Termasuk di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah Yang Mahaesa dan Yang kepada-Nya tempat bergantung. Insya Allah kita akan membicarakan hal ini melalui tiga hal:
Pertama, yang dimaksud bertawakkal kepada Allah.
Kedua, dalil syar'i bahwa bertawakkal kepada Allah termasuk diantara kunci-kunci rizki.
Ketiga, apakah tawakkal itu berarti meninggalkan usaha ?
Pertama, Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah
Para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan- telah menjelaskan makna tawakkal. Diantaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau berkata : "Tawakkal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang ditawakkali) semata". (Ihya' Ulumid Din, 4/259)
Al-Allamah Al-Manawi berkata : "Tawakkal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakkali". (Faidhul Qadir, 5/311)
Menjelaskan makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qari berkata:
"Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik mahluk maupun rizki, pemberian atau pelarangan, bahaya atau manfaat, kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semuanya itu adalah dari Allah". (Murqatul Mafatih, 9/156)
Kedua, Dalil Syar'i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Mubarak, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Qudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
"Artinya : Sungguh,
seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya
kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat
pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang". 1)
Dalam
hadits yang mulia ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
berbicara dengan wahyu menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benar tawakkal, niscaya dia akan diberi rizki. Betapa tidak demikian,
karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang Mahahidup, Yang tidak pernah
mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal kepadaNya, niscaya Allah akan
mencukupinya. Allah berfirman.
"Artinya : Dan barangsiapa
bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya
Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu". (Ath-Thalaq : 3)
Menafsirkan
ayat tersebut, Ar-Rabi' bin Khutsaim mengatakan : "(Mencukupkan) dari
setiap yang membuat sempit manusia". (Syarhus Sunnah, 14/298)
Ketiga,
Apakah Tawakkal Itu Berarti Meninggalkan Usaha? Sebagian orang mungkin ada yang berkata : "Jika orang yang bertawakkal kepada Allah itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalas-malasan, lalu rizki kita datang dari langit ?"
Perkataan itu sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkannya tentang hakikat tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan diberi rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari untuk mencari rizki dan pulang pada sore hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan, pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada Allah Yang Mahaesa dan Yang kepadaNya tempat bergantung. Dan sungguh para ulama -semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan- telah memperingatkan masalah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata : "Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka bertawakkal kepada Allah dalam bepergian, kedatangan dan usaha mereka, dan mereka mengetahui bahwa kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana burung-burung tersebut". (Dinukil dari Tuhfatul Ahwadzi, 7/8)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau di masjid seraya berkata, 'Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rizkiku datang sendiri'. Maka beliau berkata, 'Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.
"Artinya : Sesungguhnya
Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku".
Dan
beliau bersabda.
"Artinya : Sekiranya kalian
bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu
rizki sebagaimana yang diberikanNya kepada burung-burung, berangkat pagi-pagi
dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang".
Dalam
hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang
sore hari dalam rangka mencari rizki.
Selanjutnya
Imam Ahmad berkata, 'Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon
kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita'. (Dinukil dari Fathul Bari,
11/305-306) Syaikh Abu Hamid berkata : "Barangkali ada yang mengira bahwa makna tawakkal adalah meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang dilemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat memotong daging. Ini adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum syari'at. Sedangkan sya'riat memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana mungkin suatu derajat ketinggian dalam agama dapat diperoleh dengan hal-hal yang dilarang oleh agama pula ?"
Hakikat yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita katakan, 'Sesungguhnya pengaruh bertawakkal itu tampak dalam gerak dan usaha hamba ketika bekerja untuk mencapai tujuan-tujuannya'.
Imam Abul Qasim Al-Qusyairi : "Ketahuilah sesungguhnya tawakkal itu letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah maka hal itu tidak bertentangan dengan tawakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdirNya, dan terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dariNya". (Dinukil dari Murqatul Mafatih, 5/157)
Diantara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu, ia berkata :
"Artinya : Seseorang
berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, 'Aku lepaskan untaku dan
(lalu) aku bertawakkal ?' Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Ikatlah
kemudian bertawakkallah". 2)
Dan
dalam riwayat Imam Al-Qudha'i disebutkan.
"Artinya : Amr bin Umayah
Radhiyallahu 'anhu berkata, 'Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah !!, Apakah aku
ikat dahulu unta (tunggangan)-ku lalu aku bertawakkal kepada Allah, atau aku
lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal ? 'Beliau menjawab, 'Ikatlah
kendaraan (unta)-mu lalu bertawakkallah". (Musnad Asy-Syihab, Qayyidha wa
Tawakkal, no. 633, 1/368)
Kesimpulan
dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha.
Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha
untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada
kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala
urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
Footnote
: - Al-Musnad, no. 205, 1/243
no. 370, 1/313 no. 373, 1/304; Jami'ut Tirmidzi, Kitabuz Zuhud, Bab Fit
Tawakkal 'Alallah, no. 2344, no 2447, 7/7 dan lafazh ini adalah miliknya;
Sunan Ibni Majah, Abwabuz Zuhd, At-Tawakkul wal Yaqin, no 4216, 2/419;
Kitabuz Zuhd oleh Ibnu Al-Mubarak, juz IV, Bab At-Tawakkul wat Tawaddhu'
no. 559, hal 196-197; Al-Ihsan fi Taqribi Shahih Ibni Hibban, Kitabur Raqa'iq,
Bab Al-Wara' wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar 'amma Yajibu 'alal Mar'i min
Qath'il Qulubi 'anil Khala'iqi bi Jami'il Ala'iqi fi Ahwalihi wa Asbabihi
no. 730, 2/509; Al-Mustadzrak 'ala Ash-Shahihain, Kitabur Riqaq, 4/318;
Musnad Asy-Syihab, Lau Annakum Tatawakkaluna ala' Allah Haqqa Tawakkulihi
no. 1444, 2/319; Syarhus Sunnah oleh Al-Baghawi, Kitabur Riqaa, Bab
At-Tawakkul 'ala Allah 'Aza wa Jalla no. 4108, 14/301. Imam At-Tirmidzi
berkata, Ini adalah hadits shahih, kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi
ini (Jami'ut Tirmidzi, 7/8). Imam Al-Hakim berkata, Ini adalah hadits
dengan sanad shahih, tetapi tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim
(Al-Mustadrak 'ala Ash-Shahihain, 4/318). Imam Al-Baghawi berkata, Ini
adalah hadist hasan. (Syarhus Sunnah, 14/301). Dan sanadnya dishahihkan
oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir. (Lihat, Hamisyul Musnad, 1/234). Serta
Syaikh Al-Albani menshahihkannya, (Lihat, Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah
no. 310, jilid 1, juz III/12).
- Al-Ihsan fi Taqribi Shahih
Ibni Hibban, Kitabur Raqa'iq, Bab Al-Warra' wat Tawakkul, Dzikrul Akhbar
bin Annal Mar'a Yajibu Alaihi Ma'a Tawakkulil Qalbi Al-Ihtiraz bil A'dha
Dhidda Qauli Man Karihahu, no. 731, 2/510, dan lafazh ini miliknya;
Al-Mustadrak Alash Shahihain, Kitab Ma'rifatish Shahabah, Dzikru Amr bin
Umayah Radhiyallahu 'anhu, 3/623. Al-Hafizh Adz-Dzahabi berkata, Sanad
hadist ini 'jayyid'. (At-Talkhis, 3/623). Al-hafizh Al-Haitsami juga
menyatakan hal senada dalam Ajmau'z Zawa'id wa Manba'ul Fawa'id, 10/303.
Beliau berkata, Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari banyak
jalan. Dan para pembawa haditsnya adalah pembawa hadits Shahih Muslim
selain Ya'kub bin Abdullah bin Amr bin Umayah Adh-Dhamari, dan dia adalah
tsiqah (terpercaya). (Op. cit, 10/303)
Disalin dari buku Mafatiihur Rizq
fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Syaikh Dr Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia
Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunah hal. 28-35 terbitan Darul Haq,
Penerjemah Ainul Haris Arifin Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar