Sururiyah
adalah pemahaman Ikhwanul Muslimin yang dikembangkan dikalangan salafiyin Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Sururiyah adalah nisbat
kepada orang yang bernama Muhammad
Surur bin Nayef Zainal Abidin, Seorang anggota Ikhwanul Muslimin dari
Negeri Syam, Suriah. Kemudian orang ini masuk ke Saudi Arabia dan tinggal
disana kurang lebih
20 tahun dan mengaku sebagai Salafi. Setelah itu pindah ke
Brimingham Inggris dan terus-menerus menyebarkan pemikiran Ikhwannya di
kalangan Salafiyin melalui Majalah Al-Bayan kemudian Majalah As-Sunnah. Muhammad Surur dalam mengembangkan pemikiran sesatnya tidaklah
sendirian. Tetapi juga ada orang yang sejarahnya sama dengan dia. Yaitu sebagai
anggota gerakan Ikhwanul Muslimin (atau IM)
kemudian mengaku sebagai Salafi, seperti Abdurrahman Abdul Khaliq di Kuait.
Kemudian orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran Ikhwaniyah ini adalah
Dr. Safar Al-Hawali di Makkah, Dr. Muhammad Said Al-Qahthani, di Riyad, Salman
bin Fahd Al-Audah di Buraidah Qasim, Aidh Al-Qarni, Abdul Hadi Al-Misri, dan
sederet nama-nama yang lainnya. Mereka semua mengibarkan bendera Ahlus Sunnah
wal Jama’ah.
PEMIKIRAN IKHWANUL MUSLIMIN
PRINSIP SALAFUS SHALIH TERHADAP SUNNAH
DAN BID’AH
PENUTUP
Ikhwanul
Muslimin di bangun oleh seseorang bernama Hasan
Al-Banna dari Mesir. Ikhwanul Muslimin adalah gerakan pemahaman atau
pemikiran dan sekaligus gerakan politik yang bercita-cita untuk mencapai tampuk
kekuasaan negara Islam, yaitu Khilafah
Islamiyah.
Bila
kita simpulkan dari berbagai tulisan Hasan
Al-Banna dan tokoh-tokoh Ikhwan lainnya, prinsip pemikiran mereka adalah:
1.
Menyatukan
berbagai ormas dan orpol yang bekerja untuk memenangkan Islam dengan berbagai
bidang garapannya. Semuanya bisa bertemu dalam satu fikrah (pemikiran) yang diterima
secara umum (Majmu Rasa’il Hasan
Al-Banna, hal. 179-182).
2.
Mengembalikan
khilafah Islamiyyah di muka bumi adalah pokok manhaj Ikhwanul Muslimin. Karena
itu Ikhwanul Muslimin menyerukan persatuan internasional (hal.178 kitab yang sama).
3.
As-Salaf
dan Al-Khalaf (lihat pengertiannya dalam edisi perdana) hendaknya bersatu
karena keduanya berniat mensucikan Allah dari ketercelaan (hal. 330-331, kitab yang sama).
Tiga
pokok pemahaman ini adalah sebagian dari prinsip-prinsip Ikhwanul Muslimin yang
semuanya itu cukup menggambarkan kepada kita pemahaman dan pemikiran mereka.
Jalan
pikiran demikian ini telah menjadi prinsip yang trendi di kalangan kaum pergerakan yang sepaham dengan Ikhwan,
seperti jama’ah tabligh, Hizbut Tahrir, NII, dsb.
Salafus
Shalih mewariskan prinsip-prinsipnya kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Para
pewaris ini dinamakan Ahlus Sunnah karena sangat getol mencintai, mempelajari,
dan mengamalkan serta membela sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam. Maknan membela hadits ini ialah membantah segala upaya
pengkaburan pengertian sunnah Rasulullah. Prinsip tersebut dipahami dari
ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi serta dari pernyataan para salafus
shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
(ayat)
“Dan
demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang adil agar kalian menjadi
saksi atas sekalian manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian.” (Al-Baqarah: 143)
Maksudnya
Rasul telah menyampaikan risalah-Nya kepada umat-Nya dan menjadi saksi di
hadapan Allah pada hari kiamat terhadap umatnya, bahwa seluruh risalah yang
datang dari Allah kepada beliau telah disampaikan dan tidak ada yang
tertinggal. Juga sahabat beliau yang mempelajari agama ini dari beliau telah
menyampaikan dengan penuh amanah, seluruh ajaran yang beliau berikan kepada
mereka, disampaikan oleh segenap murid beliau kepada segenap manusia sehingga
para shahabat itu menjadi sakasi atas segenap manusia bahwa seluruh ajaran
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah sampai kepada mereka (Tafsir Ath-Thabari).
(hadits1)
Dari
Ibnu Mas’ud radliyallahu `anhu, beliau menyatakan: Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam menggaris satu garis dengan tangan beliau, kemudian
beliau menyatakan: “Inilah jalan Allah yang lurus.” Ibnu Mas’ud selanjutnya
menyatakan: Kemudian membuat garis sebelah kanannya dan sebelah kirinya garis
lurus tadi, kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan yang tidak ada satu
jalanpun daripadanya kecuali atasnya ada syaithan yang menyeru kepada jalan
tersebut.” Kemudian beliau membaca ayat Al-Qur’an yang berbunyi:
(ayat)
“Dan
sesungguhnya ini adalah jalanku yang dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan
lainnya.” (Al-An’am: 153)
(Hadits
riwayat Ahmad dalam musnadnya jilid satu hal. 435 dan 465 dan juga riwayat
Darimi I/67,68 dan juga riwayat Nasa’I, Ibnu Abi Hatim, dan hakim. Syaikh Abdul
Qadir Al-Arnauth menshahihkannya)
Jalan
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam adalah sunnahnya dan yang
menyimpang dari jalan ini adalah bid’ah. Abdullah bin Mas’ud radliyallahu
`anhu menyatakan:
(hadits2)
“Sederhana
dalam menjalankan sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh menjalankan
bid’ah.” (Riwayat Darimi I / 72 dan lainnya, dan As-Syaikh Ali Hasan
Abdul Hamid menshahihkan sanadnya dalam Al-Muntaqa Nafish 33).
Aisyah
Ummul Mukminin radliyallahu `anha menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda:
(hadits3)
“Barangsiapa
membuat perkara baru dari urusan kami yakni (urusan agama) yang tidak berasal
dari agama ini, maka perkara baru itu tertolak.” (HR. Bukhari Muslim dalam shahih keduanya)
Sufyan
Ats-Tsauri menyatakan:
(hadits4)
“Bid’ah
itu lebih disenangi oleh iblis daripada maksiat. Maksiat itu diharapkan akan
diampuni (walaupun tidak sempat taubat), sedangkan bid’ah tidak ada harapan
untuk diampuni (bila tidak sempat taubat daripadanya).” (Riwayat Ibnu Ja’d dalam Musnadnya hadits
no.1885)
Keterangan
di atas menunjukkan kepada kita bahwa ajaran Rasulullah shallallahu `alaihi
wa sallam harus dijunjung tinggi bahkan di atas kepentingan persatuan umat.
Persatuan umat jangan menjadi alasan untuk menghalangi pengamalan sunnah
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, tetapi justru persatuan itu
harus dalam rangka menjalankan sunnah beliau. Demikian pula kewajiban ingkar
terhadap bid’ah, harus lebih diutamakan daripada kepentingan lainnya. Karena
ingkar kepada bid’ah itu merupakan bagian daripada pengamalan dan pembelaan
sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sedangkan bagian terpenting
dari ingkar kepada bid’ah adalah ingkar terhadap ahlul bid’ah. Fudhail bin Ayyad rahimahullah
menyatakan:
(atsar1)
“Kalau
kamu melihat seorang ahlul bid’ah berjalan di satu jalan, maka ambillah jalan
lain. Dan tidak akan diterima oleh Allah amalan ahlul bid’ah. Barangsiapa
membantu ahlul bid’ah dalam amalan bid’ahnya maka sungguh ia telah membantu
meruntuhkan Islam.”
BAHAYANYA PEMIKIRAN IKHWANUL MUSLIMIN TERHADAP
PRINSIP-PRINSIP SALAFIYYAH
Tiga
pokok pemikiran Ikhwanul Muslimin, sebagaimana tersebut di atas, bila tumbuh
mengakar kepada seorang salafi akan meruntuhkan prinsip-prinsip Salafiyyah yang
ada padanya, cepat atau lambat. Karena pokok-pokok pemikiran Ikhwanul Muslimin
ini amat bertentangan dengan prinsip-prinsip Salafiyyah. Kita lihat prinsip
Ikhwanul Muslimin yang pertama. Disitu dinyatakan bahwa segenap pergerakan
Islam dapat dipersatukan dengan adanya keinginan pada masing-masingnya untuk
memenangkan Islam. Maka dengan prinsip persatuan seperti ini akan merusakkan
pemahaman al-wala wal bara’ ahlus sunnah
wal jama’ah. karena al-bara’ (kebencian)
seorang sunni salafi terhadap bid’ah
dan ahlul bid’ah haruslah diganti dengan al-wala
(loyalitas) bila ahlul bid’ah itu mempunyai keinginan memenangkan Islam.
Semangat seorang sunni salafi membela sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam harus dihentikan demimenjaga persaudaraan dan persatuan dengan para
musuh As-Sunnah, kerena semuanya telah bersepakat dalam keinginan “memenangkan
Islam”. Akibatnya keinginan seorang sunni salafi memenangkan Islam dengan cara
yang dituntunkan oleh sunnah Rasul, harus diganti dengan cara yang diterima
oleh semua pihak. Pemikiran dan pemahaman seperti inilah yang mendasari sikap
Ikhwanul Muslimin yang gegap gempita mendukung revolusi Syiah Rafidhah di Iran
dengan menutup mata terhadap segala bentuk kekafiran revolusi ini dan
kebenciannya terhadap Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Bayan Tandhimul ‘Alamin
Ikhwanul Muslimin di majalah Al-Mujtama’ Kuwait no. 434/25/2/1979 M.). Ini pula yang menyebabkan Umar Tilmitsani, mursyidul ’aam (ketua umum) Ikhwanul Muslimin Internasional, menyerukan persatuan antara Sunni dan Syiah.
Padahal yang demikian ini berarti penyatuan antara Islam dan kafir. Ini juga
merupakan seruan dan sikap Muhammad
Hamid Abu Nasher, ketua umum Ikhwanul Muslimin sekarang. Demikian pula
pemikiran para tokoh IM yang lainnya seperti Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Fathi Yakkan, dan lain-lain. Semua itu
adalah bentuk ekstrem yang lebih buruk dari prinsip IM yang diajarkan oleh Hasan Al-Banna. Prinsip inilah sekarang
dinamakan wihdatul fikrah (penyatuan
fikrah) menuju wihdatul harakah (penyatuan
gerakan). Ini berarti penghancuran prinsip al-wala
wal bara’ pada diri seorang muslim. Kalaupun ada seorang muslim berprinsip
seperti ini tetapi tidak bersikap ekstrem seperti tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin
tersebut di atas, maka sangat dikhawatirkan mereka digiring kepada sikap
seperti para tokoh tersebut, atau bahkan lebih ekstrim.
Prinsip
dan pikiran Ikhwanul Muslimin kedua ialah menjadikan perjuangan mengembalikan khalifah Islamiyyah di muka bumi,
sebagai pokok manhaj. Ini berarti, pokok pemikiran mereka adalah politik dan
segala perjuangan mereka diarahkan kepada kepentingan politik tersebut. Itulah
sebabnya mereka banyak bersikap politis dalam banyak masalah umat yakni
bersikap basa basi, bermain-main kata dan tidak terus terang dalam al-wala wal bara’.
Prinsip
ini juga menumbuhkan sikap bermuka dua dalam banyak hal sehingga sering
membingungkankaum muslimin. Semua itu dalam rangka menjaga keutuhan barisan IM yang terdiri dari berbagai kelompok
pemahaman dan pemikiran.
Prinsip
ini juga menimbulkan kekacauan politik dan pertumpahan darah di kalangan umat
Islam, karena umat Islam terus-menerus dipompa dengan berbagai kecurigaan
politik dan pengkafiran pemerintahnya. Ini dialami oleh rakyat Mesir,
Afganistan, Aljazair, dan juga di Indonesia ini serta di berbagai belahan bumi
lainnya. Kejadian-kejadian di Saudi Arabia sekarang ini juga dilakukan oleh
para tokoh yang menganut prinsip ini.
Ahlus
Sunnah wal Jama’ah meyakini bahwa pokok perjuangannya ialah menegakkan
ketauhidan dalam beribadah kepada Allah dan memberantas kemusyrikan, menegakkan
sunnah dan memberantas bid’ah. Sedangkan khalifah Islamiyyah merupakan janji
Allah bagi orang-orang yang berjuang menegakkan ketauhidan dan sunnah,
memberantas syirik dan bid’ah. Hal ini sebagaimana firman Allah:
(ayat)
“Allah
berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih, sungguh akan kami
jadikan mereka sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi sebagaimana Allah telah
menjadikan orang-orang Bani Israil sebelum mereka menjadi penguasa, dan sungguh
akan Allah kokohkan bagi mereka agama mereka yang Allah telah ridhai bagi
mereka dan sungguh Allah gantikan keadaan mereka yang takut kepada musuh
menjadi aman. Mereka itu beribadah pada-Ku dan tidak berbuat syirik kepada-Ku
sedikitpun dan barangsiapa yang kufur (terhadap nikmat ini) setelah nikmat itu
datang, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. Dan tegakkanlah shalat
dan tunaikanlah zakat dan taatilah Rasul semoga kalian mendapat rahmat.” (An-Nur: 55 - 56)
Imam Abu Bakar bin Al-Arabi rahimahullah mengatakan: “Ini
adalah janji yang umum dalam perkara kenabian, kekhalifahan, tegaknya dakwah,
dan keumuman berlakunya syariah ini, dengan akan tertunainya janji ini pada
setiap orang sesuai dengan kadarnya dan keadaannya. Bahkan janji ini berlaku kepada
para Mufti (pemberi fatwa), Qadhi (hakim) dan para Imam (pemimpin). Adapun masalah khilafah
tidaklah terlaksana janji dalam hal ini kecuali janji yang telah tertunai pada
para khulafaur rasyidin yang empat.” (Lihat
Ahkamul Qur’an Abu Bakar bin Al-Arabi jilid 3 hal. 1383)
As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah mengatakan: “Dan
janji seperti ini terus berlaku sampai hari kiamat. Selama mereka menegakkan
iman dan beramal shalih, maka selama itu pula janji Allah ini berlaku. Hanyalah
Allah akan menguasakan orang-orang kafir dan munafiqin. Dan kadang-kadang
meruntuhkan kaum muslimin, karena mereka telah merusakkan iman mereka dan
amalan shalihnya.” (Tafsir
Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Abdurrahman As-Sa’di, jilid 5, hal. 439-440)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan:
“Keadaan yang dijanjikan ini tidaklah dikhususkan bagi khalifah yang empat,
karena janji dalam ayat ini bersifat umum, bahkan yang mendapatkan janji ini
ialah segenap Muhajirin dan yang lain dari dari mereka.” (Tafsir Al-Jami’u Liahkamil Qur’an, Al-Imam Al-Qurthubi, jilid 6 hal. 4690)
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam Musnadnya membawakan riwayat
Ubay bin Ka’ab radliyallahu `anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda:
(hadits5)
“Beri
kabar gembira bagi ummat ini dengan tingginya kedudukan dan nilainya di sisi
Allah, terangkatnya derajat dan agamanya, dan kemenangan serta kekokohan
kedudukan di muka bumi. Maka berangsiapa dari mereka beramal dengan amalan
akhirat untuk mendapatkan dunia, tidaklah ia mendapat bagian apa-apa di
akhirat.” (HR. Ahmad 5 / 134. Dishahihkan oleh As-Syaikh Salim Al-Hilali
dalam Iqadhul Himam hal. 39)
Keterangan
di atas bila disimpulkan, maka Ahlus Sunnah berpandangan sesungguhnya pokok
manhaj perjuangan adalah memperbaiki iman dari berbagai noda syirik dan maksiat
dan juga memperbaiki amalannya dari kotoran-kotoran bid’ah. Sehingga dengan
itu, iman dan amalnya diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ahlus Sunnah wal
Jama’ah meyakini bila kaum Muslimin telah menjadi baik iman dan amalnya serta
mensyukuri nikmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka, tidak mungkin Allah
menyelisihi janji-Nya. Para pemimpin
kaum Muslimin khususnya, bersih imannya dari syirik dan benci kepadanya,
harus bersih amalannya dari bid’ah dan benci kepadanya. Bukannya mentolelir
syirik dan bid’ah demi ambisi menggiring umat untuk terikat dengan suatu
kepemimpinan bayangan guna mencapai cita-cita khilafah Islamiyyah. Dan saya
menegaskan disini, sungguh motto perjuangan yang demikian adalah menipu umat
Islam dan tidak ada wujudnya di alam nyata.
Adapun
persatuan salaf dan khalaf atas dasar kenyataan bahwa keduanya sama-sama
berniat mensucikan Allah adalah seruan bid’ah yang hendak mengkebiri dakwah
salafiyyah dalam menangkis segala upaya pengkaburan pemahaman umat Islam
terhadap agamanya. Sedangkan upaya pengkaburan itu dilakukan oleh khalaf dalam
bentuk Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Jahmiyyah dan sebagainya dari kalangan ahlul
bid’ah. Niat khalaf mansucikan Allah itu tidak cukup untuk dijadikan bahan
persatuan. Karena cara mensucikan Allah haruslah dengan cara yang dikehendaki
Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu salaf membantah keras khalaf yang
menyimpang dari cara Allah dan Rasul-Nya dalam mensucikan-Nya.
Dengan
demikian prinsip-prinsip Hasan Al-Banna yang
diwarisi dengan membabi-buta oleh gerakan IM
dan yang sefaham dengannya, jelas sangat bertentangan dengan
prinsip-prinsip salafus shalih. Karena itu dakwah salafiyah selalu dilecehkan
oleh para tokoh IM dan dikesankan
sebagai dakwah yang membikin kakunya hati, dakwah pemecah-belah umat dan
mermagai omongan yang menggambarkan betapa marahnya para tokoh IM ini terhadap dakwah salafiyah.
Di
saat merebaknya dakwah salafiyah di dunia Islam khususnya dan dunia lainnya
pada umumnya, muncullah orang-orang IM yang
berkedok salafi, semacam Muhammad Surur, Abdurrahman Abdul Khaliq, dan
lain-lainnya. Banyak para tokoh salafiyin termakan oleh orang-orang IM ini. Dikesankan oleh orang-orang ini
bahwa para ulama salafiyin adalah orang-orang yang dungu yang di bawah kendali
pemerintah-pemerintah kaki tangan Amerika Serikat. Tiga prinsip IM tersebut di atas sangat dielu-elukan
mereka. Tokoh-tokoh IM disanjung
tinggi-tinggi sampai digelari sebagai mujaddid (pembaharu), pemikir dan
berbagai gelar-gelar keramat. Kritik terhadap tokoh-tokoh tersebut bagi mereka
berarti penghinaan, sedangkan tudingan bid’ah berarti pengkafiran. Akibatnya
salafiyin terpecah-belah dalam sikap pro dan kontra terhadap racun pemikiran
yang ditebarkan di kalangan salafiyin ini. Bahkan di Saudi Arabia perpecahan
itu sampai pada tingkat pemukulan tiga ulama terkenal di masjid ketika para
ulama tersebut sedang memberikan pelajaran. Pelaku pemukulan itu adalah pemuda
salafiyin yang telah teracuni pemikirannya oleh fikrah Ikhwaniyyah sebagaimana
tersebut dalam penjelasan di atas.
Di
Indonesia, beberapa da’i kaum pergerakan yang mengaku sebagai salafiyin ikut
menyambut dakwah Ikhwaniyyah yang berlabel salafiyyah ini. Oleh karena itu saya
sangat menganjurkan kepada segenap kaum muslimin umumnya dan segenap salafiyyin
khususnya untuk lebih banyak menumpahkan perhatiannya kepada ilmu agama ini dan
lebih waspada terhadap fikrah Ikhwaniyyah dan banyak-banyak berdoa kepada
Allah, meminta hidayah-Nya dan taufiq-Nya serta memohon perlindungan kepada-Nya
dari kesesatan dan terus meningkatkan keikhlasan niat belajar ilmu agama ini
semata-mata untuk taat kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar