Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Rabu, 01 Agustus 2012

MENGHAPUS KERAGUAN TENTANG HUKUM MEMBUKA WAJAH


Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya:”Bagaimana jawaban Anda berkaitan dengan hadits tentang pinangan, yang mana wanita yang dipinang mendatangi laki-laki yang meminangnya dalam keadaan wajahnya terbuka di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan hadits ini terdapat dalam kitab Shahih Bukhori?

Jawab: Hadits ini dan hadits-hadits lain yang semisal yang zhahirnya menunjukkan bahwa para istri-istri sahabat radhiallahu ‘anhum membuka wajah, semuanya terjadi sebelum turunnya ayat hijab, karena ayat yang menunjukkan kewajiban berhijab bagi wanita turunnya lebih akhir, yaitu pada tahun ke enam hijriyah, dan sebelum itu kaum wanita tidak diwajibkan untuk menutup wajah dan tangan. Setiap dalil yang ada dapat dijelaskan dengan hal ini. Namun ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa munculnya setelah turunnya ayat hijab, inilah yang perlu untuk dijawab. Seperti hadits tentang wanita dari suku Khats’amiyah yang mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan sesuatu, saat itu Fadhl bin Abbas sedang sedang berboncengan dengan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pada saat haji Wada’, ia melihat wanita tersebut sebagaimana wanita tersebut melihat kepadanya. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajah Fadhl bin Abbas ke arah lain. Hadits ini kadang kala digunakan sebagai dalil bagi mereka yang berpendapat bahwa wanita diperbolehkan membuka wajahnya. Hadits ini merupakan hadits mutasyabih yang bagaiamanapun juga mengandung unsur yang memperbolehkan dan juga mengandung unsur yang tidak memperbolehkan. Unsur yang memperbolehkan sudah jelas, sedang unsure yang menunjukkan tidak boleh membuka wajah dapat kita terangkan sbb:

Wanita ini dalam keadaan ihram (sedang melaksanakan haji) dan wanita yang sedang berihram dalam pakaiannya diharuskan membuka wajahnya. Kita tidak dapati seorangpun yang melihat kepadanya selain Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Fadhl bin Abbas. Sedangkan Fadhl bin Abbas telah dilarang oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk melihat kepadanya, justru wajahnya dipalingkan dari wanita tersebut.

Al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullah telah menerangkan bahwasannya dalam beberapa kondisi diperbolehkan bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk memandang wanita dan berkhalwat bersama mereka yang mana hal ini tidak diperbolehkan bagi orang selain beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam diperbolehkan untuk menikahi wanita tanpa mahar, tanpa wali, menikah lebih dari empat. Allah Azza wa Jalla memberi keleluasaan bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hal karena beliau adalah manusia yang paling terjaga kehormatannya. Tidak mungkin bagi Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam melakukan suatu perbuatan yang mungkin dilakukan oleh orang lain yang tidak sepatutnya dilaksanakan oleh orang yang terhormat.

Dengan demikian, kaidah yang dipakai oleh ahli ilmu, jika suatu dalil terdapat beberapa kemungkinan, maka tidak boleh digunakan sebagai dalil. Dan hadits ini termasuk sebagai mutasyabih. Dan hendaknya bila mendapatkan dalil mutasyabih membawanya kepada dalil yang muhkamah, yang menerangkan secara gambling, yang menunjukkan larangan untuk membuka wajah bagi wanita, dan bahwa membuka wajah bagi wanita merupakan sebab timbulnya bencana dan kejahatan. Kenyataan yang ada, sebagaimana Anda ketahui, di negara yang memperbolehkan wanita membuka wajah, apakah wanita yang diberi keleluasaan untuk membuka wajah tersebut hanya membuka wajahanya saja? Jawabnya: Tidak. Kenyataannya mereka juga membuka wajah, kepala, lutut,leher, lengan, paha bahkan dada kadang kala. Mereka tidak mampu melarang wanita-wanita mereka dari perbuatan yang mereka yakini merupakan kemungkaran dan perbuatan yang haram.

Nash-nash syar’I serta akal sehat menunjukkan kewajiban wanita untuk menutup wajahnya. Sungguh saya sangat heran dengan perkataan orang yang menyebutkan bahwa kewajiban bagi wanita untuk menutup kakinya dan dibolehkan baginya untuk membuka tangannya. Mana yang lebih utama untuk ditutupi? Tentu tangan, karena indahnya tangan dan lentiknya ujung jari-jari tangannya lebih menarik bagi laki-laki daripada kakinya. Saya lebih heran lagi kepada orang yang mengatakan bahwa wanita diharuskan menutup kakinya tetapi dibolehkan untuk membuka wajahnya. Mana yang lebih utama untuk ditutupi? Apakah masuk akal apabila syari’at yang sempurna ini dan yang datang dari Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui menharuskan wanita menutup kaki sementara wajahnya boleh dibuka?

Jawabnya: Selamanya tidak. Ini dua hal yang bertentangan, karena ketertarikan laki-laki pada wajah wanita lebih besar daripada ketertarikannya pada kaki wanita. Saya tidak dapat membayangkan ada seseorang berkata kepada orang lain yang dikirimnya untuk meminang wanita untuk dirinya. ‘Wahai saudaraku, perhatikanlah kedua kakinya, apakah kakinya indah atau tidak’. Sementara ia tidak memperhatikan faktor wajah wanita itu. Ini sungguh mustahil. Yang pasti, tentu ia menyuruhnya untuk memperhatikan wajahnya, cantik ataukah tidak.

Dengan demikian jelaslah bahwa tempat menimbulkan godaan adalah wajah. Kalimat aurat bukan berarti sesuatu yang memalukan untuk dikeluarkan atau diperlihatkan, seperti kemaluan misalnya. Tetapi yang dimaksud aurat adalah sesuatu yang harus ditutupi, karena menyebabkan terpikat dengan wanita atau terkena godaannya.

Terlebih lagi, saya sangat heran pada suatu kelompok yang mengatakan, tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menampakkan beberapa gelintir rambutnya, tapi kemudian mereka berpendapat, boleh bagi wanita untuk menampakkan alisnya yang lentik dan indah, keningnya yang indah, pipinya yang lesung –sesuai dengan kemauan manusia- semua ini boleh untuk ditampakkan!!!??

Kemudian tidak berhenti pada batas ini saja, untuk menampakkan keindahan tersebut pada jaman ini wajah dihiasi dengan berbagai make up yang berwarna merah dan lainnya.

Saya sangat yakin bahwa orang yang mengetahui tempat-tempat yang dapat menimbulkan fitnah dan kesenangan laki-laki (atas tubuh wanita) tidak mungkin secara mutlak membolehkan untuk membuka wajah sementara kedua kaki harus ditutupi. Apalagi ini adalah sebuah syari’at yang paling sempurna dan paling bijaksana.

Karena itulah saya melihat sebagian ulama akhir-akhir ini berpendapat bahwa ulama-ulama jaman dahulu telah sepakat untuk menyatakan kewajiban menututup wajah karena besarnya bahaya yang ditimbulkannya. Seperti disebutkan dalam kitab Nailul Authar dari Ibn Ruslan, ia berkata:”Karena kebanyakan manusia dalam keadaan lemah iman dan wanita kebanyakan sudah kehilangan rasa malu. Maka adalah wajib untuk menutup wajah. Hingga seandainya kita mengatakan bahwa boleh menampakkannya, maka kondisi jaman sekarang ini menjadikannya wajib untuk menutup wajah, karena suatu hal yang hukumnya mubah apabila menjadi sarana untuk perbuatan haram, maka hukumnya menjadi haram”.

Tidak sepantasnya para penulis itu mengeluarkan pernyataan ini dan mengajak wanita untuk membuka wajah. Bila yang mereka maksudkan adalah untuk menunjukkan kebolehan membuka wajah dalam artian bahwa hukum membolehkannya, tidak seharusnya mengajak kepada hal itu, sementara kita melihat akibat buruknya bagi yang mengatakannya.

Setiap manusia wajib untuk takut kepada Allah apabila berbicara sesuatu hanya berdasarkan pemikiran semata. Ini merupakan sesuatu yang sudah dilupakan oleh para pencari ilmu, yaitu – karena mempunyai dasar pemikiran- menghukumi sesuatu yang berdasarkan pada pemikiran itu saja, tanpa melihat pada kondisi manusia dan akibatnya pada manusia.

‘Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu terkadang melarang sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at sebagai upaya untuk mewujudkan sebuah kemashlahatan. Thalaq misalnya, pada jaman Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu dan dua tahun pada masa ‘Umar radhiallahu ‘anhu thalaq tiga (dengan satu ucapan) terhitung thalaq satu atau thalaq tiga dengan ucapan yang beruntun –sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan pendapat ini yang shahih- dianggap sebagai thalaq satu. Akan tetapi saat manusia melakukannya, Amirul Mukminin ‘Umar ibn Khoththob radhiallahu ‘anhu berkata:”Manusia terlalu tergesa-gesa dalam suatu masalah yang seharusnya mereka berhati-hati. Niscaya akan aku tetapkan peraturan atas mereka”. Maka ia pun menetapkan peraturan dan melarang para suami merujuk istrinya lagi (karena telah menthalaqnya tiga dengan satu ucapan), karena mereka telah tergesa-gesa dalam masalah thalaq ini, sedangkan ketergesa-gesaan hukumnya haram.

Saya katakan, kalaupun seandainya kita berpendapat bahwa membuka wajah adalah boleh, namun amanat ilmiyah dan kepentingan yang didasarkan pada amanat ilmiyah ini mengharuskan kita untuk tidak mengeluarkan pernyataan bahwa membuka wajah hukumnya boleh, khususnya pada jaman ini, yang mana fitnah telah menyebar. Justru kita seharusnya melarangnya dalam konteks melarang suatu sarana yang dapat menimbulkan perbuatan haram. Apalagi dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan jelas menyatakan bahwa membuka wajah hukumnya haram secara termaksud, bukan hanya haram dalam konteks haramnya karena dapat mengakibatkan pada perbutan yang haram. Pengharamannya lebih besar daripada pengharaman untuk membuka kaki, betis dan sejenisnya.


Sumber: Durus Wa Fatawa Haramil Makki, Syaikh Muhammad Sholih Al-‘Utsaimin, 3/219 melalui Al-Fatawa Al-Jami’ah lil Mar’atil Muslimah.

http://abdurrahman.wordpress.com/2007/10/01/menghapus-keraguan-tentang-hukum-membuka-wajah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar