Adzan di telinga bayi di saat ia baru
lahir, hampir termasuk perkara yang disepakati. Fenomena seperti ini, nampak
tersebar di Negeri kita yang jauh dari Ulama rabbaniyyin yang mengajarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih dari Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam-
sehingga membantu pesatnya perkembangan masalah yang satu ini. Selain itu,
banyak da’i yang berpangku tangan dan tidak mau meneliti masalah ini lebih
detail lagi dari segi keakuratan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah
ini, masalah disyari’atkannya adzan ditelinga bayi di hari kelahirannya.
Apalagi setelah tersebarnya kitab-kitab Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- di
dalamnya beliau menjelaskan bahwa derajat hadits adzan di telinga bayi adalah
“hasan”, tanpa mau lagi berusaha mengetahui dan meneliti derajat hadits-hadits
itu.
Sebagai beban dan amanah ilmiah, kami
turunkan takhrij hadits adzan di telinga bayi, sekaligus menyebutkan rujuknya
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah- dari meng-hasan-kan
hadits tersebut, setelah nyata bagi beliau bahwa semua jalur periwayatannya
lemah, tidak bisa saling menguatkan satu dengan lainnya agar para pembaca yang
budiman mengetahuinya dan bisa meralat segala kekeliruan yang ia yakini dan
lakukan sebelumnya, berupa adzan di telinga bayi saat baru dilahirkan ke dunia.
Menurut pemeriksaan para ulama terhadap
riwayat-riwayat dan jalur-jalur hadits adzan di telinga bayi, cuma ada tiga
jalur atau empat:
Hadits Pertama
Hadits ini berasal dari Abu Rofi’, bekas
budak Rasulullah r , ia berkata: “Saya melihat Rasulullah -Shallallahu 'alaihi
wa sallam- adzan, seperti adzan sholat, di telinga Al-Hasan bin Ali, ketika Fathimah
-radhiyallahu ‘anha- melahirkannya”.
HR. Abu Dawud (5105), At-Tirmidziy
(4/1514), Al-Baihaqiy dalam Al-Kubro (9/300), dan dalam Asy-Syu’ab (6/389-390),
Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (931-2578), dan dalam Ad-Du’a (2/944), Ahmad
(6/9-391-392), Abdur-Razzaq (7986), Ath-Thoyalisiy (970), Al-Hakim (3/179), dan
Al-Baghowiy dalam Syarh As-Sunnah (11/273).
Al-Hakim berkata, “Shohih sanadnya
sekalipun keduanya (Al-Bukhoriy dan Muslim) tidak mengeluarkannya”. Akan
tetapi, ia disanggah oleh Adz-Dzahabi seraya berkata : “Ashim dho’if (lemah)”.
At-Tirmidzi berkata, “Semua meriwayatkannya dari jalur Sufyan Ats-Tsauri dari
Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari bapaknya”.
Ini juga merupakan HR. Ath-Thobroniy dalam
Al-Kabir (926,2579), dan dibawakan hadits ini oleh Al-Haitsami dalam Majma’
Az-Zawa’id (4/60) dari jalur Hammad bin Syu’aib dari Ashim bin Ubaidillah dari
Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’ dengan sedikit tambahan, “Beliau adzan di
telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Dia berkata di akhirnya, “Beliau memerintahkan
hal itu kepada mereka”.
Di dalam sanad hadits ini terdapat Hammad
bin Syu’aib. Ibnu Ma’in telah men-dho’if-kannya. Al-Bukhoriy berkata, “Mungkar
haditsnya”. Pada tempat lain, ia berkata: “Mereka meninggalkan haditsnya”.
Al-Haitsami berkata dalam Al-Majma’ (4/60), “Di dalamnya terdapat Hammad bin
Syu’aib, sedang ia itu lemah sekali”.
Di dalamnya juga terdapat Ashim bin
Ubaidillah, seorang yang dho’if (lemah). Selain itu, Hammad telah menyelisihi
Sufyan Ats-Tsaury, baik dalam hal sanad maupun redaksi hadits, sebab ia telah
meriwayatkannya dari Ashim dari Ali bin Al-Husain dari Abi Rofi’. Dia
menggantikan Ubaidullah bin Abi Rofi’ dengan Ali bin Al-Husain, dan ia juga
menambahkan lafazh pada redaksi hadits, “…Al-Husain”, dan perintah beradzan.
Hammad yang ini termasuk orang yang tidak diterima haditsnya, jika menyendiri
dalam meriwayatkan hadits, karena kelemahan pada dirinya yang telah anda
ketahui. Apalagi ia menyelisihi orang yang lebih tsiqoh (terpercaya) dan teliti
daripada dirinya seperti Ats-Tsaury. Dengan ini, hadits Hammad menjadi mungkar
karena kelemahannya pertama, dan kedua, penyelisihannya terhadap orang yang
lebih tsiqoh.
Adapun jalur kedua dari Sufyan, terdapat
seorang yang bernama Ashim bin Ubaidillah. Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah-
berkata dalam At-Taqrib, “Dia lemah”. Al-Hafizh juga menyebutkan dalam
At-Tahdzib (5/42), Syu’bah berkata, “Andaikan Ashim ditanya, “Siapakah yang
membangun Masjid Bashrah, niscaya ia akan menjawab, “Fulan dari fulan dari Nabi
-Shallallahu 'alaihi wa sallam- bahwa beliau telah membangunnya”. Ini untuk
menggambarkan rowi ini mudah meriwayatkan hadits, tanpa memperhatikan hadits
yang ia riwayatkan sehingga ia banyak menyelisihi orang yang lebih tsiqoh.
Adz-Dzahaby berkata dalam Al-Mizan (2/354),
“Abu Zur’ah dan Abu Hatim berkata: Ashim adalah haditsnya mungkar .
Ad-Daruquthny berkata: Ia ditinggalkan, orangnya lalai”. Lalu ia membawakan
hadits hadits Abu Rofi’, “Bahwa Rasulullah -Shallallahu 'alaihi wa sallam-
mengadzani telinga Al-Hasan dan Al-Husain”. Ringkasnya, hadits ini dho’if
(lemah) karena masalahnya ada pada Ashim, sedang Anda telah tahu keadaan
dirinya.
Ibnul Qoyyim menyebutkan dalam dalam
kitabnya Tuhfah Al-Wadud (hal.17) hadits Abu Rofi’, lalu membawakan dua hadits
:satunya dari Ibnu Abbas, dan lainnya lagi dari Al-Husain bin Ali . Beliau
menjadikan kedua hadits ini sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’ dan
membuatkan judul, “Bab: Dianjurkannya adzan ditelinga bayi”. Hal ini sebenarnya
kurang tepat sesuai dengan pembahasan yang akan anda ketahui sebentar, Insya
Allah Ta’ala.
Hadits Kedua
Adapun hadits kedua dari Ibnu Abbas ,
diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman (6/8620) dari Muhammad bin
Yunus dari Al-Hasan bin Amer bin Saif As-Sadusy, ia berkata, Al-Qosim bin
Muthoyyib Telah menceritakan kami dari Manshur bin Shofiyyah dari Abu Ma’bad
dari Ibnu Abbas: ”Bahwasanya Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- adzan di
telinga Al-Hasan bin Ali pada hari ia dilahirkan, di telinga kanannya. Beliau
melakukan iqomat pada telinga kirinya”.
Setelah itu, Al-Baihaqi berkata: “Pada
sanadnya terdapat kelemahan”. Kami katakan, “Bahkan hadits ini palsu”.
Penyakitnya ada pada Al-Hasan bin Amer . Al-Hafizh berkata dalam At-Taqrib,
“Orangnya matruk/ditinggalkan”. Ibnu Abi Hatim berkata dalam Al-Jarh wa
At-Ta’dil (1/2/26), biografi (no.109), “Saya pernah mendengarkan bapakku
berkata:[Kami pernah melihat Al-Hasan bin Amer di Bashrah, dan kami tak menulis
hadits darinya, sedang dia itu ditinggalkan haditsnya]”. Adz-Dzahaby berkata
dalam Al-Mizan, “Al-Hasan bin Amer dikatakan pendusta oleh Ibnul Madiny.
Al-Bukhory berkata, “Dia pendusta”. Ar-Rozy berkata, “Dia ditinggalkan”.”.
Sebagaimana yang kita ketahui bersama,
diantara kaedah-kaedah Ilmu Mushtholah Hadits bahwa hadits dho’if (lemah) tak
akan bisa meningkat menjadi hadits shohih atau hasan, kecuali ia datang dari
jalur periwayatan yang lain, dengan syarat: Tak ada orang yang parah
ke-dho’if-annya/kelemahannya dalam jalur tersebut, apalagi sampai ada pendusta.
Jadi, hadits kedua dari Ibnu Abbas ini -sedang kondisinya begini- tetap
kedudukannya sebagai hadits dho’if dan tidak bisa dijadikan hujjah. Di antara
konsekuensi ilmu hadits, hadits Ibnu Abbas tersebut tidak bisa dijadikan
sebagai penguat bagi hadits Abu Rofi’. Jadi, hadits Abu Rofi’ tetap kedudukannya
sebagai hadits dho’if, sedang hadits Ibnu Abbas adalah palsu!!
Hadits Ketiga
Adapun hadits Al-Hasan bin Ali, hadits ini
diriwayatkan oleh Yahya ibnul Ala’ dari Marwan bin Salim dari Tholhah bin
Ubaidillah dari Al-Hasan bin Ali, ia berkata: Bersabda Rasulullah -Shallallahu
'alaihi wa sallam-, “Barang siapa yang dikaruniai seorang anak, lalu ia
mengadzani pada telinga kanannya dan beriqomat pada telinga kirinya, niscaya
anak itu tak akan dimudhorotkan/dibahayakan oleh Ummu Shibyan”. [HR.
Al-Baihaqiy dalam Syu’abul Iman (6/390) , Ibnus Sunni dalam Amal Al-Yaum wa
Al-Lailah (623). Hadits ini dibawakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma’’ (4/59)
seraya berkata, “HR.Abu Ya’la(6780), di dalamnya terdapat seorang rawi yang
bernama Marwan bin Salim Al-Ghifary, sedang ia itu matruk /ditinggalkan”.
Bahkan hadits Al-Husain bin Ali di atas
adalah palsu, di dalamnya terdapat seorang rawi yang bernama Yahya Ibnul Ala’
dan Marwan bin Salim, keduanya memalsukan hadits sebagaimana hal ini disebutkan
oleh Syaikh Al-Albany dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (321). Nah, Hadits
Abu Rofi’ tetap kondisinya sebagai hadits dho’if sebagaimana yang dikatakan
oleh Al-Hafizh dalam At-Talkhish (4/149): “Inti permasalahannya pada Ashim bin
Ubaidillah, sedang ia itu dho’if.”
Dulu Syaikh Al-Albany meng-hasan-kan hadits
ini dalam Shohih Sunan At-Tirmidzy (1224), Shohih Sunan Abu Dawud (4258),
Al-Irwa’ (4/401), dan Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (1/493).
Namun belakangan Syaikh Al-Albany meralat
peng-hasan-an beliau terhadap hadits Abu Rofi’ (hadits pertama) dalam
Adh-Dho’ifah pada cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ma’arif
(1/494/no.321), “Sekarang saya tegaskan –sekalipun kitab Asy-Syu’ab telah
dicetak-, bahwa hadits Ibnu Abbas tidak cocok untuk dijadikan penguat (bagi
hadits Abu Rofi’-pent.), karena di dalamnya terdapat rawi pendusta dan matruk
(ditinggalkan). Saya amat heran terhadap Al-Baihaqy dan Ibnul Qoyyim, bagaimana
keduanya cuma men-dho’if-kan hadits tersebut sehingga saya hampir memastikan
cocoknya hadits itu dijadikan sebagai penguat. Makanya, sekarang aku pandang
diantara kewajiban saya untuk mengingatkan hal itu dan mentakhrijnya pada
pembahasan akan datang (no.6121)”.
Disana ada sebuah hadits yang diriwayatkan
di dalam kitab “Manaqib Al-Imam Ali” (113) dari Ibnu Umar secara marfu’. Cuma
sayangnya hadits ini lagi-lagi tidak bisa dijadikan penguat karena di dalamnya
ada pendusta. Abu Ishaq Al-Huwainy berkata dalam Al-Insyirah (hal.96),
“Kesimpulannya, tak ada satu haditspun menjadi penguat bagi hadits ini menurut
yang saya ketahui, Wallahu a’lam”.
Jadi, tiga hadits di atas tidak boleh
dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya meng-adzan-i, dan meng-iqomat-i
telinga bayi yang baru lahir, karena kelemahan dan kepalsuannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar