Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc.
Islam, dalam banyak ayat dan hadits, senantiasa
mengumandangkan pentingnya ilmu sebagai landasan berucap dan beramal. Maka bisa
dibayangkan, amal tanpa ilmu hanya akan berbuah penyimpangan. Kajian berikut
berupaya menguraikan beberapa kesalahan berkait amalan di bulan Ramadhan.
Kesalahan yang dipaparkan di sini memang cukup ‘fatal’. Jika didiamkan terlebih
ditumbuhsuburkan, sangat mungkin akan mencabik-cabik kemurnian Islam,
lebih-lebih jika itu kemudian disirami semangat fanatisme golongan.
Penggunaan Hisab Dalam Menentukan Awal Hijriyyah
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan
bimbingan dalam menentukan awal bulan Hijriyyah dalam hadits-haditsnya, di
antaranya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ رَمَضَانَ فَقَالَ: لاَ
تَصُوْمُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ
غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Dari Ibnu ‘Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menjelaskan Ramadhan, maka beliau mengatakan: ‘Janganlah kalian berpuasa
sehingga kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka (berhenti puasa
dengan masuknya syawwal, -pent.) sehingga kalian melihatnya. Bila kalian
tertutup oleh awan maka hitunglah’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan hadits yang semacam ini cukup banyak, baik dalam Shahih
Al-Bukhari dan Muslim maupun yang lain.
Kata-kata فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ (Bila
kalian tertutup oleh awan maka hitunglah) menurut mayoritas ulama bermadzhab
Hanbali, ini dimaksudkan untuk membedakan antara kondisi cerah dengan berawan.
Sehingga didasarkannya hukum pada penglihatan hilal adalah ketika cuaca cerah,
adapun mendung maka memiliki hukum yang lain.
Menurut jumhur (mayoritas) ulama, artinya: “Lihatlah awal
bulan dan genapkanlah menjadi 30 (hari).”
Adapun yang menguatkan penafsiran semacam ini adalah riwayat
lain yang menegaskan apa yang sesungguhnya dimaksud. Yaitu sabda Nabi yang
telah lalu (maka sempurnakan jumlah menjadi 30) dan riwayat yang semakna. Yang
paling utama untuk menafsirkan hadits adalah dengan hadits juga. Bahkan
Ad-Daruquthni meriwayatkan (hadits) serta menshahihkannya, juga Ibnu Khuzaimah
dalam Shahih-nya dari hadits Aisyah:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَتَحَفَّظُ مِنْ شَعْبَانَ مَا لاَ يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ ثُمَّ يَصُوْمُ
لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ عَدَّ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا ثُمَّ
صَامَ
“Dahulu Rasulullah sangat menjaga Sya’ban, tidak sebagaimana
pada bulan lainnya. Kemudian beliau puasa karena ru`yah bulan Ramadhan. Jika
tertutup awan, beliau menghitung (menggenapkan) 30 hari untuk selanjutnya
berpuasa.” (Dinukil dari Fathul Bari karya Ibnu Hajar)
Oleh karenanya, penggunaan hisab bertentangan dengan Sunnah
Nabi dan bertolak belakang dengan kemudahan yang diberikan oleh Islam.
أَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ
خَيْرٌ
“Maukah kalian mengambil sesuatu yang rendah sebagai
pengganti yang lebih baik?” (Al-Baqarah: 61)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ
الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا
وَاسْتَعِيْنُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
ia berkata: ‘Sesungguhnya agama ini adalah mudah. Dan tidak seorangpun
memberat-beratkan dalam agama ini kecuali ia yang akan terkalahkan olehnya.
Maka berusahalah untuk benar, mendekatlah, gembiralah dan gunakanlah pagi dan
petang serta sedikit dari waktu malam’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabul Iman
Bab Ad-Dinu Yusrun)
Sebuah pertanyaan diajukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah atau
Dewan Fatwa dan Riset Ilmiah Saudi Arabia:
Apakah boleh bagi seorang muslim untuk mendasarkan penentuan
awal dan akhir puasa pada hisab ilmu falak, ataukah harus dengan ru`yah
(melihat) hilal?
Jawab: …Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani kita dalam
menentukan awal bulan Qomariyah dengan sesuatu yang hanya diketahui segelintir
orang, yaitu ilmu perbintangan atau hisab falak. Padahal nash-nash Al-Kitab dan
As-Sunnah yang ada telah menjelaskan, yaitu menjadikan ru`yah hilal dan
menyaksikannya sebagai tanda awal puasa kaum muslimin di bulan Ramadhan dan
berbuka dengan melihat hilal Syawwal. Demikian juga dalam menetapkan Iedul Adha
dan hari Arafah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“…Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan
hendaknya berpuasa.” (Al-Baqarah: 185)
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَهِلَّةِ قٌلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ
لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka bertanya tentang hilal-hilal. Katakanlah, itu adalah
waktu-waktu untuk manusia dan untuk haji.” (Al-Baqarah: 189)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَصُوْمُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ
فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاَثِيْنَ
“Jika kalian melihatnya, maka puasalah kalian. Jika kalian
melihatnya maka berbukalah kalian. Namun jika kalian terhalangi awan,
sempurnakanlah menjadi 30.”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikan tetapnya
(awal) puasa dengan melihat hilal bulan Ramadhan dan berbuka (mengakihiri
Ramadhan) dengan melihat hilal Syawwal. Sama sekali Nabi tidak mengaitkannya
dengan hisab bintang-bintang dan orbitnya (termasuk rembulan, -pent.). Yang
demikian ini diamalkan sejak zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, para
Khulafa` Ar-Rasyidin, empat imam, dan tiga kurun yang Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam persaksikan keutamaan dan kebaikannya.
Oleh karena itu, menetapkan bulan-bulan Qomariyyah dengan
merujuk ilmu bintang dalam memulai awal dan akhir ibadah tanpa ru`yah adalah
bid’ah, yang tidak mengandung kebaikan serta tidak ada landasannya dalam
syariat….” (Fatwa ini ditandatangani oleh Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi,
Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan. Lihat
Fatawa Ramadhan, 1/61)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Tentang
hisab, tidak boleh beramal dengannya dan bersandar padanya.” (Fatawa Ramadhan,
1/62)
Tanya: Sebagian kaum muslimin di sejumlah negara, sengaja
berpuasa tanpa menyandarkan pada ru`yah hilal dan merasa cukup dengan kalender.
Apa hukumnya?
Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz menjawab: “Sesungguhnya Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk (mereka
berpuasa karena melihat hilal dan berbuka karena melihat hilal maka jika mereka
tertutup olah awan hendaknya menyempurnakan jumlahnya menjadi 30) -Muttafaqun
alaihi-
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya):
“Kami adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak
menghitung. Bulan itu adalah demikian, demikian, dan demikian.” –beliau
menggenggam ibu jarinya pada ketiga kalinya dan mengatakan–: “Bulan itu begini,
begini, dan begini –serta mengisyaratkan dengan seluruh jemarinya–.”
Beliau maksudkan dengan itu bahwa bulan itu bisa 29 atau 30
(hari). Dan telah disebutkan pula dalam Shahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah
bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Puasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah karena
melihatnya. Jika kalian tertutupi awan hendaknya menyempurnakan Sya’ban menjadi
30 (hari).”
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda (yang
artinya):
“Jangan kalian berpuasa sehingga melihat hilal atau
menyempurnakan jumlah. Dan jangan kalian berbuka sehingga melihat hilal atau
menyempurnakan jumlah.”
Masih banyak hadits-hadits dalam bab ini. Semuanya
menunjukkan wajibnya beramal dengan ru`yah, atau menggenapkannya jika tidak
memungkinkan ru`yah. Ini sekaligus menjelaskan tidak bolehnya bertumpu pada
hisab dalam masalah tersebut.
Ibnu Taimiyyah1 telah menyebutkan ijma’ para ulama tentang
larangan bersandar pada hisab dalam menentukan hilal-hilal. Dan inilah yang
benar, tidak diragukan lagi. Allah Subhanahu wa Ta'ala-lah yang memberi taufiq.
(Fatawa Shiyam, hal. 5-6)
Pembahasan lebih rinci tentang hisab bisa dilihat kembali
dalam Asy-Syariah edisi khusus Ramadhan tahun 2004.
Imsak sebelum Waktunya
Imsak artinya menahan. Yang dimaksud di sini adalah berhenti
dari makan dan minum dan segala pembatal saat sahur. Kapankah sebetulnya
disyariatkan berhenti, ketika adzan tanda masuknya subuh atau sebelumnya, yakni
adzan pertama sebelum masuknya subuh? Karena dalam banyak hadits menunjukkan
bahwa subuh memiliki dua adzan, beberapa saat sebelum masuk dan setelahnya.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu mengatakan: “Masalah ini,
di mana banyak orang (meyakini) bahwa makan di malam hari pada saat puasa
diharamkan sejak adzan pertama2 (yakni sebelum masuknya waktu subuh), yang
adzan ini mereka sebut dengan adzan imsak, tidak ada dasarnya dalam Al-Qur`an,
As-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat. Mereka
semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsak (menahan dari pembatal puasa)
adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu subuh. Dengan
adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang
membatalkan puasa. Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsak,
pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil Al-Qur`an dan Hadits.
Adapun Al-Qur`an, maka Rabb kita berfirman –dan kalian telah dengar ayat
tersebut berulang-ulang–…
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مَنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar.” (Al-Baqarah: 187)
Ini merupakan nash yang tegas di mana Allah Subhanahu wa
Ta'ala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari
untuk melakukan sahur. Artinya, Rabb kita membolehkan untuk makan dan
mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk
bersiap-siap karena masuk waktu fajar shadiq (yakni masuknya waktu subuh,
-pent.). Demikian Rabb kita menerangkan.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan makna ayat
yang jelas ini dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim bahwa Nabi
mengatakan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ
بِلَيْلٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal
adzan di waktu malam.”3
Dalam hadits yang lain selain riwayat Al-Bukhari dan Muslim:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ
لِيَقُوْمَ النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal
adzan untuk membangunkan yang tidur dan untuk menunaikan sahur bagi yang sahur.
Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan4….”
(Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 344-345)
Ibnu Hajar (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) dalam
Fathul Bari syarah Shahih Al-Bukhari (4/199) juga mengingkari perbuatan semacam
ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.
Oleh karenanya, wahai kaum muslimin, mari kita bersihkan
amalan kita, selaraskan dengan ajaran Nabi kita, kapan lagi kita memulainya
(jika tidak sekarang)? (Lihat pula Mu’jamul Bida’ hal. 57)
Di sisi lain, adapula yang melakukan sahur di tengah malam.
Ini juga tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, sekaligus bertentangan dengan maksud
dari sahur itu sendiri yaitu untuk membantu orang yang berpuasa dalam
menunaikannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
بَكِّرُوا بِاْلإِفْطَارِ، وَأَخِّرُوا السَّحُوْرَ
“Segeralah berbuka dan akhirkan sahur.” (Shahih, lihat
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1773)
عَنْ أَبِي عَطِيَّةَ قَالَ: قُلْتُ لِعَائِشَةَ: فِيْنَا
رَجُلاَنِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
أَحَدُهُمَا يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ، وَاْلآخَرُ
يُؤَخِّرُ اْلإِفْطَارَ وَيُعَجِّلُ السُّحُوْرَ. قَالَتْ: أَيُّهُمَا الَّذِي
يُعَجِّلُ اْلإِفْطَارَ وَيُؤَخِّرُ السُّحُوْرَ؟ قُلْتُ: عَبْدُ اللهِ بْنُ
مَسْعُوْدٍ. قَالَتْ: هَكَذَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصْنَعُ
Dari Abu ‘Athiyyah ia mengatakan: Aku katakan kepada
‘Aisyah: Ada dua orang di antara kami, salah satunya menyegerakan berbuka dan
mengakhirkan sahur, sedangkan yang lain menunda berbuka dan mempercepat sahur.
‘Aisyah mengatakan: “Siapa yang menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur?”
Aku menjawab: “Abdullah bin Mas’ud.” ‘Aisyah lalu mengatakan: “Demikianlah
dahulu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya.” (HR.
At-Tirmidzi, Kitabush Shiyam Bab Ma Ja`a fi Ta’jilil Ifthar, 3/82, no. 702. Beliau
menyatakan: “Hadits hasan shahih.”)
At-Tirmidzi mengatakan: Hadits Zaid bin Tsabit (tentang
mengakhirkan sahur, -pent.) derajatnya hasan shahih. Asy-Syafi’i, Ahmad, dan
Ishaq berpendapat dengannya. Mereka menyunnahkan untuk mengakhirkan sahur.”
(Bab Ma Ja`a fi Ta`khiri Sahur)
Di antara kesalahan yang lain adalah:
Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan
kehati-hatian/ihtiyath (Mu’jamul Bida’, hal. 268)
Membunyikan meriam untuk memberitahukan masuknya waktu
shalat, sahur, atau berbuka. Al-Imam Asy-Syathibi menganggapnya bid’ah.
(Al-I’tisham, 2/103; Mu’jamul Bida’, hal. 268)
Bersedekah atas nama roh dari orang yang telah meninggal
pada bulan Rajab, Sya’ban, dan Ramadhan. (Ahkamul Jana`iz, hal. 257, Mu’jamul
Bida’, hal. 269)
Dan masih banyak lagi kesalahan lain, yang Insya Allah akan
dibahas pada kesempatan yang lain.
Wallahu a’lam bish-shawab.
1 Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/179)
2 Bila di masyarakat kita tandanya adalah dengan selain
adzan, seperti sirine, petasan, atau yang lain yang tidak ada dasar syar’inya
sama sekali.
3 Yakni sebelum masuk waktu subuh.
4 Karena Ibnu Ummi Maktum adzan setelah masuk waktu subuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar