Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Selasa, 30 Agustus 2011

Dengan apakah engkau hendak memahami al-qur’an dan as-sunnah?

Muqaddimah

Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya.
Namun kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kaum muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya.

Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kita tidak boleh meyelisihi mereka?
Jawabannya adalah para sahabat Nabi (Ridwanullåh ‘alaihim jamiy’an). Para sahabat (Radhiyallåhu ta’ala ‘anhum ajma’in) itulah orang-orang yang paling paham tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka. [1]
Memahami dan Menafsirkan Nash Berdasarkan Pemahaman Para Shahabat [2]
Para Sahabat (Ridwanullåh ‘alaihim jamiy’an) adalah pendukung-pendukung Rasulullah (shållallåhu ‘alaihi wa sallam), merekalah yang paling memahami risalahnya.
Dalam hal ini Rasulullah (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) bersabda:
مَا مِنْ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّا كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ
Tidak ada seorang nabipun sebelumku yang diutus oleh Allah kepada satu umat, kecuali pada umatnya itu ada pendukung-pendukung dan Sahabat-Shåhabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya
ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لَا يُؤْمَرُونَ
Kemudian datang setelah mereka orang-orang yang mengatakan apa yang mereka tidak lakukan dan melakukan apa yang tidak diperintahkan.
فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
Siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, dialah Mu’min.
وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
Siapa yang memerangi mereka dengan lidahnya, dialah Mu’min.
وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ
Dan siapa yang memerangi mereka dengan hatinya, dialah Mu’min.
وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Tidak ada iman setelah itu walau sebesar biji sawi pun.” [HR. Muslim] [3]
Para Sahabat selalu bertanya kepada Rasulullah (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) tentang segala masalah yang mereka hadapi. Seperti yang diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa setiap kali mendengar sesuatu yang tidak diketahuinya, langsung bertanya kepada Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) sampai ia tahu. [HR. Bukhåriy] [4]
Dengan ini bisa diketahui bahwa apa saja masalah yang terlintas dalam benak seseorang, yang belum ditanyakan oleh para Sahabat di saat mereka membutuhkannya dan sebab-sebabnya ada pada mereka, ketahuilah bahwa yang demikian itu adalah tipu daya setan.
Yang wajib bagi da’i adalah mengambil sikap sebagaimana sikap para Sahabat, dan hendaknya ia mengetahui bahwa Allåh (Subhanahu Wa Ta’ala) tidak membiarkan sesuatu yang sangat kita butuhkan karena lupa atau terlupakan.
Keutamaan Sahabat

1. Ibnu Mas’ud (Rådhiyallåhu ‘anhumaa) berkata:
“Sesungguhnya Allah melihat hati seluruh manusia, maka didapatkan bahwa hati Muhammad (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) adalah yang paling baik, maka dipilihnya dan dibebani dengan risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati seluruh manusia setelah hati Muhammad (shållallåhu ‘alaihi wa sallam), maka Dia mendapatkan hati para Sahabatnya adalah hati yang terbaik, lalu mereka dijadikan pembela-pembela nabi-Nya dan berperang di atas agama-Nya.” [Atsar Shåhih, R. Ahmad] [5]
2. Firman Allåh (Subhanahu Wa Ta’ala):
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Saba: 6)
Qatadah berkata:
“Mereka itu adalah para Sahabat Nabi.” [6]
Memahami Nash sesuai Pemahaman Shåhabat (Ridwanullåh ‘alaihim jamiy’an)
Pertama, Dalil dari Al-Qur’an
Firman Allåh (Subhanahu Wa Ta’ala):
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً
“Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Q.S. Al-Baqarah: 143)
Kata “الوسط” berarti orang-orang yang baik nan lurus. Para Sahabat adalah umat terbaik, umat yang paling lurus dalam perkataan, perbuatan, keinginan dan niat. Dari itu mereka berhak menjadi saksi bagi para rasul atas umat mereka di hari kiamat. [7]
Kedua, Dalil dari As-Sunnah
Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) bersabda: “خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ” “Manusia yang paling baik adalah generasi (yang hidup bersama)ku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.” [HR. Bukhariy, Muslim dan Ahmad] [8]
Makna umum dalam hadits ini mengandung pengertian bahwa kebaikan mereka mencakup akidah, pemahaman dan perbuatan.
Ketiga, Dalil dari Ijma’

Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa:
“Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dari semua kelompok sepakat bahwa generasi terbaik dari umat ini –dalam perbuatan, perkataan, akidah dan keutamaan lainnya- adalah generasi pertama, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.
Dan mereka lebih utama dari generasi Khalaf dalam semua keutamaan ilmu, iman, pemikiran, agama, ucapan dan ibadah. Dan mereka lebih berhak untuk menjelaskan segala permasalahan. Hal ini tidak ditolak kecuali oleh orang yang menentang sesuatu yang harus diketahui dari agama Islam, dan orang yang disesatkan oleh Allah…” [9]
Hudzaifah Ibnul Yaman berkata:
“Bertakwalah wahai para penghafal Al-Qur’an! Ambilah jalan orang-orang sebelum kalian. Demi Allah! Seandainya kalian konsisten di atasnya, kalian pasti mendapat prestasi yang sangat tinggi. Namun seandainya kalian berpaling ke kiri dan ke kanan, niscaya kalian tersesat sejauh-jauhnya.” [10]
Imam Ahmad berkata:
“Dasar-dasar Ahlus-Sunnah adalah, berpegang teguh kepada apa yang dipegang oleh Sahabat Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam), meneladani mereka dan meninggalkan bid’ah…” [11]
Keempat, Dalil dari Akal

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Adalah mustahil bila generasi-generasi terbaik –generasi yang hidup saat Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) diutus, generasi berikutnya dan generasi berikutnya- tidak mengetahui dan tidak berpendapat dengan benar, karena ini menunjukkan dua kemungkinan: Pertama, tidak tahu dan tidak berpendapat. Kedua. meyakini seseuatu yang tidak benar dan pendapat yang berlawanan dengan kebenaran. Kedua kemungkinan itu tidak pernah terjadi.
Adapun tidak terjadinya kemungkinan pertama (tidak tahu), karena orang yang hatinya hidup, memiliki semangat mencari ilmu atau gairah tinggi untuk ibadah, maka tujuan utama dan cita-cita tertingginya adalah mencari mencapai kebenaran… Dan jiwa-jiwa yang hidup tidak mempunyai keinginan yang lebih tinggi daripada mencapai kebenaran. Satu hal yang pasti diketahui oleh fitrah manusia. Yang demikian ini merupakan keniscayaan pada orang-orang yang hidup di tiga generasi utama.
Tidak terjadinya kemungkinan kedua (bahwa mereka meyakini atau berpendapat yang tidak benar). Hal ini tidak mungkin diyakini oleh seorang Muslim yang mengetahui keadaan mereka.” [12]
Para Sahabat adalah umat yang paling paham, paling bersih hatinya, paling dalam ilmunya, tidak mengada-ada, paling benar tujuannya, paling sempurna fitrah dan kemampuannya dan paling sehat akalnya. Mereka menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui penafsirannya dan memahami semua maksud Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam). Karena orang yang mendengar, mengetahui dan melihat orang yang berbicara tidak sama dengan orang yang tidak melihat dan tidak mendengar langsung, atau mendengar melalui perantara, atau melalui banyak perantara. Maka dari itu, kembali kepada keyakinan dan ilmu para Sahabat adalah sebuah keniscayaan bagi orang yang datang setelah mereka, yang tidak memiliki keutamaan seperti mereka.
Salaf Lebih Tahu Bahasa Al-Qur’an

Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab, sejalan dengan penggunaan bahasa yang mereka ketahui dan kebiasaan dalam berkomunikasi. Orang yang menguasai bahasa Arab dengan sangat baik, pasti lebih memahami Al-Qur’an dan menguasai bahasanya. Tidak diketahui bahwa ada orang yang lebih fasih, lantang dan benar dalam berkomunikasi dengan bahasa Arab daripada orang-orang yang hidup pada tiga generasi utama. Dan yang lebih utama dari ketiga generasi itu adalah generasi Sahabat Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam).
Di Antara Sebab Kesalahan dalam Tafsir: Ketidaktahuan terhadap Bahasa Arab dan Tersebarnya ‘Ujmah (Selain Bahasa Arab).

Inilah sebab pertama munculnya bid’ah di kalangan kaum Muslimin.
Al-Auza’i berkata:
“Yang pertama kali membicarakan masalah taqdir adalah seorang laki-laki dari Irak yang bernama Susan, dia seorang Kristen yang masuk Islam, kemudian kembali kepada Kristen. Kemudian Ma’bad al-Juhani [13]
Al-Hasan berkata:
“Hati-hatilah terhadap Ma’bad! Dia orang sesat dan menyesatkan. Dia dibunuh oleh ‘Abdul-Malik dan disalib di Damaskus pada tahun 80 H. Lihat Tahdziib al-Tahdziib, Ibnu Hajar: II/225.] belajar kepadanya dan Ghailan [14] belajar kepada Ma’bad.
Asy-Syafi’i berkata:
“Tidaklah manusia menjadi bodoh dan banyak berselisih, kecuali karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan lebih senang kepada bahasa Aristoteles”.[15]
Al-Baihaqi meriwayatkan dari al-Ashmu’i:
“‘Amr bin ‘Ubaid datang kepada Abu ‘Amr bin al-’Ala, berdebat dengannya tentang siksa bagi pelaku dosa besar. ‘Amr berkata: “Wahai Abu ‘Amr! Apakah Allah akan mengingkari janji-Nya?
“Allah tidak akan mengingkari janji-Nya” Jawab Abu ‘Amr.
“Tapi Allah mengatakan seperti itu” kata ‘Amr
“Di mana?”
Lalu ‘Amr membacakan ayat yang di dalamnya ada ancaman Allah.
“Abu ‘Amr berkata: “Kamu dapatkan itu dari selain bahasa Arab. Janji (الوعد) itu tidak sama dengan ancaman (الإيعاد).”
Maksudnya, bahwa الوعد adalah untuk kebaikan seperti surga (bagi orang Mu’min) ini adalah janji, dan Allåh (Subhanahu Wa Ta’ala) tidak akan mengingkarinya. Sementara الوعيد (ancaman) adalah untuk keburukan, seperti siksa neraka. Ini tergantung kehendak Allåh (Subhanahu Wa Ta’ala), dilaksanakan atau tidaknya.
Salaf Lebih Tahu tentang Tafsir Al-Qur’an

Mengingat tingginya penguasaan para Sahabat dan Tabi’in terhadap bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an, maka pemahaman mereka lebih kuat dan penguasaan terhadap makna-maknanya lebih dalam dibandingkan dengan orang-orang yang datang setelah mereka.
Maka apa yang dipahami oleh Salaf dari Al-Qur’an adalah lebih tepat untuk dirujuk, daripada pemahaman orang-orang setelah mereka, karena mereka sepakat dalam mengimani Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan perbuatan-Nya, mengimani hari akhir dan masalah lainnya dalam akidah serta pokok-pokok agama. Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam masalah ini.
Dari itu, metode penafsiran yang paling baik adalah: tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, kemudian dengan As-Sunnah, kemudian dengan perkataan Sahabat dan Tabi’in. [16]
Bahkan sebagian ahli hadits mensejajarkan penafsiran seorang Sahabat dengan hadits marfu’ (hadits yang sampai kepada Rasulullah). [17]
Al-Hakim berkata:
“Pencari ilmu agama mengetahui bahwa penafsiran Shåhabat (Ridwanullåh ‘alaihim jamiy’an) yang menyaksikan turunnya wahyu, menurut Bukhari dan Muslim termasuk hadits yang sampai kepada Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam).” [18]
Karena diketahui bahwa mereka sangat hati-hati dalam berbicara tentang Al-Qur’an tanpa dasar ilmu.
Imam Ahmad berkata:
“Boleh merujuk penafsiran salah seorang Sahabat bila tidak ada Sahabat lain yang menyelisihinya.” [19]
Anda tidak akan menemukan satu pun kitab Salaf dan ulama Ahlus-Sunnah yang mengikuti metodenya, kecuali di dalamnya dinukil perkataan Sahabat, Tabi’in dan para imam yang mendapat pentunjuk. Dengan itu mereka menafsirkan Al-Qur’an dan berhujjah untuk membantah orang-orang yang menyelisihi mereka, dan konsisten di atasnya untuk mencapai kebenaran.
Adapun bila ditemukan perbedaan pendapat di antara mereka dalam menafsirkan beberapa kata, maka sebenarnya itu hanya perbedaan variatif (saling melengkapi), bukan perbedaan kontradiktif (saling bertentangan). Kadang-kadang mereka menerangkan sesuatu dengan bermacam-macam keterangan, kadang-kadang masing-masing menyebutkan salah satu keterangan untuk kata yang ditafsirkan itu, atau menyebut satu contoh dengan tidak bermaksud membatasi, ada pula yang menerangkan sesuatu dengan sifat yang selalu meyertainya atau dengan padanannya, dan di antara mereka ada yang langsung menyebut salah satunya, sehingga orang yang tidak tahu mengira bahwa itu adalah perbedaan, lalu menukilnya menjadi beberapa pendapat, padahal maknanya satu. [20]
Sedangkan perbedaan kontradiktif sangat sedikit. Hal itu disebabkan ketidaktahuan sebagian mereka terhadap ilmu, karena tidak semua Sahabat menerima Al-Qur’an langsung dari Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) tanpa perantara. Sebagian dari mereka mengambil dari Sahabat lain, sebagian hadir di saat yang lain tidak hadir dan mungkin sebagian lupa apa yang dihafal oleh yang lain. [21]
Beberapa Contoh Tafsir Sahabat

1. Aslam bin Yazid Abu ‘Imran berkata:
“Pada saat peperangan di Konstantinopel, ada seorang laki-laki Muhajirin yang menyerang menembus barisan musuh. Pada saat itu, Abu Ayyub al-Anshari bersama kami.
Orang-orang berkata: “ألقى بيده إلى التهلكة (Dia telah mencelakakan dirinya sendiri).
Abu Ayyub berkata:
“Kami lebih tahu tentang ayat ini. Sesungguhnya ayat ini turun kepada kami yang telah menemani Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam), berjuang bersamanya dalam berbagai pertempuran dan kami membelanya. Setelah Islam tersebar dan meraih kejayaan, kami dan beberapa orang Anshar berkumpul secara rahasia.
Kami katakan:
“Allah telah memuliakan kita dengan menemani Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) dan membelanya, sampai Islam tersebar dan banyak pengikutnya, dan kita lebih memperhatikan beliau daripada keluarga, harta dan anak-anak kita. Sekarang peperangan telah berakhir, maka marilah kita kembali kepada keluarga dan anak-anak kita.” Maka turunlah ayat ini. (Q.S. Al-Baqarah: 195)
Jadi, yang dimaksud dengan mencelakakan diri sendiri itu adalah tinggal bersama keluarga, mengurus harta dan meninggalkan jihad.”
[Shåhih, HR. Abu Dawud dan Tirmidziy] [22]
2. Suatu ketika Abu Bakr rådhiyallåhu ta’ala a’nhu berkhutbah. Setelah bertahmid ia berkata:
“Wahai manusia, sungguh kalian membaca ayat ini: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ عَلَيْكُمْ أَنفُسَكُمْ لاَ يَضُرُّكُم مَّن ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ إِلَى اللّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعاً فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.
(Q.S. Al-Maa-idah: 105)
Tapi kalian menempatkan bukan pada tempatnya. Karena aku mendengar Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) bersabda:
“Sesungguhnya bila manusia melihat kemunkaran dan tidak merubahnya, maka sudah dekat sekali hukuman Allah ditimpakan kepada mereka semua.”
[Atsar Shåhiih, Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad] [23]
Faidah Berpegang Kepada Pemahaman Salaf
Pertama – Pemahaman Salaf mencegah perpecahan dan perselisihan

Berkata ‘Umar bin al-Khaththab Rådhiyallåhu ta’ala ‘anhu (kepada Ibnu ‘Abbas rådhiyallåhu ta’ala ‘anhumaa):
“Bagaimana umat ini bisa berselisih padahal nabi mereka adalah satu dan qiblatnya satu?”
Ibnu ‘Abbas rådhiyallåhu ta’ala ‘anhumaa menjawab:
“Wahai Amirul-Mu’minin! Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan kepada kita. Kita membacanya dan mengetahui pada siapa Al-Qur’an itu turun. Kemudian akan datang setelah kita orang-orang yang membaca Al-Qur’an tetatpi tidak tahu pada siapa ia diturunkan, lalu mereka menggunakan akal mereka, dan bila mereka menggunakan akal, pastilah terjadi perselisihan, dan bila mereka berselisih, pastilah terjadi pertikaian…” [24]
Kedua – Memperhatikan pengamalan dan pemahaman Salaf terhadap dalil adalah bukti kebenaran penggunaan dalil dan memastikan kebenarannya

Karena pengamalan Salaf terhadap dalil terlepas dari kemungkinan-kemungkinan yang dikira-kira, memberikan kepastian, menerangkan yang global, menghilangkan kesulitan dan menolak kesalahpahaman. [25]
Ketiga – Tidak membicarakan apa yang tidak dibicarakan Salaf

Karena semua yang tidak dibicarakan oleh Salaf dan dibicarakan kalangan Khalaf, yang berhubungan dengan masalah akidah dan keimanan, lebih baik dan lebih tepat untuk didiamkan. Karena kalangan Khalaf hanya mendatangkan kata-kata keliru dan palsu.[26]
Keempat – Memutus sumber bid’ah dan kesesatan

Karena banyak kelompok sesat yang bergantung dengan makna yang jauh yang dimungkinkan oleh dalil, lalu mereka mengarahkannya untuk mendukung madzhab dan membela bid’ah mereka.
Padahal pemahaman Salaf terhadap dalil tersebut adalah penentu dan benar, selain pemahaman itu adalah kesesatan dan penyelewengan.
Allåh (Subhanahu Wa Ta’ala) berfirman: فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu Telah beriman kepadanya, sungguh mereka Telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”
(Q.S. Al-Baqarah: 137)
Kelima – Salaf dan Ahlus-Sunnah menggunakan kaidah ini untuk membantah para penentang
Kita sebutkan contohnya, yaitu perkataan Ibnu ‘Abbas kepada Khawarij pada saat mendebat mereka:
Ibnu ‘Abbas berkata:
“Aku datang kepada kalian dari Sahabat-sahabat Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam), di mana tidak ada satu pun di antara kalian termasuk mereka, dan aku adalah sepupu Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam). Ketahulilah bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada mereka dan merekalah yang paling tahu tafsirnya” [Atsar Shahiih, Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i] [27]
Dalam perkataan Ibnu ‘Abbas yang penting ini terdapat banyak pelajaran, di antaranya:
1. Penjelasan bahwa tidak ada seorang pun Sahabat Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam) yang termasuk ahli bid’ah.
2. Bahwa setiap kelompok atau madzhab yang di dalamnya tidak ada Sahabat, atau madzhab Sahabat, atau cara mereka dalam beragama, berarti para pendukungnya berkumpul di atas kesesatan dan membuat pondasi bid’ah.
3. Bahwa bergabung kepada Sahabat atau madzhab mereka dan memegang teguh manhaj mereka, adalah pangkal keselamatan dan kebahagiaan hakiki.
4. Bahwa apa yang dipegang oleh Sahabat kebenaran yang harus dijadikan acuan oleh semua orang, dan tidak sebaliknya.
5. Bahwa para Sahabat adalah yang paling tahu tentang tafsir Al-Qur’an, karena mereka menyaksikan saat turunnya dan melihat peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengannya, maka pemahaman dan penguasaan mereka terhadap Al-Qur’an lebih diutamakan daripada siapa pun selain mereka. [28]
Khatimah

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat adalah satu-satunya jalan keluar dan pilihan yang tepat. Lalu, siapakah di antara sekian banyak kelompok dalam Islam yang jalan hidupnya mengikuti Rasulullah shållallåhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya? Jawabannya tidak lain adalah para pengikut manhaj salaf (salafiyyun).
Jawaban tersebut disimpulkan dari dua hal berikut:
Pertama
Paham-paham sesat seperti Khawarij, Rafidhah (Syi‘ah), Murji‘ah, Jahmiyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan lain-lain muncul setelah masa kenabian dan masa Khulafa’ Rasyidin. Paham-paham sesat seperti itu bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan manhaj (memahami dan mengamalkan agama) Rasulullah dan para sahabat.
Bukankah tidak mungkin kita mengatakan bahwa jalan hidup para sahabat sama dengan jalan hidup mereka? Jelas tidak mungkin. Dengan demikian jelaslah bahwa yang benar dan perlu kita ikuti jalan hidupnya bukanlah kelompok-kelompok sesat di atas. Kalau bukan mereka itu, siapa? Jelas, Salafiyyun, yaitu orang-orang yang selalu berpegang erat dengan jalan hidup Rasulullah, para shahabatnya dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (salafush shalih).
Kedua
Tidak kita dapati kelompok-kelompok dalam Islam yang mempunyai jalan hidup seperti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat kecuali Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini tidak lain adalah Salafiyyun. Mengapa?
Perlu diketahui, sudah menjadi ciri khas kelompok-kelompok sesat bahwa mereka memiliki sifat berikut:
- Mendewakan akal/perasaan/hawa nafsu daripada harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahiih;
- Meragukan keadilan para shahabat sahabat; bahkan ada yang mengkafirkan sahabat;
- Tidak mengembalikan pemahaman terhadap al-qur’an dan as-sunnah sebagaimana para shahabat (dan orang-orang mengikuti mereka dengan baik) memahami keduanya.
Lantas Bagaimana mungkin kelompok-kelompok itu mau mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat, sementara jalan hidup mereka seperti itu? [29]
Hanya Allåh-lah yang memberi taufiq dan pertolongan bagi kita semua. Semoga Allåh menetapkan kita diatas jalan yang lurus. Aamiin.
Wallahu a‘lam bish shawab.
Artikel AbuZuhriy.com
Maraji’
- Kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 57-65; yang diterjemahkan secara bebas oleh: almatuq.wordpress.com
- “As-Salaf As-Shalih Rujukan Dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah” Majalah Fatawa, yang dinukil dari: as-Sunnah Qatar dengan beberapa perubahan dan penambahan tanpa merubah maknanya]
Catatan Kaki:
  1. Muqaddimah ini dikutip dari muqaddimah artikel: “As-Salaf As-Shalih Rujukan Dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah” Majalah Fatawa, yang dinukil dari: as-Sunnah Qatar
  2. Makalah ini merupakan terjemahan bebas (oleh almatuq.wordpress.com) dari kitab al-Mukhtashar al-Hatsîts, karya Syaikh ‘Îsâ Mâlullâh Faraj, (Kuwait: Gheras, 1428 H), hal. 57-65
  3. HR. Muslim, no. 50
  4. HR Bukhari, no. 103
  5. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad, no. 3600, dan sanadnya dishahihkan oleh Ahmad Syakir. Diriwayatkan pula oleh Hakim dalam al-Mustadrak: III/78, dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabiir: IX/8582. Sanandnya dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Dha’iifah: II/17. Sedangkan yang dianggap marfuu’ (sampai kepada Rasulullåh (shållallåhu ‘alaihi wa sallam)) dinyatakan oleh al-Albani tidak ada sumbernya
  6. Tafsiir al-Thabarii: XXII/ 44, lihat pula I’laamul-Muwaqqi’iin: I/14.
  7. Lihat Tafsiir Ibn Katsiir: I/ 276.
  8. Musnad Ahmad, no 3594, Shahiihul-Bukhaari, no. 60650 dan Shahiih Muslim, no 2533.
  9. Majmuu’ Fataawaa: IV/157-158
  10. Al-Bida’ wan-Nahyu ‘anhaa, Ibnul-Wadhdhah al-Andalusi, , hal. 10 dan Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlih: II/119
  11. Thabaqaatul-Hanaabilah: I/241 dan SyarhusSunnah al-Lalikai: I/156
  12. Majmuu’ Fataawaa: V/7-8
  13. Ma’bad al-Juhani disebut-sebut sebagai anak Abdullah bin ‘Akim, atau ‘Uwaim al-Bashri. Ibnu Sa’d menyebutnya di antara Tabi’in Bashrah. Dialah yang paling pertama berbicara tentang (tidak adanya) taqdir di Bashrah dan dia sebagai pemimpinnya. Datang ke Madinah, lalu merusak pemikiran banyak orang di sana
  14. Ghailan ad-Dimasyqi adalah seorang penulis dan ahli sastra, teman al-Harits si pembohong (nabi palsu), dan termasuk yang beriman kepadanya.
Makhul berkata kepadanya:
“Jangan duduk bersamaku”.
As-Saji berkata:
“Dia pengikut dan penyeru Qadariyyah, dilaknat oleh ‘Umar bin ‘Abdul -’Aziz. Imam Malik melarang bergaul dengannya.”
Al-Auza’i pernah berdebat dengannya dan memfatwakan halal darahnya. Ghailan dibunuh oleh Hisyam ibn ‘Abd al-Malik. Lihat Ibnu Hajar, Lisaan al-Miizaan, juz IV, hal. 424 dan Miizaan al-I’tidaal, juz III, hal. 338
  1. Naqdh al-Manthiq, hal. 15
  2. Lihat Majmuu’ Fataawaa: XIII/363-370 dan Tafsiir Ibnu Katsiir: I/12-15
  3. Lihat Ma’rifatul- ‘Uluum al-Hadiits, al-Hakim, hal. 19-21 dan al-Mustadrak: I/542
  4. Al-Mustadrak: II/258
  5. Lihat Mukhtasharus-Shawaa’iq: II/ 346 dan al-Madkhal ilaa Madzhab al-Imaam Ahmad, hal. 42
  6. Lihat Majmuu’ Fataawaa: XIII/333
  7. Lihat lebih rinci masalah ini dalam Raf’u al-Malaam ‘an Aimmat al-A’laam, Ibnu Taimiyah
  8. HR. Abu Dawud, no. 2512, Tirmidzi, no. 2972 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahiihah, no. 13
  9. AR. Ibnu Majah, no. 4005, Ahmad, no. 35 dan dishahihkan oleh al-Albani, Shahiihul-Jaami’, no. 3737
  10. Diriwayatkan oleh Abu ‘Ubaid al-Harawi, Kitaab Fadhaailil-Qur’aan wa Mu’allimuh wa Adabuh, hal. 42
  11. Lihat al-Muwaafaqaat: III/76
  12. Lihat I’tiqaad ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah, Muhammad Rasyad Khalil, hal. 238-239
  13. Diriwayatkan oleh Ahmad: I/342 dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir, Abu Dawud, no. 4037 dan an-Nasa-i: V/165
  14. Lihat Manhajul-Istidlaal ‘alaa Masaailil-I’tiqaad ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah, Utsman Ibnu ‘Ali Hasan: II/525
  15. Khatimah ini dikutip dari khatimah artikel: “As-Salaf As-Shalih Rujukan Dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah” Majalah Fatawa, yang dinukil dari: as-Sunnah Qatar dengan beberapa perubahan dan penambahan tanpa merubah maknanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar