Dalam hal ini ada dua keadaan:
Jika dia tidak bisa untuk mengeluarkannya atau tanpa sengaja menelannya maka para ulama sepakat bahwa hal itu tidak mengapa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Mundzir. Lihat Al-Majmu’ (6/320)
Jika dia bisa mengeluarkannya tapi dia menelannya, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa itu membatalkan puasanya karena itu dianggap memakan makanan. Sementara Abu Hanifah berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa, dan ucapannya ini tidak berlandaskan dalil.
Jika dia tidak bisa untuk mengeluarkannya atau tanpa sengaja menelannya maka para ulama sepakat bahwa hal itu tidak mengapa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Mundzir. Lihat Al-Majmu’ (6/320)
Jika dia bisa mengeluarkannya tapi dia menelannya, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa itu membatalkan puasanya karena itu dianggap memakan makanan. Sementara Abu Hanifah berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa, dan ucapannya ini tidak berlandaskan dalil.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
a. Jika dia tidak keluar ke mulut, akan tetapi dari otak atau hidung langsung ke lambung maka hal itu tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
b. Jika dia keluar ke mulut lalu sengaja tertelan, maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
1. Membatalkan puasanya. Ini yang masyhur dalam mazhab Al-Hanabilah dan merupakan mazhab Asy-Syafi’iyah. Mereka mengatakan karena apa yang ada dalam mulut dihukumi sama seperti apa yang datang dari luar. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz -rahimahullah-.
2. Tidak membatalkan puasanya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan karena dia tidak keluar dari mulut sehingga tidak bisa dikatakan makan dan minum. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah-.
Kami katakan: Untuk keluar dari khilaf, hendaknya dia membuangnya dan tidak sengaja menelannya, wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar