Ketika iman bersemi dalam hati sesuai tuntunan syariat, niscaya hati ini rindu terbang ke jannah dan takut siksa neraka

Rabu, 10 Oktober 2012

Siapakah Penguasa Muslim dan Siapa Pula Penguasa Kafir


Perlu kami bawakan penjelasan dalam perkara ini, sebelum kita masuk dalam pembicaraan tentang berbagai keteladanan para tokoh yang dipenjara. Karena penjara selalu digunakan oleh para penguasa untuk menentang perjuangan para tokoh-tokoh yang ingin menunaikan kewajiban Allah untuk beramar ma’ruf dan bernahi munkar (yakni menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran) dalam kehidupan di dunia ini. Maka agar jangan sampai tumbuh tafsiran yang keliru terhadap upaya kami membawakan sejarah perjuangan tokoh-tokoh yang dipenjara, kami perlu memaparkan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menyikapi para penguasa yang memiliki dan membangun penjara-penjara itu, serta memiliki hak untuk menentukan siapa yang dimasukkan padanya dan siapa pula yang dibebaskan daripadanya. Tafsiran keliru yang kami kuatirkan terhadap tulisan ini ialah menafsirkannya kepada pemahaman Khawarij yang berkecenderungan reaksioner dan anarkhis terhadap berbagai kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman atau bahkan kekafiran penguasa. 
Dalam prinsip politik Islam yang diberitakan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah ditegaskan bahwa pemegang otoritas politik yang dinamakan penguasa atau pemerintah itu ada dua macam. Yaitu penguasa kafir dan penguasa Muslim. Batas yang membedakan antara dua macam penguasa itu ialah hukum Allah dan Rasul-Nya. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya berikut ini:
(ayat)
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka menjadikan engkau (hai Muhammad) sebagai hakim untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati keberatan di hati mereka terhadap keputusanmu dan tunduk melaksanakan keputusan itu dengan sebenar-benar tunduk.” (An-Nisa’: 65)

Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menyatakan:
(hadits1)
 “Bila penguasa kalian itu adalah hamba sahaya yang terpotong hidung dan daun telinganya, (aku menyangka beliau menyatakan) yang kulitnya hitam, dia memimpin kalian dengan Kitab Allah (yakni Al-Qur’an dan tafsirnya yaitu Al-Hadits, pen), maka dengarkan dan taatilah perintah penguasa itu.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Imarah Bab Wujub Tha’atil Umara’ fi Ghairi Ma’shiyah).

Maka penguasa Muslim itu adalah penguasa yang menjalankan kekuasaannya atas negara yang dipimpinnya dengan berdasarkan hukum Syari’ah Islamiyah sebagai acuan hukum negara. Atau penguasa yang mengakui bahwa hukum Syari’ah Islam Islamiyah adalah satu-satunya hukum yang sah dalam mengatur segala aspek kehidupan di dunia ini.
Sedangkan penguasa yang kafir itu ialah penguasa yang menolak untuk mengakui hukum Syari’ah Islamiyah sebagai satu-satunya hukum yang sah dalam mengatur segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal dia mengerti bahwa Allah telah mewajibkan ummat manusia untuk menegakkan keadilan di muka bumi hanya melalui penerapan hukum Syari’ah Islamiyah.
As-Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menerangkan tentang makna An-Nisa’ 65 sebagai berikut:
“Dan barang siapa yang meninggalkan kewajiban bertahkim (yakni minta keputusan hukum, pent) kepada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagaimana yang disebutkan di ayat ini, dengan meyakini bahwa ia tidak wajib menjalankannya, maka orang yang demikian ini adalah kafir. Sedangkan orang yang tidak bertahkim kepadanya, tetapi merasa terikat dan meyakini wajibnya menerapkan hukum beliau, maka yang demikian itu adalah orang yang berbuat maksiat.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, jilid 2 hal 94).
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan tentang makna ayat ini sebagai berikut:
“Maka orang-orang yang bertahkim kepada hukum selain hukum Allah dan berpandangan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan terhadapnya, atau bahkan berpandangan bahwa hukum yang lainnya itu lebih baik dari hukum Allah, maka orang yang demikian itu telah keluar dari agama Islam dan mereka itu adalah orang-orang kafir, dhalim dan fasiq.” (Fatawa Watanbihat wa Nashaih, As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, halaman 137).

As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ie rahimahullah menerangkan:
“Tidak boleh suatu penguasa itu dihukumi kafir kecuali bila dia menganggap halal apa yang telah diharamkan oleh Allah, maka dia dikafirkan dengan tiga syarat, yaitu:
1). Penguasa itu dalam keadaan berilmu (yakni mengerti tentang hukum Syari’ah dalam perkara halal dan haram tersebut, pen).
2). Penguasa itu berbuat demikian dalam keadaan tidak dipaksa.
3). Penguasa itu berpandangan bahwa hukum yang lainnya itu sama baiknya dengan hukum Islam, atau lebih baik dari hukum Islam.”
(Ijabatus Sa’il ala Ahammil Masa’il, As-Syaikh Abu Abdir Rahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ie, halaman 568).

As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menerangkan lebih lanjut:
“Penguasa yang tidak berhukum dengan Kitabullah (yakni Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya (yakni Al-Hadits), wajib ditaati dalam perkara yang tidak mengandung maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak wajib diperangi penguasa itu karena pelanggarannya tersebut, bahkan tidak boleh diperangi. Kecuali bila penguasa itu telah sampai pada batas kekafiran. Maka bila sudah sampai pada tingkat demikian itu, wajib untuk disingkirkan penguasa itu dari kekuasaannya dan kaum Muslimin tidak boleh taat kepadanya. Adapun berhukum dengan selain Al-Qur’an dan Al-Hadits yang sampai pada kekafiran itu ialah dengan dua syarat; yaitu: Pertama, Penguasa tersebut dalam keadaan berilmu dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Karena bila dia dalam keadaan jahil tentangnya, maka penguasa itu tidaklah dikafirkan karena penyimpangannya itu. Kedua, Penguasa itu berhukum dengan yang datang dari selain Allah karena yakin bahwa hukum Allah itu telah tidak cocok lagi dengan keadaan jaman sekarang ini dan hukum yang lainya lebih cocok dengan situasi dan keadaan masa kini dan lebih bermanfaat bagi ummat manusia. Dengan dua syarat tersebut maka penguasa yang menjalankan hukum dengan selain yang datang dari Allah dan Rasul-Nya adalah penguasa yang kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam, karena firman Allah menyatakan: (artinya) Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir –S. Al Maidah 44-. Dan gugurlah kekuasaannya, dan tidak berhak lagi untuk ditaati oleh rakyatnya, bahkan wajib untuk diperangi dan disingkirkan dari kekuasaannya. Adapun bila penguasa itu berhukum dengan selain hukum Allah, tetapi dia masih tetap meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah adalah wajib dan hukum Allah itu lebih besar maslahatnya bagi manusia. Akan tetapi dia menyelisihi hukum itu karena hawa nafsunya atau karena ingin mendhalimi si terhukum, maka yang demikian itu tidaklah dianggap kafir. Akan tetapi dia adalah penguasa yang fasiq atau dhalim. Kekuasaannya tetap berlaku dan wajib untuk ditaati dalam perkara yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga tidak boleh diperangi atau disingkirkan dari kekuasaannya dengan kekuatan atau dengan pemberontakan. Karena Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam melarang untuk memberontak kepada penguasa, kecuali bila kita melihat kekafiran yang nyata dan kita mempunyai bukti kekafiran mereka itu di sisi Allah.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il, Fadlilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, jilid dua halaman 147 – 148).
As Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanyai dengan pertanyaan:
“Apa hukumnya orang-orang yang menuntut dilaksanakannya hukum yang berdasarkan prinsip sosialisme dan komunisme dan memerangi hukum Islam? Dan apa pula hukum orang-orang yang membantu perjuangan mereka dengan target akhir perjuangannya seperti itu dan mencerca orang-orang yang menuntut dilaksanakannya hukum Islam dan mengejek mereka serta menuduh mereka dengan berbagai tuduhan keji, apakah orang yang seperti demikian ini boleh menjadi imam memimpin shalat berjamaah di masjid-masjid Muslimin?”
Jawaban beliau adalah:
“Telah sepakat para Ulama’ bahwa siapa yang beranggapan bahwa hukum selain Islam itu lebih baik dari hukum Islam, atau beranggapan bahwa ajaran selain dari Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam itu lebih baik dari ajaran beliau shallallahu `alaihi wa sallam, maka orang yang beranggapan demikian itu adalah kafir. Sebagaimana pula para Ulama’ telah sepakat bahwa siapa saja beranggapan bahwa boleh bagi seseorang untuk tidak terikat dengan ketentuan Syari’at Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam, atau meyakini boleh menjalankan hukum selain hukum beliau, maka orang yang demikian itu adalah kafir dan sesat. Dengan dalil-dalil Al-Qur’an yang telah kami sebut dan juga kesepakatan para Ulama’, kiranya penanya dan pembaca yang lainnya mengerti bahwa orang-orang yang menyeru kepada paham sosialisme atau komunisme atau yang selain keduanya dari paham-paham yang meruntuhkan dan menentang hukum Islam, maka orang-orang yang demikian itu adalah kafir dan sesat, lebih kafir dari Yahudi dan Nashara. Karena mereka itu adalah orang-orang yang atheis yang tidak beriman kepada adanya Allah dan tidak beriman pula kepada adanya hari kiamat. Tidak boleh seorang pun dari orang-orang yang demikian ini menjadi khatib dan imam di satu masjid pun dari masjid-masjid Muslimin, dan tidak sah shalat yang dilakukan di belakang mereka (yakni tidak sah shalatnya orang yang bermakmum di belakang imam yang berpaham demikian, pent) dan semua yang mendukung perjuangan orang-orang yang menebarkan kesesatan paham demikian dan menganggap baik seruan orang-orang yang menyeru kepada pemahaman demikian, serta mencerca dan mencibir para penyeru kepada hukum Islam, maka orang-orang yang demikian itu juga kafir dan sesat. Hukum mereka sama dengan hukum golongan-golongan atheis yang berjalan di atas pola pemahamannya dan membantu tuntutan untuk menjalankan pemahaman sesat itu. Dan sungguh para Ulama’ Islam telah sepakat bahwa orang yang mendukung dan membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum Muslimin (karena alasan agama, pent) dengan bantuan model apapun, maka orang yang demikian itu adalah kafir seperti keadaan orang-orang kafir yang dibantunya itu. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah Ta`ala:
(ayat)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashara sebagai kekasih kalian. Sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian yang lainnya. Maka barangsiapa dari kalian yang menjadikan mereka sebagai kekasih, maka sungguh dia adalah termasuk dari golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki kaum yang dhalim.” (Al-Maidah: 51)         

Juga Allah Ta`ala berfirman:
(ayat)
“Hai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak kalian dan saudara-saudara kalian sebagai orang-orang yang kalian cintai bila mereka lebih mencintai kekafiran dari pada keimanan. Dan barang siapa dari kalian yang mencintai mereka maka sungguh orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang dhalim.” (At-Taubah: 23)

Aku harapkan dengan keterangan ini dapat mencukupi keperluan penanya dalam mencari penjelasan dan meyakinkannya untuk memperoleh kebenaran, dan Allah itu selalu menyatakan yang benar dan Dia menunjuki jalan yang benar. Kita memohon kepada-Nya Yang Maha Suci untuk memperbaiki keadaan kaum Muslimin dan menyatukan suara mereka di atas kebenaran. Kita memohon juga kepada-Nya agar Dia menghancurkan musuh-musuh Islam, serta mencerai-beraikan kesatuan mereka dan merontokkan kekuatan mereka dan melindungi kaum Muslimin dari kejahatan musuh-musuhnya. Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu maha kuasa dan semoga shalawat dan salam dilimpahkan atas hamba-Nya dan Rasul-Nya Nabi kita Muhammad dan semoga shalawat dan salam juga terlimpah atas ahli baitnya serta para shabatnya.” Demikian Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab pertanyaan seorang penanya dari Pakistan. (Fatawa wa Tanbihat wa Nasha’ih,  As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz halaman 135 – 136).
Kita melihat dalam nukilan-nukilan tersebut di atas bahwa para Ulama’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah sepakat dalam memandang siapakah penguasa yang kafir dan siapa pula penguasa yang Muslim. Semua keterangan tersebut perlu kita pahami dengan benar agar kita jangan terjatuh pada sikap membabi buta ketika menyikapi kondisi penguasa atau pemerintah. Membabi buta mengkafirkan pemerintah ketika mendapati kekeliruan yang dilakukannya adalah sikap yang salah. Demikian pula sikap membabi buta dalam menganggap pemerintah itu sebagai lembaga sakral yang tidak boleh dikritik dan dicerca kekeliruannya, juga adalah sikap yang salah. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap adil dalam segala perkara dan menentang sikap ekstrim dalam segala hal, termasuk pula dalam perkara As-Siyasah As-Syar’iyyah (perpolitikan menurut pandangan Syari’ah Islamiyah).

MENENTANG KESALAHAN DAN KEMUNGKARAN PEMERINTAH

Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam telah memperingatkan bahwa di ummat ini akan muncul penguasa yang menyimpang dari Syari’at Allah, dan ummat pun akan terlihat mutu masing-masingnya dalam menyikapi berbagai penyimpangan itu. Camkanlah sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam berikut ini:
(hadits2)
“Akan ada penguasa yang engkau ketahui nasabnya akan tetapi engkau ingkari perbuatannya. Maka barang siapa yang menentang kemungkarannya, dia akan selamat. Dan barangsiapa yang menjauhkan diri darinya, maka dia akan selamat juga. Dan barang siapa yang bergaul dekat dengan mereka, maka dia akan binasa.” (HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, Ibnu Syaibah dalam Mushannafnya dari Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma. Hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Ummu Salamah radliyallahu `anha (dengan lafadl yang berbeda, pen).

Demikian diterangkan oleh Al-Imam As-Suyuthi dalam Al-Jami’us Shaghir dan juga diterangkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’us Shaghir hadits ke 3661.
Dalam hadits ini telah diterangkan adanya tiga golongan kaum Muslimin dalam menyikapi kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, yaitu:
1). Golongan yang menentang kemungkaran yang ada pada penguasa itu, dan ini adalah golongan yang paling utama dalam keselamatan.
2). Golongan yang berlepas diri dari kemungkaran yang dilakukan penguasa itu dengan cara menjauhkan diri dari penguasa itu, dan golongan ini selamat karena ketika mengetahui kelemahannya, segera dia menjauhkan diri dari penguasa itu.
3). Golongan yang mendekat pada penguasa itu dan larut dalam kemungkarannya, maka golongan ini binasa karenanya.

Adapun menentang kemungkaran penguasa itu dilakukan dengan beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh para Ulama’ berikut ini:
1). Bila penguasa itu kafir, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk menyingkirkannya atau membunuhnya bila mampu. Bila tidak mampu maka dituntunkan untuk mentaati penguasa itu dalam kebaikan sampai Allah memberikan kesempatan untuk terlepas dari kedhaliman dan kekafiran penguasa tersebut. Atau bila tidak tahan dengan kedhaliman dan kekafiran penguasa itu dan takut keimanannya akan rusak bila terus menerus hidup di bawah penguasa yang demikian, maka dituntunkan untuk hijrah meninggalkan negeri itu ke negeri Muslimin lainnya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
(hadits3)
Dari Ubadah bin As-Shamit menyatakan: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah memanggil kami, kemudian kami membaiat (yakni janji mentaati segala perintah)  beliau. Dan di antara perkara yang kami baiat beliau adalah kami menyatakan mendengar dan taat kepada penguasa kami dalam keadaan kami menyenanginya atau dalam keadaan kami membencinya, dan dalam keadaan kami lapang maupun dalam keadaan kami kesulitan, dan dalam keadaan kami didhalimi. Kami berjanji pula kepada beliau untuk kami tidak merebut kekuasaan dari penguasa kami. Kemudian beliau menambahkan teks kalimat baiat kami dengan pernyataan beliau: “Kecuali kalau engkau melihat pada penguasamu itu kekafiran yang nyata, dimana engkau mempunyai bukti kekafirannya itu di hadapan Allah (dalam pengadilan-Nya di hari mahsyar, pent).” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Imarah Bab Wujub Tha’atil Umara’ fi Ghairi Ma’shiyah hadits ke 1709 / 42).

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menuntunkan untuk bersabar dengan kedhaliman penguasa Muslim dan mewasiatkan untuk tidak memberontak terhadapnya dengan tetap mentaatinya dalam perkara yang dibolehkan oleh Syari’ah Islamiyah. Kecuali bila penguasa itu telah menampakkan kekafiran yang nyata dan tidak ada keraguan lagi tentang kekafirannya. Dalam menerangkan makna hadits ini, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menukil keterangan dari Al-Qadli ‘Iyadl sebagai berikut:  “Telah sepakat para Ulama’ bahwasanya kepemimpinan negara Muslimin tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Mereka telah sepakat pula bahwa bila kepala negara itu semula Muslim kemudian menjadi kafir, wajib untuk disingkirkan dari kekuasaannya. Demikian pula bila penguasa itu meninggalkan kewajiban menegakkan shalat dan tidak lagi menyeru rakyatnya kepada kewajiban menegakkan shalat tersebut (harus disingkirkan pula dari kekuasaannya, pent).”
Dalil Al-Qadli `Iyadl dalam mengkatagorikan penguasa yang tidak menegakkan shalat dan tidak menyeru rakyatnya kepada kewajiban menegakkan shalat dalam katagori penguasa yang kafir, ialah sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim ketika beliau ditanyai oleh para Shahabat beliau dalam menyikapi penguasa yang bermaksiat kepada Allah: “Wahai Rasulallah, apakah boleh kita perangi penguasa itu?” Beliau menjawab: “Tidak boleh, selama para penguasa itu masih menegakkan shalat di kalangan kalian. Tidak boleh selama para penguasa itu masih menegakkan shalat di kalangan kalian.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Imarah Bab Khiyarul Aimmah wa Syiraruhum).
Selanjutnya Al-Qadli `Iyadl menerangkan: “Seandainya penguasa itu semula Muslim kemudian menjadi kafir, dan merubah hukum Syari’ah Islamiyah atau membikin bid’ah (yakni bid’ah yang dalam bentuk merubah hukum Syari’ah, pent), maka penguasa tersebut dianggap keluar dari kedudukannya sebagai pemerintah Muslimin sehingga gugurlah kewajiban ta’at kepadanya, dan wajib atas kaum Muslimin untuk memberontak kepadanya guna mencopot penguasa itu dari kekuasaannya serta mendudukkan penggantinya seorang penguasa yang adil. Yang demikian ini bila kaum Muslimin mampu menjalankannya. Dan bila kaum Muslimin tidak mampu melaksanakannya kecuali hanya sekelompok saja dari mereka, maka kelompok yang mampu itu wajib atasnya untuk mencopot penguasa yang kafir itu dari kekuasaannya. Adapun penguasa yang tergolong ahli bid’ah (yakni mempunyai pemahaman yang sesat tentang Islam, pen), maka tidaklah wajib atas kaum Muslimin untuk menyingkirkannya dari kekuasaan, kecuali bila diperkirakan bahwa kaum Muslimin mampu melakukannya. Bila kaum Muslimin tidak mampu menyingkirkan penguasa yang kafir atau ahli bid’ah tersebut, maka wajib atas kaum Muslimin untuk hijrah meninggalkan negerinya ke negeri lain untuk menyelamatkan imannya dari bahaya kekafiran atau kebid’ahan yang ada pada penguasa itu.”
Demikian Al-Imam An-Nawawi menukilkan keterangan Al-Qadli `Iyadl dalam Syarah Shahih Muslim juz 12 halaman 540 – 541.
Tetapi bila kaum Muslimin masih mampu menjaga imannya dari bahaya kekafiran dan kebid’ahan penguasa tersebut, maka dianjurkan mereka untuk tetap tinggal di negeri yang di bawah kekuasaan pemerintah yang kafir itu, dan menta’atinya dalam kebaikan serta berlepas diri dari kemungkarannya, sambil terus melancarkan da’wah Islamiyah dan memperbanyak kebaikan di kalangan kaum Muslimin, sampai Allah Ta`ala melepaskan kaum Muslimin dari penguasa yang kafir itu dan menggantikannya dengan penguasa yang Muslim dari hamba-hamba Allah yang shalih. Sikap yang demikian ini diambil pengertiannya dari sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam berikut ini:
(hadits4)
“Akan ada para penguasa yang tidak berpegang dengan dengan bimbinganku dan tidak berpedoman dengan ajaranku, dan akan tampil penguasa di kalangan kaum Muslimin dari orang-orang yang hatinya hati setan dalam tubuh manusia.” Hudhaifah menceritakan: Aku tanyakan kepada beliau: “Apa yang harus aku lakukan bila aku mendapati keadaan yang demikian itu?” Mendapat pertanyaan demikian beliau pun menjawab: “Kamu hendaknya tetap mendengar perintah penguasa itu dan mentaatinya, walaupun punggungmu dipukul olehnya dan hartamu dirampas, maka tetaplah kamu mendengar dan taat pada penguasa itu (dalam kebaikan, pent).” (HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Imarah Bab Wujub Mulazamah Jama’atil Muslimin, dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu `anhu).

Asy-Syaikh Al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan: 
“Dan kaidah Syari’ah yang telah disepakati menyatakan: Bahwa tidak boleh menghilangkan kejelekan dengan kejelekan yang lebih besar daripadanya. Akan tetapi yang semestinya ialah menolak kejelekan dengan amalan yang kiranya bisa menghilangkannya atau mempersedikit kejelekan itu. Adapun menghilangkan kejelekan dengan cara menimbulkan kejelekan yang besar daripadanya, maka yang demikian itu dilarang sebagaimana hal ini telah disepakati oleh kaum Muslimin. Maka bila sekelompok kaum Muslimin ingin menyingkirkan penguasa yang telah melakukan kekafiran yang nyata, dan kelompok Muslimin tersebut berkemampuan melakukannya, kemudian mampu pula untuk mengangkat penguasa yang shalih dan yang baik tanpa menimbulkan kerusakan yang besar pada kaum Muslimin, atau tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kejahatan penguasa yang kafir itu, maka tidak mengapa mereka melakukan upaya menyingkirkan penguasa itu. Tetapi bila upaya menyingkirkannya menimbulkan kerusakan yang besar dan hilangnya keamanan, serta menimbulkan kedhaliman pada banyak orang dan pembunuhan orang-orang yang tidak semestinya dibunuh dan berbagai kerusakan besar yang lainnya, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan. Justru yang harus dilakukan adalah bersabar dan tetap mendengar dan taat terhadap penguasa itu dalam perkara yang baik, serta menasehati para pejabatnya dan mendoakan mereka kepada Allah Ta`ala dengan baik dan berupaya untuk mempersedikit kejelekan serta memperbanyak kebaikan. Inilah jalan yang benar yang harus ditempuh oleh kaum Muslimin. Karena dengan cara demikian ini akan terjaga kemaslahatan kaum Muslimin, dan menyedikitkan kejelekan serta memperbanyak kebaikan. Di samping itu juga akan lebih menjaga keamanan dan keselamatan kaum Muslimin dari kejelekan yang banyak. Kita selalu memohon kepada Allah taufiq dan hidayah bagi semua pihak.” (Muraja’at fi Fiqhil Waki’ As-Siyasiy wal Fikriy ala Dlau’il Kitab was Sunnah, I’dad wa Hiwar Dr. Abdullah bin Muhammad Ar Rifa’ie, Darul Mi’raj Ad-Dauliyyah Lin Nasyr, Riyadl – Saudi Arabia, cet. th. 1414 H / 1994 M, hal. 25 – 26).                     

2). Bila pemerintah itu di tangan kaum Muslimin, maka prinsip utama dan terutama dalam hal ini adalah mentaatinya dalam perkara yang ma’ruf (yakni perkara yang tidak melanggar Syari’ah Islamiyah) serta berlepas diri daripadanya dalam perkara yang mungkar (yakni perkara yang bertentangan dengan Syari’ah Islamiyah). Juga dilarang memberontak kepadanya dengan adanya berbagai kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah itu. Adapun tuntunan Syari’ah dalam menentang kemungkaran yang ada pada pemerintah itu adalah sebagaimana tuntunan dalam mencegah kemungkaran pada umumnya, yaitu sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai berikut:
(hadits 5)
 “Siapa dari kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Bila tidak mampu maka hendaknya merubahnya dengan lesannya, dan bila tidak mampu maka hendaknya dia merubahnya dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim dalam Shahihnya dari Abi Said Al-Khudri radliyallahu `anhu, Al-Imam An-Nawawi membawakannya dalam kitab Riyadlus Shalihin bab Al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyi `anil munkar)

Merubah kemungkaran itu artinya adalah mencegahnya untuk jangan terjadi kemungkaran itu atau mencegahnya untuk jangan berlanjut kemungkaran tersebut. Penerapan hadits ini dalam mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah Muslimin adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya dengan sanadnya yang shahih dari Thariq bin Syihab yang menceritakan bahwa Marwan bin Hakam ketika sebagai gubernur kota Madinah bagi pemerintahan Bani Umayyah, menerapkan perbuatan bid’ah dalam perkara shalat hari raya dengan mendahulukan khutbah dari pada shalat. Maka berkatalah salah seorang kepada Marwan: “Shalat dulu sebelum khutbah.” Berkatalah Marwan kepada orang itu: “Yang demikian itu (yakni shalat dulu baru khutbah, pen) telah ditinggalkan wahai Aba Fulan.” Maka ketika melihat kejadian teguran orang tersebut terhadap kesalahan Marwan di depan umum (padahal Marwan adalah penguasa), berkatalah Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu `anhu: “Adapun orang ini, sungguh telah menjalankan kewajibannya, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah bersabda :
(hadits 6)
 “Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya dia mengingkarinya dengan tangannya. Bila dia tidak mampu, maka hendaknya dia mengingkarinya dengan lisannya. Bila dia tidak mampu, maka hendaknya dia merubahnya dengan hatinya. Dan yang demikian itu (yakni mengingkari dengan hati, pent) adalah selemah-lemah iman.” (HR Ahmad dalam Musnadnya jilid 3 hal. 92).

Pengingkaran terhadap kesalahan ataupun kemungkaran yang ada pada perbuatan atau tindakan penguasa Muslim itu menurut hadits tersebut di atas dilakukan dengan tiga cara:
a). Dengan tangan, yakni dengan tindakan fisik yang kiranya dapat mencegah kemungkaran tersebut atau minimal rakyat banyak telah mengerti bahwa apa yang dilakukan oleh penguasa itu adalah salah. Dan pengingkaran dengan cara demikian adalah paling baik dengan syarat tidak sampai menimbulkan fitnah atau kekacauan yang berakibat hancurnya harta kaum Muslimin atau tertumpahnya darah Muslimin ataupun gangguan keamanan di dalam kehidupan kaum Muslimin. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
(hadits 7)
 “Sesungguhnya manusia (yakni kaum Muslimin, pent) bila melihat orang dhalim berbuat kedhaliman dan tidak menarik tangannya agar jangan berbuat kedhaliman, maka sangat dikuatirkan akan ditimpakan adzab Allah yang merata terhadap mereka akibat sikap mendiamkan kedhaliman itu.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya Kitabul Fitan bab ke 8).

Mencegah kemungkaran penguasa dengan tangan ini telah dicontohkan oleh Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang bernama Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu `anhu, sebagaimana beliau telah ceritakan sendiri dalam riwayat Al-Bukhari  di kitab Shahihnya Kitabul ‘Iedain, Bab Al-Khuruj ilal Mushalla Bighairi Minbar, hadits ke 956, sebagai berikut:
“Dulu Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada hari Iedul Fitri atau Iedul Adlha keluar ke lapangan. Maka yang pertama beliau lakukan di lapangan itu adalah shalat Ied, kemudian beliau berpaling dari arah kiblat menghadapkan muka beliau kepada sekalian manusia dan orangpun duduk di shafnya masing-masing, sehingga beliau menasihati mereka dan memberi wasiat serta memberi perintah-perintah. Dan bila beliau akan mengiring kepergian pasukan perang yang akan berangkat menuju medan perang atau utusan beliau akan berangkat untuk menunaikan suatu urusan, beliau memutus khutbah itu untuk menunaikan keperluan-keperluan tersebut. Sehingga setelah beliau khutbah itu, beliaupun pulang kembali ke rumahnya.”
Abu Said Al-Khudri melanjutkan ceritanya: “Dan kaum Muslimin terus menerus dalam cara shalat Ied seperti itu, sehingga suatu hari aku keluar ke lapangan bersama Marwan, dan dia sebagai gubernur Madinah waktu itu, untuk menunaikan shalat Iedul Adlha atau Iedul Fitri. Maka ketika kami telah sampai di lapangan, ternyata mimbar telah dibikin oleh Katsir bin As-Shalt di lapangan itu, dan tiba-tiba Marwan ingin naik mimbar  sebelum dilaksanakannya shalat Ied, maka akupun menyeretnya dengan menarik jubbahnya. Dan Marwan balik menyeret jubbahku, dan dia pun langsung naik mimbar itu serta mulai berkhutbah sebelum shalat. Maka akupun menyatakan kepadanya: “Demi Allah, engkau telah merubah (yakni merubah pengamalan cara shalat Ied yang diajarkan, pen)…………..”
Demikian cerita Abu Sa’ied Al-Khudri radliyallahu `anhu melakukan inkarul munkar (mengingkari kemungkaran) terhadap penguasa di depan umum dengan tangannya dan dengan lisannya. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari jilid ke dua halaman 450 ketika menerangkan hadits ini menyatakan:
“Dalam hadits ini dapat kita ambil pengertian bahwa Ulama’ itu mestinya menginkari perbuatan penguasa yang menyelisihi ajaran Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam.”
b). Mengingkarinya dengan lisan, bila tidak mampu mencegahnya dengan tangan.
Ini tentunya kedudukan kedua dalam keutamaannya setelah keutamaan mencegah kemungkaran itu dengan tangan. Perbuatan tersebut telah dicontohkan oleh para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam mengingkari kesalahan penguasa atau kemungkaran dan kedzalimannya. Di antara beberapa riwayat yang menceritakan perbuatan para Shahabat Nabi dalam mengingkari kesalahan penguasa adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya dalam Kitabul Hajj seperti berikut ini:
“Sa’id bin Al-Musayyib menceritakan: Utsman dan Ali radliyallahu `anhuma berselisih di tempat yang bernama ‘Usfan tentang haji tamattu’. Ali menyatakan kepada Utsman: “Engkau tidak menginginkan kecuali melarang perkara yang pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam.” Maka ketika Ali tetap berpandangan pada pendiriannya, beliau bertalbiyah menunaikan haji dan ‘umrah bersamaan (yakni menunaikan haji qiran, yang dinamakan juga dengan tamattu’, pent).” (Riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1569).
Perselisihan keduanya itu ialah Utsman bin Affan sebagai penguasa melarang orang melakukan haji tamattu’ dan qiran, karena beliau menginginkan agar kaum Muslimin menjalankan manasik haji yang paling utama dalam pandangan beliau, yaitu haji ifrad. Tetapi Ali bin Abi Thalib menentang larangan tersebut karena beliau kuatir kalau orang nantinya menganggap bahwa manasik haji yang boleh itu hanyalah haji ifrad. Sehingga beliau dengan sengaja menyelisihi perintah Utsman sebagai penguasa dan menjalankan haji qiran. Di riwayat Muslim dalam Shahihnya Kitabul Haj Bab Jawazit Tamattu’ diceritakan oleh Sa’id bin Al-Musayyib dan Abdullah bin Syaqiq bahwa Utsman sempat menyatakan kepada Ali: “Biarkan kami dengan ketentuan kami.” Maka Ali pun menyatakan kepada Utsman: “Aku tidak bisa membiarkan engkau dengan ketentuanmu itu.”
Terhadap riwayat tersebut Ibnu Hajar Al-Asqalani memberikan komentar:
“Dalam kisah Utsman dan Ali ini ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik, dimana semestinya seorang Ulama’ itu menyebarkan ilmu yang dia ketahui dan menampakkannya (di depan masyarakat umum, pent), dan juga seorang Ulama’ itu dapat mendebat penguasa dan lain-lainnya dalam menunaikan upaya menyebarkan dan menampakkan pengamalan ilmu itu, tentu bagi mereka yang berkemampuan menjalankannya untuk keperluan kebaikan kaum Muslimin, serta menerangkan ilmu itu dengan perkataan dan perbuatan.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-Asqalani, jilid 3 halaman 425).      
Adapun contoh tentang perbuatan para Shahabat Nabi dalam mengingkari kedhaliman penguasa dengan lisannya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya berkenaan dengan peristiwa dibunuhnya Abdullah bin Az-Zubair radliyallahu `anhuma oleh Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi di Makkah, dan Al-Hajjaj adalah panglima perang bagi kerajaan Bani Umayyah di masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Al-Hajjaj setelah membunuh Abdullah bin Az-Zubair, menyalib mayatnya di tanah Haram Makkah Al-Mukarramah dan Al-Hajjaj menyebarkan di masyarakat Muslimin bahwa Abdullah bin Az-Zubair adalah musuh Allah, berbuat dhalim dan berbagai atribut kejelekan untuk mendiskreditkannya di kalangan kaum Muslimin. Tetapi kemudian Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhuma sengaja mendatangi tempat disalibnya mayat Abdullah bin Az-Zubair dan kemudian di depan umum dia menyatakan sambil menghadapkan muka ke mayat tersebut: “Assalamu alaika (sejahtera bagimu) wahai Aba Hubaib (kuniah bagi Abdullah bin Az-Zubair, karena anaknya yang terbesar bernama Hubaib, jadi Abu Hubaib artinya bapaknya Hubaib, pent), Assalamu alaika wahai Aba Hubaib, Assalamu alaika wahai Aba Hubaib. Sesungguhnya demi Allah, aku telah pernah melarang engkau untuk melakukan perbuatan ini (yakni berkepanjangan dalam berebut kekuasaan dengan Bani Umayyah, pent), sesungguhnya demi Allah aku telah pernah melarang engkau untuk melakukan perbuatan ini, sesungguhnya demi Allah aku telah pernah melarang engkau untuk melakukan perbuatan ini. Dan demi Allah aku persaksikan, aku tidak mengetahui perbuatanmu kecuali sebagai orang yang banyak berpuasa, banyak shalat malam, suka menyambung silaturrahmi. Dan demi Allah pula aku persaksikan, kalau seandainya dalam suatu ummat itu, orang yang dianggap terjelek itu adalah engkau, sungguh ummat itu adalah ummat yang baik.” Kemudian Abdullah bin Umar setelah menyatakan demikian, beliaupun pergi meninggalkan mayat Abdullah bin Az-Zubair di tiang penyaliban itu.
Sikap Abdullah bin Umar yang demikian itu telah sampai beritanya kepada Hajjaj, sehingga Hajjaj memerintahkan untuk diturunkannya mayat Abdullah bin Az-Zubair dari tiang penyaliban itu dan dikuburkannya di kuburan orang-orang Yahudi. Kemudian Hajjaj mengirim utusannya untuk memanggil ibunya Abdullah bin Az-Zubair yang bernama Asma’ bintu Abi Bakar As-Siddiq radliyallahu `anhuma agar datang menghadap ke Hajjaj. Tetapi Asma’ menolak panggilan itu. Utusan Hajjaj datang lagi kepada Asma’ untuk menyampaikan ultimatumnya kepada Asma’: “Engkau datang kepadaku sekarang juga, atau aku akan utus orang untuk menyeretmu pada kedua tandukmu (yakni Asma’ suka menggelung rambutnya dengan dua gelungan di kanan dan kiri sehingga dikatakan oleh Hajjaj dua tanduknya, pent) untuk dibawa kepadaku dengan paksa.”
Mendengar ultimatum keras dari Hajjaj itu, Asma’ menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan mendatangimu sehingga engkau menyeret aku pada kedua tandukku.”                     
Demi mendengar betapa Asma’ menolak panggilannya, Hajjaj bergegas memakai alas kakinya dan segera mendatangi tempat tinggal Asma’ dan segera masuk kerumahnya. Sesampainya di hadapan Asma’, Hajjaj menyatakan kepadanya: “Bagaimana pandanganmu terhadapku dengan tindakanku terhadap musuh Allah (yakni Abdullah bin Az-Zubair)?”
Asma’ bintu Abi Bakar As-Siddiq, yang ia adalah ibunya Abdullah bin Az-Zubair, menjawab: “Engkau telah menghancurkan dunianya, dan dia telah menghancurkan masa depanmu di akherat. Telah sampai kepadaku kabar bahwa engkau memanggil Abdullah bin Az-Zubair dengan panggilan “putra Dzatu Nithaqain” (maknanya ialah putra perempuan yang biasa berpakaian dengan mengikat baju panjangnya di pinggangnya untuk mudah bergerak ke sana kemari bila sedang bekerja. Hajjaj memanggil Abdullah bin Az-Zubair dengan menyebut ibunya seperti itu adalah untuk merendahkannya, pent). Ketahuilah olehmu, aku memang Dzatu Nithaqain. Ketahuilah olehmu, aku mengikat bajuku itu adalah karena aku selalu melayani Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan Abu Bakar As-Siddiq untuk menyediakan makan bagi keduanya. Ketahuilah olehmu, aku sesungguhnya mendengar Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memberitakan kepada kami bahwa dari kabilah Tsaqif akan keluar sang pendusta dan sang pembinasa. Adapun sang pendusta dari Bani Tsaqif, sungguh kita telah menyaksikannya (yaitu Al-Mukhtar bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi, yang mengaku jadi Nabi dan mengaku didatangi Jibril `alaihis salam, pent), adapun sang pembinasa dari Bani Tsaqif itu aku yakin adalah engkau.”
Mendengar omongan Asma’ yang tajam itu, Hajjaj bergegas keluar dari rumah Asma’ dan tidak kembali lagi kepadanya.
Imam Muslim bin Hajjaj An-Nisaburi meriwayatkan kejadian tersebut dengan panjang lebar dalam kitab Shahihnya di Kitab Fadhailus Shahabah bab Dzikru Kadzdzabits Tsaqif wa Mubiruha, dari Abi Naufal Amr bin Abi ‘Aqrab. Dan kami bawakan di sini dengan meringkas sebagian keterangan yang ada padanya.
Demikianlah sikap Shahabat Nabi terhadap kedhaliman pejabat tinggi negara yang bernama Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqfi. Yang dalam riwayat ini ialah tampilnya Abdullah bin Umar radliyallahu `anhuma memuji dan menyanjung Abdullah bin Az-Zubair di depan khalayak ramai, walaupun mengandung resiko didhalimi oleh Hajjaj. Karena Ibnu Zubair adalah tokoh yang merupakan lawan politik terberat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Dan Hajjaj sedang bertugas memberangus kekuatan politik Ibnu Zubair dan segenap pendukungnya, dengan cara menghancurkan kekuatan militernya dan membunuhnya, serta mengopinikan kepada khalayak ramai, betapa buruknya perbuatan Ibnu Zubair ini. Kaum Muslimin waktu itu, tentu dalam suasana ketakutan untuk dicap sebagai pendukung Ibnu Zubair. Karena resikonya bila dinilai demikian, adalah mati di hadapan algojonya Hajjaj. Sehingga ketika Hajjaj dan tentaranya menyebarkan tuduhan-tuduhan keji terhadap Abdullah bin Az-Zubair, kaum Muslimin tidak ada yang berani membantahnya, walaupun mereka semua telah mengetahui bahwa segala tuduhan Hajjaj terhadap Ibnu Zubair itu tidak benar. Dalam suasana mencekam seperti itu, Abdullah bin Umar tampil di depan khalayak ramai, membantah segala tuduhan Hajjaj terhadap Ibnu Az-Zubair dengan caranya sendiri. Al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi (terkenal dengan nama Imam Nawawi) memberikan komentar terhadap sikap dan tindakan Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhuma sebagai berikut:
“Dan dalam kisah ini tampak keutamaan Ibnu Umar, karena beliau menyatakan kebenaran di depan halayak ramai dan tidak takut dengan Hajjaj. Karena Ibnu Umar yakin bahwa berdirinya beliau di hadapan mayat Abdullah bin Az-Zubair, serta omongan dan pujiannya bagi Ibnu Az-Zubair itu pasti akan dilaporkan kepada Hajjaj. Maka keyakinan bahwa perbuatannya itu akan dilaporkan kepada Hajjaj, tidaklah menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran, serta mempersaksikan kebaikan Ibnu Zubair sesuai dengan apa yang dia ketahui. Sebagai bantahan terhadap kebatilan berita yang disebarkan oleh Hajjaj tentang Ibnu Zubair yang dikatakan bahwa dia adalah musuh Allah, orang dhalim, dan berbagai tuduhan yang semisal itu. Maka Ibnu Umar dengan tindakannya tersebut, ingin membersihkan nama baik Ibnu Zubair dari segala tuduhan Hajjaj itu. Juga Ibnu Umar ingin mengumumkan kepada sekalian kaum Muslimin tentang kebaikan Ibnu Zubair, sebagai lawan dari apa yang diberitakan oleh Hajjaj tentangnya.” (Syarah Shahih Muslim, Imam An-Nawawi, juz 16 hal. 77 & 78, keterangan terhadap hadits ke 2545 / 229).
Juga dalam riwayat tersebut di atas, kita saksikan betapa keberanian Shahabiyah Asma’ bintu Abi Bakar As-Siddiq radliyallahu `anhuma, yang beliau adalah ibunya Abdullah bin Az-Zubair. Dia menolak panggilan Hajjaj untuk menghadap kepadanya sebagai penguasa yang menang setelah berhasil menghancurkan kekuasaan Ibnu Az-Zubair. Meskipun Hajjaj mengeluarkan ancaman yang keras akan menyeretnya dengan paksa. Dan Hajjaj memang terkenal sebagai pejabat negara yang amat kejam, sehingga amat mungkin menjalankan ancamannya itu. Tetapi Asma’ tidak peduli dengan itu. Belum cukup sampai di situ saja keberanian Asma’, bahkan ketika akhirnya Hajjaj mau datang kerumahnya, beliau menghabisi Hajjaj dengan kata-kata yang tajam. Termasuk menyatakan keyakinannya, bahwa sang pembinasa yang akan muncul dari kabilah Tsaqif sebagaimana yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam itu adalah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi itu sendiri. Dengan pertolongan Allah, Hajjaj tak mampu berbuat apa-apa terhadap keberanian Asma’ itu, kecuali hanya diam dan kemudian pergi meninggalkan rumah Asma’. Pergi untuk tak kembali.
c). Menentang kesalahan pemerintah Muslimin dengan hati. Dan cara ketiga ini adalah caranya orang yang paling lemah iman dalam menentang kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman pemerintah. Yaitu dengan berlepas diri dari kemungkaran itu dan menjauhkan diri daripadanya. Golongan ketiga ini yang disebutkan oleh riwayat Muslim dalam Shahihnya pada Kitabul Imarah Bab Al-Inkar ‘alal Umara’ fi Maa Yukhalifus Syara’ riwayat dari Ummu Salamah radliyallahu `anha, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
(hadits 8)
 “Sesungguhnya akan diangkat penguasa atas kalian, yang kalian tahu nasabnya tetapi kalian benci perbuatannya. Maka barangsiapa mengingkari perbuatan penguasa itu, dia akan terlepas (dari dosa kemungkaran penguasa itu, pent). Dan barangsiapa yang membenci kemungkaran penguasa itu, maka sungguh dia akan selamat (dari dosa kemungkaran penguasa itu, pent). Akan tetapi (yang akan terlibat dengan dosa kemungkaran penguasa itu adalah, pent) yang ridla dengan kemungkaran itu dan mengikutinya.”  (HR. Muslim dalam Shahihnya)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam menerangkan: “Maknanya ialah barangsiapa yang membenci kemungkaran (yang ada pada penguasa itu, pent), maka sungguh dia akan terlepas dari dosanya dan dari ancaman siksaan Allah. Yang demikian itu adalah bagi orang yang tidak mampu mengingkari kemungkaran tersebut dengan tangannya dan tidak pula mampu dengan lisannya, sehingga dia hanya mampu membenci kemungkaran tersebut dengan hatinya saja.” (Syarah Shahih Muslim, Al-Imam An-Nawawi juz 12 halaman 552)
Dengan demikian, mendebat kesalahan pemerintah di depan umum secara lisan maupun dengan perbuatan dan membantah kedhaliman penguasa secara lisan, tidak berarti sikap demikian itu adalah memberontak kepada penguasa. Apalagi dikatakan sebagai sikap Khawarij yang notabene adalah aliran bid’ah dan sesat. Kalau memang kita katakan perbuatan tersebut sebagai sikap Khawarij, lalu apa yang kita katakan terhadap perbuatan Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu yang menyelisi keputusan Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu `anhu dalam perkara haji di depan umum? Apa pula yang kita katakan terhadap perbuatan Abu Sa’id Al-Khudri yang menentang Marwan bin Hakam dalam tindakannya menjalankan shalat Ied dengan mendahulukan khutbah daripada shalatnya? Bahkan apa yang akan kita katakan terhadap pujian Abu Sa’id Al-Khudri terhadap seorang pria yang menegur Marwan di depan umum, padahal Marwan adalah gubernur kota Al-Madinah An-Nabawiyah? Juga apa yang hendak kita katakan terhadap perbuatan Abdullah bin Umar serta perbuatan Asma’ bintu Abi Bakar As-Siddiq yang menentang kedhaliman Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi? Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang memberitakan sikap Salafaus Shalih yang menentang kesalahan pemerintah dan juga menentang kedhaliman pemerintah di depan umum ataupun khusus, yang tentunya mereka lebih menepati dan memahami Sunnah Nabi (ajaran Nabi) shallallahu `alaihi wa sallam, daripada kita di masa kini. Justru merekalah yang menjadi rujukan kita dalam memahami Sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Merekalah yang paling gigih menentang dan memerangi Khawarij, sehingga merekalah yang paling bersih dari segala sikap-sikap Khawarij dan sikap-sikap bid’ah lainnya.
Yang membedakan penentangan para shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam terhadap kesalahan pemerintah ataupun kemungkaran dan kedhaliman pemerintah, dengan penentangan Khawarij terhadap pemerintah, adalah dalam tujuan dan dalam cara melakukan penentangan itu.
Para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menentang kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman pemerintah adalah dalam rangka ketulusan mereka menjalankan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar dan dalam rangka kecemburuan mereka terhadap segala perkara yang mengancam pemahaman yang benar Ummat Islam terhadap agamanya. Semuanya itu adalah dalam rangka mengikhlaskan agama untuk Allah semata. Adapun Khawarij, mereka menentang kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman pemerintah adalah dalam rangka ambisi mereka merebut kekuasaan dan atau dalam rangka menempuh proses pematangan rakyat semesta menuju suatu pemberontakan kaum Muslimin terhadap pemerintahnya. Untuk tujuan inilah kalangan Khawarij berusaha mencari-cari kesalahan pemerintah Muslimin, apalagi kedhaliman dan kemungkarannya, guna dieksploitir untuk kepentingan program mobilisasi masyarakat Muslimin untuk memberontak kepada pemerintahnya. Perhatikan baik-baik, betapa jauh perbedaan tujuan para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan tujuan Khawarij dalam menentang kesalahan, kedhaliman serta kemungkaran pemerintah Muslimin. Seperti jauhnya perbedaan antara Sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan bid’ah.
Para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menentang kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman pemerintah Muslimin, tidak dengan menghasut kaum Muslimin untuk memberontak kepada penguasanya. Bahkan selalu menasehati kaum Muslimin untuk tetap bersabar mentaati penguasanya dalam kebaikan dan berlepas diri dari kemungkaran penguasanya. Akan tetapi Khawarij, melakukan penentangan kepada penguasa dengan menghasut kaum Muslimin untuk memberontak kepada penguasanya dengan cara apapun untuk menjatuhkan atau menyingkirkannya karena ambisi kekuasaan yang ada pada mereka itu. Perhatikan baik-baik, betapa jauh cara para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam menentang kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman penguasa, dengan cara Khawarij yang amat anarkhis itu. Seperti jauhnya perbedaan antara Sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan bid’ah.            
Perbedaan ini amat sulit dikenali oleh orang yang belum memahami betul perbedaan manhaj (metodologi, atau cara pemahaman) Salafus Shalih dengan manhajul Khawarij. Furqan (yakni kemampuan membedakan) di antara kedua manhaj itu diberikan oleh Allah kepada para Ulama’ Ahlul Hadits dengan ketaqwaan yang ada pada mereka yang mendampingi ilmu Sunnah yang Allah anugerahkan kepada mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar