Mata uang
wajib dizakati karena fungsinya sebagai alat tukar sebagaimana emas dan perak
yang ia gantikan fungsinya saat ini. Hukum mata uang ini pun sama dengan hukum
emas dan perak karena kaedah yang telah ma’ruf “al badl lahu hukmul
mubdal” (pengganti memiliki hukum yang sama dengan yang digantikan).
Mata uang yang
satu dan lainnya bisa saling digabungkan untuk menyempurnakan nishob
karena masih dalam satu jenis walau ada berbagai macam mata uang dari berbagai negara.[1]
karena masih dalam satu jenis walau ada berbagai macam mata uang dari berbagai negara.[1]
Yang jadi
patokan dalam nishob mata uang adalah nishob emas atau perak. Jika mencapai
salah satu nishob dari keduanya, maka ada zakat. Jika kurang dari itu, maka
tidak ada zakat. Jika kita perhatikan yang paling sedikit nishobnya ketika
ditukar ke mata uang adalah nishob perak. Patokan nishob inilah yang lebih
hati-hati dan lebih menyenangkan orang miskin. Besaran zakat mata uang adalah
2,5% atau 1/40 ketika telah mencapai haul.[2]
Contoh
perhitungan zakat mata uang:
Simpanan
uang yang telah mencapai haul adalah Rp.10.000.000,-
Harga emas
saat masuk haul = Rp.500.000,-/gram (perkiraan). Nishob emas = 85 gram x
Rp.500.000,-/gram = Rp.42.500.000,-.
Harga perak
saat masuk haul = Rp.5.000,-/gram (perkiraan). Nishob perak = 595 gram x
Rp.5.000,-/gram = Rp.2.975.000,-.
Yang jadi
patokan adalah nishob perak. Simpanan di atas telah mencapai nishob perak, maka
besar zakat yang mesti dikeluarkan = 1/40 x Rp.10.000.000,- = Rp.250.000,-.
Zakat
Penghasilan atau Gaji Bulanan
Sama halnya
dengan emas dan perak, zakat penghasilan harus memenuhi syarat yang telah
disebutkan. Di antara syarat tersebut adalah penghasilan tersebut telah
mencapai nishob dan telah haul (masa satu tahun). Yang jadi
patokan adalah nishob perak sebagaimana penjelasan dalam nishob mata uang.
Namun perlu
dipahami bahwa pekerja itu ada dua kondisi dilihat dari penghasilannya
(gajinya):
Pertama: Orang yang menghabiskan seluruh
gajinya (setiap bulan) untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak ada sedikit pun
harta yang disimpan. Kondisi semacam ini tidak ada zakat.
Kedua: Pekerja yang mampu menyisihkan
harta simpanan setiap bulannya, kadang harta tersebut bertambah dan kadang
berkurang. Kondisi semacam ini wajib dikenai zakat jika telah memenuhi nishob
dan mencapai haul.
Adapun
sebagian orang yang mengatakan bahwa zakat penghasilan itu sebagaimana zakat
tanaman (artinya dikeluarkan setiap kali gajian yaitu setiap bulan), sehingga
tidak ada ketentuan haul (menunggu satu tahun), maka ini adalah pendapat
yang tidak tepat.[3]
Contoh
perhitungan zakat penghasilan:
Misal harta
yang tersimpan dari mulai usaha atau mulai bekerja:
Pada tahun
1432 H, Muharram: Rp.500.000,-
Safar:
Rp.1.000.000,-
Rabiul
Awwal: Rp.500.000,-
Rabiuts
Tsani: Rp.1.000.000,- (sudah mencapai nishob perak, sekitar Rp. 3 juta,-)
Berarti
perhitungan haul (satu tahun) dimulai dari Rabiuts Tsani 1432 H dan Rabiuts
Tsani tahun berikut wajib zakat.
Jumadal Ula:
Rp.1.000.000,-
Jumadal
Akhir: Rp.2.000.000,-
Rajab:
Rp.1.000.000,-
Sya’ban:
Rp.500.000,-
Ramadhan: Rp.2.000.000,-
Syawwal:
Rp.2.000.000,-
Dzulqo’dah:
Rp.3.000.000,-
Dzulhijjah:
Rp.2.000.000,-
Pada tahun
1433 H, Muharram: Rp.3.000.000,-
Safar:
Rp.2.000.000,-
Rabiul
Awwal: Rp.1.000.000,-
Rabiuts
Tsani: Rp.2.500.000,-
Di awal
Rabi’uts Tsani, total harta simpanan = Rp.25.000.000,-
Zakat yang
dikeluarkan = 1/40 x Rp.25.000.000,- = Rp.625.000,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar