Dalil akan
wajibnya zakat perdagangan adalah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ
“Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi
untuk kamu.”
(QS. Al Baqarah: 267). Imam Bukhari meletakkan Bab dalam kitab
Zakat dalam kitab shahihnya, di mana beliau berkata,
باب صَدَقَةِ
الْكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ
“Bab:
Zakat hasil usaha dan tijaroh (perdagangan)”[1], setelah itu beliau rahimahullah
membawakan ayat di atas.
Kata Ibnul
‘Arobi,
{
مَا كَسَبْتُمْ } يَعْنِي : التِّجَارَةَ
“Yang
dimaksud ‘hasil usaha kalian’ adalah perdagangan”.[2]
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata, “Para ulama empat madzhab dan ulama
lainnya –kecuali yang keliru dalam hal ini- berpendapat wajibnya zakat barang
dagangan, baik pedagang adalah seorang yang bermukim atau musafir. Begitu pula
tetap terkena kewajiban zakat walau si pedagang bertujuan dengan membeli barang
ketika harga murah dan menjualnya kembali ketika harganya melonjak. … ”[3]
Syarat
zakat barang dagangan
- Barang tersebut dimiliki atas
pilihan sendiri dengan cara yang mubah baik lewat jalan cari untung (mu’awadhot)
seperti jual beli dan sewa atau secara cuma-cuma (tabaru’at)
seperti hadiah dan wasiat.
- Barang tersebut bukan termasuk
harta yang asalnya wajib dizakati seperti hewan ternak, emas, dan perak.
Karena tidak boleh ada dua wajib zakat dalam satu harta berdasarkan
kesepakatan para ulama. Dan zakat pada emas dan perak –misalnya- itu lebih
kuat dari zakat perdagangan, karena zakat tersebut disepakati oleh para
ulama. Kecuali jika zakat tersebut di bawah nishob, maka bisa saja terkena
zakat tijaroh.[4]
- Barang tersebut sejak awal
dibeli diniatkan untuk diperdagangkan[5] karena setiap amalan
tergantung niatnya. Dan tijaroh (perdagangan) termasuk
amalan, maka harus ada niat untuk didagangkan sebagaimana niatan dalam
amalan lainnya.
- Nilai barang tersebut telah
mencapai salah satu nishob dari emas atau perak, mana yang paling
hati-hati dan lebih membahagiakan miskin. Sebagaimana dijelaskan bahwa
nishob perak itulah yang lebih rendah dan nantinya yang jadi patokan dalam
nishob.
- Telah mencapai haul (melalui
masa satu tahun hijriyah). Jika barang dagangan saat pembelian menggunakan
mata uang yang telah mencapai nishob, atau harganya telah melampaui nishob
emas atau perak, maka haul dihitung dari waktu pembelian tersebut.[6] [7]
Kapan
nishob teranggap pada zakat barang dagangan?
- Haul baru dihitung setelah
nilai barang dagangan mencapai nishob.
- Menurut jumhur (mayoritas
ulama), nishob yang teranggap adalah pada keseluruhan haul (selama satu
tahun). Jika nilai barang dagangan di pertengahan haul kurang dari nishob,
lalu bertambah lagi, maka perhitungan haul dimulai lagi dari awal saat
nilainya mencapai nishob. Adapun jika pedagang tidak mengetahui kalau
nilai barang dagangannya turun dari nishob di tengah-tengah haul, maka
asalnya dianggap bahwa nilai barang dagangan masih mencapai nishob.[8]
Apakah
mengeluarkan zakat barang dagangan dengan barangnya atau nilainya?
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa wajib mengeluarkan zakat barang dagangan dengan
nilainya karena nishob barang dagangan adalah dengan nilainya. Sedangkan Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i dalam salah satu pendapatnya berpandangan bahwa
pedagang boleh memilih dikeluarkan dari barang dagangan ataukah dari nilainya.[9] Adapun Ibnu Taimiyah memilih
manakah yang lebih maslahat bagi golongan penerima zakat.[10]
Perhitungan
zakat barang dagangan
Perhitungan zakat barang dagangan = nilai barang
dagangan* + uang dagang yang ada + piutang yang diharapkan – utang yang jatuh
tempo**.
* dengan
harga saat jatuh haul, bukan harga saat beli.
** utang
yang dimaksud adalah utang yang jatuh tempo pada tahun tersebut (tahun
pengeluaran zakat). Jadi bukan dimaksud seluruh hutang pedagang yang ada.
Karena jika seluruhnya, bisa jadi ia tidak ada zakat bagi dirinya.
Kalau
mencapai nishob, maka dikeluarkan zakat sebesar 2,5% atau 1/40.
Contoh:
Pak Muhammad
mulai membuka toko dengan modal 100 juta pada bulan Muharram 1432 H. Pada bulan
Muharram 1433 H, perincian zakat barang dagangan Pak Muhammad sebagai berikut:
- Nilai
barang dagangan = Rp.40.000.000
- Uang yang
ada
= Rp.10.000.000
-
Piutang
= Rp.10.000.000
-
Utang
= Rp.20.000.000 (yang jatuh tempo
tahun 1433 H)
Perhitungan
Zakat
=
(Rp.40.000.000 + Rp.10.000.000 + Rp.10.000.000 – Rp.20.000.000) x 2,5%
=
Rp.40.000.000 x 2,5%
=
Rp.1.000.000
-bersambung insya Allah-
Penulis: Muhammad
Abduh Tuasikal
[1] Shahih Al Bukhari pada Kitab Zakat
[2] Ahkamul Qur’an, Ibnul ‘Arobi, 1:
469.
[3] Majmu’ Al Fatawa, 25: 45.
[4] Jika seseorang memiliki 10 kambing
jika dijual maka harganya setara dengan 1000 dirham, artinya sudah di atas
nishob perak. Maka ada kewajiban zakat untuk kambing tersebut meskipun tidak
mencapai nishob kambing (yaitu 40 ekor). Karena yang jadi patokan dalam zakat
barang dagangan adalah qimah, yaitu nilai barang tersebut.
Sebaliknya
jika seseorang memiliki 40 ekor kambing, artinya sudah mencapai nishob.
Kemudian ia persiapkan untuk dijual (berarti masuk zakat barang dagangan) dan
harganya adalah setara dengan 100 dirham, artinya di bawah nishob perak. Maka
saat ini tidak ada zakat karena qimah atau harga kambing tersebut tidak
mencapai nishob (Lihat Syarhul Mumti’, 6: 140-141).
[5] Jika seseorang membeli mobil dan
berniat sejak awal untuk diperdagangkan, maka ada kewajiban zakat jika
qimah-nya (harga mobil) telah mencapai nishob. Namun jika niatan membeli mobil
hanya untuk kepentingan pribadi, lalu suatu saat ia jual, maka tidak ada zakat.
Karena mobil tersebut sejak awal tidak diniatkan untuk diperdagangkan namun
hanya untuk digunakan untuk kepentingan pribadi (Lihat Syarhul Mumti’, 6: 141)
Jika awal
pembelian diniatkan untuk penggunaan pribadi, namun di tengah jalan, mobil
tersebut ingin didagangkan atau disewakan (dijadikan ro’sul maal atau
pokok harta jual beli), maka tetap terkena wajib zakat jika telah melampaui
haul dan nilainya di atas nishob. Karena setiap amalan tergantung pada niatnya.
(Lihat Syarhul Mumti’, 6: 143).
[6] Jika barang dagangan misalnya
dibeli pada tanggal 1 Jumadal Akhir 1432 H seharga Rp.15 juta. Nishob perak =
595 gram x Rp.5.000/gram = Rp.2.975.000 dan nisbob emas = 85 gram x
Rp.500.000/gram = Rp.42.500.000. Ini berarti barang dagangan tersebut sudah
melebehi nishob dan terkena zakat. Perhitungan haul dihitung dari 1 Jumadal Akhir
1432 H dan pengeluaran zakat adalah satu tahun berikutnya, 1
Jumadal Akhir 1433 H.
[7] Lihat Al Mulakhosh Al Fiqhiy, 1:
346-347, Syarhul Mumti’, Al Wajiz Al Muqorin, hal. 36-37 dan Shahih Fiqh
Sunnah, 2: 56-57.
[8] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 57 dan
Al Wajiz Al Muqorin, hal. 37-39.
[10] Majmu’ Al Fatawa, 25: 80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar