Penulis: Buletin Jum’at
Al-Atsariyyah
Di bulan Romadhon banyak da’i-da’i yang bermunculan, mulai
dari yang berilmu sampai yang karbitan. Semua mengambil bagian dalam
jadwal-jadwal ceramah sehingga terkadang yang jahil diantara mereka sering kali
menimbulkan pelanggaran, diantaranya adalah menghiasi ceramah-ceramahnya dengan
hadits-hadits dho’if (lemah), bahkan maudhu’ (palsu)!! Padahal hadits-hadits
lemah tidak boleh dipakai berdalil, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq,
dan fadho’il (keutamaan), apalagi jika haditsnya palsu.
Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan -rahimahullah- beliau berkata
dalam Nuzul Al-Abror (hal. 45) : “Telah keliru orang yang menyatakan bahwa
boleh (bagi seseorang) toleransi terhadap hadits-hadits yang ada dalam fadho’il
amal. Itu (keliru) karena hukum-hukum syari’at sama derajatnya, tidak ada
bedanya antara yang wajib, haram, sunnah, makruh dan mandubnya, tidak boleh
menetapkan sesuatu darinya kecuali dengan (dalil) yang bisa dijadikan hujjah.
Kalau tidak, niscaya itu merupakan kedustaan atas nama Allah yang tidak pernah
difirmankan dan kelancangan terhadap syari’at yang suci ini dengan memasukkan
sesuatu yang bukan termasuk darinya. Sungguh telah shohih secara mutawatir
bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : [“Barangsiapa yang berdusta
atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di
nereka”]. Ini yang dusta atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan
mengharapkan kebaikan untuk manusia dengan memperoleh pahala, tidak bisa
diharapkan kecuali ia itu akan jadi ahli neraka”.
Hadits dho’if, dan palsu tidak boleh dipakai berhujjah dalam
segala: aqidah, hukum, ibadah, akhlaq, karena ini termasuk taqowwul (berdusta)
atas nama Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- .
Al-Allamah Ibnul Arabiy Al-Malikiy-rahimahullah- berkata,
"Hadits dho’if tidak boleh diamalkan secara mutlak".[Lihat Al-Muqni’
fi Ulum Al-Hadits (hal. 104) oleh Sirojuddin Umar bin Ali Al-Anshoriy]
Syaikh Al-Albaniy -rahimahullah- berkata dalam Tamam
Al-Minnah (hal. 34), "Sesungguhnya sebagian ulama muhaqqiqin berpendapat
tidak bolehnya hadits-hadits dho’if diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah
hukum maupun dalam masalah fadho’il a’mal ".
Jadi, tidak boleh berdalil dengan hadits dho’if walaupun
untuk menjelaskan keutamaan suatu ibadah, seperti hadits-hadits berikut yang
akan kami jelaskan derajat dan segi ke-dho’if-an, serta kepalsuannya agar para
pembaca dan penceramah berhati-hati jangan sampai menjadikannya sebagai hujjah
dan dalil:
Hadits Pertama
Konon kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِيْ رَمَضَانَ
لَتَمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ
السَّنَةَ كُلَّهَا إِنَّ الْجَنَّةَ لَتُزَيَّنُ
لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ
إِلَى الْحَوْلِ
"Andaikan para hamba mengetahui apa yang terdapat dalam
Romadhon, niscaya ummatku akan mengharapkan Romadhon adalah setahun penuh.
Sesungguhnya surga dihiasi untuk Romadhon dari awal tahun ke tahun
berikutnya". [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya(1886), Abu Ya’laa dalam
Al-Musnad (5273), Ibnul Jauziy dalam Al-Maudhu’at (2/188-189)]
Hadits ini palsu, karena terdapat rowi yang bernama Jarir
bin Ayyub Al-Bajaliy Al-Kufiy. Dia seorang yang memalsukan hadits. Karenanya,
Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits ini palsu dalam Dho’if At-Targhib (596),
dan Adh-Dho’ifah (871)
Hadits Kedua
Konon kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
يَا أَيُّهَا النّاَسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ
عَظِيْمٌ شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ
خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً
وَقِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ
بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ
كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا
سِوَاهُ… وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ
رَحْمَةٌ وَوَسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
"Wahai manusia, sungguh kalian telah dinaungi oleh
bulan yang agung; bulan yang di dalamnya terdapat sebuah malam yang lebih baik
dibandingkan seribu bulan. Allah menjadikan puasa di bulan itu sebagai
kewajiban, dan sholat malamnya sebagai tathowwu’ (sunnah). Barang siapa yang
mendekatkan diri di dalamnya dengan satu bentuk kebaikan, maka ia ibaratnya
orang yang menunaikan kewajiban pada selain Romadhon…Awalnya adalah rahmat,
tengahnya adalah pengampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari neraka".
[HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shohih-nya(1887), Al-Mahamiliy dalam Al-Amaliy (293)]
Hadits ini dho’if (lemah), karena ada rawi yang bernama Ali
bin Zaid bin Jad’an. Dia adalah seorang yang jelek hafalannya sehingga
menyebabkan haditsnya lemah. Tak heran jika Syaikh Al-Albaniy menyatakan hadits
ini dho’if munkar dalam Adh-Dho’ifah (871 & 1569)
Hadits Ketiga
Konon kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
صُوْمُوْا
تَصِحُّوْا
"Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat". [HR.
Ath-Thobroniy dalam Al-Ausath (8312), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/357/488 &
7/57/1986)]
Dalam sanad Ath-Thobroniy ada rawi yang bernama Zuhair bin
Muhammad. Haditsnya dho’if jika diriwayatkan oleh orang-orang Syam dari Zuhair,
sedang hadits ini termasuk diantaranya. Adapun riwayat Ibnu Adi, dalam sanadnya
terdapat Husain bin Abdullah bin Dhumairoh Al-Himyariy (orangnya tertuduh
dusta), dan Nahsyal bin Sa’id Al-Wardaniy (orangnya matruk/ditinggalkan). Jadi,
riwayat-riwayat ini tak bisa saling menguatkan. Karenanya, Syaikh Al-Albaniy
men-dho’if-kan hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (253)
Hadits Keempat
Anas bin Malik -radhiyallahu ‘anhu- berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ
اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى
رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنِّيْ إِنَّكَ أَنْتَ
السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
"Apabila Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berbuka,
maka beliau berdo’a, "Ya Allah, karena Engkau aku berpuasa, dengan
rezqi-Mu aku berbuka. Ya Allah, terimalah (amal sholeh) dariku; Sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".". [HR. Ad-Daruquthniy
dalam Sunan-nya (26), dan Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (12720)]
Hadits ini juga lemah, karena dalam sanadnya terdapat Abdul
Malik bin Harun bin Antaroh (orangnya tertuduh dusta). Sebab itu, Syaikh
Al-Albaniy menyatakan hadits ini dho’if jiddan (lemah sekali) dalam Irwa’
Al-Gholil (919)
Hadits Kelima
Konon kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الصَّائِمُ
فِيْ عِبَادَةٍ وَإِنْ كَانَ رَاقِدًا
عَلَى فِرَاشِهِ
"Orang yang berpuasa (senantiasa) dalam ibadah,
sekalipun ia tidur di atas tempat tidurnya". [HR. Tamam Ar-Roziy dalam
Al-Fawa’id (18/172-173)]
Hadits ini dho’if (lemah), karena di dalamnya terdapat
rawi-rawi yang tak dikenal, seperti Yahya bin Abdullah Az-Zajjaj, dan Muhammad
bin Harun. Syaikh Al-Albaniy men-dho’if-kan hadits ini dalam As-Silsilah
Adh-Dho’ifah (653)
Hadits Keenam
Konon kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الصَّائِمُ
فِيْ عِبَادَةٍ مَا لَمْ يَغْتَبْ
"Orang yang berpuasa (senantiasa) dalam ibadah selama
ia tidak meng-ghibah". [HR. Ibnu Adi dalam Al-Kamil (5/283/1421)]
Hadits ini dho’if munkar, karena AbdurRahim bin Harun Abu
Hisyam Al-Ghossaniy, seorang yang tertuduh dusta !! [Lihat Adh-Dho’ifah (1829)]
Hadits Ketujuh
Konon kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الصَّائِمُ
فِيْ عِبَادَةٍ مِنْ حِيْنَ يُصْبِحُ
إِلَى أَنْ يُمْسِيَ إِذَا
قَامَ قَامَ وَإِذَا صَلَّى
صَلَّى وَإِذَا نَامَ نَامَ
وَإِذَا أَحْدَثَ أَحْدَثَ : مَا لَمْ يَغْتَبْ
فَإِذَا اغْتَابَ خَرَقَ صَوْمَهُ
"Orang yang berpuasa senantiasa dalam ibadah sejak
subuh sampai sore. Jika ia shalat malam, maka ia shalat malam; jika ia tidur,
maka ia tidur; jika ia berhadats maka ia berhadats, selama ia tidak menggibah
orang. Jika ia menggibah, maka ia melobangi (merusak) puasanya". [HR.
Ad-Dailamiy dalam Musnad Al-Firdaus (2/257-258)]
Hadits ini derajatnya palsu, karena ada dua orang pendusta,
yaitu Muqotil bin Sulaiman Al-Balkhiy, dan Umar bin Mudrik. Sebab itulah,
Al-Albany menyatakan hadits ini palsu dalam Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (3790).
Hadits Kedelapan
Konon kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
رَجَعْنَا
مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
"Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad
akbar (yang besar)". [HR. Al-Baihaqiy dalam Az-Zuhd sebagaimana dalam
Takhrij Al-Ihya’ (2/6)]
Hadits ini lemah sekali, karena dalam sanadnya terdapat Isa
bin Ibrahim, Yahya bin Ya’laa, dan Laits bin Abi Sulaim. Ketiga orang ini
lemah.
Hadits ini juga diriwayatkan dengan lafazh lain,
قَدِمْتُمْ
خَيْرَ مَقْدَمٍ قَدِمْتُمْ مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ
إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ : مُجَاهَدَةِ الْعَبْدِ هَوَاهُ
"Kalian telah datang (pulang) dengan kepulangan yang
baik, kalian datang (pulang) dari jihad kecil menuju jihad akbar (yang besar),
yaitu seorang hamba melawan hawa nafsunya". [HR. Abu Bakr Asy-Syafi’iy
dalam Al-Fawa’id Al-Muntaqoh (13/83/1), Al-Baihaqiy dalam Az-Zuhd (42/1), dan
Al-Khothib dalam Tarikh Baghdad (13/523-524)]
Hadits ini juga dho’if (lemah), karena jalur periwayatannya
sama !! Al-Albaniy melemahkan hadits ini dalam Adh-Dho’ifah (2460)
Hadits Kesembilan
Konon kabarnya Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
الصِّيَامُ
نِصْفُ الصَّبْرِ وَعَلَى كُلِّ شَيْءٍ
زَكَاةٌ وَزَكَاةُ الْجَسَدِ الصِّيَامُ
"Puasa adalah separuh kesabaran. Segala sesuatu
memiliki zakat, sedang zakat bagi jasad adalah puasa". [HR. Ibnu Majah
dalam As-Sunan (), Al-Baihaqiy dalam Syu’ab Al-Iman (3577), dalam Al-Qudho’iy
dalam Musnad Asy-Syihab (158, dan 229)]
Hadits ini dho’if (lemah), karena seorang rawi yang bernama
Musa bin Ubaidah; seorang yang disepakati kelemahannya oleh para ahli hadits
sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albany dalam Adh-Dho’ifah (3810)
Nasihat bagi Para Da’i
Jika kalian memberikan nasihat dan wejangan kepada para
jama’ah, maka janganlah kalian menghiasi ceramah kalian dengan hadits-hadits
dho’if, dan palsu. Sayangilah diri kalian sebelum kalian terkena sabda Nabi
-Shollallahu ‘alaihi wasallam-
وَمَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأَ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka". [HR. Al-Bukhoriy
dalam Shohih-nya(110), dan Muslim dalam Shohih-nya (3)]
Periksalah hadits-hadits yang kalian sampaikan dalam
ceramah-ceramah kalian. Jika tidak tahu, maka belajarlah, dan tanya kepada
orang-orang yang berilmu. Janganlah perasaan malu dan sombong membuat dirimu
malu bertanya dan belajar sehingga engkau sendiri yang menggelincirkan dirimu
dalam neraka, wal’iyadzu billah !!
Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 31 Tahun I.
Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto
Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.
http://almakassari.com/?p=172
Tidak ada komentar:
Posting Komentar