Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Kamis, 02 Agustus 2012

SIWAK PEMBERSIH MULUT YANG DIRIDHAI ALLAH

I. SIWAK DAN KEUTAMAANYA
1.1 Pengertian Siwak
Siwak jika di kasrah huruf sin-nya maka bermakna suatu kayu yang dipakai untuk menggosok gigi. (Taisirul 'Allam: 1/39 dan Ihkamul Ahkam, hal. 55)
1). Siwak memiliki dua makna yaitu: Bermakna Fi’il yaitu perbuatan untuk menggosok gigi atau untuk membersihkan mulut. (Subulussalam Syarh Buluughul Maraam: 1/63 dan Fathul Baariy: 1/422)


2). Bermakna alat yaitu alat atau kayu yang dipakai untuk menggosok gigi. (Taisirul 'Allam: 1/39, Subulussalam Syarh Buluughul Maraam: 1/63 dan Fathul Baary: 1/422)
Siwak adalah suatu perkara yang disyari'atkan, yaitu dengan menggunakan batang atau semisalnya. (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhiy: 1/29)
1.2 Manfaat dari Bersiwak
1). Untuk membersihkan mulut dan diridhai oleh Allah –‘Azza wa Jalla-, dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: "Siwak itu
pembersih mulut dan diridhai Allah.” (HR. Bukhari Kitabus Shiyam Bab 27, Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad dalam Al-Musnad juz I hal. 3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. hadits 3695).
2). Untuk menghilangkan warna kekuning-kuningan yang menempel pada gigi dan untuk menghilngkan bau mulut. (Taisirul 'Allam, hal. 39, Subulussalam Syarh Buluughul Maraam: 1/63, Fathul Baary: 1/422 dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: I/68).
3). Samahatusy Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- berkata:
“Siwak memiliki banyak manfaat, diantaranya:
√ Membersihkan mulut
√ Mengatasi bau tidak sedap pada mulut
√ Mengiatkan hamba untuk beramal
√ Menghilangkan ngantuk. Dan masih banyak lagi manfaatnya.” (Syahr Riyadhus Shalihin: 3/265)
4). Al-Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- berkata:
“Siwak memiliki banyak manfaat diantaranya:
√ Mengharaumkan mulut dan menguatkan gigi dan gusi
√ Memutus adanya liur
√ Mencerahkan penglihatan
√ Menghilangkan penyakit perut
√ Menyehatkan perut dan lambung
√ Memperindah suara
√ Mempermudah ketika mencerna makanan (menambah selera makan)
√ Mudah ketika berbicara
√ Giat untuk membaca, berdzikir dan shalat
√ Menghilangkan rasa ngantuk
√ Diridhai Allah
√ Disegani malaikat
√ Memperbanyak kebaikan. (Tamamul Minnah: 1/61).
1.3 Hukum Bersiwak
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau bersabda: "Kalaulah tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu.” (HR. Malik:1/66, Al Baihaqi:1/35, Ibnu Huzaimah:1/73 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. 5317, shahihut Targhib no. 201 dan Al-Irwa': 1/109).
Pada hadits ini terdapat tiga pendapat dikalangan para ulama:
1). Sebagian Ushuliyyin berdalil dengan hadits ini bahwasanya setiap perintah menunjukkan wajib hukumnya, dan segi pengambilan dalil mereka adalah: Kalimat “Laula” (kalaulah), menunjukkan atas peniadaan sesuatu karena ada sesuatu yang lain, maka menunjukkan atas peniadaan suatu perintah karena ada rasa berat, bahwa peniadaan karena rasa berat itu bukanlah sunnah, sesungguhnya sunnah siwak itu telah tetap (dilakukan) ketika setiap akan shalat, maka menuntut yang demikian itu bahwa perintah menunjukan wajib.
2). Bersiwak adalah mustahab (sunnah) hukumnya pada beberapa keadaan, termasuk didalamnya adalah apa yang menunjukkan atas disunnahkannya adalah hadits ketika seseorang berdiri untuk shalat, dan rahasia permasalahan dianjurkannya bersiwak ketika hendak akan shalat adalah kita diperintah dalam setiap keadaan supaya beramal sebaik mungkin tatkala beribadah kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Dan ada yang berkata: (Karena) permasalahan ini berkaitan dengan para malaikat, sebab malaikat merasa terganggu dengan bau yang tidak sedap (yang berasal dari gigi dan mulut).Hadits dengan keumumannya menunjukkan atas disunnahkannya bersiwak ketika hendak shalat.” (Ihkamul Ahkam: I/55-56)
3). Mayoritas ulama berpendapat bahwa bersiwak hukumnya adalah sunnah, dan menjadi sunnah muakkad pada waktu-waktu tertentu. (Taisirul ‘Allam: 1/39, Al-Umm: 1/35, Subulus Salam: 1/63, Fathul bary: 1/9 dan Al-Mulakhas Al-Fiqhiy: 1/29).
Adapun apabila ada yang berpendapat bahwa bersiwak hukumnya adalah wajib dan berhujjah dengan hadits: “Wajib atas kalian untuk bersiwak, karena dengan bersiwak akan membersihkan mulut dan diridhai oleh Allah –Tabaraka wata’ala-“ (HR. Ahmad: 2/09, lihat Ash-Shahihah: 2517), maka perlu diketahui bahwa suatu perintah yang dia itu menunjukkan suatu kewajiban akan berubah hukumnya menjadi mustahab (sunnah) apabila ada suatu dalil yang memalingkannya kepada yang sunnah, Al-Imam Syaukani –rahimahullah- berkata: “Bersiwak adalah hukumnya sunnah, dan dalilnya adalah hadits yang sudah mutawatir baik itu berupa perkataan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, perbuatannya dan tidak ada perbedaan pendapat (dikalangan kami) tentang yang demikian itu.” (Ad-Darari Al-Mudhiyah, hal. 48 dan At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: 1/168).
Al-Imam Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata: “Mayoritas ulama berpandangan bahwa bersiwak hukumnya adalah sunnah, bukan wajib, kami tidak mengetahui ada seorang pun yang berpendapat bahwa bersiwak itu wajib kecuali Ishaq dan Dawud Azh-Zhahiri.” (Al-Mughni: 1/119).
1.3 Syari'at Siwak
Bersiwak adalah termasuk dari bagian dari sunnah para Rasul, sebagaimana hadits dari Abu Ayyub –radhiyallahu 'anhu- : "Ada empat hal yang termasuk dari sunnah para Rasul; Memakai minyak wangi, menikah, bersiwak dan malu” (HR. Ahmad; 23470 dan Tirmidzi: 1081, dan beliau berkata: Hadits ini hasan gharib).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan –hafidzahullah- berkata: "Orang yang pertama kali bersiwak adalah Nabi Ibrahim -'alaihis salam-. Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wasallam- menjelaskan bahwa bersiwak dapat membersihkan mulut, yakni membersihkan dari hal-hal yang tidak disukai, (bersiwak) juga sebagai penyebab datangnya ridha Allah, yakni menjadikan Allah -Subhanahu wa ta'ala- menjadi ridha. Dalam anjuran mengamalkannya telah terdapat lebih dari seratus hadits. semuanya menunjukkan bahwa bersiwak adalah sunnah muakkadah. Syariat telah menganjurkan dan menghimbau untuk diamalkan. Siwak memiliki beberapa faedah yang sangat besar, diantaranya yang paling besar adalah yang telah dianjurkan oleh hadits: "Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Allah” (HR. Bukhari Kitabus Shiyam Bab 27, Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad dalam Al-Musnad juz I hal. 3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. hadits 3695). Bersiwak adalah dengan menggunakan batang yang lembut dari pohon arak, zaitun, urjun atau yang semisalnya yang tidak menyakiti atau melukai mulut” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30 dan Akhshar Al-Mukhtashar, hal. 9).
1.4 Waktu-waktu Disunnahkannya Bersiwak
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: “Bersiwak disunnahkan disetiap keadaan, bahkan sekalipun yang berpuasa disepanjang harinya, demikianlah pendapat yang benar. dan menjadi sunnah muakadah pada waktu tertentu” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30)
Keterangan dari perkataan diatas:
Disunnahkan bersiwak dalam setiap keadaan. (Syahr Riyadhus Shalihin: 3/264, Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30, Akhshar Al-Mukhtashar, hal. 92, Al-Umm: 1/35) dan Al-‘Uddah Syarh ‘Umdah, hal. 34).Asy-Syaikh Ibnu ‘Aqil berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat para ulama mazhab (dikalangan kami) bahwasanya bersiwak tidak disunnahkan bagi orang yang berpuasa setelah matahari tergelincir” (Al-‘Uddah Syarh ‘Umdah, hal. 35).
Apabila ada orang yang berpendapat disunnahkannya bersiwak walaupun dalam keadaan berpuasa dan berdalil dengan hadits ‘Amir bin Rabi’ah: “Aku melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam beberapa kali yang tidak bisa aku hitung, beliau bersiwak dalam keadaan berpuasa.” Maka pendalilan tersebut tertolak karena hadits yang dijadikan dalil adalah hadits dho’if, sebagaimana telah didho’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dho’if Abi Dawud; 551, Dho’if At-Tirmidzi; 16 dan lihat Al-Irwa’; 68).
Dan pendapat yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan dan para ulama selain beliau, bahwa bersiwak dalam keadaan berpuasa adalah boleh dan disunnahkan. (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30). Perkara tersebut karena ketidak adanya dalil yang melarang untuk bersiwak ketika sedang berpuasa baik itu sebelum matahari tergelincir atau setelah matahari tergelincir, namun yang ada hanyalah anjuran untuk bersiwak dalam konteks umum (yakni bersiwak disetiap waktu atau setiap keadaan). Wallahu a’lam bish shawab.
Ringkasnya: “Boleh bagi orang yang berpuasa untuk bersiwak baik itu sebelum matahari tergelincir atau setelah matahari tergelincir” (Tamamul Minnah: 1/60). Adapun diantara waktu-waktu yang sunnah muakkad untuk bersiwak ada beberapa perkataan para ulama:
1). Al-Imam Abdurrahman bin Ibrahim Al-Maqdisy –rahimahullah- berkata: “Bersiwak akan menjadi sunnah muakkad pada tiga tempat:
√ Ketika terjadi perubahan bau mulut, karena sesungguhnya asal disunnahkannya bersiwak karena untuk menghilangkan bau (tidak sedap) pada mulut.
√ Ketika bangun dari tidur, sebagaimana hadits Khudzaifah Ibnul Yaman: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu 'anhu-, beliau berkata: Jika Rasulullah -shallallahu'alaihi wa sallam- bangun malam, beliau
menggosok (membersihkan) mulutnya dengan siwak." (HR.
Bukhari; 245 dan Muslim; 255).
√ Ketika setiap akan shalat, dengan hujjah hadits Abu Hurairah: Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat." (HR. Bukhari (2/374/887), Muslim (1/220/252) dan Tirmidzi (1/18/22) lihat Shahihul jami' No. Hadits 5315).
2). Al-Imam An-Nawawy berkata: “Bersiwak hukumnya mustahab dilakukan pada setiap waktu, tetapi lebih ditekankan lagi pada waktu yang lima, yaitu ketika setiap akan shalat, ketika setiap akan wudhu, ketika membaca Al-Qur’an, katika bangun tidur dan ketika mulut sudah mulai berbau.” (Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya, hal. 310).
3). Samahatusy Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah- berkata: “Bersiwak akan menjadi sunnah muakkad pada beberapa tempat: Ketika akan berwudhu, Ketika hendak akan shalat, ketika masuk rumah, ketika bangun dari tidur, ketika terjadi perubahan bau mulut dari bau yang tidak sedap atau karena telah kotor.” (Syarh Riyadhus Shalihin: 3/264).
4) Sebagai tambahan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya membuat Bab khusus tentang ditekankannya bersiwak pada hari Jum’at yaitu dalam dalam Kitabul Jumu’ati Bab Ath-Thibbi Lil Jumu’ati, no. 880 dan Bab As-Siwaki Yaumul Jumu’ati, no.hadits 887, 888, dan 889).
Dari beberapa perkataan tersebut tujuannya:
Untuk membersihkan mulut dan mencari keridhaan Allah, dari Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda: "Siwak itu pembersih mulut dan diridhai Allah.” (HR. Bukhari Kitabus Shiyam Bab 27, Ad-Darimy juz I Kitabul Wudhu bab 19 hal. 174, Ahmad dalam Al-Musnad juz I hal. 3 dari Abu Bakar dan hal. 10, dan An-Nasai juz I Kitabut Thaharahi Bab.4. Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. hadits 3695).
KESIMPULAN
Bahwa bersiwak akan menjadi sunnah muakkad pada waktu-waktu tertentu, diantaranya:
1) Setiap akan Berwudhu
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan wudhu.” (HR. Malik:1/66, Al Baihaqi:1/35, Ibnu Huzaimah:1/73 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany di dalam Shahihil Jami' no. 5317, shahihut Targhib no. 201 dan Al-Irwa': 1/109).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Hadits ini menunjukkan dengan tegas bahwa bersiwak adalah sunnah pada setiap akan berwudhu. Hal itu dilakukan ketika sedang berkumur-kumur karena hal itu akan membantu mengharumkan dan membersihkan mulut” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy, hal. 30).
2) Setiap akan melakukan shalat.
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu 'anhu-, dari Nabi -shallallahu 'alaihi wasallam-, Beliau bersabda: "Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan perintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat." (HR. Bukhari (2/374/887), Muslim (1/220/252) dan Tirmidzi (1/18/22) lihat Shahihul jami' No. Hadits 5315)
Al-Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan bahwasanya siwak tidaklah wajib, dan bahwasanya seseorang diberi pilihan, karena jika hukumnya wajib niscaya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- akan memerintahkan mereka, baik mereka merasa berat ataupun atau tidak merasa berat.” (Al-Umm: 1/35)
Hikmah disunnahkannya bersiwak ketika hendak akan shalat, diantaranya berkata Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied –rahimahullah-:
Rahasia permasalahan dianjurkannya bersiwak ketika hendak akan shalat adalah kita diperintah dalam setiap keadaan supaya beramal sebaik mungkin tatkala beribadah kepada Allah -'Azza wa Jalla-. Dan ada yang berkata: (Karena) permasalahan ini berkaitan dengan para malaikat, sebab malaikat merasa terganggu dengan bau yang tidak sedap (yang berasal dari gigi dan mulut).
Maka Imam Ash-Shan'ani –rahimahullah- berkata: "Rahasia permasalahan ini mencakup dua perkara yang telah disebutkan, sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim dari Jabir radhiyallahu 'anhu: "Barangsiapa yang memakan bawang putih, bawang merah atau jengkol, maka sekali-kali jangan mendekati masjid kami, karena para malaikat terganggu dengan apa-apa yang manusia terganggu dengannya." (Taisirul 'Allam: 1/40 dan Subulussalaam: 1/64).
4) Setiap Bangun dari Tidur
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman -radhiyallahu 'anhu-, beliau berkata: Jika Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- bangun malam, beliau menggosok (membersihkan) mulutnya dengan siwak." (HR. Bukhari; 245 dan Muslim; 255).
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Siwak juga menjadi sunnah muakadah ketika seseorang bangun dari tidur di malam atau siang hari. Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam- jika bangun tidur dimalam hari, beliau menggosok mulutnya dengan siwak. hal itu dikarenakan bersamaan dengan proses tidur, maka berubahlah bau mulut, yang disebabkan peningkatan gas dalam lambung.” (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1/30).
Hikmah disunnahkannya bersiwak ketika bangun tidur.
Asy-Syaikh Abdullah Alu Bassam –rahimahullah- berkata: "Termasuk tanda kecintaan Nabi -shallallahu 'aihi wa sallam- kepada kebersihan dan ketidak sukaannya terhadap bau tidak enak, tatkala bangun dari tidur malam yang panjang, yang mana saat itu dimungkinkan bau mulut sudah berubah, maka beliau menggosok giginya dengan siwak untuk menghilangkan bau tidak sedap, dan untuk menambah semangat setelah bangun tidur, karena termasuk kelebihan siwak adalah menambah daya ingat dan semangat." (Taisirul 'Allam: 1/41).
Apakah Bersiwak Khusus Ketika Bangun Tidur Pada Malam Hari?
Jika ada yang berkata tidaklah layak bagi seseorang untuk berdalil dengan hadits Khudzaifah Ibnul Yaman atas ditekankannya untuk bersiwak ketika tidur pada siang hari, karena dalil itu khusus untuk malam hari, dan tidaklah mungkin menjadikan dalil khusus kepada yang umum.
Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Tidak ada pencegah tentang keberadaan hadits Khudzaifah tersebut, karena anjuran hadits tersebut juga ketika bangun dari tidur pada siang hari, karena bahwasanya ‘illahnya hanya satu yaitu perubahan bau mulut ketika tidur”. (Al-Mumti’: 1/109).
4). Setiap akan Masuk Rumah
Dari Miqdam bin Syuraih dari ayahnya (Syuraih), ia berkata: "Saya bertanya kepada Aisyah -radhiyallahu 'anha-: Dengan apa Rasulullah -shallallahu 'aihi wa sallam- memulai ketika masuk ke rumahnya? Aisyah menjawab: "Dengan siwak." (HR. Muslim dalam kitabut Thaharah juz II bab 43 hal. 12 Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawy, Imam Ahmad dalam Musnad-nya juz VI hal. 42, 110 dan 182, An-Nasai juz I kitabut Thaharah Bab 7, Ibnu Majah juz I Kitabut Tharah bab VII hal. 106).
5). Ketika hendak membaca Al Qur'an
Dari Ali -radhiyallahu 'anhu- berkata : Rasulullah -shallallahu 'aihi wa sallam- memerintahkan kami bersiwak, sesungguhnya seorang hamba apabila berdiri sholat malaikat mendatanginya kemudian berdiri dibelakangnya mendengar bacaan Al Qur'an dan ia mendekat. Maka ia terus mendengar dan mendekat sampai ia meletakkan mulutnya diatas mulut hamba itu, sehingga tidaklah dia membaca satu ayatpun kecuali berada dirongganya malaikat" (HR. Al Baihaqy dan Ad Dhiya'. Lihat Sislsilah Al Ahadits As Shahihah 1213).
6). Setiap hari Juma’at
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, dia berkata, bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata pada hari Jum’at: Kaum muslimin, sesungguhnya hari ini Allah telah menjadikannya untuk kalian sebagai ‘Ied (hari raya) maka mandilah kalian, dan hendaklah kalian bersiwak”. Berkata Al-Haitsamy dalam Al-Majmu’ 2/176 diriwayatkan oleh Ath-Thabrany dalam Al-Ausath dan para rawinya tsiqah (terpercaya), (Lihat Ahkamul Jum’ah, hal. 60).
Dari Abu Sa’id Al-Khudry, dia berkata: “Aku menyaksikan rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, Beliau berkata: “Mandi pada hari Jum’at wajib atas setiap muhtalim (orang yang sudah baligh), dan menggosok gigi dan mengusapkan minyak wangi (pada anggota tubuh) yang dapat dijangkau (dengan tangan).” (HR. Bukhari dalam Kitabul Jumu’ati Bab Ath-Thib Lil Jumu’ati, no. 880, dan Lihat Al-Lu’lu’ wal Marjan, hal. 144).
1.5 Sifat Bersiwak.
Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan berkata: "Menggosokkan (bersiwak) diatas gusi dan gigi, dimulai dari sebelah kanan menuju sebelah kiri, siwak dipegang dengan tangan kiri." (Al-Mulakhkhas Al-Fiqhy: 1.30).
Bersiwak dengan Tangan Kanan atau dengan Tangan Kiri?
Bersiwak boleh dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri, karena perkaranya ada keluasaan, karena anjuran bersiwak dengan tangan kanan atau dengan tangan
kiri tidak ada dalil yang ditekankannya untuk bersiwak dengan tangan kanan atau dengan tangan kiri. Dan sungguh telah berpendapat sebagian ulama bahwa disunnahkan bersiwak dengan tangan kiri karena (tujuannya) untuk kebersihan, dan sebagian ulama yang lain berpendapat sunnah bersiwak dengan tangan kanan karena dia adalah ibadah. Sesangkan menurut mazhab Malikiyah ada perincian: Apabila seseorang bersiwak karena tujuannya untuk kebersihan maka bersiwak dengan tangan kiri, dan apabila seseorang bersiwak karena (tujuan) ibadah, seperti bersiwak setiap akan shalat maka bersiwak dengan kanannya. Dan ini adalah rincian yang bagus. Dan yang paling utama adalah boleh menggunakan kedua-duanya.” (Tamamul Minnah: 1/60).
Sebagian dari kalangan mazhab Hanabilah berpendapat bahwa bersiwak dengan tangan kanan, mereka berdalil dengan hadits Aisyah –radhiyallahu anha- bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- senang dengan mendahulukan yang kanan ketika menyisir rambutnya, ketika mengenakan sandal, bersuci, dan bersiwak” (HR. Abu Dawud no. 4140), namun dzahir dari hadits tersebut adalah Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wa sallam- ketika mau bersiwak beliau memulai dengan yang kanan, dan tanpa ada keterangan bahwa beliau –shalallahu ‘alaihi wa sallam- memegang siwak dengan tangan kanan, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata: “ bersiwak (dengan menggunakan tangan kanan atau tangan kiri) perkaranya ada keluasan karena tidak adanya nash yang jelas.” (Syarhul Mumti’: 1/111).
Menggunakan Siwak apakah dengan Memanjang ataukah dengan Melintang?
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- menerangkan tata cara menggunakan siwak apakah dengan memanjang ataukah melintang, beliau berkata: “Cara penggunaannya kembali kepada apa yang dituntut oleh keadaan, jika keadaan menuntut bersiwak dengan memanjang maka dilakukan dengan memanjang, apabila keadaan menuntut bersiwak dengan melintang maka dilakukan dengan melintang, karena tidak ada sunnah yang jelas dalam perkara ini.” (Al-Mumti’: 1/110).
Bersungguh-sungguh ketika Bersiwak!
Abu Musa Al-Asy’ary –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Aku pernah mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ketika itu beliau sedang bersiwak dengan siwak yang masih segar (basah). Ujung siwak diatas lisan (lidah) beliau dan beliau berkata: ‘Agh, ‘agh. sedangkan siwak didalam mulut beliau” (HR. Bukhari, no. 244 dan Muslim, no.591).
Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, diantaranya:
√ Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- berkata:
“Seyogyanya seseorang bersungguh-sungguh ketika bersiwak (membersihkan) mulutnya” (At-Ta’liqat Ar-Radhiyah: 1/168).
√ Siwak adalah alat untuk membersihkan gigi dan mulut. Siwak juga dapat membersihkan lidah.” (Fathul Bary: 1/422-423)
Dua Orang Menggunakan Satu Siwak?
Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata: “Masuk Abdurrahman bin Abu Bakar, dan dia membawa siwak sambil menggosokan giginya dengan siwak tersebut. Maka Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- melihat kepadanya, aku mengambil siwak tersebut dari Abdurrahman, kemudian aku patahkan ujungnya lalu aku mengikisnya (memperbaikinya dengan gigiku) kemudian aku berikan kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka dia pun bersiwak dengannya dan beliau dalam keadaan bersandar didadaku.” (HR. Bukhari, no. 890).
Dari Aisyah –radhiyallahu ‘anhu- dia berkata: “Nabiullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersiwak, lalu diberikan kepadaku siwak tersebut untuk memncucinya. Maka aku menggunakannya untuk bersiwak, kemudian (setelah aku gunakan) aku mencucinya, kemudian aku menyerahkannya kepada beliau.” (HR. Abu Dawud, no.52).
Faedah dari dua hadits diatas, diantaranya:
√ Bolehnya seseorang bersiwak dengan siwak orang lain (apabila pemilik siwak ridha), dan sebelum digunakan sebaiknya siwak dicuci, apabila tidak dimungkinkan untuk
dicuci maka cukup diperbaiki.
√ Bolehnya bersiwak dihadapan orang lain. (Lihat Ihkamul Ahkam, Juz 1 Kitab Thaharah Bab Siwak, hal. 57-58).
1.6 Hikmah Bersiwak
1.6.1 Menurut pandangan Ulama
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhaly berkata: “Saat ini alat-alat modern berupa sikat dan pasta gigi atau semisalnya memiliki fungsi yang sama dengan tangkai kayu arak, hanya saja tangkai kayu arak merupakan siwak yang terbaik disebabkan banyak rahasia kemanfaatan yang dikandungnya juga keistimewaan yang tidak didapatkan pada selainnya. Diantara kekhususannya: Ia dapat membunuh bakteri-bakteri yang ada pada mulut yang menyebabkan banyak macam penyakit yang berhubungan dengan dengan mulut dan gigi. Juga padanya ada garam yodium, bahan pewangi yang enak, gula, dan komposisi lainnya yang hanya didapatkan pada kayu arak tidak pada alat pembersih dan penyegar mulut dan gigi lainnya.” (Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya, hal. 309).
Apakah Boleh Bagi Sesesorang Menggosok Giginya atau Memersihkan Mulutnya dengan Selain Siwak?
Seseorang boleh membersihkan mulutnya (menggosok giginya) dengan selain siwak, akan tetapi yang paling afdhal yaitu dengan menggunakan siwak. (Tamamul Minnah: 1/60).
1.6.2 Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan
Siwak dapat menjaga kebersihan gigi dan mulut dan mencegah parasit (Entamoeba Gingivalis dan trichomonas) yang merupakan sebab munculnya bau tidak sedap pada mulut. Parasit ini habitat (tempat hidupnya) di rongga mulut tepatnya pada gigi yang berlubang. jika mulut dan gigi kebersihannya terjaga maka parasit ini tidak dapat survive (mati). Parasit ini cara pencegahannya adalah dengan menjaga hygiene (kebersihan mulut). Maka disini berlakulah perkataan orang-orang "Mencegah itu lebih baik dari pada mengobati". Wallahu a'lam wa ahkam, Wabillahit-taufiq.
II. KISAH ORANG YANG MENGEJEK SIWAK
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushobiy -hafidzahullah- berkata: "Telah disebutkan oleh Ibnu Katsir –rahimahullah- didalam Al-Bidayah wan Nihayah tentang kejadian-kejadian pada tahun 665, beliau –rahimahullah- berkata Asy-Syaikh Qathbuddin Al-Yunani berkata: "Telah sampai kepada kami bahwasanya seorang laki-laki yang dipanggil dengan Abu Salamah dari daerah Bushra, dia suka bercanda dan berbicara tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Disebutkan disisinya tentang siwak dan keutamaannya, maka dia berkata: "Demi Allah, aku tidak akan bersiwak kecuali di dubur, kemudian dia mengambil sebatang siwak dan memasukkannya keduburnya kemudian dikeluarkan kembali." Berkata Qathbuddin Al-Yunani: "Setelah melakukan perbuatan tersebut, ia tinggal selama sembilan bulan dalam keadaan mengeluh sakit perut dan dubur. Berkata Qathbuddin Al-Yunani: "Lalu ia melahirkan anak seperti tikus yang pendek dan besar, memiliki empat kaki, kepalanya seperti kepala ikan, memiliki empat taring yang menonjol, panjang ekornya satu jengkal empat jari dan duburnya seperti dubur kelinci. Ketika lelaki itu melahirkannya, hewan tersebut menjerit tiga kali, maka bangkitlah putrinya laki-laki tadi dan memecahkan kepalanya sehingga matilah hewan tersebut. Laki-laki itu hidup setelah melahirkan selama dua hari, dan meninggal pada hari yang ketiga. Dan ia sebelum meninggal berkata "Hewan itu telah membunuhku dan merobek-robek ususku." Sungguh kejadian tersebut telah disaksikan oleh sekelompok penduduk daerah tersebut dan para khotib tempat tersebut. diantara mereka ada yang menyaksikan hewan itu ketika masih hidup dan ada pula yang menyaksikan ketika hewan itu sudah mati." (Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid, hal. 106-107)
Kisah tersebut sangatlah pantas dan cocok untuk kita ambil pelajaran, dengan kisah itu mengingatkan kita untuk tidak bermudah-mudahan berucap apalagi kalau sampai mengejek As-Sunnah, sungguh jauh-jauh hari sebelumnya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah bersabda:
“Wahai manusia, berhati-hatilah terhadap ucapan kalian, jangan sampai kalian dijerumuskan oleh syaithan.” (HR. An-Nasai dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, dikatakan dalam Ash-Shahihul Musnad fi Asy-Syamail Muhammadiyah no. 786; hadits Shahih menurut syarah Muslim).
Semoga dengan kisah tersebut menjadi sebab bagi kita untuk mudah dalam menerima dan melaksakan As-Sunnah dan menjauhkan kita dari sifat meremehkan dan menentang As-Sunnah. Sungguh Allah –‘Azza wa Jalla- telah memberikan peringatan untuk kita sebagaimana firmannya: ".....maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi ajaran Rasul takut ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nuur: 63).
Akhirnya, semoga Allah menjadikan tulisan ini bermanfaat bagi kami dan segenap kaum muslimin. Washallallahu ‘ala Muhammad wa Aalihi Washahbihi wasallam walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin

Maraji':
1. Al-Qur’anul Karim
2. Shahihul Bukhari, -Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Al-Bukhari-, Darul Kutub Al-Ilmiyah- 1425 H-2004 M
3. Al-Lu’lu’ wal Marjanfimat Tafaqqaha ‘alaihis Syaikhani,- Muhammad Fuad Abdul baqy- Darul Hadits.
4. Riyaadhush Shaalihin, Al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawy, Daar Al-Fikr -1414 H-1994 M
5. Syarh Riyaadhush Shaalihin min Kalaami Sayyidil Mursaliin –Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Nashiruddin Al-Albani- Daar Mustaqbal dan Daar Al-Imam Maalik, 1426 H-2005 M
6 Fathul Baary Bisyarhi Shahih Al-Bukhary, Al-Hafidz Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al-Asqalany, Daar Al-Hadits- 1424 H- 2004 M
7 Umdatul Ahkaam min Kalaam Khoiril Anaam, Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Maqdisiy. Dar Ibnu Khuzaimah, 1420H-1999M.8 Umdatul Ahkaam Al-Kubra, Al-Hafidz Abdul Ghani Al-Maqdisiy. –tanpa penerbit-
9. Taisirul 'Allam Syarh 'Umdatul Ahkaam, Syaikh Abdullah Alu bassam, Dar Al-'Aqidah. 1422H-2002 M
10. Subulussalaam Syarh Buluughul Maraam, Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Amiir Ash-Shan’any, Daar Al-Fiqr -1411 H-1991 M
12. Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatul Ahkam-, Syaikh Ibnu Daqiqil ‘Ied-, Darul Kutub Al-Ilmiyah-, 1426 H-2005 M
13. Al’Uddah Syarh ‘Umdah-, Al-Imam Abdurrahman bin Ibrahim Al-Maqdisy-, Darul ‘Adil jaded-, 146 H-2005 M.
14. Akhsharul Mukhtashar fi Fiqhi ‘ala Mazhab Al-Hambaly-, Al-Imam Muhammad Ad-Dimasyqy-, Darul Basyiril Islmiyah.
15. Ad-Drary Al-Mudhiyah Syarh Ad-Dariry Bahiyah-, Al-Imam Muhammad bin Ali Syaukani-, Darul Kutub Al-Ilmiyah-, 1424 H-2003 M.
16. At-Ta’liqat Ar-Radhiyah ‘ala Ar-Raudatin Nadiyyah-, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani-, Dar Ibnu ‘Affan-, 1420 H- 1999 M.
17. Tamamul Minnah fii Fiqhil Kitab wa Shahih As-Sunnah-, Asy-Syaikh Abu Abdirrahman ‘Adil Al-‘Azzaziy-, Darul ‘Aqidah.
18. Al-Mughni wayalih Asy-Syarhul Kabiir-, Al-Imam Syamsuddin Abdurrahman Ibnu Qudamah Al-Maqdisy-, Darul Hadits-, 1425 H-2004 M.
19. Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqi’-, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin-, Markas Fajr Lithiba’ah-, 2000 M.
20. Ahkamul Jum’ah-, Asy-Syaikh Abu Abdirrahman Yahya bin Ali Al-Hajuri-, Dar Syarqain An-Nasyr wat Tazi’-, 143 H-2000 M.
21. Al-Umm, Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idriis Asy-Syafi’I, Daarul Fikr, 1422 H - 2002 M
22. Al-Mulakhkhas Al-Fiqhiy, Asy-Syaikh DR. Shalih Fauzan,
Dar Al-'Aqidah. 1424H-2003 M
23. Al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad Abdul Wahhab Al-Wushobiy. Dar Ibnu Hazm, 1427H-2006
RUJUKAN BERBAHASA INDONESIA
24. Bagaimana Seorang Muslim Mengenal Agamanya, Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Hadi Al-Madkhaly, Cahaya Tauhid Press 1425 H-2005 M
RUJUKAN DARI INTERNET
25. http://darussalaf.org/index.php?name=News&file=article&sid=570



oleh: Abul Abbas Khadhir Al-Limbory

Tidak ada komentar:

Posting Komentar