Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Minggu, 21 Agustus 2011

Menghajikan Orang Yang Telah Meninggal


Majalah An Nashihah Pertanyaan mana yang haq; boleh atau tidak boleh menghajikan orang mati? Bagaimana tuntunannya?

Jawab:

Asy Syaikh Abu Usamah Abdullah bin ‘Abdurrahim Al-Bukhari pada sore 5 syawal 1425 H bertepatan 17/11/2004 menjawab sebagai berikut:“Para ulama telah berbicara dalam masalah ini dan mereka berkata bahwa boleh menghajikan orang telah meninggal dgn syarat orang yg telah melakukan haji utk dirinya sendiri sebagaimana dalam hadits Syubrumah tatkala Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki bertalbiyah “Labbaikalla ‘an Syubrumah” maka Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Apakah engkau telah haji utk dirimu?” “Belum” Jawabnya. Maka beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Berhajilah utk dirimu kemudian berhjilah engkau utk Syubrumah.”Maka apabila seseorang telah berhaji utk dirinya boleh baginya dan bukan wajib apalagi bila yg dihajikan itu adl ayahnya ibu atau karib kerabatnya yg meninggal dan belum mampu berhaji. Maka boleh baginya dan tidak ada apa-apa terhadapnya.”Dalam pertanyaan pertama pada fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 2200 yg ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afify dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud disebutkan nash sebagai berikut;Soal: Apakah boleh seorang muslim yg telah menunaikan kewajiban hajinya utk menghajikan salah seorang kerabatnya yg berada di negeri Cina krn ia tidak mampu sampai utk menunaikan kewajiban haji?Jawab: Boleh bagi seorang muslim yg telah menunaikan kewajiban haji terhadap dirinya utk menghajikan orang lain berdasarkan hadits-hadits yg shohih yg menjelaskan tentang itu bila orang lain itu tidak mampu krn umur yg sudah tua penyakit yg tidak diharapkan sembuhnya atau krn ia telah meninggal. Adapun kalau yg akan dihajikan tidak mampu karena suatu perkara yg diharapkan hilangnya seperti sakit yg diharapkan sembuhnya atau suatu alasan berkaitan dnegan keadaan politik atau tiada keamanan dalam perjalanan dan selainnya maka tidak sah utk dihajikan.Baca: Fatawa Al-Lajnah Ad Da’imah 11/51Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah:“Boleh bagi seorang perempuan utk menghajikan perempuan lain menurut kesepakatan para ‘ulama baik itu putrinya atau selainnya. Dan demikian pula boleh seorang perempuan menghajikan seorang lelaki menurut imam Empat* dan jumhur Ulama sebagaimana Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan perempuan Al Juts’amiyah utk menghajikan ayahnya tatkala ia berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji kepada hamba-hamba-Nya telah mendapati ayahku dan beliau adl orang sudah tua“ maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya utk menghajikan ayahnya. Namun hajinya seorang lelaki lbh sempurna dari seorang perempuan.”Dan Syaikh Sholih Al-Fauzan ditanya sebagai berikut:“Apakah boleh seorang ibu utk menghajikan anaknya ketika ia telah meninggal sementara ia sendiri sudah menunaikan ibadah haji?”Jawab: “Apabila ia telah menunaikan kewajiban haji utk dirinya sebelum itu maka tidaklah mengapa ia menghajikan anaknya yg telah meninggal apalagi kalau belum haji.”Baca: Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Sholih Al-Fauzan jilid 3 no.294.Referensi: Majalah An Nashihah Volume 09 Th. 1/1426 H./2005 M. Hal. 5* Yaitu Imam Syafi’I Imam Malik Imam Hanafi Imam Ahmad bin Hambal-admin

sumber : file chm Darus Salaf 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar