Soal:
Apakah zakat profesi memang disyariatkan dalam agama
Islam?
Dijawab oleh Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad
As-Sarbini Al-Makassari
Para ulama menyatakan suatu kaidah yang agung hasil
kesimpulan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa pada asalnya tidak dibenarkan
menetapkan disyariatkannya suatu perkara dalam agama yang mulia ini kecuali
berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاؤُاْ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ
مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللهُ
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang
mensyariatkan bagi mereka suatu perkara dalam agama ini tanpa izin dari Allah?” (Asy-Syuura: 21)
Jadi pada asalnya tidak ada kewajiban atas seseorang
untuk membayar zakat dari suatu harta yang dimilikinya kecuali ada dalil yang
menetapkannya. Berdasarkan hal ini jika yang dimaksud dengan zakat profesi
bahwa setiap profesi yang ditekuni oleh seseorang terkena kewajiban zakat,
dalam arti uang yang dihasilkan darinya berapapun jumlahnya, mencapai nishab1
atau tidak, dan apakah uang tersebut mencapai haul atau tidak2 wajib
dikeluarkan zakatnya, maka ini adalah pendapat yang batil. Tidak ada dalil
dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menetapkannya. Tidak pula ijma’ umat
menyepakatinya. Bahkan tidak ada qiyas yang menunjukkannya.
Adapun jika yang dimaksud dengan zakat profesi adalah
zakat yang harus dikeluarkan dari uang yang dihasilkan dan dikumpulkan dari
profesi tertentu, dengan syarat mencapai nishab dan telah sempurna haul
yang harus dilewatinya, ini adalah pendapat yang benar, yang memiliki dalil dan
difatwakan oleh para ulama besar yang diakui keilmuannya dan dijadikan rujukan
oleh umat Islam sedunia pada abad ini dalam urusan agama mereka . hakikatnya
ini adalah zakat uang yang telah kami bahas pada Rubrik Problema Anda
edisi yang lalu3.
Al-Lajnah Ad-Da’imah menyebutkan dalam Fatawa
Al-Lajnah (9/281): “Tidak samar lagi bahwa di antara jenis harta yang
terkena kewajiban zakat adalah emas (dinar) dan perak (dirham)4, dan bahwasanya
di antara syarat wajibnya zakat pada harta tersebut adalah sempurnanya haul.
Berdasarkan hal ini, uang yang dikumpulkan dari gaji hasil profesi wajib
dikeluarkan zakatnya di akhir tahun apabila jumlahnya mencapai nishab,
atau mencapai nishab bersama uang yang lain yang dimilikinya dan telah
sempurna haul yang harus dilewatinya. Zakat uang gaji hasil profesi
tidak boleh diqiyaskan (disamakan) dengan zakat hasil tanaman (biji-bijian dan
buah-buahan yang terkena zakat) yang wajib dikeluarkan zakatnya saat dihasilkan
(dipanen). Karena persyaratan sempurnanya haul yang harus dilewati
oleh nishab yang ada pada zakat emas (dinar) dan perak (dirham) adalah
persyaratan yang tetap berdasarkan nash. Dengan demikian, uang yang
terkumpul dari gaji hasil profesi tidaklah terkena kewajiban zakat kecuali di
akhir tahun saat sempurnanya haul.”
Al-‘Allamah Al-‘Utsaimin dalam Majmu’ Rasa’il (18/178)
berkata: “Tentang zakat gaji bulanan hasil profesi. Apabila gaji bulanan
yang diterima oleh seseorang setiap bulannya dinafkahkan untuk memenuhi
hajatnya sehingga tidak ada yang tersisa sampai bulan berikutnya, maka tidak
ada zakatnya. Karena di antara syarat wajibnya zakat pada suatu harta
(uang) adalah sempurnanya haul yang harus dilewati oleh nishab
harta (uang) itu. Jika seseorang menyimpan uangnya, misalnya setengah gajinya
dinafkahkan dan setengahnya disimpan5, maka wajib atasnya untuk
mengeluarkan zakat harta (uang) yang disimpannya setiap kali sempurna haulnya.”
Penjelasan imam ahli fiqih abad ini serta ulama
lainnya yang tergabung dalam Komite Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang kami
nukilkan di atas sudah cukup bagi siapapun yang mencari kebenaran dalam agama
ini. Wallahul muwaffiq. Selanjutnya untuk pedoman umum dalam perhitungan
zakat uang yang dikumpulkan oleh seseorang dari gaji profesinya setiap bulan,
berikut ini kami nukilkan fatwa Al-Lajnah dari Al-‘Utsaimin.
Al-Lajnah menyebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah
(9/280): “Barangsiapa memiliki sejumlah uang yang merupakan nishab,
kemudian dia memiliki tambahan uang berikutnya pada waktu yang berbeda-beda dan
bukan hasil keuntungan uang yang pertama kali dimilikinya, melainkan tambahan
uang sendiri yang tidak ada kaitannya dengan uang sebelumnya. Seperti tambahan
uang dari gaji profesinya setiap bulan, atau dari uang warisan yang
didapatkannya, atau dari pemberian yang diterimanya, atau dari sewa tanah yang
disewakannya. Jika dia bertekad untuk mengambil haknya secara utuh dan tidak
ingin memberikan kepada fakir miskin lebih dari kadar yang wajib didapatkan
oleh mereka dari zakat hartanya, hendaklah dia membuat daftar/catatan khusus
untuk menghitung secara khusus haul setiap jumlah uang yang
ditambahkannya kepada simpanan sebelumnya mulai dari hari dia memiliki tambahan
tersebut, agar dia mengeluarkan zakat setiap tambahan itu setiap kali haul
masing-masingnya sempurna. Jika dia tidak ingin terbebani lalu memilih untuk
berlapang dada dan sukarela mengutamakan kepentingan fakir miskin serta
golongan lainnya yang berhak mendapatkan zakat dari kepentingan pribadinya,
maka hendaklah dia mengeluarkan zakat uang yang dimilikinya secara total di
akhir haul nishab uang yang pertama kali dimilikinya. Hal ini lebih
besar pahalanya, lebih mengangkat derajatnya, lebih melegakan dirinya dan lebih
memerhatikan hak fakir miskin serta golongan lainnya yang berhak mendapatkan
zakat. Adapun kadar zakat yang lebih dari yang semestinya untuk dikeluarkan
pada tahun itu dianggap itu dianggap sebagai zakat yang disegerakan
pengeluarannya setahun sebelum waktunya tiba6.”
Al-‘Utsaimin rahimahullaahu dalam Majmu’
Rasa’il (18/178) setelah menerangkan syarat wajibnya zakat uang yang
dikumpulkan dari hasil profesi -yang telah kami nukilkan di atas-: “Namun
memberatkan bagi seseorang untuk mencatat setiap tambahan uang yang disisihkan
dari gajinya dan ditambahkan pada simpanan sebelumnya dalam rangka menghitung haulnya
sendiri-sendiri, sehingga dia bisa mengeluarkan zakatnya pada akhir haulnya
masing-masing. Untuk mengatasi kesulitan ini hendaklah ia mengeluarkan zakat
total uang yang dimilikinya satu kali dalam setahun di akhir haul nishab
yang pertama kali dimilikinya. Misalnya jika simpanan pertamanya yang merupakan
nishab sempurna haulnya di bulan Muharram, hendaklah ia
menghitung total uang yang dimilikinya di bulan Muharram dan mengeluarkan
seluruh zakatnya. Dengan demikian zakat uang yang telah sempurna haulnya
dikeluarkan pada waktunya, dan zakat uang yang belum sempurna haulnya
disegerakan pengeluarannya setahun sebelumnya dan hal itu boleh.”
Wallahu a’lam.
Footnote:
1 Nishab adalah kadar/nilai tertentu yang
ditetapkan dalam syari’at apabila harta yang dimiliki oleh seseorang mencapai
nilai tersebut, maka harta itu terkena kewajiban zakat, (pen)
2 Haul adalah masa satu tahun yang harus
dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang sedikitpun dari nishab
sampai akhir tahun. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةً عَلَيْهِ حَتَّى
يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barangsiapa menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban
zakat pada harta itu hingga berlalu atasnya waktu satu tahun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa shahabat Nabi,
dan pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, namun gabungan seluruh riwayat
tersebut saling menguatkan sehingga merupakan hujjah. Bahkan Al-Albani
menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang shahih sehingga beliau
menshahihkan hadits ini.
Ibnu Qudamah rahimahullaahu berkata dalam Al-Mughni
(2/392): “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.” Lihat pula
Majmu Fatawa (25/14).
Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriah dan
bulan Qamariah yang jumlahnya 12 (dua belas) bulan dari Muharram sampai
Dzulhijjah. Bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah.
Lihat Al-Muhalla (no. 670), Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (9/200).
(pen)
3 Nishabnya adalah uang yang jumlahnya senilai
dengan 85 (delapan puluh lima) gram emas murni atau 595 (lima ratus sembilan
puluh lima) gram perak murni. Namun realita yang ada sekarang, harga nishab
perak jauh lebih murah dari harga nishab emas, sehingga bisa dikatakan
bahwanya adalah senilai harga 595 gram perak sebagaimana kata guru kami
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-Mar’i hafizhahullaahu. Jika nishab
yang dimiliki telah sempurna haul yang harus dilewatinya, maka di akhir
tahun wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5% dari uang tersebut.
4 Sementara uang dengan berbagai jenis mata uang yang
ada merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) sehingga zakat uang
memiliki hukum yang sama dengan zakat emas dan perak. (pen)
5 Maksudnya yang tersimpan adalah nishab,
karena apabila uang yang disisihkan dari gajinya untuk disimpan pada bulan
pertama tidak mencapai nishab maka belum ada perhitungan haul.
Namun pada bulan berikutnya dia menyisihkan lagi sebagian dari gajinya untuk
disimpan dan jumlahnya bersama simpanan sebelumnya mencapai nishab
-misalnya- saat itulah perhitungan haulnya dimulai. (pen)
6 Menyegerakan pengeluaran zakat setahun sebelum
waktunya (sebelum sempurna haulnya) boleh menurut jumhur
(mayoritas) ulama berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallaahu ‘anhu:
أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ
أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ
“Bahwasanya ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib bertanya
kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan
pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
salam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukanhal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi,
Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan yang lainnya)
Abu Dawud, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Albani
merajihkan bahwa hadits ini mursal namun Al-Albani menghasankannya dalam
Irwa’ Al-Ghalil (no. 187) dengan syawahid (penguat-penguat) yang
ada.
Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang belum
mencapai nishab, hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan ulama.
Karena nishab merupakan sebab (faktor) sehingga suatu harta terkena
kewajiban zakat. Jika sebab (faktor) tersebut belum ada, maka pada asalnya
harta itu tidak terkena kewajiban zakat. (Al-Mughni 2/395-396, Al-Majmu’
6/113-114, Asy-Syarhul Mumthi’ 6/213/217)
Oleh: Al-Ustadz Abu ‘Abdillah Muhammad As-Sarbini Al-Makassari
(Dinukil dari Majalah Asy Syariah, vol. iv/no.
46/1429H/2008M, judul: Zakat Profesi, hal. 65-67, untuk http://almuslimah.co.nr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar