BERDIRI YANG
DIANJURKAN
Banyak hadits shahih,
dan perilaku sahabat yang menunjukkan dibolehkannya berdiri untuk menyambut
orang yang datang. Di antara hadits-hadits tersebut adalah:
1. "Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Salam berdiri menyambut puterinya Fathimah, jika ia
datang menghadap kepada beliau. Sebaliknya, Fathimah juga berdiri menyambut
ayahandanya, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam jika beliau datang.
Berdiri seperti ini dibolehkan dan dianjurkan. Karena ia adalah berdiri untuk
menyambut tamu dan memuliakannya. Bahkan hal itu merupa-kan perwujudan dari
sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam,
"Barangsiapa
beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya."
(Muttafaq 'alaih)
2. Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda,
"Berdirilah
(untuk memberi pertolongan) pemimpin kalian." (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat lain,
"Kemudian
turunkanlah!" (Hadits hasan)
Latar belakang hadits
di atas adalah sehubungan dengan Sa'ad Radhiallaahu anhu , pemimpin para
sahabat Anshar yang terluka. Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Salam memintanya agar ia memberi putusan hukum dalam perkara orang Yahudi.
Maka Sa'ad pun mengendarai himar (keledai) . Ketika sampai (di tujuan),
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam berkata kepada orang-orang Anshar,
"Berdirilah
(untuk memberi pertolongan) kepada pemimpin kalian dan turunkanlah!"
Berdiri dalam situasi
seperti itu adalah dianjurkan. Karena untuk menolong Sa'ad, pemimpin para
sahabat Anshar yang terluka turun dari punggung keledai, sehingga tidak
terjatuh. Adapun Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam, beliau tidak
berdiri. Demikian pula dengan sebagian sahabat yang lain.
3. Diriwayatkan, pada
suatu waktu, sahabat Ka'ab bin Malik masuk masjid. Para sahabat lainnya sedang
duduk. Demi melihat Ka'ab, Thalhah beranjak berdiri dan berlarian kecil untuk
memberinya kabar gembira dengan taubat Ka'ab yang diterima Allah –setelah hal
itu didengarnya dari Nabi– karena ia tidak ikut berjihad.
Berdiri seperti ini
adalah diperbolehkan, karena untuk memberi kabar gembira kepada orang yang
tengah dirundung duka. Yakni dengan mengabarkan telah diterimanya taubatnya
oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala .
4. Berdiri kepada
orang yang datang dari perjalanan jauh untuk menyambutnya dengan pelukan.
5. Jika kita
perhatikan, maka hadits-hadits di atas memakai lafazh " Ilaa Sayyidikum,
Ilaa Thaa Hah, Ila Faatimah" . Lafazh itu menunjukkan diperbolehkannya
berdiri. Berbeda halnya dengan hadits-hadits yang melarang berdiri.
Hadits-hadits itu memakai lafazh " لَـهُ
".
Perbedaan makna
antara dua lafazh itu sangat besar sekali.
" Qooma Ilaihi
" berarti, segera berdiri untuk menolong atau (untuk menyambut demi)
memuliakannya. Sedangkan " Qooma Lahu " berarti berdiri di tempat
untuk memberi penghormatan.
BAGIAN 41 - Selesai
HADITS-HADITS DHA'IF
DAN MAUDHU'
Hadits-hadits yang dinisbatkan
kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam ada yang shahih, hasan, dha'if
(lemah), dan maudhu' (palsu).
Dalam kitab
haditsnya, Imam Muslim menyebutkan di awal kitab sesuatu yang memperingatkan
tentang hadits dha'if, memilih judul: "Bab larangan menyampaikan hadits
dari setiap apa yang didengar." Berdasarkan sabda Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Salam,
"Cukuplah
seseorang sebagai pendusta, jika ia menyampaikan hadits dari setiap apa yang ia
dengar." (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam
kitabnya Syarah Muslim, menyebutkan: "Bab larangan meriwayatkan dari
orang-orang dha'if (lemah)." Berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Salam,
"Kelak akan ada
di akhir zaman segolongan manusia dari umatku yang menceritakan hadits kepadamu
apa yang kamu tidak pernah mendengarnya, tidak juga nenek moyang kamu, maka
waspadalah dan jauhilah mereka." (HR. Muslim)
Imam lbnu Hibban
dalam kitab Shahih-nya menyebutkan: "Pasal; Peringatan terhadap wajibnya
masuk Neraka orang yang menisbatkan sesuatu kepada Al-Mushthafa (Muhammad),
sedangkan dia tidak mengetahui kebenarannya." Selanjutnya beliau
menyebutkan dasarnya, yaitu sabda Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Salam,
"Barangsiapa
berbohong atasku (dengan mengatakan) sesuatu yang tidak aku katakan, maka
hendaknya ia menempati tempat duduknya di Neraka." (HR. Ahmad, hadits
hasan)
Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Salam memperingatkan dari hadits-hadits maudhu'
(palsu), dengan sabdanya,
"Barangsiapa
berdusta atasku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di
Neraka." (Muttafaq 'alaih)
Tetapi sungguh amat
disayangkan, kita banyak mendengar dari para syaikh hadits-hadits maudhu' dan
dha'if untuk menguatkan madzhab dan kepercayaan mereka. Di antaranya seperti
hadits,
"Perbedaan
(pendapat) di kalangan umatku adalah rahmat."
Al-Allamah lbnu Hazm
berkata, "ltu bukan hadits, bahkan ia hadits batil dan dusta, sebab jika
perbedaan pendapat (khilafiyah) adalah rahmat, niscaya kesepakatan (ittifaq )
adalah sesuatu yang dibenci. Hal yang tak mungkin diucapkan oleh seorang
muslim."
Termasuk hadits
makdzub (dusta) adalah:
"Belajarlah
(ilmu) sihir, tetapi jangan mengamalkannya."
"Seandainya
salah seorang di antara kamu mempercayai (meski) terhadap sebongkah batu,
niscaya akan bermanfaat baginya."
Dan masih panjang
lagi deretan hadits-hadits maudhu' lainnya.
Adapun hadits yang
kini banyak beredar:
"Jauhkanlah
masjidku dari anak-anak kecil dan orang-orang gila."
Menurut Ibnu Hajar
adalah hadits dha'if, lemah. Ibnu Al-Jauzi berkata, hadits itu tidak shahih.
Sedang Abdul Haq mengomentari sebagai hadits yang tidak ada sumber asalnya.
Penolakan terhadap
hadits tersebut lebih dikuatkan lagi oleh ada-nya hadits shahih dari Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam :
"Ajarilah anak-anakmu
shalat, saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka karena
meninggalkannya, ketika mereka berusia sepuluh tahun." (HR. Ahmad, hadits
shahih)
Mengajar shalat
tersebut dilakukan di dalam masjid, sebagaimana Rasulullah Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam telah mengajar para sahabatnya. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam mengajar dari atas mimbar, sedang anak-anak ketika itu berada di masjid
Rasul, bahkan hingga mereka yang belum mencapai baligh.
Tidak cukup pada
akhir setiap hadits kita mengatakan, "Hadits riwayat At-Tirmidzi"
atau lainnya. Sebab kadang-kadang, beliau juga meriwayatkan hadits-hadits yang
tidak shahih . Karena itu, kita harus menyebutkan derajat hadits: shahih, hasan
atau dha'if. Adapun meng-akhiri hadits dengan mengatakan, "Hadits riwayat
Al-Bukhari atau Muslim" maka hal itu cukup. Karena hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh kedua imam tersebut senantiasa shahih.
Hadits dha'if tidak
dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam , karena adanya
cacat dalam sanad (jalan periwayatan) atau matan (isi hadits).
Jika salah seorang
dari kita pergi ke pasar, lalu melihat daging yang gemuk segar dan daging yang
kurus lagi kering, tentu ia akan memilih yang gemuk segar dan meninggalkan
daging yang kurus lagi kering.
Islam memerintahkan
agar dalam berkurban kita memilih bina-tang sembelihan yang gemuk dan
meninggalkan yang kurus. Jika de-mikian, bagaimana mungkin diperbolehkan
mengambil hadits dha'if dalam masalah agama, apalagi masih ada hadits yang
shahih...?
Para ulama hadits
memberi ketentuan, bahwa hadist dha'if tidak boleh dikatakan dengan lafazh:
Qoola Rasuulullaahi Shallallaahu 'alaihi wa sallam (Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda), karena lafazh itu adalah untuk hadits shahih.
Tetapi hadits dha'if itu harus diucapkan dengan lafazh "ruwiya"
(diriwayatkan), dengan shighat majhul (tidak diketahui dari siapa). Hal itu
untuk membedakan antara hadits dha'if dengan hadits shahih.
Sebagian ulama
kontemporer berpendapat, hadits dha'if itu boleh diambil dan diamalkan, tetapi
harus memenuhi kriteria berikut:
1. Hadits itu
menyangkut masalah fadha'ilul a'maal (keutamaan-keutamaan amalan)
2. Hendaknya berada
di bawah pengertian hadits shahih.
3. Hadits itu tidak
terlalu amat lemah (dha'if).
4. Hendaknya tidak
mempercayai ketika mengamalkan, bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam .
Tetapi, saat ini
orang-orang tak lagi mematuhi batasan syarat-syarat tersebut, kecuali sebagian
kecil dari mereka.
BAGIAN 42
CONTOH HADITS MAUDHU'
1. Hadits maudhu'
(palsu):
"Sesungguhnya
Allah menggenggam segenggam dari cahaya-Nya, lalu berfirman kepadanya, 'Jadilah
Muhammad'."
2. Hadits maudhu':
"Wahai Jabir,
bahwa yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya Nabimu."
3. Hadits tidak ada
sumber asalnya:
"Bertawassullah
dengan martabat dan kedudukanku."
4. Hadits maudhu'.
Demikian menurut AI-Hafizh Adz-Dzahabi:
"Barangsiapa
yang menunaikan haji kemudian tidak berziarah kepadaku, maka dia telah bersikap
kasar kepadaku."
5. Hadits tidak ada
sumber asalnya. Demikian menurut Al-Hafizh Al-'lraqi.
"Pembicaraan di
masjid memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar."
6. Hadits maudhu'.
Demikian menurut AI-Ashfahani:
"Cinta tanah air
adalah sebagian daripada iman."
7. Hadits maudhu',
tidak ada sumber asalnya:
"Berpegang
teguhlah kamu dengan agama orang-orang lemah."
8. Hadits tidak ada
sumber asalnya:
"Barangsiapa
yang mengetahui dirinya, maka dia telah menge-tahui Tuhannya."
9. Hadis tidak ada
asal sumbernya:
"Aku adalah
harta yang tersembunyi."
10. Hadits maudhu':
"Ketika Adam
melakukan kesalahan, ia berkata, 'Wahai Tuhan-ku, aku memohon kepadaMu dengan
hak Muhammad agar Eng-kau mengampuni padaku."
11. Hadits maudhu':
"Semua manusia
(dalam keadaan) mati kecuali para ulama. Se-mua ulama binasa kecuali mereka
yang mengamalkan (Ilmunya). Semua orang yang mengamalkan ilmunya tenggelam,
kecuali me-reka yang ikhlas. Dan orang-orang yang ikhlas itu berada dalam
bahaya yang besar."
12. Hadits maudhu'.
Lihat Silsilatul Ahaadits Adh-Dha'iifah, hadits no. 58:
"Para sahabatku
laksana bintang-bintang. Siapa pun dari mere-ka yang engkau teladani, niscaya
engkau akan mendapat petun-juk."
13. Hadits batil.
Lihat Silsilatul Ahaadits Adh-Dhaiifah, no. 87:
"Jika khatib
telah naik mimbar, maka tak ada lagi shalat dan perbincangan."
14. Hadits batil.
Ibnu AI-Jauzi memasukkannya dalam kelompok hadits-hadits maudhu':
"Carilah Ilmu
meskipun (sampai) di negeri Cina."
BAGIAN 43
CARA BERZIARAH KUBUR
SESUAI TUNTUTAN NABl
Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Dahulu aku
pernah melarang kalian berziarah kubur, (kini) berziarahlah, agar ziarah kubur
itu mengingatkanmu berbuat kebajikan." (HR Al-Ahmad, hadits shahih)
Di antara yang perlu
diperhatikan dalam ziarah kubur adalah:
1. Ketika masuk,
sunnah menyampaikan salam kepada mereka yang telah meninggal dunia. Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengajarkan kepada para sahabat agar ketika
masuk kuburan membaca,
"Semoga
keselamatan dicurahkan atasmu wahai para penghuni kubur, dari orang-orang yang
beriman dan orang-orang Islam. Dan kami, jika Allah menghendaki, akan
menyusulmu. Aku memohon kepada Allah agar memberikan keselamatan kepada kami
dan kamu sekalian (dari siksa)." (HR Muslim)
2. Tidak duduk di
atas kuburan, serta tidak menginjaknya Berdasarkan sabda Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam :
"Janganlah
kalian shalat (memohon) kepada kuburan, dan ja-nganlah kalian duduk di
atasnya." (HR. Muslim)
3. Tidak melakukan
thawaf sekeliling kuburan dengan niat untuk ber-taqarrub (ibadah). Karena
thawaf hanyalah dilakukan di sekeliling Ka'bah. Allah berfirman,
"Dan hendaklah mereka
melakukan tha'waf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah, Ka'bah)."
(AI-Hajj: 29)
4. Tidak membaca
Al-Qur'an di kuburan. Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
"Janganlah
menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesung-guhnya setan berlari dari rumah
yang dibacakan di dalamnya surat Al-Baqarah." (HR. Muslim)
Hadits di atas
mengisyaratkan bahwa kuburan bukanlah tempat membaca Al-Qur'an. Berbeda halnya
dengan rumah. Adapun hadits-hadits tentang membaca Al-Qur'an di kuburan adalah
tidak shahih.
5. Tidak boleh
memohon pertolongan dan bantuan kepada mayit, meskipun dia seorang nabi atau
wali, sebab itu termasuk syirik besar. Allah berfirman,
"Dan janganlah
kamu menyembah apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat
kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka
se-sungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim." (Yunus:
l06)
Zhalim dalam ayat di
atas berarti musyrik.
6. Tidak meletakkan
karangan bunga atau menaburkannya di atas kuburan mayit. Karena hal itu
menyerupai perbuatan orang-orang Nasrani, serta membuang-buang harta dengan
tiada guna. Seandainya saja uang yang dibelanjakan untuk membeli karangan bunga
itu disedekahkan kepada orang-orang fakir miskin dengan niat untuk si mayit,
niscaya akan bermanfaat untuknya dan untuk orang-orang fakir miskin yang justru
sangat membutuhkan uluran bantuan tersebut."
7. Dilarang membangun
di atas kuburan atau menulis sesuatu dari Al-Qur'an atau syair di atasnya.
Sebab hal itu dilarang,
"Beliau
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mengapur kuburan dan membangun di
atas-nya."
Cukup meletakkan
sebuah batu setinggi satu jengkal, untuk menandai kuburan. Dan itu sebagaimana
yang dilakukan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika meletakkan
sebuah batu di atas kubur Utsman bin Mazh'un, lantas beliau bersabda,
"Aku memberikan
tanda di atas kubur saudaraku." (HR. Abu Daud, dengan sanad hasan).
BAGIAN 44
TAKLID BUTA
Allah berfirman,
"Apabila
dikatakan kepada mereka, 'Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan
mengikuti Rasul'. Mereka menjawab, 'Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati
bapak-bapak kami mengerjakannya. 'Dan apakah mereka akan mengikuti juga ne-nek
moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan
tidak (pula) mendapat petunjuk...?" (AI-Maa'idah: 104)
Allah mengabarkan
kepada kita tentang keadaan orang-orang musyrik, saat Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam berkata kepada mereka, "Marilah mengikuti Al-Qur'an dan
mentauhidkan Allah, serta berdo'a hanya kepada Allah semata."
Mereka kemudian
menjawab, "Cukuplah bagi kami kepercayaan nenek moyang kami." Maka
Al-Qur'an membantah mereka bahwa nenek moyang mereka itu adalah bodoh, tidak
mengetahui sesuatu serta tidak mendapat petunjuk kepada jalan yang benar.
Mayoritas umat Islam,
kini terjebak dalam taklid buta ini. Pernah suatu kali, penulis mendengar
ceramah. Penceramah itu mengatakan, "Apakah nenek moyang kalian mengetahui
bahwa Allah mempunyai tangan...?"
Ia berdalih dengan
kebodohan nenek moyang, untuk meng-ingkari. Padahal Al-Qur'an telah menegaskan
hal tersebut, sebagaimana firmanNya tentang kisah penciptaan Adam AlaihisSallam
,
"Hai lblis,
apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua
tanganKu...?" (Shaad: 75)
Tetapi, tidaklah
tangan para makhluk menyerupai tanganNya, Allah berfirman,
"Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat." (Asy-Syuraa: 11)
Sekarang, ada lagi
bentuk taklid lain yang lebih berbahaya. Yaitu taklid (ikut-ikutan) orang-orang
kafir dalam kemaksiatan, buka-bukaan aurat, mode pakaian ketat, pakaian mini
dan sebagainya.
Alangkah baiknya
manakala mereka itu kita ikuti dalam pene-muan-penemuan mereka yang bermanfaat.
Seperti dalam hal pembu-atan pesawat terbang atau bentuk ilmu dan teknologi
lainnya.
Kebanyakan manusia,
jika engkau mengatakan padanya, "Allah berfirman, Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda", maka mereka berucap, "Syaikh saya
berkata".
Apakah mereka tidak
mendengar firman Allah,
"Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya." (Al-Hujurat:
1)
Maksudnya, janganlah
kalian mendahulukan ucapan seseorang atas firman Allah dan sabda RasulNya.
Ibnu Abbas berkata,
"Hampir-hampir saja diturunkan atas kalian batu dari langit. Aku
mengatakan kepada kalian, 'Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
tetapi kalian mengatakan, 'Abu Bakar berkata, Umar berkata'."
Seorang pujangga
menyenandungkan syair yang mengingkari orang-orang yang berdalih dengan ucapan
para syaikh mereka. Ia berkata,
"Aku katakan
padamu, 'Allah berfirman, RasulNya bersabda',lalu kamu menjawab, 'Syaikh saya
telah berkata ...'."
BAGIAN 45
JANGAN MENOLAK
KEBENARAN
Allah telah mengutus
segenap rasulNya kepada umat manusia. Allah memerintahkan mereka agar menyeru
manusia beribadah kepada Allah dan mengesakanNya. Tetapi sebagian besar
umat-umat itu mendustakan dakwah para rasul. Mereka menentang dan menolak
kebenaran yang kepadanya mereka diseru, yakni tauhid. Oleh karena itu kesudahan
mereka adalah kehancuran dan kebinasaan.
Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
"Tidak masuk
Surga orang yang di dalam hatinya terdapat sebe-rat atom rasa sombong."
Kemudian beliau
bersabda,
"Sombong yaitu
menolak kebenaran dan meremehkan manusia." (HR. Muslim)
Karenanya, setiap
mukmin tidak boleh menolak kebenaran dan nasihat, sehingga menyerupai
orang-orang kafir, juga agar tidak ter-jerumus ke dalam sifat sombong yang bisa
menghalanginya masuk Surga. Maka hikmah (kebijaksanaan) adalah harta orang
mukmin yang hilang. Di mana saja ditemukan, maka ia akan mengambil dan
memungutnya.
Maka dari itu, kita
wajib menerima kebenaran dari siapa saja, bahkan sampai dari setan sekalipun.
Tersebut dalam
riwayat, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menjadikan Abu
Hurairah sebagai penjaga Baitul Maal.
Suatu hari, datang
seseorang untuk mencuri, tetapi Abu Hurairah segera mengetahui, sehingga
menangkap basah pencuri tersebut. Pencuri itu lalu mengharap, menghiba dan
mengadu kepada Abu Hurairah, bahwa ia orang yang amat lemah dan miskin. Abu
Hurairah tak tega, sehingga melepas pencuri tersebut.
Tetapi pencuri itu
kembali lagi melakukan aksinya pada kali kedua dan ketiga. Abu Hurairah
kemudian menangkapnya, seraya mengancam, "Sungguh, aku akan mengadukan
halmu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ."
Orang itu ketakutan
dan berkata menghiba, "Biarkanlah aku, jangan adukan perkara ini kepada
Rasulullah! Jika kau penuhi, sungguh aku akan mengajarimu suatu ayat dari
Al-Qur'an, yang jika engkau membacanya, niscaya setan tak akan
mendekatimu." Abu Hurairah bertanya, "Ayat apakah itu?"
Ia menjawab, "Ia
adalah ayat Kursi." Lalu Abu Hurairah melepas kembali pencuri tersebut.
Selanjutnya Abu Hurairah menceritakan kepada Rasulullah apa yang ia saksikan.
Lalu Rasulullah bertanya padanya, "Tahukah kamu, siapakah orang yang
berbicara tersebut? Sesungguhnya ia adalah setan. Ia berkata benar padahal dia
adalah pendusta." (HR. Al-Bukhari).
BAGIAN 46
SYAIR AQIDAH MUSLIM
Jika pengikut Ahmad
adalah wahabi,maka aku akui bahwa diriku wahabi.
Kutiadakan sekutu
bagi Tuhan,maka tak ada Tuhan bagiku selain Yang Maha Esa dan Maha Pemberi.
Tak ada kubah yang
bisa diharap,tidak pula berhala, dan kuburan tidaklah sebab di antara penyebab.
Tidak, sama sekali
tidak, tidak pula batu, pohon, mata air atau patung-patung.
Juga, aku tidak
mengalungkan jimat,temali, rumah kerang atau taring,
untuk mengharap
manfaat, atau menolak bala
Allah yang memberiku
manfaat dan menolak bahaya dariku.
Adapun bid'ah dan
segala perkara yang diada-adakan dalam agama,
maka orang-orang
berakal mengingkarinya.
Aku berharap, semoga
ku tak kan mendekatinya tidak pula rela secara agama,
ia tidak benar.
Dan aku berlindung
dari Jahmiyah Aku mencela perselisihan setiap ahli takwil dan peragu-ragu,
serta yang mengingkari istawa Tentangnya, cukuplah bagiku teladan dari ucapan
para pemimpin yang mulia; Syafi'i, Malik, Abu Hanifah, Ibnu Hambal; orang-orang
yang bertakwa dan ahli bertaubat.
Dan pada zaman kita
sekarang ini, ada orang yang mempercayai, seraya berteriak atasnya;
Mujassim wahabi Telah
ada hadits tentang keterasingan Islam,maka hendaknya para pencinta
menangis,karena terasing dan orang-orang yang dicintainya.
Allah yang melindungi
kita,yang menjaga agama kita,dari kejahatan setiap pembangkang dan pencela.
Dia menguatkan
agamaNya yang lurus,dengan sekelompok orang-orang yang berpegang teguh dengan
sunnah dan kitabNya.
Mereka tidak
mengambil hukum lewat pendapat dan kias, Sedang kepada para ahli wahyu, mereka
sebaik-baik orang yang kembali.
Sang Nabi terpilih
telah mengabarkan tentang mereka, bahwa mereka adalah orang-orang asing, di
tengah keluarga dan kawan pergaulannya.
Mereka menapaki jalan
orang-orang yang menuju petunjuk, dan berjalan di atas jalan mereka, dengan
benar.
Karena itu,
orang-orang yang suka berlebihan, berlari dan menjauh dari mereka.
Tapi kita berkata,
tidak aneh.
Telah lari pula
orang-orang yang diseru oleh sebaik-baik manusia, bahkan menjulukinya sebagai
tukang (ahli) sihir lagi pendusta.
Padahal mereka
mengetahui, betapa beliau seorang yang teguh memegang amanah dan janji, mulia
dan jujur menepati.
Semoga keberkahan
atasnya, Selama angin masih berhembus, juga atas segala keluarga dan semua
sahabatnya."
(Dikutip dari
terjemah kitab Jalan Golongan Yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
Cetak
>>
sumber: www.salafy.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar