Yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin adalah mazhab
Al-Hanabilah yang menyatakan hal itu tidak mempengaruhi puasa selama darahnya
tidak tertelan.
Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.12077 dan Fatawa Ibnu Utsaimin (1/514)
Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no.12077 dan Fatawa Ibnu Utsaimin (1/514)
Celak dan semisal dengannya obat tetes mata.
Mazhab Asy-Syafi’i dan dinukil oleh Ibnul Mundzir dari Atha`, Al-Hasan, An-Nakha’i, Al-Auzai, Abu Hanifah dan Abu Tsaur adalah bahwa dia boleh, tidak makruh dan tidak membatalkan puasa, baik dia mendapati rasanya di tenggorokannya maupun tidak.
Mereka berdalil dengan beberapa hadits yang lemah, di antaranya adalah hadits Aisyah dia berkata:
Mazhab Asy-Syafi’i dan dinukil oleh Ibnul Mundzir dari Atha`, Al-Hasan, An-Nakha’i, Al-Auzai, Abu Hanifah dan Abu Tsaur adalah bahwa dia boleh, tidak makruh dan tidak membatalkan puasa, baik dia mendapati rasanya di tenggorokannya maupun tidak.
Mereka berdalil dengan beberapa hadits yang lemah, di antaranya adalah hadits Aisyah dia berkata:
أَنَّ اَلنَّبِيَّ r اِكْتَحَلَ فِي
رَمَضَانَ, وَهُوَ
صَائِمٌ
“Sesungguhnya
Nabi r bercelak dalam bulan ramadhan dalam keadaan beliau berpuasa.” (HR. Ibnu Majah no.
1678)
Sanadnya lemah sekali karena di dalamnya ada rawi yang bernama Said bin Abdil Jabbar Az-Zubaidi. Dinyatakan pendusta oleh Ibnu Jarir dan dinyatakan lemah haditsnya oleh An-Nasai. Lihat Nashbur Rayah (2/456)
At-Tirmizi berkata -sebagaimana dalam Bulughul Maram-, “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dalam masalah ini.”
Mazhab kedua menyatakan hal itu dimakruhkan. Ini adalah mazhab Ahmad, Malik, Ats-Tsauri, dan Ishaq. Hanya saja Imam Malik dan Ahmad menyatakan batalnya puasa kalau celaknya sampai ke tenggorokan.
Mereka berdalil dengan hadits, “Berbuka itu dengan apa yang masuk, bukan dengan apa yang keluar.”
Di dalam sanad hadits ini ada Al-Fadhl bin Mukhtar, dan dia adalah rawi yang sangat lemah haditsnya, dan juga ada Syu’bah maula Ibnu Abbas yang merupakan rawi yang lemah haditsnya. Ibnu Adi berkata, “Asal hadits ini adalah mauquf, itu yang dikuatkan oleh Al-Baihaqi.”
Mazhab yang ketiga menyatakan bahwa itu membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibnu Syubrumah dan Ibnu Abi Laila. Kedua mazhab terakhir juga berdalil dengan hadits Ma’bad bin Haudzah dari Nabi r bahwa beliau ditanya tentang itsmid (bahan celak) maka beliau bersabda, “Hendaknya orang yang berpuasa menjauhinya.”
Hadits ini dari jalan Abdurrahman bin An-Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah dari ayahnya dari kakeknya. Abdurrahman adalah rawi yang lemah haditsnya sementara An-Nu’man adalah rawi yang majhul. Hadits ini juga diingkari oleh Ibnu Main, Ahmad, juga Ibnu Taimiah dan Ibnu Abdil Hadi.
Yang kuat adalah mazhab yang pertama karena tidak adanya dalil shahih yang menyatakan batalnya sehingga kembali ke hukum asal. Adapun dalil bahwa itsmid bisa masuk ke tenggorokan, maka hal ini dibantah oleh Ash-Shan’ani bahwa pernyataan itu tidak benar. Lihat As-Subul (4/136)
[Kitabus Shiyam: 1/389, Al-Mughni: 3/16, Al-Majmu’: 6/348-349, An-Nail: 4/205-206, dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/382]
Sanadnya lemah sekali karena di dalamnya ada rawi yang bernama Said bin Abdil Jabbar Az-Zubaidi. Dinyatakan pendusta oleh Ibnu Jarir dan dinyatakan lemah haditsnya oleh An-Nasai. Lihat Nashbur Rayah (2/456)
At-Tirmizi berkata -sebagaimana dalam Bulughul Maram-, “Tidak ada satu hadits pun yang shahih dalam masalah ini.”
Mazhab kedua menyatakan hal itu dimakruhkan. Ini adalah mazhab Ahmad, Malik, Ats-Tsauri, dan Ishaq. Hanya saja Imam Malik dan Ahmad menyatakan batalnya puasa kalau celaknya sampai ke tenggorokan.
Mereka berdalil dengan hadits, “Berbuka itu dengan apa yang masuk, bukan dengan apa yang keluar.”
Di dalam sanad hadits ini ada Al-Fadhl bin Mukhtar, dan dia adalah rawi yang sangat lemah haditsnya, dan juga ada Syu’bah maula Ibnu Abbas yang merupakan rawi yang lemah haditsnya. Ibnu Adi berkata, “Asal hadits ini adalah mauquf, itu yang dikuatkan oleh Al-Baihaqi.”
Mazhab yang ketiga menyatakan bahwa itu membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibnu Syubrumah dan Ibnu Abi Laila. Kedua mazhab terakhir juga berdalil dengan hadits Ma’bad bin Haudzah dari Nabi r bahwa beliau ditanya tentang itsmid (bahan celak) maka beliau bersabda, “Hendaknya orang yang berpuasa menjauhinya.”
Hadits ini dari jalan Abdurrahman bin An-Nu’man bin Ma’bad bin Haudzah dari ayahnya dari kakeknya. Abdurrahman adalah rawi yang lemah haditsnya sementara An-Nu’man adalah rawi yang majhul. Hadits ini juga diingkari oleh Ibnu Main, Ahmad, juga Ibnu Taimiah dan Ibnu Abdil Hadi.
Yang kuat adalah mazhab yang pertama karena tidak adanya dalil shahih yang menyatakan batalnya sehingga kembali ke hukum asal. Adapun dalil bahwa itsmid bisa masuk ke tenggorokan, maka hal ini dibantah oleh Ash-Shan’ani bahwa pernyataan itu tidak benar. Lihat As-Subul (4/136)
[Kitabus Shiyam: 1/389, Al-Mughni: 3/16, Al-Majmu’: 6/348-349, An-Nail: 4/205-206, dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/382]
Obat tetes telinga.
Mazhab Al-Hanabilah dan mayoritas Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa dia membatalkan puasa karena cairannya sampai ke otak. Sementara sebagian Asy-Syafi’iyah seperti: Abu Ali As-Sinji, Al-Qadhi Husain, Al-Faurani dan yang benarkan oleh Al-Ghazali bahwa dia tidak membatalkan puasa.
Ini adalah mazhab Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, serta Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin dari ulama belakangan. Mereka mengatakan bahwa apa yang masuk ke telinga tidak sampai ke tenggorokan dan lambung.
[Al-Majmu’: 6/314-315, Al-Mughni: 3/16, Al-Muhalla: 4/348, dan Fatawa Ramadhan: 2/509-511]
Mazhab Al-Hanabilah dan mayoritas Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa dia membatalkan puasa karena cairannya sampai ke otak. Sementara sebagian Asy-Syafi’iyah seperti: Abu Ali As-Sinji, Al-Qadhi Husain, Al-Faurani dan yang benarkan oleh Al-Ghazali bahwa dia tidak membatalkan puasa.
Ini adalah mazhab Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah, serta Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin dari ulama belakangan. Mereka mengatakan bahwa apa yang masuk ke telinga tidak sampai ke tenggorokan dan lambung.
[Al-Majmu’: 6/314-315, Al-Mughni: 3/16, Al-Muhalla: 4/348, dan Fatawa Ramadhan: 2/509-511]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar