يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ
مُّسْلِمُوْنَ. [آل عمران: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا
رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي
تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
[النساء: 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ
وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ
فَوْزًا عَظِيْمًا [الأحزاب: 70-71]
أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ أَصْدَقَ
الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. اللَّهُمَّ
صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ
وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا
بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala dengan menjalankan perintah-perintah-Nya sekuat kemampuan kita, serta
dengan menjauhi segala larangan-Nya. Dan marilah kita senantiasa mengingat
bahwa dunia yang kita tempati ini bukanlah tempat tinggal selamanya. Bahkan
sebenarnya kita sedang dalam suatu perjalanan menuju tempat tinggal yang
sesungguhnya di alam akhirat nanti. Telah banyak orang yang dulunya bersama
kita atau bahkan dahulu tinggal satu rumah dengan kita, telah melewati dan
meninggalkan dunia ini. Mereka telah meninggalkan tempat beramal di dunia ini
menuju tempat perhitungan dan pembalasan amalan. Akan segera datang pula
saatnya kita menyusul mereka. Maka, marilah kita manfaatkan dunia ini sebagai
tempat mencari bekal untuk kehidupan akhirat kita. Sungguh seseorang akan
menyesal ketika pada hari perhitungan amal nanti dia datang dalam keadaan tidak
membawa amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ اْلإِنْسَانُ
وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى. يَقُوْلُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي
“Pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna
lagi mengingat itu baginya. Dia mengatakan: ‘Alangkah baiknya kiranya aku
dahulu mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku (di akhirat) ini’.” (Al-Fajr:
23-24)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah
Subhanahu wa Ta'ala,
Di dalam perjalanan hidup di dunia ini, kita akan menjumpai
hari-hari yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan keutamaan di dalamnya. Yaitu
dengan dilipatgandakannya balasan amalan dengan pahala yang berlipat, tidak
seperti hari-hari biasanya. Di antara hari-hari tersebut adalah sepuluh hari
pertama di bulan Dzulhijjah. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ
فِيْهَا أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ اْلأَيَّامِ - يَعْنِي أَيَّامَ
الْعَشْرِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟
قَالَ: وَلاَ الْجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ رَجُلاً خَرَجَ بِنَفْسِهِ
وَمَالِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ
“Tidaklah ada hari yang amal shalih di dalamnya lebih
dicintai oleh Allah dari hari-hari tersebut (yaitu sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah).” Para sahabat pun bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah jihad di
jalan Allah tidak lebih utama?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata: “Tidaklah jihad lebih utama (dari beramal di hari-hari tersebut),
kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak
kembali dengan keduanya (karena mati syahid).” (HR. Al-Bukhari)
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala,
Pada sepuluh hari yang pertama ini, kita juga disyariatkan
untuk banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik itu berupa ucapan
takbir, tahmid, maupun tahlil. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللهِ فِي
أَيَّامٍ مَعْلُوْمَاتٍ
“Dan supaya mereka berdzikir menyebut nama Allah pada hari
yang telah ditentukan.” (Al-Hajj: 28)
Diterangkan oleh para ulama bahwa hari-hari yang ditentukan
pada ayat tersebut adalah sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah. Maka hadits dan
ayat tadi menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut dan betapa besarnya rahmat
Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah Subhanahu wa
Ta’ala masih memberikan kesempatan bagi orang yang belum mampu menjalankan
ibadah haji untuk mendapatkan keutamaan yang besar pula, yaitu beramal shalih
pada sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah. Sehingga sudah semestinya kaum
muslimin memanfaatkan sepuluh hari pertama ini dengan berbagai amalan ibadah,
seperti berdoa, dzikir, sedekah, dan sebagainya. Termasuk amal ibadah yang
disyariatkan untuk dikerjakan pada hari-hari tersebut –kecuali hari yang
kesepuluh– adalah puasa. Apalagi ketika menjumpai hari Arafah, yaitu hari
kesembilan di bulan Dzulhijjah, sangat ditekankan bagi kaum muslimin untuk
berpuasa yang dikenal dengan istilah puasa Arafah, kecuali bagi jamaah haji
yang sedang wukuf di Arafah. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
وَالْبَاقِيَةَ
“(Puasa Arafah) menghapus dosa-dosa setahun yang lalu dan
yang akan datang.” (HR. Muslim)
Adapun bagi para jamaah haji, mereka tidak diperbolehkan
untuk berpuasa, karena pada hari itu mereka harus melakukan wukuf. Karena
mereka memerlukan cukup kekuatan untuk memperbanyak dzikir dan doa pada saat
wukuf di Arafah. Sehingga pada hari tersebut kita semua berharap untuk
mendapatkan keutamaan yang sangat besar serta ampunan dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa hari itu
adalah hari pengampunan dosa-dosa dan hari dibebaskannya hamba-hamba yang Allah
Subhanahu wa Ta’ala kehendaki dari api neraka. Sebagaimana dalam sabda beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ
يُعْتِقَ اللهُ فِيْهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Tidak ada hari yang Allah membebaskan hamba-hamba dari api
neraka, lebih banyak daripada di hari Arafah.” (HR. Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Pada bulan Dzulhijjah juga ada hari yang sangat istimewa
yang dikenal dengan istilah hari nahr. Yaitu hari kesepuluh di bulan tersebut,
di saat kaum muslimin merayakan Idul Adha dan menjalankan shalat Id serta
memulai ibadah penyembelihan qurbannya, sementara para jamaah haji
menyempurnakan amalan hajinya. Begitu pula hari-hari yang datang setelahnya,
yang dikenal dengan istilah hari tasyriq, yaitu hari yang kesebelas,
keduabelas, dan ketigabelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan hari-hari
tersebut sebagai hari-hari untuk makan, minum, dan berdzikir. Dan hari-hari
itulah yang menurut keterangan para ulama adalah hari yang disebutkan dalam
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَاذْكُرُوا اللهَ فِي أَيَّامٍ
مَعْدُوْدَاتٍ
“Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa
hari yang berbilang.” (Al-Baqarah: 203)
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyebutkan
tentang hari-hari tersebut:
أَيَّامُ مِنَى أَيَّامُ أَكْلٍ
وَشُرْبٍ وَذِكْرٍ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Hari-hari Mina (hari nahr dan tasyriq) adalah hari-hari
makan dan minum serta berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)
Saudara-saudaraku kaum muslimin rahimakumullah,
Berkaitan dengan dzikir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
perintahkan kaum muslimin untuk banyak mengucapkannya pada hari-hari tasyriq
dan hari-hari sebelumnya di awal bulan Dzulhijjah, para ulama dalam Al-Lajnah
Ad-Da`imah menyebutkan fatwa sebagai berikut:
“Disyariatkan pada Idul Adha takbir mutlak dan takbir
muqayyad. Adapun takbir mutlak maka (disyariatkan untuk dilakukan) pada seluruh
waktu dari mulai awal masuknya bulan Dzulhijjah sampai hari yang terakhir dari
hari-hari tasyriq. Sedangkan takbir muqayyad (disyariatkan untuk dilakukan)
pada setiap selesai shalat wajib mulai dari setelah selesai shalat subuh pada
hari Arafah sampai setelah shalat ‘Ashr pada akhir hari tasyriq. Dan
pensyariatkan hal tersebut ditunjukkan oleh ijma’ dan perbuatan para shahabat
radhiyallahu 'anhum.”
Sebagaimana ibadah lainnya, dzikir juga merupakan suatu
amalan yang tata caranya tidak boleh menyimpang dari petunjuk Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sehingga para ulama juga memberikan peringatan dari
dilakukannya takbir secara jama’i, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Yang dimaksud
di sini adalah takbir yang diucapkan secara bersama-sama dengan satu suara dan
dipimpin oleh seseorang. Hal ini sebagaimana tersebut dalam fatwa para ulama
dalam Al-Lajnah Ad-Da`imah yang isinya: “(Yang benar) adalah setiap orang
melakukan takbir sendiri-sendiri dengan suara keras. Karena sesungguhnya takbir
dengan cara bersama-sama (dengan satu suara yang dipimpin oleh seseorang) tidak
pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ
أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya
dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
Hadirin rahimakumullah,
Akhirnya, marilah kita berusaha memanfaatkan hari-hari yang
penuh dengan keutamaan untuk menambah dan meningkatkan amal shalih kita. Begitu
pula kita manfaatkan waktu yang ada untuk memperbanyak dzikir kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga kita akan menjadi orang yang mendapatkan
kelapangan hati, senantiasa takut kepada-Nya dan terjaga dari gangguan setan,
serta faedah lainnya dari amalan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ. {فَاذْكُرُوْنِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلاَ تَكْفُرُوْنِ}.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي
الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ
وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ
وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ
إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ، أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا عَنِ
اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ الْجَحِيْمِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ الْمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْمُبِيْنَ وَقَالَ:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا عَنْهُ الدِّيْنَ
وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala dengan selalu menjalankan berbagai ketaatan kepada-Nya. Di antara bentuk
ketaatan yang sangat besar keutamaannya dan sangat penting untuk mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah menyembelih binatang qurban.
Amalan ini merupakan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan Nabi kita Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka seorang muslim yang memiliki kemampuan
semestinya menjalankan amal ibadah yang mulia ini, yaitu menyembelih hewan
qurban, baik dia lakukan sendiri dan ini lebih afdhal, atau meminta orang lain
yang mengetahui hukum dan cara penyembelihan yang syar’i untuk melakukan
penyembelihannya. Namun tidak boleh baginya untuk membayar upah
penyembelihannya dengan sebagian dari hewan qurbannya, baik itu kepalanya,
kulitnya, atau yang semisalnya. Meskipun boleh baginya untuk memberinya sebagai
sedekah sebagaimana diberikan kepada yang lainnya dari kalangan fakir miskin.
Atau bisa pula dia memberikan sebagian dari hewan qurbannya sebagai hadiah,
sebagaimana dia berikan pula kepada yang lainnya baik tetangga ataupun
kerabatnya meskipun mereka orang yang kaya. Dan disunnahkan bagi orang yang
berqurban untuk memakan hewan sembelihannya, namun tidak boleh baginya untuk
menjual bagian apapun dari hewan sembelihannya. Begitu pula tidak boleh bagi
orang yang berqurban untuk memotong rambut dan kukunya dari mulai masuknya awal
bulan Dzulhijjah sampai dia melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban. Yang
demikian tadi disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
Saudara-saudaraku kaum muslimin yang mudah-mudahan
senantiasa dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala,
Disebutkan pula dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, bahwa untuk melaksanakan ibadah qurban ini, tujuh orang atau kurang
bisa bergabung secara bersama-sama dengan menyembelih seekor onta atau sapi.
Begitu pula bisa dengan menyembelih seekor kambing, namun itu hanya mencukupi
untuk satu orang. Namun dengan menyembelih satu ekor kambing sudah mencukupi
untuk diri dan keluarganya, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal
dunia. Dengan cara dia niatkan pahalanya untuk dirinya dan seluruh keluarganya
baik yang hidup maupun yang telah meninggal dunia1. Maka semua akan mendapat
keutamaan dan pahala yang sangat besar. Wallahu a’lam bish-shawab.
Hadirin rahimakumullah,
Ibadah menyembelih qurban ini harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang telah disyariatkan. Baik yang berkaitan dengan waktu
penyembelihan maupun yang berkaitan dengan kriteria dan syarat-syarat hewan
yang bisa dijadikan sebagai hewan qurban. Adapun yang berkaitan dengan waktu
penyembelihan, waktunya adalah dimulai dari setelah selesai shalat Idul Adha
dan berakhir waktunya menurut pendapat yang benar hingga tenggelamnya matahari
pada hari ketiga belas di bulan Dzulhijjah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ
فَلْيَذْبَحْ مَكَانَهَا أُخْرَى
“Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat, maka
sembelihlah (lagi) kambing untuk menggantikan kambing (yang disembelih sebelum
saatnya) tersebut.” (Muttafaqun ‘alaih)
Hadirin yang mudah-mudahan senantiasa dirahmati Allah
Subhanahu wa Ta’ala,
Adapun berkaitan dengan syarat hewan yang akan dijadikan
sebagai hewan qurban, hewan tersebut harus sudah mencapai umur yang telah
ditentukan. Juga sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, hewan itu bukanlah hewan yang buta satu matanya dan sangat jelas
butanya, serta bukan pula hewan yang terkena sakit dan sangat jelas sakitnya.
Bukan pula hewan yang pincang sehingga tidak bisa berjalan mengikuti lainnya,
serta bukan hewan yang sudah sangat tua sehingga tidak pantas untuk dikonsumsi
dagingnya. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslimin untuk belajar dan bertanya
kepada ahlinya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ibadah qurban ini.
Hadirin rahimakumullah,
Semestinya seseorang yang berqurban berusaha untuk mencari
sebaik-baik hewan yang akan dijadikan sebagai hewan qurban. Hewan yang tinggi
nilai/harganya, seperti yang banyak dagingnya, bagus warnanya, dan kuat/sehat
tubuhnya, atau yang semisalnya. Karena, yang demikian termasuk bentuk
pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menunjukkan
besarnya ketakwaan dirinya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللهِ
فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ
“Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya
itu menunjukkan ketakwaan hati.” (Al-Hajj: 32)
Akhirnya, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa
memberikan kepada kita petunjuk-Nya sehingga kita bisa menjalankan ibadah
sebagaimana yang disyariatkan-Nya. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak menjadikan kita menjadi orang yang sia-sia amalannya, karena beribadah
dengan tidak ikhlas atau tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Sebagaimana tersebut dalam
firman-Nya:
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِاْلأَخْسَرِيْنَ أَعْمَالاً. الَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا
“Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah
sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka
bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya’.” (Al-Kahfi: 103-104)
اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى
عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ
وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ وَعَنْ جَمِيْعِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ
بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ
الدِّيْنِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ
الْمُسْلِمِيْنَ ف¡
Penulis : Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar