Alhamdullillahilladzi hamdan
katsiron thoyyiban mubaarokan fiih kamaa yuhibbu Robbunaa wa yardho. Allahumma
sholli ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.
Itulah yang sering kita lihat pada
umat Islam saat ini. Mereka memang gemar melakukan puasa sunnah (yaitu puasa
Senin-Kamis dan lainnya), namun semata-mata hanya untuk menyehatkan badan
sebagaimana saran dari beberapa kalangan. Ada juga yang gemar sekali
bersedekah, namun dengan tujuan untuk memperlancar rizki dan karir. Begitu pula
ada yang rajin bangun di tengah malam untuk bertahajud, namun tujuannya
hanyalah ingin menguatkan badan. Semua yang dilakukan memang suatu amalan yang
baik. Tetapi niat di dalam hati senyatanya tidak ikhlash karena Allah, namun
hanya ingin mendapatkan tujuan-tujuan duniawi semata. Kalau memang demikian,
mereka bisa termasuk orang-orang yang tercela sebagaimana disebutkan dalam ayat
berikut.
Dengan Amalan Sholeh Hanya Mengharap
Keuntungan Dunia, Sungguh Akan Sangat Merugi
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ
الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا
لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا
النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16)
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11] : 15-16)
Yang dimaksud dengan “Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia” yaitu barangsiapa yang menginginkan
kenikmatan dunia dengan melakukan amalan akhirat.
Yang dimaksud “perhiasan dunia”
adalah harta dan anak.
Mereka yang beramal seperti ini: “niscaya
Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna
dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan”. Maksudnya adalah mereka akan
diberikan dunia yang mereka inginkan. Ini semua diberikan bukan karena mereka
telah berbuat baik, namun semata-mata akan membuat terlena dan terjerumus dalam
kebinasaan karena rusaknya amalan mereka. Dan juga mereka tidak akan pernah
yubkhosuun, yaitu dunia yang diberikan kepada mereka tidak akan dikurangi. Ini
berarti mereka akan diberikan dunia yang mereka cari seutuhnya (sempurna).
Dunia, mungkin saja mereka peroleh.
Dengan banyak melakukan amalan sholeh, boleh jadi seseorang akan bertambah
sehat, rizki semakin lancar dan karir terus meningkat. Dan itu senyatanya yang
mereka peroleh dan Allah pun tidak akan mengurangi hal tersebut sesuai yang Dia
tetapkan. Namun apa yang mereka peroleh di akhirat?
Lihatlah firman Allah selanjutnya
(yang artinya), “Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka”. Inilah akibat orang yang hanya beribadah untuk mendapat
tujuan dunia saja. Mereka memang di dunia akan mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Adapun di akhirat, mereka tidak akan memperoleh pahala karena mereka
dalam beramal tidak menginginkan akhirat. Ingatlah, balasan akhirat hanya akan
diperoleh oleh orang yang mengharapkannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَنْ أَرَادَ الْآَخِرَةَ وَسَعَى
لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)
“Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS. Al Israa’: 19)
Orang-orang seperti ini juga
dikatakan: “lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia
dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. Ini semua dikarenakan
mereka dahulu di dunia beramal tidak ikhlas untuk mengharapkan wajah Allah
sehingga ketika di akhirat, sia-sialah amalan mereka. (Lihat penjelasan ayat
ini di I’aanatul Mustafid, 2/92-93)
Sungguh betapa banyak orang yang
melaksanakan shalat malam, puasa sunnah dan banyak sedekah, namun itu semua
dilakukan hanya bertujuan untuk menggapai kekayaan dunia, memperlancar rizki,
umur panjang, dan lain sebagainya.
Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhu-
menafsirkan surat Hud ayat 15-16. Beliau –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
“Sesungguhnya orang yang riya’,
mereka hanya ingin memperoleh balasan kebaikan yang telah mereka lakukan, namun
mereka minta segera dibalas di dunia.”
Ibnu ‘Abbas juga mengatakan,
“Barangsiapa yang melakukan amalan
puasa, shalat atau shalat malam namun hanya ingin mengharapkan dunia, maka
balasan dari Allah: “Allah akan memberikan baginya dunia yang dia cari-cari.
Namun amalannya akan sia-sia (lenyap) di akhirat nanti karena mereka hanya
ingin mencari dunia. Di akhirat, mereka juga akan termasuk orang-orang yang
merugi”.”
Perkataan yang sama dengan Ibnu
‘Abbas ini juga dikatakan oleh Mujahid, Adh Dhohak dan selainnya.
Qotadah mengatakan,
“Barangsiapa yang dunia adalah
tujuannya, dunia yang selalu dia cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah
akan memberikan kebaikan kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak
akan memperoleh kebaikan apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang
mukmin yang ikhlash dalam beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah
Allah), dia akan mendapatkan balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan
di akhirat.”
(Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
tafsir surat Hud ayat 15-16)
Hanya Beramal Untuk Menggapai Dunia,
Tidak Akan Dapat Satu Bagianpun Di Akhirat
Kenapa seseorang beribadah dan beramal
hanya ingin menggapai dunia? Jika seseorang beramal untuk mencari dunia, maka
dia memang akan diberi. Jika shalat tahajud, puasa senin-kamis yang dia lakukan
hanya ingin meraih dunia, maka dunia memang akan dia peroleh dan tidak akan
dikurangi. Namun apa akibatnya di akhirat? Sungguh di akhirat dia akan sangat
merugi. Dia tidak akan memperoleh balasan di akhirat disebabkan amalannya yang
hanya ingin mencari-cari dunia.
Namun bagaimana dengan orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah? Di akhirat dia akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Allah Ta’ala berfirman,
Namun bagaimana dengan orang yang beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah? Di akhirat dia akan memperoleh pahala yang berlipat ganda.
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الآخِرَةِ
نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا
وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ibnu Katsir –rahimahullah-
menafsirkan ayat di atas,
“Barangsiapa yang mencari keuntungan
di akhirat, maka Kami akan menambahkan keuntungan itu baginya, yaitu Kami akan
kuatkan, beri nikmat padanya karena tujuan akhirat yang dia harapkan. Kami pun
akan menambahkan nikmat padanya dengan Kami balas setiap kebaikan dengan
sepuluh kebaikan hingga 700 kali lipat hingga kelipatan yang begitu banyak
sesuai dengan kehendak Allah. … Namun jika yang ingin dicapai adalah dunia dan
dia tidak punya keinginan menggapai akhirat sama sekali, maka balasan akhirat
tidak akan Allah beri dan dunia pun akan diberi sesuai dengan yang Allah
kehendaki. Dan jika Allah kehendaki, dunia dan akhirat sekaligus tidak akan dia
peroleh. Orang seperti ini hanya merasa senang dengan keinginannya saja, namun
barangkali akhirat dan dunia akan lenyap seluruhnya dari dirinya.”
Ats Tsauri berkata, dari Mughiroh,
dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab -radhiyallahu ‘anhu-, beliau mengatakan,
بشر هذه الأمة بالسناء والرفعة والدين
والتمكين في الأرض فمن عمل منهم عمل الآخرة للدنيا لم يكن له في الآخرة من نصيب
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)
“Umat ini diberi kabar gembira dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Al Hakim dan Al Baiaqi. Al Hakim mengatakan sanadnya shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib)
Terdapat pula riwayat dalam Al Baihaqi,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بشر هذه الأمة بالتيسير والسناء
والرفعة بالدين والتمكين في البلاد والنصر فمن عمل منهم بعمل الآخرة للدنيا فليس
له في الآخرة من نصيب
“Umat ini diberi kabar gembira
dengan kemudahan, kedudukan dan kemulian dengan agama dan kekuatan di muka
bumi, juga akan diberi pertolongan. Barangsiapa yang melakukan amalan akhirat
untuk mencari dunia, maka dia tidak akan memperoleh satu bagian pun di akhirat.
”
Tanda Seseorang Beramal Untuk Tujuan
Dunia
Al Bukhari membawakan hadits dalam
Bab “Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”.
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ ،
وَالدِّرْهَمِ ، وَالْقَطِيفَةِ ، وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ
لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ
“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari). Qothifah adalah sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)
“Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari). Qothifah adalah sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)
Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham
dan pakaian yang mewah? Karena mereka yang disebutkan dalam hadits tersebut
beramal untuk menggapai harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah.
Demikianlah sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun
orang yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah
yang disebut hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa mereka
beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia
disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika
diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun tidak ridho (murka),
dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini juga yang dikatakan kepada
orang-orang munafik sebagaimana dalam firman Allah,
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي
الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا
هُمْ يَسْخَطُونَ
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah: 58)
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah: 58)
Itulah tanda seseorang dalam beramal
hanya ingin menggapai tujuan dunia. Jika dia diberi kenikmatan dunia, dia
ridho. Namun, jika kenikmatan dunia tersebut tidak kunjung datang, dia akan
murka dan marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah sebulan saya
merutinkan shalat malam, namun rizki dan usaha belum juga lancar.” Inilah
tanda orang yang selalu berharap dunia dengan amalan sholehnya.
Adapun seorang mukmin, jika diberi
nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu
sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia.
Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan mendapatkan dunia sama sekali.
Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho jika mendapatkan dunia sedikit
pun. Mereka pun tidak mencari-cari dunia karena yang selalu mereka harapkan
adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk senantiasa komitmen dalam
amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap pada kehidupan akhirat. Mereka
sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan balasan terhadap kebaikan yang
mereka lakukan di dunia.
Akan tetapi, barangsiapa diberi
dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap
dunia, maka dia boleh mengambilnya. Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits
dari ‘Umar bin Khottob,
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يُعْطِينِى الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى.
حَتَّى أَعْطَانِى مَرَّةً مَالاً فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُ وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا
الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لاَ فَلاَ
تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ ».
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, “Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sekali lagi, begitulah orang
beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak, amalan sholehnya tidak akan
pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Adapun orang yang selalu mengharap dunia dengan amalan sholehnya, dia akan
bersikap berbeda. Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak
diberi, dia akan murka dan marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia.
Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya
padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang
seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian.
Beragamnya Niat dan Amalan Untuk
Menggapai Dunia
Niat seseorang ketika beramal ada
beberapa macam:
[Pertama] Jika niatnya adalah
murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya
keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini
di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula
bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin
walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri
akhirat.
[Kedua] Jika niat seseorang
adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah
niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan
mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena
keikhlasannya tidak sempurna.
[Ketiga] Adapun jika
seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah
semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil
untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan
harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang
mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil
upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena
semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat
untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan
adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan
beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)
Adapun amalan yang seseorang lakukan
untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
[Pertama] Amalan yang tidak
disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut
untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan
termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan
shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat
malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan
karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat
Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
[Kedua] Amalan yang
disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan
berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى
رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan
semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak
mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam
kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan
dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa
dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah
menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini. (Lihat At Tamhid Li Syarh
Kitabit Tauhid)
Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk
Meraih Dunia dengan Riya’
Syaikh Muhammad At Tamimi
–rahimahullah- membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk
kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”. Beliau –rahimahullah-
membawakannya setelah membahas riya’. Kenapa demikian?
Riya’ dan beribadah untuk mencari
dunia, keduanya sama-sama adalah amalan hati dan terlihat begitu samar karena
tidak nampak di hadapan orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada
selain Allah Ta’ala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik
khofi (syirik yang samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah beramal
agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal
untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa,
sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan balasan
segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.
Tetapi perlu diketahui, para ulama
mengatakan bahwa amalan seseorang untuk mencari dunia lebih nampak hasilnya
daripada riya’. Alasannya, kalau seseorang melakukan amalan dengan riya’, maka
jelas dia tidak mendapatkan apa-apa. Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan
peroleh kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan
yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama
bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini memiliki
kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.
Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja
dalam Beramal?
Sebenarnya jika seseorang memurnikan
amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah dan ikhlash kepada-Nya niscaya
dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang
mencari-cari dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam beramal,
memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan
saja. Ingatlah ini … !!
Semoga sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ
جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ
الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ
فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا
إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 2465. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat penjelasan hadits ini di Tuhfatul Ahwadzi, 7/139)
Marilah –saudaraku-, kita ikhlashkan
selalu niat kita ketika kita beramal. Murnikanlah semua amalan hanya untuk
menggapai ridho Allah. Janganlah niatkan setiap amalanmu hanya untuk meraih
kenikmatan dunia semata. Ikhlaskanlah amalan tersebut pada Allah, niscaya dunia
juga akan engkau raih. Yakinlah hal ini …!!
Semoga Allah selalu memperbaiki
aqidah dan setiap amalan kaum muslimin. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah
kepada mereka ke jalan yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa
shohbihi wa sallam.
Rujukan:
1. Al Qoulus Sadiid Syarh Kitab At
Tauhid, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, Wizarotusy syu’un Al
Islamiyyah wal Awqof wad Da’wah wal Irsyad-Al Mamlakah Al ‘Arobiyah As
Su’udiyah.
2. I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
3. At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At Tauhid.
4. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin Nasyr wat Tauzi’.
5. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
2. I’aanatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan.
3. At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid, Sholeh bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh, Daar At Tauhid.
4. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi, Tahqiq: Saami bin Muhammad Salamah, Dar Thobi’ah Lin Nasyr wat Tauzi’.
5. Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jaami’it Tirmidzi, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuriy Abul ‘Alaa, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut.
****
(http://rumaysho.wordpress.com)
(http://rumaysho.wordpress.com)
Alhamdulillahirobbal alamin.sukron atas ilmunya,sngt bermanfaat sekali buat saya,semoga Allah ridha n membalas kebaikan antum,
BalasHapus