Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Sabtu, 13 Agustus 2011

Penyemangat di Bulan Romadhon


Mengenal romadhon lebih dekat 
Bulan Ramadhan mempunyai nilai khusus di hati Ummat Islam berhubung di bulan tersebut ada nilai ibadah yang sangat tinggi. Semangat Ummat Islam di seluruh dunia bangkit untuk beribadah kepada Allah ketika bulan ini datang. Oleh karena itu, Ummat Islam harus mengerti apa keterangan yang pasti dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits tentang apa keutamaan Ramadhan
di sisi Allah yang bisa diraih oleh Ummat Islam. Sebab untuk mengamalkan agama Allah itu menurut Islam haruslah di atas dasar ilmu dan tidak boleh ikut-ikutan. Dan ilmu yang pasti dalam pandangan Islam tentang berbagai keutamaan yang ada di sisi Allah Ta`ala adalah hanya yang datang dari Al-Qur’an dan Hadits Shahih saja.
BEBERAPA KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN
Berikut ini kami berupaya menyajikan kepada segenap pembaca yang budiman berbagai berita dari Al-Qur’an dan Hadits Shahih tentang keutamaan Ramadhan dan keutamaan amalan ibadah yang dilakukan di bulan itu. Agar kiranya dengan penyajian ini para pembaca yang budiman akan semakin mencintai bulan Ramadhan dan lebih semangat dalam menyambut dan meramaikan bulan tersebut dengan berlomba-lomba beramal shalih karena Allah Ta`ala semata.
Allah Ta`ala menegaskan tentang keutamaan bulan Ramadhan dalam firman-Nya di surat Al-Baqarah 185:
“Bulan Ramadhan adalah bulan yang diturunkan padanya Al-Qur’an sebagai petunjuk kepada sekalian manusia dan sebagai keterangan dari petunjuk dan furqan. Maka barangsiapa dari kalian menyaksikan bulan tersebut, maka hendaklah dia berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Maka keutamaan yang paling utama bagi bulan Ramadhan ialah dipilihnya bulan tersebut oleh Allah sebagai bulan diturunkannya Al-Qur’an. Al-Hafidh Ibnu Katsir dalam Tafsir beliau menerangkan ayat ini dengan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (pada hadits no: 17109) dengan sanadnya yang bersambung sampai pada Watsilah bin Al-Asqa’ radliyallahu `anhu. Beliau memberitakan bahwa Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
“Diturunkan Shuhuf Ibrahim pada malam pertama di bulan Ramadhan, dan diturunkannya Taurat pada enam hari pertama bulan Ramadhan, dan Injil diturunkan pada hari ke tiga belas bulan Ramadhan, dan diturunkannya Al-Qur’an pada hari ke dua puluh empat dari bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya)
Ditambahkan pula oleh Ibnu Katsir beberapa riwayat dengan sanad yang bersambung sampai kepada Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma bahwa beliau memberitakan: “Al-Qur’an diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam yang mulia (lailatul qadar, yaitu malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, pent). Dengan sekaligus seluruhnya diturunkan ke langit dunia, kemudian setelah itu Allah berbicara dengan Nabi-Nya apa yang dikehendaki-Nya (dengan menurunkan ayat demi ayat dari Al-Qur’an itu kepada NabiNya, pent). Dan orang musyrik tidaklah datang mendebat Nabi-Nya kecuali Allah selalu menurunkan ayat Al-Qur’an untuk membantahnya.”
Al-Imam Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali An-Nasa’i dalam Sunannya hadits ke 2106 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Telah datang kepada kalian Ramadhan, ia adalah bulan yang diberkahi oleh Allah. Padanya Allah `Azza wa Jalla mewajibkan atas kalian untuk berpuasa. Dalam bulan ini dibuka pintu-pintu langit dan ditutup padanya pintu neraka jahannam dan dibelenggu pada bulan ini segala tipu daya syaithan. Bagi Allah pada bulan ini ada satu malam yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan. Barangsiapa yang diharamkan dari kebaikan bulan ini, maka sungguh dia diharamkan dari segala kebaikan.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunannya juz 3 hal. 434 – 435 no. 2105 dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu)
Dalam riwayat lain dari An-Nasa’i juga Abu Hurairah radliyallahu `anhu meriwayatkan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dengan lafadh:
“Apabila masuk bulan Ramadhan, dibukalah oleh Allah pintu-pintu rahmat Allah.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunannya juz 3 hal. 434 no. hadits 2104 dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu)
Dalam riwayat yang lainnya lagi An-Nasa’i, dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Apabila masuk bulan Ramadhan, dibukalah pintu sorga.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunannya juz 3 hal. 434 no. hadits 2103 dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu)
Jadi dibukanya pintu-pintu langit itu adalah untuk turunnya rahmat Allah kepada kaum Mukminin dan dengan rahmat Allah itu pula orang Mukmin masuk sorga. Rahmat Allah bagi kaum Mukminin itu dalam bentuk ampunan Allah Ta`ala terhadap dosa-dosa kaum Mukminin di masa lalunya. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabda beliau:
“Antara satu shalat dengan shalat yang lima waktu adalah pengampunan terhadap dosa yang terjadi diantaranya, antara ibadah Shalat Jum’at dengan Jum’at berikutnya adalah pengampunan terhadap dosa yang terjadi di antaranya, antara bulan Ramadhan dengan bulan Ramadhan berikutnya adalah pengampunan terhadap dosa yang terjadi diantaranya, bila dijauhi dosa-dosa besar.” (HR. Muslim dalam Shahihnya juz 1 hal. 218 hadits ke 233 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu).
Pengampunan Allah Ta`ala terhadap dosa-dosa kaum Mukminin di bulan Ramadhan adalah sebagai rahmat Allah untuk mereka, dikarenakan kaum Mukminin menjalankan kewajiban puasa Ramadhan. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena mengimani bahwa puasa di bulan itu wajib dan karena mengharapkan pahala dari sisi Allah, maka dia diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 38 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu).
Dalam riwayat lain Al-Bukhari meriwayatkan dari Abi Hurairah juga bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang menunaikan qiyamullail (yakni shalat tarawih) dengan iman bahwa shalat itu dicintai oleh Allah dan mengharapkan pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya di masa lalu.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fathul Bari, jilid 1 hal. 92 hadits ke 37).
Maka dengan demikian, pengampunan Allah terhadap dosa-dosa kaum Mukminin di bulan Ramadhan itu di samping karena mereka menjalankan kewajiban puasa pada siang harinya, juga karena menjalankan amalan sunnah yaitu menunaikan shalat tarawih pada malam harinya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mendapatkan keutamaan bulan Ramadhan ini, adalah orang-orang yang melalaikan kewajiban puasa bulan Ramadhan dan juga melalaikan shalat tarawih. Orang-orang yang demikian inilah yang dikatakan telah diharamkan untuk mendapatkan keutamaan tersebut dan dengan sebab itu mereka diharamkan dari segala keutamaan Allah di bulan yang lainnya.
Bulan Ramadhan adalah bulan penggandaan pahala amalan shalih setiap Mukmin, hal ini telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam:
“Demi yang diriku ada di tangan-Nya, sungguh bau tak sedap yang keluar dari mulut orang yang sedang berpuasa itu di sisi Allah lebih wangi dari baunya minyak wangi misik. Allah berfirman: Orang berpuasa itu meninggalkan syahwatnya dan makanannya dan minumannya karena Aku. Maka amalan-amalan puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Setiap amalan baik Aku balas dengan sepuluh kali lipat pahalanya sampai tujuratus kali lipat, kecuali puasa. Karena puasa itu adalah untukKu dan Aku sendiri yang akan memberi ganjarannya.” (HR. Malik bin Anas Al-Ashbahi dalam Muwattha’nya no. 603, lihat At-Tamhid juz 7 no. 468 dari Abu Hurairah radliyallahu `anhu).
Al-Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah menjelaskan dalam At-Tamhid jilid 7 halaman 471 sebagai berikut: “Maknanya, wallahu a’lam, bahwa puasa itu tidaklah tampak dari amalan anak Adam dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Hanyalah sesungguhnya ia dinamakan puasa karena niatan yang ada di lipatan hati pelakunya yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Dan bukanlah puasa itu dari amalan yang nampak sehingga bisa dicatat sebagai amalan shalih oleh Malaikat pemelihara catatan amal, sebagaimana biasanya amalan dzikir, shalat, shadaqah dan segenap amalan-amalan yang lainnya. Karena yang dinamakan puasa itu menurut Syari’ah Islamiyah tidaklah hanya dalam bentuk amalan menahan makan dan minum (dan juga menahan syahwat kepada istri –pent). Karena setiap orang yang menahan diri dari makan dan minum, apabila tidak berniat dengan amalan itu untuk wajah Allah, dan tidak pula berkeinginan dalam menjalankan kewajiban puasa itu atau amalan sunnahnya itu untuk Allah, maka tidaklah orang yang mempunyai amalan demikian ini dinamakan beribadah puasa dalam pandangan Syari’ah-Nya. Oleh karena inilah kami telah katakan di atas, bahwa amalan ibadah puasa itu tidak bisa dideteksi secara lengkap oleh Malaikat pencatat amalan dan tidak dicatat oleh mereka, akan tetapi Allah sendiri yang tahu tentangnya dan Dia sendiri yang akan mengganjarnya dengan melipatgandakan pahala bagi hamba-Nya itu sekehendak-Nya.”
Di samping puasa itu merupakan amalan penghapus dosa dan melipatgandakan pahala pelakunya dengan tak terhingga melebihi lipatan ganjaran amalan shalih lainnya, juga puasa adalah tameng bagi kaum Mukminin. Hal ini telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabda beliau berikut ini:
“Puasa itu adalah tameng, maka janganlah orang yang berpuasa itu berkata dengan perkataan yang keji dan jangan pula berbuat dengan perbuatan orang bodoh. Dan bila ada orang yang mengajak berkelahi dengannya atau mencaci-makinya, maka hendaknya dia mengatakan: aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya lihat Fathul Bari juz 4 hal. 103 hadits ke 1894 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu).
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menerangkan hadits ini dengan menukil berbagai riwayat. Maka dari keterangan beliau itu dapat disimpulkan berikut ini:
Puasa itu adalah tameng yang membentengi pelakunya dari bahaya api neraka. Juga ia adalah tameng dari berbagai godaan amalan maksiat, karena puasa itu semakin memperlemah hawa nafsu. Sedangkan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh orang yang berpuasa itu akan menggerogoti fungsi puasanya sebagai tameng baginya dari api neraka. Kemudian Ibnu Hajar Al-Asqalani menambahkan: “Kesimpulannya ialah, bila orang yang berpuasa itu mampu menahan dirinya dari berbagai godaan syahwat di dunia, maka dia dengan amalan itu akan menjadi dinding baginya dari api neraka di akhirat.”
Bulan Ramadhan juga adalah bulan yang sangat diutamakan padanya membaca Al-Qur’an. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagaimana diberitakan oleh Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya sebagai berikut. Ibnu Abbas radliyallahu `anhu telah mengatakan: “Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam adalah orang yang paling senang berbuat kebaikan, dan beliau biasanya di bulan Ramadhan lebih senang lagi dalam berbuat kebaikan, dimana di bulan ini Malaikat Jibril menjumpainya. Jibril `alaihis salam selalu menjumpainya setiap malam selama bulan Ramadhan sampai berakhirnya bulan itu, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam kesempatan setiap malam itu memperdengarkan bacaan Al-Qur’an beliau kepada Jibril (untuk dikoreksinya). Dan apabila Jibril menjumpainya, beliau sangat bersemangat beramal shalih sampai seakan cepatnya perjalanan angin yang berhembus.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya hadits no. 1902 dan Muslim dalam Shahihnya hadits no. 2308).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan apa yang bisa diambil pelajaran dari hadits ini: “Di dalam hadits ini ada beberapa kegunaan, sebagiannya adalah keterangan tentang besarnya semangat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam berbuat kebaikan. Juga pelajaran yang berguna dari hadits ini adalah disunnahkannya memperbanyak berbuat baik di bulan Ramadhan. Kemudian juga bahwa bertambahnya semangat berbuat baik itu akan tumbuh kalau berjumpa orang-orang shalih dan beberapa saat setelah perjumpaan itu karena terpengaruh dengan perjumpaan itu. Dan pelajaran lain yang bisa ditarik adalah disunnahkan untuk saling membacakan Al-Qur’an di bulan Ramadhan itu.”.
KEUTAMAAN LAILATUL QADAR
Di samping berbagai keutamaan yang disebutkan di atas, ada pula keutamaan yang paling istimewa bagi kaum Mukminin di bulan Ramadhan. Yaitu satu malam yang penuh kemuliaan bahkan merupakan puncak kemuliaan bulan Ramadhan dan puncak kemuliaan segala hari di sepanjang tahun. Malam tersebut dinamakan Lailatul Qadar. Allah Ta`ala berfirman tentang Lailatul Qadar:
“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an ini pada malam Lailatul Qadar. Dan tahukah kamu, apa itu Lailatul Qadar. Lailatul Qadar itu nilainya lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu para Malaikat Allah turun berduyun-duyun didampingi ruh yang mulia dengan izin Tuhan mereka untuk mengerjakan berbagai urusan. Malam itu sejahtera sampai terbitnya fajar.” (Al-Qadar: 1 – 5).
Malam Lailatul Qadar ini dinamakan juga oleh Allah Ta`ala sebagai malam yang diberkahi oleh-Nya. Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami turunkan Al-Qur’an itu di malam yang diberkahi.” (Ad-Dukhan: 3)
Dan Lailatul Qadar itu yang telah dipastikan bahwa padanya diturunkan Al-Qur’an, terjadinya telah dipastikan oleh Allah Ta`ala dalam bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya:
“Bulan Ramadhan itu adalah bulan yang turun padanya Al-Qur’an.” (Al-Baqarah: 185)
Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menunaikan shalat malam di malam Lailatul Qadar, dengan iman (yakni yakin kepada berita tentang keutamaan malam itu) dan mengharapkan pahala dan keutamaannya dari sisi Allah, maka dia diampuni dosa-dosanya di masa lalu.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fathul Bari juz 4 hal. 255 no hadits ke 2014 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu).
Adapun waktunya Lailatul Qadar telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam:
“Carilah Lailatul Qadar pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya, lihat Fathul Bari juz 4 hal. 259 hadits no. 2020 dari A’isyah radliyallahu `anha).
Demi meraih keutamaan yang Allah sediakan bagi kaum Mukminin pada Lailatul Qadar, Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam memberikan contoh teladan bagi ummatnya. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 2024 dari Aisyah radliyallahu `anha: “Biasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bila memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau mengencangkan ikatan sarung beliau (yakni menjauhi istri-istrinya dari bermesraan karena sibuk dengan ibadah di hari-hari itu) dan menghidupkan waktu malamnya (yakni tidak tidur semalam suntuk untuk sibuk dengan aktifitas ibadah dan dzikir), dan beliau juga membangunkan istri-istri beliau.”
Demikian Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam memberikan contoh bagaimana kegigihan perjuangan mencapai keutamaan Lailatul Qadar. Para Shahabat radliyallahu `anhum menceritakan beberapa peristiwa Lailatul Qadar yang terjadi di jaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam masih hidup. Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya (hadits ke 2016) meriwayatkan beberapa peristiwa tersebut sebagai berikut:
“Abu Sa’ied radliyallahu `anhu menceritakan: Pernah kami beri’tikaf bersama Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam pada mulanya sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan (yakni tgl. 11 s/d 20 Ramadhan). Maka beliau keluar dari masjid pada tanggal 20 Ramadhan pagi. Setelah itu beliau berkhutbah di hadapan kami, dan beliau menyatakan: “Sesungguhnya telah diperlihatkan kepadaku kapan Lailatul Qadar itu terjadi, kemudian aku dijadikan lupa tentang berita itu. Oleh karena itu, upayakanlah untuk bertemu dengannya pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan pada malam-malam tanggal ganjilnya. Dan sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku, bahwa tanda malam Lailatul Qadar itu adalah aku sujud di air dan tanah (yakni di lumpur). Maka barangsiapa ingin beri’tikaf bersama Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, maka hendaklah ia kembali ke masjid.” Kamipun kembali masuk masjid dan waktu itu kami tidak melihat sedikit pun awan di langit. Ketika malamnya, datanglah awan tebal dan hujan pun turun sehingga curahan air hujan mengalir dari atap masjid, sedangkan atap masjid waktu itu dari anyaman daun pohon korma. Shalatpun ditunaikan di masjid waktu itu dan aku melihat Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sujud di air dan tanah, sehingga aku melihat bekas lumpur itu di dahi beliau.” Dalam riwayat Muslim hadits ke 1167, Abu Sa’ied Al-Khudri menceritakan: “Hujan turun kepada kami pada malam ke dua puluh satu Ramadhan, sehingga airpun bercucuran dari sela-sela atap masjid membasahi tempat Rasulullah biasa shalat padanya. Maka aku melihat beliau ketika selesai menunaikan shalat shubuh berjama’ah dengan kami, wajah beliau berlumuran dengan lumpur.”
Demikian riwayat Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya, sehingga kita dapat menyimpulkan dari riwayat ini bahwa Lailatul Qadar itu pernah terjadi di jaman Rasulillah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam pada malam tanggal 21 Ramadhan. Dan tandanya ialah turun hujan pada malam harinya sehingga masjid Nabawi becek dengan air hujan dan waktu itu masjid berlantaikan tanah pasir. Sehingga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan para Shahabatnya menunaikan shalat subuh dengan bersujud di atas lumpur.
Kemudian di tahun yang lainnya diriwayatkan pula oleh Shahabat Nabi yang bernama Abdullah bin Unais, bahwa Lailatul Qadar terjadi pada malam 23 Ramadhan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya hadits nomor 1168 sebagai berikut:
“Abdullah bin Unais radliyallahu `anhu menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam telah bersabda: “Telah ditunjukkan kepadaku kapan terjadinya Lailatul Qadar kemudian aku dijadikan lupa tentang berita itu. Dan telah ditunjukkan kepadaku tandanya itu ialah di waktu shalat subuhnya aku sujud di air dan tanah”. Maka turunlah hujan pada kami pada malam dua puluh tiga bulan Ramadhan. Sehingga kami melihat Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam di saat usai menunaikan shalat subuh bersama kami, dahi dan hidung beliau berlumuran lumpur.” Imam Muslim melengkapi riwayat ini dengan penegasan Buser bin Sa’ied yang meriwayatkan hadits ini dari Abdullah bin Unais. Buser menegaskan: “Dan memang Abdullah bin Unais menyatakan bahwa peristiwa itu pada malam dua puluh tiga.” Demikian Imam Muslim meriwayatkan.
Juga telah diriwayatkan bahwa pernah terjadi di tahun yang lainnya di jaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam masih hidup, peristiwa Lailatul Qadar pada malam dua puluh empat Ramadhan. Riwayat tersebut telah diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari jilid 4 halaman 262 dalam menerangkan hadits Shahih Al-Bukhari nomor 2022. Beliau menerangkan: “Dan telah diriwayatkan oleh Ahmad dari riwayat Simak bin Harb dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa beliau menceritakan: Aku didatangi seseorang dalam tidurku (yakni bermimpi –pent), maka dikatakan kepadaku dalam mimpiku itu: “Malam ini adalah Lailatul Qadar.” Maka akupun terbangun dari tidurku. Aku masih merasa mengantuk sehingga akupun berpegangan pada sebagian telapak kaki Rasulullah yang saat itu sedang dalam keadaan shalat. Aku berusaha melihat malam itu, dan ternyata malam itu adalah malam ke dua puluh empat dari Ramadhan.” Dalam riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya dari sanad Abdul Wahhab dari Ayyub dari Khalid dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, bahwa beliau menyatakan: “Carilah Lailatul Qadar itu pada malam dua puluh empat.”
Juga telah diberitakan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari riwayat Zirru bin Hubaisy bahwa beliau menceritakan: “Aku pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab, aku katakan kepadanya: “Sesungguhnya saudaramu yaitu Ibnu Mas’ud telah berkata: Barangsiapa yang melakukan qiyamul lail sepanjang tahun, dia akan berjumpa dengan Lailatul Qadar.”
Menanggapi berita dari Ibnu Mas’ud tersebut, Ubai bin Ka’ab berkata: “Semoga Allah merahmatinya. Yang dimaksud oleh beliau adalah agar orang jangan menjagakan hari tertentu dan mengabaikan hari yang lainnya. Adapun sesungguhnya dia telah mengetahui bahwa malam yang mulia itu terjadi di bulan Ramadhan. Dan juga dia telah tahu bahwa malam itu terdapat di sepuluh malam terakhir, yaitu malam ke dua puluh tujuh.”
Kemudian Ubai bin Ka’ab bersumpah dengan tanpa pengecualian, bahwa malam yang mulia itu terjadi di malam ke dua puluh tujuh. Maka aku pun bertanya kepada beliau: “Dengan dasar apa engkau katakan demikian itu wahai Aba Mundzir?”
Beliau menjawab: “Dengan tanda-tanda yang telah diberitakan kepada kami oleh Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam, yaitu mata hari pada keesokan harinya terbit dengan tidak memancarkan sinar yang kuat.”
Imam Muslim juga meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu: Kami pernah membincangkan Lailatul Qadar di hadapan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, maka beliau bersabda: “Siapakah dari kalian yang ingat suatu malam di bulan Ramadhan di mana bulan nampak seperti separuh nampan yang bulat?” Dalam menjelaskan hadits ini, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan: Al-Qadhi berkata: “Di dalam hadits ini ada isyarat bahwa Lailatul Qadar itu terjadi di hari-hari terakhir bulan Ramadhan. Karena bulan tidaklah tampak separuh kecuali di hari-hari terakhir. Wallahu a`lam.”
Demikianlah berbagai peristiwa Lailatul Qadar yang terjadi di jaman Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Datangnya malam yang mulia itu berpindah-pindah dari tahun ke tahun di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Dan datangnya malam yang mulia itu dengan tanda-tanda yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Di antara tanda-tandanya ialah: langit terang tidak berawan dan kemudian menjelang subuh turun hujan, bulan tampak separuh bulatan dan mata hari keesokan harinya terbit dengan sinar yang lemah. Barangsiapa menemui tanda-tanda tersebut di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, maka bangunlah dari tidur dan bangunkan pula anggota keluarganya untuk menunaikan shalat malam, doa dan mohon ampunan kepada Allah serta berdzikir dan membaca Al-Qur’an sampai terbitnya fajar. Dituntunkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bagi mereka yang menemui malam yang mulia ini untuk banyak-banyak mengucapkan kalimat: “Allahumma innaka `afuwwun tuhibbul afwa fa’fu `anna (Ya Allah Engkau Maha Pemaaf, Engkau senang memaafkan hamba-Mu, maka maafkanlah kami Ya Allah).” Demikian At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Sunannya dari A’isyah radliyallahu `anha.
PENUTUP
Demikianlah keistimewaan Ramadhan yang kiranya tergambar bagi pembaca yang budiman dalam tulisan ini. Agar menjadi pendorong semangat menyambut bulan yang mulia ini dengan berbagai amalan taat dan ibadah yang diikhlaskan untuk Allah semata dan dengan tuntunan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Semoga Allah menjadikan kita semua sebagai orang yang sukses dan bahagia dunia dan akherat. Amin ya mujibas sa’ilin. Selamat jumpa di medan juang meraih keutamaan Ramadhan.



1). Diharamkan dari kebaikan itu maksudnya terhalang untuk mencapai keutamaan amalan yang shalih karena bengkoknya hati dan karena tidak mendapatkan hidayah dan taufiq dari Allah sehingga tidak bersemangat untuk beramal shalih. Demikian diterangkan dalam riwayat Ibnu Hibban dalam Shahihnya dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Jibril `alaihis salam telah datang kepadaku dan mengatakan: < “amin” hai Muhammad>>, maka akupun menyatakan “amin”.” (At-Targhib wat Tarhib, Al-Imam Al-Hafidh Al-Mundziri hadits ke 1501).
2). At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar jilid 7 halaman 468, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut cet. Ke 2 Th. 1424 H / 2003 M.
3). Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid 4 halaman 104, Al-Maktabah As-Salafiyah, tanpa tahun.
4). Saling membacakan Al-Qur’an itu maksudnya ialah diadakannya majlis untuk membaca Al-Qur’an, dimana salah seorang dari majlis itu membaca Al-Qur’an sedangkan yang lainnya mendengarkan bacaan itu sambil menyimak bacaan itu. Sehingga bila terjadi kesalahan bacaan, yang lainnya menegur kesalahan tersebut, sebagaimana majlis itu dilakukan oleh Rasulullah shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan Jibril `alaihis salam.
5). Al-Minhaj fi Syarhi Shahih Muslim, Al-Imam Muhyiddin Abi Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, halaman 1426, keterangan terhadap hadits ke 2308. Baitul Afkar Ad-Dauliyah, tanpa tahun.
6). Beri’tikaf itu maknanya ialah tinggal di masjid wakaf yang biasa ditunaikan shalat Jum’at padanya dengan niat ibadah karena Allah semata dan tidak keluar darinya sampai selesainya ibadah I’tikaf tersebut. Dan ibadah ini dilakukan pada waktu menjelang masuknya matahari di waktu maghrib memasuki malam 21 Ramadhan dan terus tinggal di masjid itu sampai pada malam hari raya atau ketika keluar ke lapangan untuk menunaikan shalat Iedul Fitri.
7). Penulis mendapati dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal hadits ke 2302 dengan sanadnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar tersebut di atas, dimana dalam riwayat tersebut Ibnu Abbas menyatakan bahwa malam yang beliau mimpi itu adalah malam ke dua puluh tiga dan bukan malam dua puluh empat. Demikian dalam Musnad Ahmad yang ada pada kami cetakan th. 2004 oleh penerbitnya Baitul Afkar Ad-Dauliyah Beirut Libanon. Dalam hal ini bisa jadi kesalahan itu pada Musnad Imam Ahmad yang ada pada cetakan yang ada di tangan kami dan itu adalah kemungkinan besar. Dan bisa juga kesalahan pada manuskrip Musnad Ahmad yang ada pada Ibnu Hajar, dan yang demikian lebih kecil kemungkinannya. Dan lebih kecil lagi kemungkinannya dari itu adalah kalau kesalahan itu pada Ibnu Hajar dalam menukil riwayat tersebut dari Musnad Ahmad. Penulis pernah mendengar As-Syaikh Al-`Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah menasehatkan, bahwa bila terjadi perbedaan antara apa yang dinukil oleh para Ulama’ terdahulu dengan apa yang kita dapati dalam kitab-kitab cetakan masa kini, maka yang dijadikan pegangan adalah apa yang dinukil oleh para Imam Ahlil Hadits terdahulu. Karena mereka lebih teliti dan lebih hati-hati daripada para ahli yang mencetak kitab-kitab itu sekarang.
8). Yakni saudara seagama sesama Shahabat Nabi shalallahu `alaihi wa alihi wa sallam wa radliyallahu `anhum ajma`in.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar