a. Puasanya syah dan tidak batal. Ini adalah pendapat
mayoritas ulama, juga merupakan mazhab Imam Ahmad dan Asy-Syafi’i.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi r bersabda:
Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi r bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa
yang lupa sedang dia tengah berpuasa, lantas dia makan atau minum, maka
hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena dia hanya diberi makan dan minum
oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)Dalam hadits ini Nabi menyuruh untuk menyempurnakan puasanya dan tidak memerintahkannya untuk membayar qadha`, ini menunjukkan puasanya syah. Demikian diterangkan oleh Ibnu Taimiah dalam Kitab Ash-Shiyam (1/457-458)
b. Puasanya batal dan dia wajib membayar qadha. Ini adalah pendapat Malik dan Rabiah, gurunya.
Mereka mengatakan: Karena menahan dari pembatal puasa adalah rukun puasa sementara rukun kalau ditinggalkan maka akan membatalkan ibadah, baik sengaja maupun lupa. Dalam hal ini mereka mengkiaskannya kepada shalat.
Yang kuat adalah pendapat yang pertama. Adapun kias pendapat kedua maka dia adalah kias yang batil karena bertentangan dengan dalil.
Catatan:
Walaupun tidak membatalkan puasanya, akan tetapi siapa yang melihat orang yang sedang berpuasa makan karena lupa, maka hendaknya dia menegurnya dan mengingatkannya, berdasarkan keumuman dalil amar ma’ruf dan nahi mungkar. Lihat kitab Al-Furu’ (3/53)
sumber: http://al-atsariyyah.com/pembatal-puasa-yang-diperselisihkan-1.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar