-Syaikh Ibnu
‘Utsaimin, dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahumullah.
5 Ada dua riwayat dari Al-Imam Ahmad dalam masalah membunuh
orang yang meninggalkan shalat ini.
Pertama: Ia dibunuh sebagaimana dibunuhnya orang yang murtad.
Demikian pendapat ini dipegangi oleh Sa’id bin Jubair, Amir Asy-Sya’bi, Ibrahim
An-Nakha’i, Abu ‘Amr Al-Auza’i, Ayyub As-Sikhtiyani, Abdullah ibnul Mubarak,
Ishaq bin Rahuyah, Abdul Malik bin Hubaib dari kalangan Malikiyyah, satu sisi
dalam madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i, Ath-Thahawi menghikayatkan dari Al-Imam
Asy-Syafi’i sendiri dan Abu Muhammad ibnu Hazm menghikayatkannya dari ‘Umar
ibnul Khaththab, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah dan
selain mereka dari kalangan shahabat.
Kedua: Dibunuh sebagai hukum had, bukan karena kafir. Demikian
pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Abu Abdillah ibnu Baththah memilih riwayat
ini. (Ash-Shalatu wa Hukmu Tarikiha, hal. 20)
6 Yakni si pezina tidak mungkin melakukan perbuatan zina di
kala imannya sempurna. Hanyalah ia jatuh ke dalam perbuatan nista tersebut
karena imannya sedang lemah. Dengan demikian hadits ini bukanlah menunjukkan
bahwa pezina itu tidak punya iman dalam arti keluar dari iman dan masuk ke
dalam kekafiran, namun si pezina tetap seorang muslim dengan keimanan yang
sekadar mensahkan keislamannya.
7 Seperti hadits Jabir dan hadits Buraidah.
8 Apabila si hamba meninggal dalam keadaan membawa dosa syirik,
tidak sempat bertaubat dari kesyirikan. Adapun bila bertaubat dari dosa-dosanya
maka:
إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا
“Sesungguhnya Allah mengampuni seluruh dosa.” (Az-Zumar: 53)
9 Yang harus selalu diingat, hukum had bukanlah ditegakkan oleh
orang per orang atau suatu perkumpulan/organisasi perorangan, namun yang
berwenang dalam penegakannya adalah wulatul umur, yaitu pemerintah kaum
muslimin.
10 Dan ia mati tentunya bukan sebagai orang kafir tapi sebagai
orang fasik, seorang mukmin yang mengerjakan dosa besar. Sehingga pengurusan
jenazahnya tetap diselenggarakan oleh kaum muslimin sebagaimana penyelenggaraan
jenazah orang Islam; ia dimandikan, dikafani, dishalati dan dikuburkan di
pemakaman muslimin.
11 Berargumen dengan ayat:
فَإِذَا انْسَلَخَ اْلأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوْهُمْ وَخُذُوْهُمْ وَاحْصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيْلَهُمْ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang
musyrikin itu di mana saja kalian jumpai mereka dan tangkaplah mereka.
Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Apabila mereka bertaubat,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka
untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(At-Taubah: 5)
12 Berdalil dengan hadits:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ فِي كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ
“Sesungguhnya Allah menetapkan untuk berbuat ihsan (berbuat
baik) dalam segala sesuatu, maka kalau kalian membunuh baikkanlah dalam cara
membunuh.” (HR. Muslim no. 1955)
Sementara membunuh dengan memukulkan pedang ke leher
(memenggal) merupakan sebaik-baik cara membunuh dan lebih cepat menghilangkan
nyawa, sehingga tidak menyakitkan dan menyiksa orang yang dibunuh.
13 Karena ada yang namanya kufrun duna kufrin, yaitu amalnya
merupakan amalan kekafiran namun pelakunya belum tentu dikafirkan.
Penulis
: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Makkah Fajr - 15th January 2025
-
*Makkah Fajr *
(Surah Dhariyaat) *Sheikh Baleelah*
Download 128kbps Audio
1 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar