KATA PENGANTAR
Pada kesempatan kali ini kami angkat masalah Sifat-sifat Khawarij, yang dinukil dari kitab Zhahirah al-Ghuluw fi ad-Dien fi al-'Ashri al-Hadits, hal 99-104, oleh Muhammad Abdul Hakim Hamid cet. I, th. 1991, Daarul Manar al-Haditsah, dterjemahkan Aboe Hawari, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 14/II/1416-1995.
MUQADDIMAH
Khawarij mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifat yang menonjol. Sebaik-baik orang yang meluruskan sifat-sifat ini adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan sifat-sifat kaum ini dalam hadits-haditsnya yang mulia.
Disini akan dipaparkan penjelasan sifat-sifat tersebut dengan sedikit keterangan, hal itu mengingat terdapat beberapa perkara penting, antara lain :
- Dengan mengetahui
sifat-sifat ini akan terbukalah bagi kita ciri-ciri ghuluw
(berlebih-lebihan) dan pelampauan batas mereka, dan tampaklah di mata kita
sebab-sebab serta alasan-alasan pendorong yang menimbulkan hal itu. Dalam
hal yang demikian itu akan menampakkan faedah yang tak terkira.
- Keberadaan mereka akan
tetap ada hingga di akhir zaman, seperti dikabarkan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam dalam satu riwayat. Oleh karenanya mengetahui
sifat-sifat mereka adalah merupakan suatu perkara yang penting.
- Dengan mengetahui sifat
mereka dan mengenali keadaannya akan menjaga diri dari terjatuh ke
dalamnya. Mengingat barang siapa yang tidak mengetahui keburukan mereka,
akan terperangkap di dalamnya. Dengan mengetahui sifat mereka, akan
menjadikan kita waspada terhadap orang-orang yang mempunyai sifat-sifat
tersebut, sehingga kita dapat mengobati orang yang tertimpa dengannya.
Berkenan
dengan hal ini akan kami paparkan sifat-sifat tersebut berdasarkan
hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia.
1. Suka
Mencela dan Menganggap Sesat Sifat yang paling nampak dari Khawarij adalah suka mencela terhadap para Aimatul huda (para Imam), menganggap mereka sesat, dan menghukum atas mereka sebagai orang-orang yang sudah keluar dari keadilan dan kebenaran. Sifat ini jelas tercermin dalam pendirian Dzul Khuwaishirah terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perkataannya : "Wahai Rasulullah berlaku adil lah". (Hadits Riwayat Bukhari VI/617, No. 3610, VIII/97, No. 4351, Muslim II/743-744 No. 1064, Ahmad III/4, 5, 33, 224)
Dzul Khuwaishirah telah menganggap dirinya lebih wara' daripada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menghukumi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang curang dan tidak adil dalam pembagian. Sifat yang demikian ini selalu menyertai sepanjang sejarah. Hal itu mempunyai efek yang sangat buruk dalam hukum dan amal sebagai konsekwensinya. Berkata Ibnu Taimiyah tentang Khawarij : "Inti kesesatan mereka adalah keyakinan mereka berkenan dengan Aimmatul huda (para imam yang mendapat petunjuk) dan jama'ah muslimin, yaitu bahwa Aimmatul huda dan jama'ah muslimin semuanya sesat. Pendapat ini kemudian di ambil oleh orang-orang yang keluar dari sunnah, seperti Rafidhah dan yang lainnya. Mereka mengkatagorikan apa yang mereka pandang kedzaliman ke dalam kekufuran". (Al-Fatawa : XXVIII/497)
2. Berprasangka Buruk (Su'udzan)
Ini adalah sifat Khawarij lainnya yang tampak dalam hukum Syaikh mereka Dzul Khuwaishirah si pandir dengan tuduhannya bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak ikhlas dengan berkata :
"Artinya : Demi Allah,
sesungguhnya ini adalah suatu pembagian yang tidak adil dan tidak dikehendaki
di dalamnya wajah Allah". (Hadits Riwayat Muslim II/739, No. 1062, Ahmad
IV/321)
Dzul
Khuwaishirah ketika melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
membagi harta kepada orang-orang kaya, bukan kepada orang-orang miskin, ia
tidak menerimanya dengan prasangka yang baik atas pembagian tersebut.
Ini adalah
sesuatu yang mengherankan. Kalaulah tidak ada alasan selain pelaku pembagian
itu adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam cukuplah hal itu
mendorong untuk berbaik sangka. Akan tetapi Dzul Kuwaishirah enggan untuk itu,
dan berburuk sangka disebabkan jiwanya yang sakit. Lalu ia berusaha menutupi
alasan ini dengan keadilan. Yang demikian ini mengundang tertawanya iblis dan
terjebak dalam perangkapnya. Seharusnya seseorang itu introspeksi, meneliti secara cermat dorongan tindak-tanduk dan maksud tujuan serta waspada terhadap hawa nafsunya. Hendaklah berjaga-jaga terhadap manuver-manuver iblis, karena dia banyak menghias-hiasi perbuatan buruk dengan bungkus indah dan rapi, dan membaguskan tingkah laku yang keji dengan nama dasar-dasar kebenaran yang mengundang seseorang untuk menentukan sikap menjaga diri dan menyelamatkan diri dari tipu daya setan dan perangkap-perangkapnya.
Jika Dzul Khuwaishirah mempunyai sedikit saja ilmu atau sekelumit pemahaman, tentu tidak akan terjatuh dalam kubangan ini.
Berikut kami paparkan penjelasan dari para ulama mengenai keagungan pembagian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hikmahnya yang tinggi dalam menyelesaikan perkara.
Berkata Syaikh Islam Ibnu Taimiyah : "Pada tahun peperangan Hunain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membagi ghanimah (rampasan perang) Hunain pada orang-orang yang hatinya lemah (muallafah qulubuhum) dari penduduk Najd dan bekas tawanan Quraisy seperti 'Uyainah bin Hafsh, dan beliau tidak memberi kepada para Muhajirin dan Anshar sedikitpun.
Maksud Beliau memberikan kepada mereka adalah untuk mengikat hati mereka dengan Islam, karena keterkaitan hati mereka dengannya merupakan maslahat umum bagi kaum muslimin, sedangkan yang tidak beliau beri adalah karena mereka lebih baik di mata Beliau dan mereka adalah wali-wali Allah yang bertaqwa dan seutama-utamanya hamba Allah yang shalih setelah para Nabi dan Rasul-rasul.
Jika pemberian itu tidak dipertimbangkan untuk maslahat umum, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memberi pada aghniya', para pemimpin yang dita'ati dalam perundangan dan akan memberikannya kepada Muhajirin dan Anshar yang lebih membutuhkan dan lebih utama.
Oleh sebab inilah orang-orang Khawarij mencela Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dikatakan kepada beliau oleh pelopornya : "Wahai Muhammad, berbuat adillah. Sesungguhnya engkau tidak berlaku adil". dan perkataannya : "Sesungguhnya pembagian ini tidak dimaksudkan untuk wajah Allah .....". Mereka, meskipun banyak shaum (berpuasa), shalat, dan bacaan Al-Qur'annya, tetapi keluar dari As-Sunnah dan Al-Jama'ah.
Memang mereka dikenal sebagai kaum yang suka beribadah, wara' dan zuhud, akan tetapi tanpa disertai ilmu, sehingga mereka memutuskan bahwa pemberian itu semestinya tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang berhajat, bukan kepada para pemimpin yang dita'ati dan orang-orang kaya itu, jika didorong untuk mencari keridhaan selain Allah -menurut persangkaan mereka-.
Inilah kebodohan mereka, karena sesungguhnya pemberian itu menurut kadar maslahah agama Allah. Jika pemberian itu akan semakin mengundang keta'atan kepada Allah dan semakin bermanfaat bagi agama-Nya, maka pemberian itu jauh lebih utama. Pemberian kepada orang-orang yang membutuhkan untuk menegakkan agama, menghinakan musuh-musuhnya, memenangkan dan meninggikannya lebih agung daripada pemberian yang tidak demikian itu, walaupun yang kedua lebih membutuhkan". (Lihat Majmu' Fatawa : XXVIII/579-581, dengan sedikit diringkas).
Untuk itu hendaklah seseorang menggunakan bashirah, lebih memahami fiqh dakwah dan maksud-maksud syar'i, sehingga tidak akan berada dalam kerancuan dan kebingungan yang mengakibatkan akan terhempas, hilang dan berburuk sangka serta mudah mencela disertai dengan menegakkan kewajiban-kewajiban yang terpuji dan mulia.
3. Berlebih Dalam Beribadah
Sifat ini telah ditunjukkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabdanya :
"Artinya : Akan muncul
suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur'an, yang mana bacaan kalian tidaklah
sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan
shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa kalian sebanding dengan puasa
mereka sedikitpun". (Muslim II/743-744 No. 1064).
Berlebihan
dalam ibadah berupa puasa, shalat, dzikir, dan tilawah Al-Qur'an merupakan
perkara yang masyhur di kalangan orang-orang Khawarij. Dalam Fathu Al-Bari,
XII/283 disebutkan : "Mereka (Khawarij) dikenal sebagai qura' (ahli
membaca Al-Qur'an), karena besarnya kesungguhan mereka dalam tilawah dan
ibadah, akan tetapi mereka suka menta'wil Al-Qur'an dengan ta'wil yang
menyimpang dari maksud yang sebenarnya. Mereka lebih mengutamakan pendapatnya,
berlebih-lebihan dalam zuhud dan khusyu' dan lain sebagainya".
Ibnu Abbas
juga telah mengisyaratkan pelampauan batas mereka ini ketika pergi untuk
mendebat pendapat mereka. Beliau berkata : "Aku belum pernah menemui suatu
kaum yang bersungguh-sungguh, dahi mereka luka karena seringnya sujud, tangan
mereka seperti lutut unta, dan mereka mempunyai gamis yang murah, tersingsing,
dan berminyak. Wajah mereka menunjukan kurang tidur karena banyak berjaga di
malam hari". (Lihat Tablis Iblis, halaman 91). Pernyataan ini menunjukkan
akan ketamakan mereka dalam berdzikir dengan usaha yang keras. Berkata Ibnul Jauzi : "Ketika Ali Radhiyallahu 'Anhu meninggal, dikeluarkanlah Ibnu Maljam untuk dibunuh. Abdullah bin Ja'far memotong kedua tangan dan kedua kakinya, tetapi ia tidak mengeluh dan tidak berbicara. Lalu dicelak kedua matanya dengan paku panas, ia pun tidak mengeluh bahkan ia membaca :
"Artinya : Bacalah dengan
(menyebut) nama Rabb-mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah". (Al-'Alaq : 1-2)
Hingga
selesai, walaupun kedua matanya meluluhkan air mata. Kemudian setelah matanya
diobati, ia akan dipotong lidahnya, baru dia mengeluh. Ketika ditanyakan
kepadanya : "Mengapa engkau mengeluh ?. "Ia menjawab ; "Aku
tidak suka bila di dunia menjadi mayat dalam keadaan tidak berdzikir kepada
Allah". Dia adalah seorang yang ke hitam-hitaman dahinya bekas dari sujud,
semoga laknat Allah padanya". (Tablis Iblis, hal. 94-95).
Mekipun
kaum Khawarij rajin dalam beribadah, tetapi ibadah ini tidak bermanfa'at bagi
mereka, dan mereka pun tidak dapat mengambil manfaat darinya. Mereka
seolah-olah bagaikan jasad tanpa ruh, pohon tanpa buah, mengingat ahlaq mereka
yang tidak terdidik dengan ibadahnya dan jiwa mereka tidak bersih karenanya
serta hatinya tidak melembut. Padahal disyari'atkan ibadah adalah untuk itu.
Berfirman yang Maha Tinggi :
"Artinya : ..... Dan
tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar ......". (Al-Ankabut : 45)
"Artinya
: ..... Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertaqwa". (Al-Baqarah : 183)
Tidaklah
orang-orang bodoh tersebut mendapatkan bagian dari qiyamu al-lail-nya
kecuali hanya jaga saja, tidak dari puasanya kecuali lapar saja, dan tidak pula
dari tilawah-nya kecuali parau suaranya.
Keadaan
Khawarij ini membimbing kita pada suatu manfaat seperti yang dikatakan Ibnu
Hajar tentangnya : "Tidak cukuplah dalam ta'dil (menganggap adil)
dari keadaan lahiriahnya, walau sampai yang dipersaksikan akan keadilannya itu
pada puncak ibadah, miskin, wara', hingga diketahui keadaan batinnya".
(Lihat Fathu Al-Bari XII/302) 4. Keras Terhadap Kaum Muslimin
Sesungguhnya kaum Khawarij dikenal bengis dan kasar, mereka sangat keras dan bengis terhadap muslimin, bahkan kekasaran mereka telah sampai pada derajat sangat tercela, yaitu menghalalkan darah dan harta kaum muslimin serta kehormatannya, mereka juga membunuh dan menyebarkan ketakutan di tengah-tengah kaum muslimin. Adapun para musuh Islam murni dari kalangan penyembah berhala dan lainnya, mereka mengabaikan, membiarkan serta tidak menyakitinya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberitakan sifat mereka ini dalam sabdanya :
"Artinya : ..... Membunuh
pemeluk Islam dan membiarkan penyembah berhala ....". (Hadits Riwayat
Bukhari, VI/376, No. 3644, Muslim II/42 No. 1064)
Sejarah
telah mencatat dalam lembaran-lembaran hitamnya tentang Khawarij berkenan
dengan cara mereka ini. Di antara kejadian yang mengerikan adalah kisah sebagai
berikut : "Dalam perjalanannya, orang-orang Khawarij bertemu dengan
Abdullah bin Khabab. Mereka bertanya : "Apakah engkau pernah mendengar
dari bapakmu suatu hadits yang dikatakan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Ceritakanlah kepada kami tentangnya". Berkata : "Ya, aku
mendengar dari bapakku, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menyebutkan tentang fitnah. Yang duduk ketika itu lebih baik dari pada yang
berdiri, yang berdiri lebih baik dari pada yang berjalan, dan yang berjalan
lebih baik dari yang berlari. Jika engkau menemukannya, hendaklah engkau
menjadi hamba Allah yang terbunuh". Mereka berkata : "Engkau
mendengar hadits ini dari bapakmu dan memberitakannya dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam ?". Beliau menjawab : "Ya".
Setelah mendengar jawaban tersebut, mereka mengajaknya ke hulu sungai, lalu
memenggal lehernya, maka mengalirlah darahnya seolah-olah seperti tali
terompah. Lalu mereka membelah perut budak wanitanya dan mengeluarkan isi
perutnya, padahal ketika itu sedang hamil.
Kemudian
mereka datang ke sebuah pohon kurma yang lebat buahnya di Nahrawan. Tiba-tiba
jatuhlah buah kurma itu dan diambil salah seorang di antara mereka lalu ia
masukkan ke dalam mulutnya. Berkatalah salah seorang di antara mereka :
"Engkau mengambil tanpa dasar hukum, dan tanpa harga (tidak membelinya dengan
sah)". Akhirnya ia pun meludahkannya kembali dari mulutnya. Salah seorang
yang lain mencabut pedangnya lalu mengayun-ayunkannya. Kemudian mereka melewati
babi milik Ahlu Dzimmah, lalu ia penggal lehernya kemudian di seret moncongnya.
Mereka berkata, "Ini adalah kerusakan di muka bumi". Setelah mereka
bertemu dengan pemilik babi itu maka mereka ganti harganya". (Lihat Tablis
Iblis, hal. 93-94). Inilah sikap kaum Khawarij terhadap kaum muslimin dan orang-orang kafir. Keras, bengis, kasar terhadap kaum muslimin, tetapi lemah lembut dan membiarkan orang-orang kafir.
Jadi mereka tidak dapat mengambil manfa'at dari banyaknya tilawah dan dzikir mereka, mengingat mereka tidak mengambil petunjuk dengan petunjuk-Nya dan tidak menapaki jalan-jalan-Nya. Padahal sang Pembuat Syari'at telah menerangkan bahwa syari'atnya itu mudah dan lembut. Dan sesungguhnya yang diperintahkan supaya bersikap keras terhadap orang kafir dan lemah lembut terhadap orang beriman. Tetapi orang-orang Khawarij itu membaliknya. (Lihat Fathul Bari, XII/301)
5. Sedikitnya Pengetahuan Mereka Tentang Fiqih
Sesungguhnya kesalahan Khawarij yang sangat besar adalah kelemahan mereka dalam penguasaan fiqih terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang kami maksudkan adalah buruknya pemahaman mereka, sedikitnya tadabbur dan merasa terikat dengan golongan mereka, serta tidak menempatkan nash-nash dalam tempat yang benar.
Dalam masalah ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan kepada kita dalam sabdanya :
"Artinya : .... Mereka
membaca Al-Qur'an, tidak melebihi kerongkongannya".
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mempersaksikan akan banyaknya
bacaan/tilawah mereka terhadap Al-Qur'an, tetapi bersamaan dengan itu mereka di
cela. Kenapa ? Karena mereka tidak dapat mengambil manfaat darinya disebabkan
kerusakan pemahaman mereka yang tumpul dan penggambaran yang salah yang menimpa
mereka. Oleh karenanya mereka tidak dapat membaguskan persaksiannya terhadap
wahyu yang cemerlang dan terjatuh dalam kenistaan yang abadi.
Berkata
Al-Hafidzh Ibnu Hajar : "Berkata Imam Nawawi, bahwa yang dimaksud yaitu
mereka tidak ada bagian kecuali hanya melewati lidah mereka, tidak sampai pada
kerongkongan mereka, apalagi ke hati mereka. Padahal yang diminta adalah dengan
men-tadaburi-nya supaya sampai ke hatinya". (Lihat Fathul Baari,
XII/293). Kerusakan pemahaman yang buruk dan dangkalnya pemahaman fiqih mereka mempunyai bahaya yang besar. Kerusakan itu telah banyak membingungkan umat Islam dan menimbulkan luka yang berbahaya. Dimana mendorong pelakunya pada pengkafiran orang-orang shalih. menganggap mereka sesat serta mudah mencela tanpa alasan yang benar. Akhirnya timbullah dari yang demikian itu perpecahan, permusuhan dan peperangan.
Oleh karena itu Imam Bukhari berkata : "Adalah Ibnu Umar menganggap mereka sebagai Syiraaru Khaliqah (seburuk-buruk mahluk Allah)". Dan dikatakan bahwa mereka mendapati ayat-ayat yang diturunkan tentang orang-orang kafir, lalu mereka kenakan untuk orang-orang beriman". (Lihat Fathul Baari, XII/282). Ketika Sa'id bin Jubair mendengar pendapat Ibnu Umar itu, ia sangat gembira dengannya dan berkata : "Sebagian pendapat Haruriyyah yang diikuti orang-orang yang menyerupakan Allah dengan mahluq (Musyabbihah) adalah firman Allah Yang Maha Tinggi :
"Artinya : Barangsiapa
yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir". (Al-Maaidah : 44)
Dan
mereka baca bersama ayat di atas :
"Artinya : Kemudian
orang-orang yang kafir terhadap Rabb-Nya mempersekutukan". (Al-An'aam : 1)
Jika
melihat seorang Imam menghukumi dengan tidak benar, mereka akan berkata :
"Ia telah kafir, dan barangsiapa yang kafir berarti menentang Rabb-Nya dan
telah mempersekutukan-Nya, dengan demikian dia telah musyrik". Oleh karena
itu mereka melawan dan memeranginya. Tidaklah hal ini terjadi, melainkan karena
mereka menta'wil (dengan ta'wil yang keliru, pen) ayat ini ...".
Berkata
Nafi': "Sesungguhnya Ibnu Umar jika ditanya tentang Haruriyyah, beliau
menjawab bahwa mereka mengkafirkan kaum muslimin, menghalalkan darah dan
hartanya, menikahi wanita-wanita dalam 'iddahnya. Dan jika di datangkan wanita
kepada mereka, maka salah seorang diantara mereka akan menikahinya, sekalipun
wanita itu masih mempunyai suami. Aku tidak mengetahui seorangpun yang lebih
berhak diperangi melainkan mereka". (Lihat Al-I'tisham, II/183-184). Imam Thabari meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa ia menyebutkan tentang Khawarij dan apa yang ia dapati ketika mereka membaca Al-Qur'an dengan perkataannya: "Mereka beriman dengan yang muhkam dan binasa dalam ayat mutasyabih". (Lihat Tafsir Ath-Thabari, III/181).
Pemahaman mereka yang keliru itu mengantarkan mereka menyelisihi Ijma' Salaf dalam banyak perkara, hal itu dikarenakan oleh kebodohan mereka dan kekaguman terhadap pendapat mereka sendiri, serta tidak bertanya kepada Ahlu Dzikri dalam perkara yang mereka samar atasnya.
Sesungguhnya kerusakan pemahaman mereka yang dangkal dan sedikitnya penguasaan fiqih menjadikan mereka sesat dalam istimbat-nya, walaupun mereka banyak membaca dan berdalil dengan nash-nash Al-Qur'an dan Sunnah Nabawi, akan tetapi tidak menempatkan pada tempatnya. Benarlah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika memberitakan tentang mereka :
"Artinya : .....Mereka
membaca Al-Qur'an, mereka menyangka hal itu untuk mereka padahal atas
mereka". (Hadits Riwayat Muslim)
"Artinya
: Mereka berkata dengan ucapan sebaik-baik mahluq dan membaca Al-Qur'an, tetapi
tidak melebihi dari kerongkongan mereka". (Bukhari, VI/618 No. 3611,
Muslim, II/746 No. 1066)
"Artinya
: Membaguskan perkataannya tetapi buruk perbuatannya .... Mengajak kepada kitab
Allah, tetapi tidaklah mereka termasuk di dalamnya sedikit pun". (Hadits
Riwayat Ahmad, III/224)
6.
Muda Umurnya dan Berakal Buruk
Termasuk
perkara yang dipandang dapat mengeluarkan dari jalan yang lurus dan penuh
petunjuk adalah umur yang masih muda (hadaatsah as-sinn) dan berakal
buruk (safahah al-hil). Yang demikian itu sesuai dengan sabda beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam :
"Artinya : Akan keluar
pada akhir zaman suatu kaum, umurnya masih muda, sedikit ilmunya, mereka
mengatakan dari sebaik-baik manusia. Membaca Al-Qur'an tidak melebihi
kerongkongannya. Terlepas dari agama seperti terlepasnya anak panah dari
busurnya". (Hadits riwayat Bukhari, VI/618, No. 3611, Muslim, II/746 No.
1066)
Berkata
Al-Hafidz Ibnu Hajar : "Ahdaatsul Asnaan artinya "mereka itu
pemuda (syabaab)", dan yang dimaksud dengan sufaha-a al-ahlaam
adalah "akal mereka rusak ('uquluhum radi-ah)". Berkata Imam
Nawawi ; "Sesungguhnya tatsabut (kemapanan) dan bashirah
(wawasan) yang kuat akan muncul ketika usianya sempurna, banyak pengalaman
serta kuat akalnya". (Lihat Fathul Baari, XII/287).
Umur yang
masih muda, jika dibarengi dengan akal yang rusak akan menimbulkan perbuatan
yang asing dan tingkah laku yang aneh, antara lain : - Mendahulukan pendapat
mereka sendiri daripada pendapat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan para shahabatnya yang mulia Radhiyallahu 'alaihim.
- Meyakini bahwa diri
merekalah yang benar, sedangkan para imam yang telah mendapat petunjuk itu
salah.
- Mengkafirkan sebagian atas
sebagian yang lain hanya karena perbedaan yang kecil saja.
Ibnul
Jauzi menggambarkan kepandiran dan kerusakan mereka dengan perkataannya :
"Mereka menghalalkan darah anak-anak, tetapi tidak menghalalkan makan buah
tanpa dibeli. Berpayah-payah untuk beribadah dengan tidak tidur pada malam hari
(untuk shalat lail) serta mengeluh ketika hendak di potong lidahnya karena
khawatir tidak dapat berdzikir kepada Allah, tetapi mereka membunuh Imam Ali
Radhiyallahu 'anhu dan menghunus pedang kepada kaum muslimin (sebagaimana
keluhan Ibnu Maljam -pen). Untuk itu tidak mengherankan bila mereka puas
terhadap ilmu yang telah dimiliki dan merasa yakin bahwa mereka lebih
pandai/alim daripada Ali Radhiyallahu 'anhu. Hingga Dzul Kwuaishirah berkata
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Berbuat adillah,
sesungguhnya engkau tidak adil". Tidak sepatutnya Iblis dicontoh dalam
perbuatan keji seperti ini. Kami berlindung kepada Allah dari segala
kehinaan". (Lihat Tablis Iblis, hal. 95).
Wallahu
a'lam bish-Shawab Oleh: Muhammad Abdul Hakim Hamid
Maraji'
- Majmu' Fatawa, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, dikumpulkan dan disusun oleh Abdurrahman bin Qasim
dan anaknya, Daarul Ifta', Riyadh, cet. I tahun 1397H.
- Fathu al-Baari bi Syarhi
Shahih al-Bukhari, Imam al-Hafidzh Ahmad bin Ali bi Hajar Majdi
al-Asqalani, susunan Muhammad Fu'ad Abdul Baaqi, penerbit : Salafiyah.
- Shahih Muslim bin Syarhi
an-Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syarf an-Nawawi Daarul at-Turats
al-Arabi, Beirut, cet. II. Tahun 1392H.
- Tablis Iblis, oleh Imam
Jamaluddin Abdul farj Abdurahman bin al Jauzi, cet. Daarul Kutub
al-'Ilmiyah-Beirut, cet. II Tahun 1368H.
- Al-Bidayah wa an-Nihayah,
oleh al-Hafidzh 'Imaddudin Abul Fida' Ismail bin Katsir, cet. Maktabah
al-Ma'arif, Beirut, cet. II Tahun 1977M.
- Al-I'tisham, al-'Allaamah
Abu ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhami asy-Syathibi, Tahqiq
Muhammad Rasyid Ridha, cet. al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, Qaahirah.
- Jami' al-Bayan 'an Ta'wil
Aayi al-Qur'an, al-Imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Tabhari
al-Halabi, Qahirah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar