اليَقِيْنُ secara bahasa adalah
kemantapan hati atas sesuatu. Terambil kata kata bahasa Arab يَقَنَ الْمَاءُ
فِي الْحَوْضِ : yang artinya air itu tenang dikolam
Adapun الشَكُّ secara bahasa artinya
adalah keraguan. Maksudnya adalah apabila terjadi sebuah kebimbangan antara dua
hal yang mana tidak bisa memilih dan menguatkan salah satunya, namun apabila
bisa menguatkan salah satunya maka hal itu tidak dinamakan dengan الشَكُّ
Hal ini dikarenakan bahwa sesuatu yang diketahui oleh seseorang itu bertingkat tingkat, yaitu:
- اليَقِيْنُ: keyakinan hati yang berdasarkan pada dalil
- الظَنُّ : persangkaan kuat
Contoh : apabila seseorang sedikit meragukan sesuatu apakah halal ataukah harom, namun persangkaan yang kuat dalam hatinya berdasarkan dalil yang dia ketahui bahwa hal itu haram, maka persangkaan kuat inilah yang dinamakan dengan الظَنُّ - الشَكُّ: Keraguan tanpa bisa memilih dan tidak bisa
menguatkan salah satu diantara keduanya
- الوَهْمُ : Persangkaan lemah
Contoh : Pada kasus الظَنُّ, maka kemungkinan yang lemah, yaitu halalnya perbuatan tersebut itulah yang dinamakan dengan الوَهْمُ
Adapun kalau seseorang tidak
mengetahui sama sekali , maka itulah kebodohan (الجَهْل) dan ia terbagi menjadi
dua macam :
- الجَهْلُ الْبَسِيْطُ (Kebodohan yang ringan ) yaitu
orang yang tidak tahu namun dia menyadari bahwa dirinya tidak mengetahui
- الجَهْلُ الْمُرَكَّبُ (kebodohan berat) yaitu orang
yang yang tidak tahu tapi mengaku mengetahui.
(Lihat Syarah Al Ushul min Ilmil
Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al Utsaimin hal : 69)
Jadi makna kaedah diatas adalah :
“Bahwa
sebuah perkara yang diyakini sudah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan sebuah dalil yang meyakinkan juga, dalam artian tidak bisa dihilangkan
hanya sekedar dengan sebuah keraguan, demikian juga sesuatu yang diyakini belum
terjadi maka tidak bisa dihukumi bahwa itu telah terjadi kecuali dengan sebuah
dalil yang meyakinkan juga.”
(Lihat
Al Madkhol Al Fiqhi oleh Mushthofa Az Zarqo hal : 961, Al Wajiz fi
Idlohi Qowa’id Fiqhil Kulliyah oleh DR. Al Burnu hal : 169)
Dalil
Kaedah
Kaedah ini terambil dari pemahaman
banyak ayat dan hadits Rosululloh, diantaranya :
Firman Alloh Ta’ala :
وَمَايَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلاَّ ظَنًّا إِنَّ الظَّنَّ
لاَيُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan, sesungguhnya persangkaan
itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.”
(QS.
Yunus : 36)
Hadits Rosululloh :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا
فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ
الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari
Abu Huroiroh berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang diantara
kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu dia kesulitan menetukan apakah
sudah keluar sesuatu (kentut) ataukah belum, maka jangan membatalkan sholatnya
sampai dia mendengar suara atau mencium bau.”
(HR.
Muslim : 362)
Imam Nawawi berkata:
“Hadits
ini adalah salah satu pokok islam dan sebuah kaedah yang besar dalam masalah
fiqh, yaitu bahwa segala sesuatu itu dihukumi bahwa dia tetap pada hukum
asalnya sehingga diyakini ada yang bertentangan dengannya, dan tidak
membahayakan baginya sebuah keraguan yang muncul.”
(Lihat
Syarah Shohih Muslim 4/39)
عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ
إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ
لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Dari
Abbad bin Tamim dari pamannya berkata : “Bahwasannya ada seseorang yang mengadu
kepada Rosululloh bahwa dia merasakan seakan-akan kentut dalam sholatnya. Maka
Rosululloh bersabda : “Janganlah dia batalkan sholatnya sampai dia mendengar
suara atau mencium bau.”
(HR.
Bukhori : 137, Muslim : 361)
Imam Al Khothobi berkata:
“Hadits
ini menunjukkan bahwa keraguan tidak bisa mengalahkan sesuatu yang yakin.”
(Lihat
Ma’alimus Sunan 1/129)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ
يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ
عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَإِنْ
كَانَ صَلَّى خَمْسًا شَفَعْنَ لَهُ صَلَاتَهُ وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًا
لِأَرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيمًا لِلشَّيْطَانِ
Dari
Abu Sa’id Al Khudri berkata : Rosululloh bersabda : “Apabila salah seorang
diantara kalian ragu-ragu dalam sholatnya, sehingga tidak mengetahui sudah
berapa rokaatkah dia mengerkakan sholat, maka hendaklah dia membuang keraguan
dan lakukanlah yang dia yakini kemudian dia sujud dua kali sebelum salam, kalau
ternyata dia itu sholat lima rokaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan
sholatnya, dan jikalau ternyata sholatnya sudah sempurna maka kedua sujud itu
bisa membuat jengkel setan.”
(HR.
Muslim : 571)
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا سَهَا أَحَدُكُمْ فِي
صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ وَاحِدَةً صَلَّى أَوْ ثِنْتَيْنِ فَلْيَبْنِ عَلَى
وَاحِدَةٍ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثِنْتَيْنِ صَلَّى أَوْ ثَلَاثًا فَلْيَبْنِ عَلَى
ثِنْتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَدْرِ ثَلَاثًا صَلَّى أَوْ أَرْبَعًا فَلْيَبْنِ عَلَى
ثَلَاثٍ وَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ
Dari
Abdur Rohman bin Auf berkata : “Saya mendengar Rosululloh bersabda : “Apabila
salah seorang dari kalian lupa dalam sholatnya, lalu dia tidak mengetahui
apakah dia sudah sholat satu atau dua rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru
sholat satu rokaat, juga apabila dia tidak yakin apakah sudah sholat dua
ataukah tiga rokaat, maka anggaplah bahwa dia baru sholat dua rokaat, begitu
pula apabila dia tidak mengetahui apakah dia sudah sholat tiga ataukah empat
rokaat maka anggaplah bahwa dia baru sholat tiga rokaat, lalu setelah itu
sujudlah dua kali sebelum salam.”
(HR.
Tirmidzi 398, Ibnu Majah 1209, Ahmad 1659 dengan sanad shohih)
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْهُ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدِرُوا لَهُ
Dari
Abdulloh bin Umar berkata : “ Rosululloh bersabda : “Janganlah kalian puasa
sehingga kalian melihat hilal Romadhon, juga janganlah kalian berbuka sehingga
kalian melihat hilal Syawal dan jika hilal itu tertutupi mendung maka
sempurnakanlah hitungan bulan tersebut.”
(HR.
Nasa’i 2122 dan lainnya dengan sanad shohih)
Tatkala mengomentari hadits yang
mirip dengan ini, Imam Ibnu Abdil Bar dalam At Tamhid berkata:
“Bahwa
sesuatu yang yakin itu tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keraguan, namun
hanya bisa dihilangkan dengan keyakinan juga, karena Rosululloh memerintahkan
manusia agar tidak meninggalkan sebuah keyakinan tentang keberadaan mereka
masih dalam bulan Sya’ban kecuali dengan sebuah keyakinan yang ditandai dengan
melihat hilal Romadhon atau menyempurnakan bilangan bulan tiga puluh hari.”
Kedudukan
Kaedah
Kaedah ini memiliki kedudukan yang
sangat agung dalam islam, baik yang berhubungan dengan fiqh maupun lainnya,
bahkan sebagian ulama’ menyatakan bahwa kaedah ini mencakup tiga perempat
masalah fiqh atau mungkin malah lebih. (Lihat Al Asybah wan Nadlo’ir oleh Imam
As Suyuthi hal : 51)
Imam Nawawi berkata :
“Kaedah
ini adalah adalah sebuah kaedah pokok yang mencakup semua permasalahan,dan
tidak keluar darinya kecuali beberapa masalah saja.”
(Al
Majmu’ Syarah Al Muhadzab 1/205)
Imam Ibnu Abdil Bar berkata :
“Para
ulama’ telah sepakat bahwa bahwa orang yang sudah hadats lalu dia ragu-ragu
apakah dia sudah berwudlu kembali ataukah belum ? bahwasannya keraguannya ini
tidak berfungsi sama sekali, dan dia wajib untuk berwudlu kembali. Hal ini
menunjukkan bahwa keraguan itu tidak digunakan menurut para ulama’ dan yang
dijadikan patokan adalah sesuatu yang meyakinkan. Ini adalah sebuah dasar pokok
dalam permasalahan fiqh.”
(Lihat
At Tamhid 5/18, 25, 27)
Imam Al Qorrofi berkata:
“Ini
adalah sebuah kaedah yang disepakati oleh para ulama’, bahwasanya sesuatu yang
meragukan dianggap seperti tidak ada.”
(Al
Furuq 1/111)
Imam Ibnu Najjar berkata :
“Kaedah
ini tidak hanya berlaku dalam masalah fiqh saja, bahkan bisa dijadikan dalil
bahwasanya semua perkara yang baru itu pada dasarnya dihukumi tidak ada sampai
diyakini keberadaannya, sehingga bisa kita katakan bahwa pada dasarnya orang
itu tidak diberi beban syar’i sehingga datang dalil yang berbeda dengan pokok
ini, pada dasaranya sebuah perkataan itu dibawa pada hakekat maknanya, pada
dasarnya sebuah perintah itu menunjukan pada sebuah kewajiban dan sebuah
larangan itu menunjukan pada keharaman serta masalah lainnya.”
(Lihat
Syarah al Kaukab al Munir 4/443)
Penerapan
Kaedah
Sebagaimana dikatakan sebelumnya
bahwa kaedah ini mencakup hampir semua permasalahan syar’i, maka cukup disini
disebutkan sebagainnya saja sebagai sebuah contoh :
- Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah
berwudlu, lalu ragu ragu apakah dia sudah batal ataukah belum, maka dia
tidak wajib berwudlu lagi, karena yang yakin adalah sudah berwudlu, sedang
batalnya masih diragukan.
- Dan begitu pula sebailknya, apabila orang yakin bahwa
dia telah batal wudlunya, namun dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu
kembali ataukah belum ? maka dia wajib wudlu lagi karena yang yakin
sekarang adalah batalnya wudlu.
- Barang siapa yang berjalan diperkampungan lalu
kejatuhan air dari rumah seseorang dari lantai dua, yang mana ada
kemungkinan bahwa itu adalah air najis, maka dia tidak wajib mencucinya
karena pada dasarnya air itu suci, dan asal hukum ini tidak bisa
dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan, kecuali kalau didapati sebuah
tanda-tanda kuat bahwa itu adalah air najis, misalkan bau pesing dan
lainnya.
- Barang siapa yang berjalan disebuah jalanan yang becek
atau berlumpur yang ada kemungkinan bahwa air itu najis, maka tidak wajib
mencuci kaki atau baju yang terkena air tersebut, karena pada dasarnya air
adalah suci, kecuali kalau ada bukti kuat bahwa air itu najis.
- Barang siapa yang telah sah nikahnya, lalu dia
ragu-ragu apakah sudah terjadi talak ataukah belum, maka nikahnya tetap
sah dan tidak perlu digubris terjadinya talak yang masih diragukan.
- Orang yang pergi meninggakan kampung halaman dalam
keadaan sehat namun bertahun-tahun tidak diketahui kabar beritanya, maka
dia tetap dihukumi sebagai orang hidup yang dengannya tidak boleh diwarisi
hartanya, sehingga datang berita yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal
dunia atau dihukumi oleh pihak pengadilan bahwa dia telah meninggal dunia.
- Seorang istri yang ditinggal suaminya pergi, maka dia
tetap dihukumi sebagai seorang istri, yang atas dasar ini maka dia tidak
boleh menikah lagi, kecuali kalau datang berita meyakinkan bahwa suaminya
telah meninggal dunia atau telah menceraikannya atau dia mengajukan
gugatan cerai ke pengadilan lalu pengadilan memutuskan untuk memisahkannya
hubungan pernikahan dengan suaminya yang hilang beritanya.
- Orang yang yakin bahwa dirinya telah berhutang, lalu
dia ragu-ragu apakah dia sudah melunasinya ataukah belum, maka dia wajib
melunasinya lagi kecuali kalau pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia
telah melunasi hutang atau ada bukti kuat bahwa sudah lunas, misalkan ada
dua orang saksi yang menyatakan bahwa hutangnya telah lunas.
Wallohu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar