I. SIWAK DAN KEUTAMAANYA
1.1 Pengertian Siwak
Siwak jika di kasrah huruf sin-nya maka bermakna suatu kayu yang dipakai untuk
menggosok gigi. (Taisirul 'Allam: 1/39 dan Ihkamul Ahkam, hal. 55)
1). Siwak memiliki dua makna yaitu: Bermakna Fi’il yaitu perbuatan untuk
menggosok gigi atau untuk membersihkan mulut. (Subulussalam Syarh Buluughul
Maraam: 1/63 dan Fathul Baariy: 1/422)
2). Bermakna alat yaitu alat atau kayu yang dipakai untuk menggosok gigi. (Taisirul
'Allam: 1/39, Subulussalam Syarh Buluughul Maraam: 1/63 dan Fathul Baary:
1/422)
Siwak adalah suatu perkara yang disyari'atkan, yaitu dengan menggunakan batang
atau semisalnya. (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhiy: 1/29)
1.2 Manfaat dari Bersiwak
1). Untuk membersihkan mulut dan diridhai oleh Allah –‘Azza wa Jalla-, dari
Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
bersabda: "Siwak itu
pembersih mulut dan diridhai Allah.” (HR. Bukhari Kitabus Shiyam Bab 27,
Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad dalam Al-Musnad juz I hal.
3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan
hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. hadits
3695).
2). Untuk menghilangkan warna kekuning-kuningan yang menempel pada gigi dan
untuk menghilngkan bau mulut. (Taisirul 'Allam, hal. 39, Subulussalam Syarh
Buluughul Maraam: 1/63, Fathul Baary: 1/422 dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: I/68).
3). Samahatusy Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- berkata:
“Siwak memiliki banyak manfaat, diantaranya:
√ Membersihkan mulut
√ Mengatasi bau tidak sedap pada mulut
√ Mengiatkan hamba untuk beramal
√ Menghilangkan ngantuk. Dan masih banyak lagi manfaatnya.” (Syahr Riyadhus
Shalihin: 3/265)
4). Al-Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Siwak memiliki banyak manfaat diantaranya:
√ Mengharaumkan mulut dan menguatkan gigi dan gusi
√ Memutus adanya liur
√ Mencerahkan penglihatan
√ Menghilangkan penyakit perut
√ Menyehatkan perut dan lambung
√ Memperindah suara
√ Mempermudah ketika mencerna makanan (menambah selera makan)
√ Mudah ketika berbicara
√ Giat untuk membaca, berdzikir dan shalat
√ Menghilangkan rasa ngantuk
√ Diridhai Allah
√ Disegani malaikat
√ Memperbanyak kebaikan. (Tamamul Minnah: 1/61).
1.3 Hukum Bersiwak
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi
wasallam-, Beliau bersabda: "Kalaulah tidak memberatkan umatku, sungguh
aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu.” (HR. Malik:1/66,
Al Baihaqi:1/35, Ibnu Huzaimah:1/73 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di
dalam Shahihil Jami' no. 5317, shahihut Targhib no. 201 dan Al-Irwa': 1/109).
Pada hadits ini terdapat tiga pendapat dikalangan para ulama:
1). Sebagian Ushuliyyin berdalil dengan hadits ini bahwasanya setiap perintah
menunjukkan wajib hukumnya, dan segi pengambilan dalil mereka adalah: Kalimat
“Laula” (kalaulah), menunjukkan atas peniadaan sesuatu karena ada sesuatu yang
lain, maka menunjukkan atas peniadaan suatu perintah karena ada rasa berat,
bahwa peniadaan karena rasa berat itu bukanlah sunnah, sesungguhnya sunnah
siwak itu telah tetap (dilakukan) ketika setiap akan shalat, maka menuntut yang
demikian itu bahwa perintah menunjukan wajib.
2). Bersiwak adalah mustahab (sunnah) hukumnya pada beberapa keadaan, termasuk
didalamnya adalah apa yang menunjukkan atas disunnahkannya adalah hadits ketika
seseorang berdiri untuk shalat, dan rahasia permasalahan dianjurkannya bersiwak
ketika hendak akan shalat adalah kita diperintah dalam setiap keadaan supaya
beramal sebaik mungkin tatkala beribadah kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Dan ada
yang berkata: (Karena) permasalahan ini berkaitan dengan para malaikat, sebab
malaikat merasa terganggu dengan bau yang tidak sedap (yang berasal dari gigi
dan mulut).Hadits dengan keumumannya menunjukkan atas disunnahkannya bersiwak
ketika hendak shalat.” (Ihkamul Ahkam: I/55-56)
3). Mayoritas ulama berpendapat bahwa bersiwak hukumnya adalah sunnah, dan
menjadi sunnah muakkad pada waktu-waktu tertentu. (Taisirul ‘Allam: 1/39,
Al-Umm: 1/35, Subulus Salam: 1/63, Fathul bary: 1/9 dan Al-Mulakhas Al-Fiqhiy:
1/29).
Adapun apabila ada yang berpendapat bahwa bersiwak hukumnya adalah wajib dan
berhujjah dengan hadits: “Wajib atas kalian untuk bersiwak, karena dengan
bersiwak akan membersihkan mulut dan diridhai oleh Allah –Tabaraka wata’ala-“
(HR. Ahmad: 2/09, lihat Ash-Shahihah: 2517), maka perlu diketahui bahwa suatu
perintah yang dia itu menunjukkan suatu kewajiban akan berubah hukumnya menjadi
mustahab (sunnah) apabila ada suatu dalil yang memalingkannya kepada yang
sunnah, Al-Imam Syaukani –rahimahullah- berkata: “Bersiwak adalah hukumnya
sunnah, dan dalilnya adalah hadits yang sudah mutawatir baik itu berupa
perkataan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, perbuatannya dan tidak ada
perbedaan pendapat (dikalangan kami) tentang yang demikian itu.” (Ad-Darari
Al-Mudhiyah, hal. 48 dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: 1/168).
Al-Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Mayoritas ulama berpandangan
bahwa bersiwak hukumnya adalah sunnah, bukan wajib, kami tidak mengetahui ada
seorang pun yang berpendapat bahwa bersiwak itu wajib kecuali Ishaq dan Dawud
Azh-Zhahiri.” (Al-Mughni: 1/119).
1.3 Syari'at Siwak
Bersiwak adalah termasuk dari bagian dari sunnah para Rasul, sebagaimana hadits
dari Abu Ayyub –radhiyallahu 'anhu- : "Ada empat hal yang termasuk dari
sunnah para Rasul; Memakai minyak wangi, menikah, bersiwak dan malu” (HR.
Ahmad; 23470 dan Tirmidzi: 1081, dan beliau berkata: Hadits ini hasan gharib).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan –hafidzahullah- berkata: "Orang yang pertama
kali bersiwak adalah Nabi Ibrahim -'alaihis salam-. Rasulullah -Shallallahu
'alaihi wasallam- menjelaskan bahwa bersiwak dapat membersihkan mulut, yakni
membersihkan dari hal-hal yang tidak disukai, (bersiwak) juga sebagai penyebab
datangnya ridha Allah, yakni menjadikan Allah -Subhanahu wa ta'ala- menjadi
ridha. Dalam anjuran mengamalkannya telah terdapat lebih dari seratus hadits.
semuanya menunjukkan bahwa bersiwak adalah sunnah muakkadah. Syariat telah
menganjurkan dan menghimbau untuk diamalkan. Siwak memiliki beberapa faedah
yang sangat besar, diantaranya yang paling besar adalah yang telah dianjurkan
oleh hadits: "Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Allah” (HR. Bukhari
Kitabus Shiyam Bab 27, Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad
dalam Al-Musnad juz I hal. 3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I
Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di
dalam Shahihil Jami' no. hadits 3695). Bersiwak adalah dengan menggunakan
batang yang lembut dari pohon arak, zaitun, urjun atau yang semisalnya yang
tidak menyakiti atau melukai mulut” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30 dan Akhshar
Al-Mukhtashar, hal. 9).
1.4 Waktu-waktu Disunnahkannya Bersiwak
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: “Bersiwak disunnahkan disetiap keadaan,
bahkan sekalipun yang berpuasa disepanjang harinya, demikianlah pendapat yang
benar. dan menjadi sunnah muakadah pada waktu tertentu” (Al-Mulakhkhas
Al-Fiqhy: 1/30)
Keterangan dari perkataan diatas:
Disunnahkan bersiwak dalam setiap keadaan. (Syahr Riyadhus Shalihin: 3/264,
Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30, Akhshar Al-Mukhtashar, hal. 92, Al-Umm: 1/35) dan
Al-‘Uddah Syarh ‘Umdah, hal. 34).Asy-Syaikh Ibnu ‘Aqil berkata: “Tidak ada
perbedaan pendapat para ulama mazhab (dikalangan kami) bahwasanya bersiwak
tidak disunnahkan bagi orang yang berpuasa setelah matahari tergelincir”
(Al-‘Uddah Syarh ‘Umdah, hal. 35).
Apabila ada orang yang berpendapat disunnahkannya bersiwak walaupun dalam
keadaan berpuasa dan berdalil dengan hadits ‘Amir bin Rabi’ah: “Aku melihat
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam beberapa kali yang tidak bisa
aku hitung, beliau bersiwak dalam keadaan berpuasa.” Maka pendalilan tersebut
tertolak karena hadits yang dijadikan dalil adalah hadits dho’if, sebagaimana
telah didho’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dho’if Abi Dawud; 551, Dho’if
At-Tirmidzi; 16 dan lihat Al-Irwa’; 68).
Dan pendapat yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh DR.
Shalih Fauzan dan para ulama selain beliau, bahwa bersiwak dalam keadaan
berpuasa adalah boleh dan disunnahkan. (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30). Perkara
tersebut karena ketidak adanya dalil yang melarang untuk bersiwak ketika sedang
berpuasa baik itu sebelum matahari tergelincir atau setelah matahari
tergelincir, namun yang ada hanyalah anjuran untuk bersiwak dalam konteks umum
(yakni bersiwak disetiap waktu atau setiap keadaan). Wallahu a’lam bish shawab.
Ringkasnya: “Boleh bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak baik itu sebelum
matahari tergelincir atau setelah matahari tergelincir” (Tamamul Minnah: 1/60).
Adapun diantara waktu-waktu yang sunnah muakkad untuk bersiwak ada beberapa
perkataan para ulama:
1). Al-Imam Abdurrahman bin Ibrahim Al-Maqdisy –rahimahullah- berkata:
“Bersiwak akan menjadi sunnah muakkad pada tiga tempat:
√ Ketika terjadi perubahan bau mulut, karena sesungguhnya asal disunnahkannya
bersiwak karena untuk menghilangkan bau (tidak sedap) pada mulut.
√ Ketika bangun dari tidur, sebagaimana hadits Khudzaifah Ibnul Yaman: Dari
Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu 'anhu-, beliau berkata: Jika Rasulullah
-shallallahu'alaihi wa sallam- bangun malam, beliau
menggosok (membersihkan) mulutnya dengan siwak." (HR.
Bukhari; 245 dan Muslim; 255).
√ Ketika setiap akan shalat, dengan hujjah hadits Abu Hurairah: Dari Abu Hurairah
-radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau
bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan
perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat." (HR. Bukhari
(2/374/887), Muslim (1/220/252) dan Tirmidzi (1/18/22) lihat Shahihul jami' No.
Hadits 5315).
2). Al-Imam An-Nawawy berkata: “Bersiwak hukumnya mustahab dilakukan pada
setiap waktu, tetapi lebih ditekankan lagi pada waktu yang lima, yaitu ketika
setiap akan shalat, ketika setiap akan wudhu, ketika membaca Al-Qur’an, katika
bangun tidur dan ketika mulut sudah mulai berbau.” (Bagaimana Seorang Muslim
Mengenal Agamanya, hal. 310).
3). Samahatusy Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- berkata: “Bersiwak akan menjadi
sunnah muakkad pada beberapa tempat: Ketika akan berwudhu, Ketika hendak akan
shalat, ketika masuk rumah, ketika bangun dari tidur, ketika terjadi perubahan
bau mulut dari bau yang tidak sedap atau karena telah kotor.” (Syarh Riyadhus
Shalihin: 3/264).
4) Sebagai tambahan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya membuat Bab khusus
tentang ditekankannya bersiwak pada hari Jum’at yaitu dalam dalam Kitabul
Jumu’ati Bab Ath-Thibbi Lil Jumu’ati, no. 880 dan Bab As-Siwaki Yaumul
Jumu’ati, no.hadits 887, 888, dan 889).
Dari beberapa perkataan tersebut tujuannya:
Untuk membersihkan mulut dan mencari keridhaan Allah, dari Aisyah –radhiyallahu
‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: "Siwak itu
pembersih mulut dan diridhai Allah.” (HR. Bukhari Kitabus Shiyam Bab 27,
Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad dalam Al-Musnad juz I hal.
3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan
hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. hadits
3695).
KESIMPULAN
Bahwa bersiwak akan menjadi sunnah muakkad pada waktu-waktu tertentu,
diantaranya:
1) Setiap akan Berwudhu
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi
wasallam-, Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh
aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu.” (HR. Malik:1/66,
Al Baihaqi:1/35, Ibnu Huzaimah:1/73 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di
dalam Shahihil Jami' no. 5317, shahihut Targhib no. 201 dan Al-Irwa': 1/109).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Hadits ini menunjukkan dengan tegas
bahwa bersiwak adalah sunnah pada setiap akan berwudhu. Hal itu dilakukan
ketika sedang berkumur-kumur karena hal itu akan membantu mengharumkan dan
membersihkan mulut” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy, hal. 30).
2) Setiap akan melakukan shalat.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi
wasallam-, Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh
aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat." (HR.
Bukhari (2/374/887), Muslim (1/220/252) dan Tirmidzi (1/18/22) lihat Shahihul
jami' No. Hadits 5315)
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan
bahwasanya siwak tidaklah wajib, dan bahwasanya seseorang diberi pilihan,
karena jika hukumnya wajib niscaya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-
akan memerintahkan mereka, baik mereka merasa berat ataupun atau tidak merasa
berat.” (Al-Umm: 1/35)
Hikmah disunnahkannya bersiwak ketika hendak akan shalat, diantaranya berkata
Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied –rahimahullah-:
Rahasia permasalahan dianjurkannya bersiwak ketika hendak akan shalat adalah
kita diperintah dalam setiap keadaan supaya beramal sebaik mungkin tatkala
beribadah kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Dan ada yang berkata: (Karena)
permasalahan ini berkaitan dengan para malaikat, sebab malaikat merasa
terganggu dengan bau yang tidak sedap (yang berasal dari gigi dan mulut).
Maka Imam Ash-Shan'ani –rahimahullah- berkata: "Rahasia permasalahan ini
mencakup dua perkara yang telah disebutkan, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim
dari Jabir radhiyallahu 'anhu: "Barangsiapa yang memakan bawang putih,
bawang merah atau jengkol, maka sekali-kali jangan mendekati masjid kami,
karena para malaikat terganggu dengan apa-apa yang manusia terganggu
dengannya." (Taisirul 'Allam: 1/40 dan Subulussalaam: 1/64).
4) Setiap Bangun dari Tidur
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu 'anhu-, beliau berkata: Jika
Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bangun malam, beliau menggosok
(membersihkan) mulutnya dengan siwak." (HR. Bukhari; 245 dan Muslim; 255).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Siwak juga menjadi sunnah muakadah
ketika seseorang bangun dari tidur di malam atau siang hari. Rasulullah
-shallallahu 'alaihi wa sallam- jika bangun tidur dimalam hari, beliau
menggosok mulutnya dengan siwak. hal itu dikarenakan bersamaan dengan proses
tidur, maka berubahlah bau mulut, yang disebabkan peningkatan gas dalam
lambung.” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30).
Hikmah disunnahkannya bersiwak ketika bangun tidur.
Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam –rahimahullah- berkata: "Termasuk tanda
kecintaan Nabi -shallallahu 'aihi wa sallam- kepada kebersihan dan ketidak
sukaannya terhadap bau tidak enak, tatkala bangun dari tidur malam yang
panjang, yang mana saat itu dimungkinkan bau mulut sudah berubah, maka beliau
menggosok giginya dengan siwak untuk menghilangkan bau tidak sedap, dan untuk
menambah semangat setelah bangun tidur, karena termasuk kelebihan siwak adalah
menambah daya ingat dan semangat." (Taisirul 'Allam: 1/41).
Apakah Bersiwak Khusus Ketika Bangun Tidur Pada Malam Hari?
Jika ada yang berkata tidaklah layak bagi seseorang untuk berdalil dengan
hadits Khudzaifah Ibnul Yaman atas ditekankannya untuk bersiwak ketika tidur
pada siang hari, karena dalil itu khusus untuk malam hari, dan tidaklah mungkin
menjadikan dalil khusus kepada yang umum.
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Tidak ada
pencegah tentang keberadaan hadits Khudzaifah tersebut, karena anjuran hadits
tersebut juga ketika bangun dari tidur pada siang hari, karena bahwasanya
‘illahnya hanya satu yaitu perubahan bau mulut ketika tidur”. (Al-Mumti’:
1/109).
4). Setiap akan Masuk Rumah
Dari Miqdam bin Syuraih dari ayahnya (Syuraih), ia berkata: "Saya bertanya
kepada Aisyah -radhiyallahu 'anha-: Dengan apa Rasulullah -shallallahu 'aihi wa
sallam- memulai ketika masuk ke rumahnya? Aisyah menjawab: "Dengan
siwak." (HR. Muslim dalam kitabut Thaharah juz II bab 43 hal. 12 Syarh
Shahih Muslim oleh An-Nawawy, Imam Ahmad dalam Musnad-nya juz VI hal. 42, 110
dan 182, An-Nasai juz I kitabut Thaharah Bab 7, Ibnu Majah juz I Kitabut Tharah
bab VII hal. 106).
5). Ketika hendak membaca Al Qur'an
Dari Ali -radhiyallahu 'anhu- berkata : Rasulullah -shallallahu 'aihi wa
sallam- memerintahkan kami bersiwak, sesungguhnya seorang hamba apabila berdiri
sholat malaikat mendatanginya kemudian berdiri dibelakangnya mendengar bacaan
Al Qur'an dan ia mendekat. Maka ia terus mendengar dan mendekat sampai ia
meletakkan mulutnya diatas mulut hamba itu, sehingga tidaklah dia membaca satu
ayatpun kecuali berada dirongganya malaikat" (HR. Al Baihaqy dan Ad
Dhiya'. Lihat Sislsilah Al Ahadits As Shahihah 1213).
6). Setiap hari Juma’at
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata, bahwa Nabi –shallallahu
‘alaihi wa sallam- berkata pada hari Jum’at: Kaum muslimin, sesungguhnya hari
ini Allah telah menjadikannya untuk kalian sebagai ‘Ied (hari raya) maka
mandilah kalian, dan hendaklah kalian bersiwak”. Berkata Al-Haitsamy dalam
Al-Majmu’ 2/176 diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dalam Al-Ausath dan para rawinya
tsiqah (terpercaya), (Lihat Ahkamul Jum’ah, hal. 60).
Dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia berkata: “Aku menyaksikan rasulullah –shallallahu
‘alaihi wa sallam-, Beliau berkata: “Mandi pada hari Jum’at wajib atas setiap
muhtalim (orang yang sudah baligh), dan menggosok gigi dan mengusapkan minyak
wangi (pada anggota tubuh) yang dapat dijangkau (dengan tangan).” (HR. Bukhari
dalam Kitabul Jumu’ati Bab Ath-Thib Lil Jumu’ati, no. 880, dan Lihat Al-Lu’lu’
wal Marjan, hal. 144).
1.5 Sifat Bersiwak.
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Menggosokkan (bersiwak) diatas gusi
dan gigi, dimulai dari sebelah kanan menuju sebelah kiri, siwak dipegang dengan
tangan kiri." (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1.30).
Bersiwak dengan Tangan Kanan atau dengan Tangan Kiri?
Bersiwak boleh dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri, karena perkaranya
ada keluasaan, karena anjuran bersiwak dengan tangan kanan atau dengan tangan
kiri tidak ada dalil yang ditekankannya untuk bersiwak dengan tangan kanan atau
dengan tangan kiri. Dan sungguh telah berpendapat sebagian ulama bahwa
disunnahkan bersiwak dengan tangan kiri karena (tujuannya) untuk kebersihan,
dan sebagian ulama yang lain berpendapat sunnah bersiwak dengan tangan kanan
karena dia adalah ibadah. Sesangkan menurut mazhab Malikiyah ada perincian:
Apabila seseorang bersiwak karena tujuannya untuk kebersihan maka bersiwak
dengan tangan kiri, dan apabila seseorang bersiwak karena (tujuan) ibadah,
seperti bersiwak setiap akan shalat maka bersiwak dengan kanannya. Dan ini
adalah rincian yang bagus. Dan yang paling utama adalah boleh menggunakan
kedua-duanya.” (Tamamul Minnah: 1/60).
Sebagian dari kalangan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa bersiwak dengan
tangan kanan, mereka berdalil dengan hadits Aisyah –radhiyallahu anha- bahwa
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- senang dengan mendahulukan yang
kanan ketika menyisir rambutnya, ketika mengenakan sandal, bersuci, dan
bersiwak” (HR. Abu Dawud no. 4140), namun dzahir dari hadits tersebut adalah
Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- ketika mau bersiwak beliau memulai
dengan yang kanan, dan tanpa ada keterangan bahwa beliau –shalallahu ‘alaihi wa
sallam- memegang siwak dengan tangan kanan, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin
–rahimahullah- berkata: “ bersiwak (dengan menggunakan tangan kanan atau tangan
kiri) perkaranya ada keluasan karena tidak adanya nash yang jelas.” (Syarhul
Mumti’: 1/111).
Menggunakan Siwak apakah dengan Memanjang ataukah dengan Melintang?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- menerangkan tata cara menggunakan siwak
apakah dengan memanjang ataukah melintang, beliau berkata: “Cara penggunaannya
kembali kepada apa yang dituntut oleh keadaan, jika keadaan menuntut bersiwak
dengan memanjang maka dilakukan dengan memanjang, apabila keadaan menuntut
bersiwak dengan melintang maka dilakukan dengan melintang, karena tidak ada
sunnah yang jelas dalam perkara ini.” (Al-Mumti’: 1/110).
Bersungguh-sungguh ketika Bersiwak!
Abu Musa Al-Asy’ary –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Aku pernah mendatangi Nabi
–shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ketika itu beliau sedang bersiwak dengan siwak
yang masih segar (basah). Ujung siwak diatas lisan (lidah) beliau dan beliau
berkata: ‘Agh, ‘agh. sedangkan siwak didalam mulut beliau” (HR. Bukhari, no.
244 dan Muslim, no.591).
Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, diantaranya:
√ Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- berkata:
“Seyogyanya seseorang bersungguh-sungguh ketika bersiwak (membersihkan)
mulutnya” (At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: 1/168).
√ Siwak adalah alat untuk membersihkan gigi dan mulut. Siwak juga dapat membersihkan
lidah.” (Fathul Bary: 1/422-423)
Dua Orang Menggunakan Satu Siwak?
Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata: “Masuk Abdurrahman bin Abu Bakar,
dan dia membawa siwak sambil menggosokan giginya dengan siwak tersebut. Maka
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat kepadanya, aku mengambil
siwak tersebut dari Abdurrahman, kemudian aku patahkan ujungnya lalu aku
mengikisnya (memperbaikinya dengan gigiku) kemudian aku berikan kepada
Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka dia pun bersiwak dengannya dan
beliau dalam keadaan bersandar didadaku.” (HR. Bukhari, no. 890).
Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata: “Nabiullah –shallallahu ‘alaihi
wa sallam- pernah bersiwak, lalu diberikan kepadaku siwak tersebut untuk
memncucinya. Maka aku menggunakannya untuk bersiwak, kemudian (setelah aku
gunakan) aku mencucinya, kemudian aku menyerahkannya kepada beliau.” (HR. Abu
Dawud, no.52).
Faedah dari dua hadits diatas, diantaranya:
√ Bolehnya seseorang bersiwak dengan siwak orang lain (apabila pemilik siwak
ridha), dan sebelum digunakan sebaiknya siwak dicuci, apabila tidak
dimungkinkan untuk
dicuci maka cukup diperbaiki.
√ Bolehnya bersiwak dihadapan orang lain. (Lihat Ihkamul Ahkam, Juz 1 Kitab
Thaharah Bab Siwak, hal. 57-58).
1.6 Hikmah Bersiwak
1.6.1 Menurut pandangan Ulama
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly berkata: “Saat ini alat-alat
modern berupa sikat dan pasta gigi atau semisalnya memiliki fungsi yang sama
dengan tangkai kayu arak, hanya saja tangkai kayu arak merupakan siwak yang
terbaik disebabkan banyak rahasia kemanfaatan yang dikandungnya juga
keistimewaan yang tidak didapatkan pada selainnya. Diantara kekhususannya: Ia
dapat membunuh bakteri-bakteri yang ada pada mulut yang menyebabkan banyak
macam penyakit yang berhubungan dengan dengan mulut dan gigi. Juga padanya ada
garam yodium, bahan pewangi yang enak, gula, dan komposisi lainnya yang hanya
didapatkan pada kayu arak tidak pada alat pembersih dan penyegar mulut dan gigi
lainnya.” (Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya, hal. 309).
Apakah Boleh Bagi Sesesorang Menggosok Giginya atau Memersihkan Mulutnya dengan
Selain Siwak?
Seseorang boleh membersihkan mulutnya (menggosok giginya) dengan selain siwak,
akan tetapi yang paling afdhal yaitu dengan menggunakan siwak. (Tamamul Minnah:
1/60).
1.6.2 Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan
Siwak dapat menjaga kebersihan gigi dan mulut dan mencegah parasit (Entamoeba
Gingivalis dan trichomonas) yang merupakan sebab munculnya bau tidak sedap pada
mulut. Parasit ini habitat (tempat hidupnya) di rongga mulut tepatnya pada gigi
yang berlubang. jika mulut dan gigi kebersihannya terjaga maka parasit ini
tidak dapat survive (mati). Parasit ini cara pencegahannya adalah dengan
menjaga hygiene (kebersihan mulut). Maka disini berlakulah perkataan
orang-orang "Mencegah itu lebih baik dari pada mengobati". Wallahu
a'lam wa ahkam, Wabillahit-taufiq.
II. KISAH ORANG YANG MENGEJEK SIWAK
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobiy -hafidzahullah- berkata:
"Telah disebutkan oleh Ibnu Katsir –rahimahullah- didalam Al-Bidayah wan
Nihayah tentang kejadian-kejadian pada tahun 665, beliau –rahimahullah- berkata
Asy-Syaikh Qathbuddin Al-Yunani berkata: "Telah sampai kepada kami
bahwasanya seorang laki-laki yang dipanggil dengan Abu Salamah dari daerah
Bushra, dia suka bercanda dan berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu.
Disebutkan disisinya tentang siwak dan keutamaannya, maka dia berkata:
"Demi Allah, aku tidak akan bersiwak kecuali di dubur, kemudian dia
mengambil sebatang siwak dan memasukkannya keduburnya kemudian dikeluarkan
kembali." Berkata Qathbuddin Al-Yunani: "Setelah melakukan perbuatan
tersebut, ia tinggal selama sembilan bulan dalam keadaan mengeluh sakit perut
dan dubur. Berkata Qathbuddin Al-Yunani: "Lalu ia melahirkan anak seperti
tikus yang pendek dan besar, memiliki empat kaki, kepalanya seperti kepala
ikan, memiliki empat taring yang menonjol, panjang ekornya satu jengkal empat
jari dan duburnya seperti dubur kelinci. Ketika lelaki itu melahirkannya, hewan
tersebut menjerit tiga kali, maka bangkitlah putrinya laki-laki tadi dan
memecahkan kepalanya sehingga matilah hewan tersebut. Laki-laki itu hidup
setelah melahirkan selama dua hari, dan meninggal pada hari yang ketiga. Dan ia
sebelum meninggal berkata "Hewan itu telah membunuhku dan merobek-robek
ususku." Sungguh kejadian tersebut telah disaksikan oleh sekelompok
penduduk daerah tersebut dan para khotib tempat tersebut. diantara mereka ada
yang menyaksikan hewan itu ketika masih hidup dan ada pula yang menyaksikan ketika
hewan itu sudah mati." (Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid, hal.
106-107)
Kisah tersebut sangatlah pantas dan cocok untuk kita ambil pelajaran, dengan
kisah itu mengingatkan kita untuk tidak bermudah-mudahan berucap apalagi kalau
sampai mengejek As-Sunnah, sungguh jauh-jauh hari sebelumnya Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
“Wahai manusia, berhati-hatilah terhadap ucapan kalian, jangan sampai kalian
dijerumuskan oleh syaithan.” (HR. An-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah,
dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786; hadits
Shahih menurut syarah Muslim).
Semoga dengan kisah tersebut menjadi sebab bagi kita untuk mudah dalam menerima
dan melaksakan As-Sunnah dan menjauhkan kita dari sifat meremehkan dan menentang
As-Sunnah. Sungguh Allah –‘Azza wa Jalla- telah memberikan peringatan untuk
kita sebagaimana firmannya: ".....maka hendaklah orang-orang yang
menyelisihi ajaran Rasul takut ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.”
(An-Nuur: 63).
Akhirnya, semoga Allah menjadikan tulisan ini bermanfaat bagi kami dan segenap
kaum muslimin. Washallallahu ‘ala Muhammad wa Aalihi Washahbihi wasallam
walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin
Maraji':
1. Al-Qur’anul Karim
2. Shahihul Bukhari, -Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Al-Bukhari-, Darul Kutub
Al-Ilmiyah- 1425 H-2004 M
3. Al-Lu’lu’ wal Marjanfimat Tafaqqaha ‘alaihis Syaikhani,- Muhammad Fuad Abdul
baqy- Darul Hadits.
4. Riyaadhush Shaalihin, Al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawy, Daar
Al-Fikr -1414 H-1994 M
5. Syarh Riyaadhush Shaalihin min Kalaami Sayyidil Mursaliin –Samahatusy Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh
Nashiruddin Al-Albani- Daar Mustaqbal dan Daar Al-Imam Maalik, 1426 H-2005 M
6 Fathul Baary Bisyarhi Shahih Al-Bukhary, Al-Hafidz Ahmad bin ‘Ali bin Hajar
Al-Asqalany, Daar Al-Hadits- 1424 H- 2004 M
7 Umdatul Ahkaam min Kalaam Khoiril Anaam, Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Maqdisiy.
Dar Ibnu Khuzaimah, 1420H-1999M.8 Umdatul Ahkaam Al-Kubra, Al-Hafidz Abdul
Ghani Al-Maqdisiy. –tanpa penerbit-
9. Taisirul 'Allam Syarh 'Umdatul Ahkaam, Syaikh Abdullah Alu bassam, Dar
Al-'Aqidah. 1422H-2002 M
10. Subulussalaam Syarh Buluughul Maraam, Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Amiir
Ash-Shan’any, Daar Al-Fiqr -1411 H-1991 M
12. Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatul Ahkam-, Syaikh Ibnu Daqiqil ‘Ied-, Darul Kutub
Al-Ilmiyah-, 1426 H-2005 M
13. Al’Uddah Syarh ‘Umdah-, Al-Imam Abdurrahman bin Ibrahim Al-Maqdisy-, Darul
‘Adil jaded-, 146 H-2005 M.
14. Akhsharul Mukhtashar fi Fiqhi ‘ala Mazhab Al-Hambaly-, Al-Imam Muhammad
Ad-Dimasyqy-, Darul Basyiril Islmiyah.
15. Ad-Drary Al-Mudhiyah Syarh Ad-Dariry Bahiyah-, Al-Imam Muhammad bin Ali
Syaukani-, Darul Kutub Al-Ilmiyah-, 1424 H-2003 M.
16. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘ala Ar-Raudatin Nadiyyah-, Asy-Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani-, Dar Ibnu ‘Affan-, 1420 H- 1999 M.
17. Tamamul Minnah fii Fiqhil Kitab wa Shahih As-Sunnah-, Asy-Syaikh Abu
Abdirrahman ‘Adil Al-‘Azzaziy-, Darul ‘Aqidah.
18. Al-Mughni wayalih Asy-Syarhul Kabiir-, Al-Imam Syamsuddin Abdurrahman Ibnu
Qudamah Al-Maqdisy-, Darul Hadits-, 1425 H-2004 M.
19. Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqi’-, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin-, Markas Fajr Lithiba’ah-, 2000 M.
20. Ahkamul Jum’ah-, Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Yahya bin Ali Al-Hajuri-, Dar
Syarqain An-Nasyr wat Tazi’-, 143 H-2000 M.
21. Al-Umm, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idriis Asy-Syafi’I, Daarul Fikr,
1422 H - 2002 M
22. Al-Mulakhkhas Al-Fiqhiy, Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan,
Dar Al-'Aqidah. 1424H-2003 M
23. Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad Abdul Wahhab
Al-Wushobiy. Dar Ibnu Hazm, 1427H-2006
RUJUKAN BERBAHASA INDONESIA
24. Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya, Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad
Hadi Al-Madkhaly, Cahaya Tauhid Press 1425 H-2005 M
RUJUKAN DARI INTERNET
25. http://darussalaf.org/index.php?name=News&file=article&sid=570
oleh: Abul Abbas Khadhir Al-Limbory
Makkah Fajr - 15th November 2024
-
*Makkah Fajr *
(Surahs Sajdah & Insaan) *Sheikh Dosary*
Download 128kbps Audio
2 hari yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar