Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (An Nahl: 105)
Berdusta adalah sifat orang-orang munafik sebagaimana dalam Shahihain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu’anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Tanda orang munafik ada tiga: jika bicara dusta, jika berjanji tidak menepatinya dan jika diberi amanah berkhianat.”
Kebohongan akan mengantarkan pelakunya kepada kemaksiatan sebagaimana di dalam shahihain dari hadits Abdullah bin Mas’ud bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya kejujuran itu akan mengantarkan kepada kebaikan dan kebaikan itu akan mengantarkan ke sorga, selanjutnya orang yang senantiasa berbuat jujur dan selalu menjaga kejujuran sehingga Allah kana mencatatnya di sisi-Nya sebagai shiddiq.
Dan sesungguhnya kebohongan itu akan mengantarkan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiatan itu akan mengantarkan kepada neraka. Seorang hamba senantiasa berdusta dan selalu berusaha berdusta hingga dicatat disisi Allah sebagai seorang pendusta.”
Maka orang yang akhlaknya suka berbohong dan sengaja berbohong sampai bohong itu menjadi tabiatnya ditulislah oleh Allah sebagai pembohong dan dalam kumpulan para pembohong/pendusta. Dan sesungguhnya seseorang tidak akan rela jika dikatakan sebagai pembohong di tengah-tengah manusia. Apakah ia tidak selayaknya dia enggan untuk dicatat di sisi Allah sebagai pembohong sedang Rabbnya adalah Dzat yang telah menciptakannya dan memberi rezeki padanya, kita memohon keselamatan kepada Allah.
Orang yang suka berbohong, tidak akan dipercaya oleh manusia, pembicaraan dan perkataannya akan dicampakkan dan akan dibenci manusia (karena kedustaannya itu).
Dan benarlah seorang penyair ketika mengatakan:
“Betapa jelek kebohongan yang tercela pelakunya
Dan betapa indah kejujuran itu di sisi Allah dan manusia.”
Bohong termasuk dosa besar
Dalam shahih Al Bukhari (12/438) dari haits samurah bin Jundup ia berkata: “Dahulu yang paling banyak Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tanyakan kepada para sahabatnya adalah: “Apakah salah seorang dari kalian bermimpi sesuatu?” Dia (rawi) berkata: “Dan berceritalah kepadanya apa yang dikehendaki oleh Allah untuk dia ceritakan. Lalu pada suatu hari, beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepada kami: “Sesungguhnya telah datang kepadaku tadi malam dua orang, keduanya diutus kepadaku, lalu berkata: “Berangkatlah, lalu aku berangkat bersama mereka…” (Al Hadits). Dan didalam (hadits tersebut disebutkan): “Adapun lelaki yang engkau datangi, yang dirobek dan mulutnya sampai kebelakangnya, juga matanya sampai kebagian belakangnya (tengkuk), orang tersebut adalah yang keluar pagi hari dari rumahnya kemudian menebarkan satu kebohongan hingga memenuhi cakrawala.”
Adapun sebesar-besar kebohongan adalah berdusta atas nama Allah. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka jahannam tersedia tempat bagi orang-orang yang kafir?” (Az Zumar: 32)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahanam itu ada tempat bagi orang-orang yang kafir?” (Al Ankabut: 68)
Bentuk-bentuk kebohongan
a. Menjanjikan kepada anak akan memberi sesuatu padahal ia bohong.
Contohnya seperti perkataan seorang ibu kepada anaknya: “Kemarilah aku akan memberimu ini”, dan ketika ia datang si ibu tidak memberinya sesuatupun.
Semakna dengan ini adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/452) dari jalan Ibnu Syihab dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berkata kepada anak kecil, kemarilah ini untukmu kemudian ia tidak memberikannya maka dia adalah pendusta.”
Akan tetapi hadits ini dengan sanad seperti ini terputus, karena Az Zuhri tidak pernah mendengar dari Abu hurairah sebagaimana dalam Jami’ At Tahsil. Dan lihatlah pula dalam Ahadits Mu’allah (hal. 233).
Berbohong terhadap anak akan membuka luas pintu kejelekan, sehingga anak akan meniru perbuatan itu kemudian ia berbohong dalam ucapannya dan berjanji lalu tidak memenuhi janji (karena sudah dibiasakan oleh orang tuanya, pent).
Dan setelah kita ketahi bahw aberbohong itu tercela, ternyata dalam hal ini orang-orang jahiliyah juga memandang perbuatan itu sangatlah rendah sekali.
Sehingga ketika Abu Sufyan ditanya oleh Hiraqla (Heraclius), raja Romawi tentang sifat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Abu Sufyan menjawabnya dengan penuh kejujuran, dan Abu Sufyan mengatakan: “Demi Allah kalau seandainya bukan karena khawatir dinukil (disebut-sebut) dariku satu kebohongan (dituduh sebagai pendusta –ed), sungguh aku akan berkata dusta ketika itu”, yaitu berdusta atas Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dan ketika itu Abu Sufyan radhiyallahu’anhu belum masuk Islam.
b. Termasuk kebohongan adalah senda gurau yang mengandung dusta.
Al Imam At Tirmidzi rahimahullah berkata (4/557 no. 2351):
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Basyar, ia berkata: “Telah bercerita kepada kami Yahya bin Sa’id, ia berkata: “Telah bercerita kepada kami Bahz bin Hakim ia berkata: “Telah berkata kepadaku ayahku dari kakekku, dia berkata: “Aku mendengar Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Celakalah bagi orang yang berkata dengan perkataan dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.”
At Tirmidzi berkata: “Hadits ini Hasan.” Aku berkata (penulis): “Hadits ini derajatnya sebagaimana yang telah dikatakan beliau rahimahullah.” Dikeluarkan juga oleh Abu Dawud (2/716), Ahmad (5/3, 5, 7) dan Al Hakim (1/46).
c. Perkataan seseorang: “Aku bermimpi dalam tidurku” padahal ia tidak bermimpi apapun.
Al Imam Al Bukhari rahimahullah berkata: (12/427): “Telah bercerita kepada kami Ali bin Abdullah ia berkata: “Telah bercerita kepada kami Sufyan dari Ayyub dari Ikrimah dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam beliau bersabda:
“Barangsiapa yang mengaku bermimpi dengan suatu mimpi, padahal tidak, akan dibebankan kepadanya untuk mengikat antara dua biji gandum dan dia tidak akan mampu melakukannya…”
d. Perkataan seseorang: “Aku melihatnya” padahal ia tidak melihatnya.
Al Imam Al Bukhari rahimahullah berkata: (12/427): “Telah bercerita kepada kami Ali bin Muslim ia berkata: “Telah bercerita kepada kami Abdus Shamad ia berkata: “Telah bercerita kepada kami Abdurrahman bin Abdullah bin Dinar maula Ibnu Umar ia berkata dari bapaknya dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Seburuk-buruk kedustaan ialah orang yang mengaku matanya telah melihat sesuatu padahal ia tidak melihat apa-apa.”
Maka wajib bagi kita berlaku jujur kepada Allah, kemudian berusaha menjaga kejujuran sedikit demi sedikit hingga kejujuran itu menjadi akhlak kita, sebagaimana ini terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud yang lalu.
Ash Shadiq (orang yang jujur) akan membuat manusia mempercayai perkataannya, juga hubungan muamalahnya dan akan mengangkat derajatnya di mata manusia dan di sisi Allah sang pencipta. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).” (At Taubah: 119)
[Dikutip dari buku terjemahan “Wahai Muslimah dengarlah nasehatku.” Terbitan Pustaka Sumayyah. Halaman: 44-49]
Oleh: Ummu ‘Abdillah Al Wadi’iyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar