Mayoritas ulama berpendapat dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’:
مَنْ ذَرَعَهُ اَلْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ, وَمَنْ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ اَلْقَضَاءُ
“Barangsiapa
yang didesak oleh muntah maka tidak ada kewajiban qadha` atasnya. Dan
barangsiapa yang sengaja membuat dirinya muntah maka wajib qadha` atasnya.” (HR Ahmad: 2/498, Abu
Daud no. 2380, An-Nasai dalam Al-Kubra: 2/215, At-Tirmizi no. 720, dan Ibnu
Majah no. 1676)
Sanad hadits ini lahiriahnya shahih, akan tetapi sejumlah ulama menyatakan hadits ini memiliki cacat, di antara mereka: Ahmad, Al-Bukhari, Ad-Darimi, Abu Ali Ath-Thusi dan selainnya. Lihat At-Talkhish dan Nashbur Rayah.
Sanad hadits ini lahiriahnya shahih, akan tetapi sejumlah ulama menyatakan hadits ini memiliki cacat, di antara mereka: Ahmad, Al-Bukhari, Ad-Darimi, Abu Ali Ath-Thusi dan selainnya. Lihat At-Talkhish dan Nashbur Rayah.
Mereka juga berdalil dengan hadits Tsauban bahwa Rasulullah muntah lalu beliau berbuka. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi)
Hadits ini dishahihkan oleh Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad. Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafazh, “Beliau muntah dengan sengaja,” akan tetapi riwayatnya syadz.
Dalil yang lain adalah hadits Fadhalah bin Ubaid dia berkata, “Rasulullah r pernah berpuasa lalu beliau muntah kemudian beliau berbuka. Maka hal itu ditanyakan kepada beliau, dan beliau bersabda, “Sesungguhnya saya tadi muntah.” (HR. Ahmad no. 23963 dengan sanad yang hasan)
Ini adalah pendapat Ibnu Umar dari kalangan sahabat, dan ini yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.
Pendapat kedua adalah pendapat Abu Hurairah, Ikrimah, Rabiah dan salah satu riwayat dari Malik. Mereka menyatakan bahwa muntah tidak membatalkan puasa, baik dia sengaja melakukannya maupun tidak. Mereka berdalil dengan hukum asal puasa.
Mereka menjawab dalil pendapat pertama sebagai berikut:
1. Telah berlalu bahwa hadits Abu Hurairah telah dihukumi cacat oleh sejumlah ulama.
2. Hadits Tsauban tidak menunjukkan adanya perbedaan hukum antara yang sengaja muntah dengan yang tidak. Karenanya Ath-Thahawi berkata, “Tidak ada dalam hadits ini keterangan bahwa muntah itu yang membuat beliau berbuka, karena yang tersebut di situ hanya bahwa beliau muntah lalu beliau berbuka setelah itu.”
At-Tirmizi menyebutkan dari sebagian ulama bahwa makna hadits ini adalah, “Beliau muntah lalu menjadi lemah sehingga beliau berbuka.”
3. Jawaban atas hadits Fadhalah sama seperti jawaban kepada hadits Tsauban.
Kami katakan: Tatkala hadits Tsauban dan hadits Fadhalah hanya menunjukkan bahwa Nabi muntah lalu beliau berbuka, maka kalau memang muntah yang membatalkan puasa beliau, maka kita tanyakan kepada mayoritas ulama: Apakah Nabi muntah dengan sengaja atau tidak, karena dalam hadits tersebut tidak ada keterangan?
Jika mereka menjawab kalau nabi muntah dengan tidak sengaja, maka kita katakan: Seharusnya Nabi tidak perlu berbuka –berdasarkan mazhab kalian-, akan tetapi kenapa beliau berbuka kalau memang muntah adalah pembatal puasa?
Jika mereka menjawab kalau beliau muntah dengan sengaja, maka kita katakan: Subhanallah, apakah beliau sengaja membatalkan puasanya dengan sengaja muntah? Karena muntah dengan sengaja adalah pembatal puasa menurut kalian.
Karenanya yang benar adalah pendapat yang kedua dan bahwa yang menyebabkan beliau berbuka puasa adalah karena lemah setelah muntah sebagaimana yang dinukil oleh At-Tirmizi dari sebagian ulama. wallahu a’lam.
[Al-Fath no. 1938, An-Nail: 4/204, Al-Majmu’: 6/320, As-Subul: 4/140, dan Kitab Ash-Shiyam: 1/395-403]
Sebagai
penutup dari pembahasan pembatal puasa, baik yang disepakati maupun yang
diperselisihkan, maka kami katakan:
Barangsiapa yang membatalkan puasanya dengan sengaja maka dia wajib untuk menahan diri dari pembatal puasa pada sisa harinya.
An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ (6/331), “Jika seorang lelaki atau wanita berbuka di siang hari ramadhan dengan jima’ tanpa ada uzur, maka dia harus menahan diri (dari pembatal puasa) pada sisa siangnya, tanpa ada perbedaan pendapat, karena dia telah berbuka tanpa uzur.”
Ijma’ atas hal ini juga dinukil oleh Imam Ibnu Qudamah -rahimahullah- dalam Al-Mughni (3/33). Ini yang dipastikan oleh Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (20/518) dan beliau berdalil dengan ayat, “Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai ke malam hari.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Barangsiapa yang membatalkan puasanya dengan sengaja maka dia wajib untuk menahan diri dari pembatal puasa pada sisa harinya.
An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’ (6/331), “Jika seorang lelaki atau wanita berbuka di siang hari ramadhan dengan jima’ tanpa ada uzur, maka dia harus menahan diri (dari pembatal puasa) pada sisa siangnya, tanpa ada perbedaan pendapat, karena dia telah berbuka tanpa uzur.”
Ijma’ atas hal ini juga dinukil oleh Imam Ibnu Qudamah -rahimahullah- dalam Al-Mughni (3/33). Ini yang dipastikan oleh Ibnu Taimiah dalam Al-Fatawa (20/518) dan beliau berdalil dengan ayat, “Kemudian sempurnakanlah puasa kalian sampai ke malam hari.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar