Perlu
kami bawakan penjelasan dalam perkara ini, sebelum kita masuk dalam pembicaraan
tentang berbagai keteladanan para tokoh yang dipenjara. Karena penjara selalu
digunakan oleh para penguasa untuk menentang perjuangan para tokoh-tokoh yang
ingin menunaikan kewajiban Allah untuk beramar ma’ruf dan bernahi
munkar (yakni menyeru kepada
kebaikan dan mencegah kemungkaran) dalam
kehidupan di dunia ini. Maka agar jangan sampai tumbuh tafsiran yang keliru
terhadap upaya kami membawakan sejarah perjuangan tokoh-tokoh yang dipenjara,
kami perlu memaparkan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam menyikapi
para penguasa yang memiliki dan membangun penjara-penjara itu, serta memiliki
hak untuk menentukan siapa yang dimasukkan padanya dan siapa pula yang
dibebaskan daripadanya. Tafsiran keliru yang kami kuatirkan terhadap tulisan
ini ialah menafsirkannya kepada pemahaman Khawarij yang berkecenderungan
reaksioner dan anarkhis terhadap berbagai kesalahan atau kemungkaran dan
kedhaliman atau bahkan kekafiran penguasa.
Dalam
prinsip politik Islam yang diberitakan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah
ditegaskan bahwa pemegang otoritas politik yang dinamakan penguasa atau
pemerintah itu ada dua macam. Yaitu penguasa kafir dan penguasa Muslim. Batas
yang membedakan antara dua macam penguasa itu ialah hukum Allah dan Rasul-Nya.
Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Ta`ala dalam firman-Nya berikut ini:
(ayat)
“Maka
demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman sehingga mereka menjadikan engkau (hai
Muhammad) sebagai hakim untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka,
kemudian mereka tidak mendapati keberatan di hati mereka terhadap keputusanmu
dan tunduk melaksanakan keputusan itu dengan sebenar-benar tunduk.” (An-Nisa’:
65)
Rasulullah
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menyatakan:
(hadits1)
“Bila penguasa kalian itu adalah hamba sahaya
yang terpotong hidung dan daun telinganya, (aku menyangka beliau menyatakan)
yang kulitnya hitam, dia memimpin kalian dengan Kitab Allah (yakni Al-Qur’an
dan tafsirnya yaitu Al-Hadits, pen), maka dengarkan dan taatilah perintah
penguasa itu.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitabul
Imarah Bab Wujub Tha’atil Umara’ fi Ghairi Ma’shiyah).
Maka
penguasa Muslim itu adalah penguasa yang menjalankan kekuasaannya atas negara
yang dipimpinnya dengan berdasarkan hukum Syari’ah Islamiyah sebagai acuan
hukum negara. Atau penguasa yang mengakui bahwa hukum Syari’ah Islam Islamiyah
adalah satu-satunya hukum yang sah dalam mengatur segala aspek kehidupan di
dunia ini.
Sedangkan
penguasa yang kafir itu ialah penguasa yang menolak untuk mengakui hukum
Syari’ah Islamiyah sebagai satu-satunya hukum yang sah dalam mengatur segala
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, padahal dia mengerti bahwa Allah telah
mewajibkan ummat manusia untuk menegakkan keadilan di muka bumi hanya melalui
penerapan hukum Syari’ah Islamiyah.
As-Syaikh
Abdurrahman As Sa’di rahimahullah menerangkan tentang makna An-Nisa’ 65
sebagai berikut:
“Dan
barang siapa yang meninggalkan kewajiban bertahkim (yakni minta
keputusan hukum, pent) kepada Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa
sallam sebagaimana yang disebutkan di ayat ini, dengan meyakini bahwa ia
tidak wajib menjalankannya, maka orang yang demikian ini adalah kafir.
Sedangkan orang yang tidak bertahkim kepadanya, tetapi merasa terikat
dan meyakini wajibnya menerapkan hukum beliau, maka yang demikian itu adalah
orang yang berbuat maksiat.” (Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil
Mannan, jilid 2 hal 94).
As-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan tentang makna ayat ini
sebagai berikut:
“Maka
orang-orang yang bertahkim kepada hukum selain hukum Allah dan
berpandangan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan terhadapnya, atau bahkan
berpandangan bahwa hukum yang lainnya itu lebih baik dari hukum Allah, maka
orang yang demikian itu telah keluar dari agama Islam dan mereka itu adalah
orang-orang kafir, dhalim dan fasiq.” (Fatawa Watanbihat wa Nashaih,
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, halaman 137).
As-Syaikh
Muqbil bin Hadi Al-Wadi’ie rahimahullah menerangkan:
“Tidak
boleh suatu penguasa itu dihukumi kafir kecuali bila dia menganggap halal apa
yang telah diharamkan oleh Allah, maka dia dikafirkan dengan tiga syarat,
yaitu:
1). Penguasa itu
dalam keadaan berilmu (yakni mengerti tentang hukum Syari’ah dalam perkara
halal dan haram tersebut, pen).
2). Penguasa itu
berbuat demikian dalam keadaan tidak dipaksa.
3). Penguasa itu berpandangan bahwa hukum
yang lainnya itu sama baiknya dengan hukum Islam, atau lebih baik dari hukum
Islam.”
(Ijabatus
Sa’il ala Ahammil Masa’il, As-Syaikh Abu Abdir Rahman Muqbil bin Hadi
Al-Wadi’ie, halaman 568).
As-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menerangkan lebih lanjut:
“Penguasa
yang tidak berhukum dengan Kitabullah (yakni Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya
(yakni Al-Hadits), wajib ditaati dalam perkara yang tidak mengandung maksiyat
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak wajib diperangi penguasa itu karena
pelanggarannya tersebut, bahkan tidak boleh diperangi. Kecuali bila penguasa
itu telah sampai pada batas kekafiran. Maka bila sudah sampai pada tingkat
demikian itu, wajib untuk disingkirkan penguasa itu dari kekuasaannya dan kaum
Muslimin tidak boleh taat kepadanya. Adapun berhukum dengan selain Al-Qur’an
dan Al-Hadits yang sampai pada kekafiran itu ialah dengan dua syarat; yaitu: Pertama,
Penguasa tersebut dalam keadaan berilmu dengan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Karena bila dia dalam keadaan jahil tentangnya, maka penguasa itu tidaklah
dikafirkan karena penyimpangannya itu. Kedua, Penguasa itu
berhukum dengan yang datang dari selain Allah karena yakin bahwa hukum Allah
itu telah tidak cocok lagi dengan keadaan jaman sekarang ini dan hukum yang
lainya lebih cocok dengan situasi dan keadaan masa kini dan lebih bermanfaat
bagi ummat manusia. Dengan dua syarat tersebut maka penguasa yang menjalankan
hukum dengan selain yang datang dari Allah dan Rasul-Nya adalah penguasa yang
kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam, karena firman Allah
menyatakan: (artinya) Dan barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang
Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir –S. Al Maidah 44-.
Dan gugurlah kekuasaannya, dan tidak berhak lagi untuk ditaati oleh rakyatnya,
bahkan wajib untuk diperangi dan disingkirkan dari kekuasaannya. Adapun bila
penguasa itu berhukum dengan selain hukum Allah, tetapi dia masih tetap
meyakini bahwa berhukum dengan hukum Allah adalah wajib dan hukum Allah itu
lebih besar maslahatnya bagi manusia. Akan tetapi dia menyelisihi hukum
itu karena hawa nafsunya atau karena ingin mendhalimi si terhukum, maka yang
demikian itu tidaklah dianggap kafir. Akan tetapi dia adalah penguasa yang
fasiq atau dhalim. Kekuasaannya tetap berlaku dan wajib untuk ditaati dalam
perkara yang tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Juga
tidak boleh diperangi atau disingkirkan dari kekuasaannya dengan kekuatan atau
dengan pemberontakan. Karena Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam melarang
untuk memberontak kepada penguasa, kecuali bila kita melihat kekafiran yang
nyata dan kita mempunyai bukti kekafiran mereka itu di sisi Allah.” (Majmu’
Fatawa wa Rasa’il, Fadlilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin,
jilid dua halaman 147 – 148).
As
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanyai dengan
pertanyaan:
“Apa
hukumnya orang-orang yang menuntut dilaksanakannya hukum yang berdasarkan
prinsip sosialisme dan komunisme dan memerangi hukum Islam? Dan apa pula hukum
orang-orang yang membantu perjuangan mereka dengan target akhir perjuangannya
seperti itu dan mencerca orang-orang yang menuntut dilaksanakannya hukum Islam
dan mengejek mereka serta menuduh mereka dengan berbagai tuduhan keji, apakah
orang yang seperti demikian ini boleh menjadi imam memimpin shalat berjamaah di
masjid-masjid Muslimin?”
Jawaban
beliau adalah:
“Telah
sepakat para Ulama’ bahwa siapa yang beranggapan bahwa hukum selain Islam itu
lebih baik dari hukum Islam, atau beranggapan bahwa ajaran selain dari Nabi
Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam itu lebih baik dari ajaran beliau
shallallahu `alaihi wa sallam, maka orang yang beranggapan demikian itu
adalah kafir. Sebagaimana pula para Ulama’ telah sepakat bahwa siapa saja
beranggapan bahwa boleh bagi seseorang untuk tidak terikat dengan ketentuan
Syari’at Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam, atau meyakini boleh
menjalankan hukum selain hukum beliau, maka orang yang demikian itu adalah
kafir dan sesat. Dengan dalil-dalil Al-Qur’an yang telah kami sebut dan juga
kesepakatan para Ulama’, kiranya penanya dan pembaca yang lainnya mengerti
bahwa orang-orang yang menyeru kepada paham sosialisme atau komunisme atau yang
selain keduanya dari paham-paham yang meruntuhkan dan menentang hukum Islam,
maka orang-orang yang demikian itu adalah kafir dan sesat, lebih kafir dari Yahudi
dan Nashara. Karena mereka itu adalah orang-orang yang atheis yang tidak
beriman kepada adanya Allah dan tidak beriman pula kepada adanya hari kiamat.
Tidak boleh seorang pun dari orang-orang yang demikian ini menjadi khatib dan
imam di satu masjid pun dari masjid-masjid Muslimin, dan tidak sah shalat yang
dilakukan di belakang mereka (yakni tidak sah shalatnya orang yang bermakmum di
belakang imam yang berpaham demikian, pent) dan semua yang mendukung perjuangan
orang-orang yang menebarkan kesesatan paham demikian dan menganggap baik seruan
orang-orang yang menyeru kepada pemahaman demikian, serta mencerca dan mencibir
para penyeru kepada hukum Islam, maka orang-orang yang demikian itu juga kafir
dan sesat. Hukum mereka sama dengan hukum golongan-golongan atheis yang
berjalan di atas pola pemahamannya dan membantu tuntutan untuk menjalankan
pemahaman sesat itu. Dan sungguh para Ulama’ Islam telah sepakat bahwa orang
yang mendukung dan membantu orang-orang kafir dalam memerangi kaum Muslimin
(karena alasan agama, pent) dengan bantuan model apapun, maka orang yang
demikian itu adalah kafir seperti keadaan orang-orang kafir yang dibantunya
itu. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan dalam firman Allah Ta`ala:
(ayat)
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan
Nashara sebagai kekasih kalian. Sebagian mereka adalah kekasih bagi sebagian
yang lainnya. Maka barangsiapa dari kalian yang menjadikan mereka sebagai
kekasih, maka sungguh dia adalah termasuk dari golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak menunjuki kaum yang dhalim.” (Al-Maidah: 51)
Juga
Allah Ta`ala berfirman:
(ayat)
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak kalian dan
saudara-saudara kalian sebagai orang-orang yang kalian cintai bila mereka lebih
mencintai kekafiran dari pada keimanan. Dan barang siapa dari kalian yang
mencintai mereka maka sungguh orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang
yang dhalim.” (At-Taubah: 23)
Aku
harapkan dengan keterangan ini dapat mencukupi keperluan penanya dalam mencari
penjelasan dan meyakinkannya untuk memperoleh kebenaran, dan Allah itu selalu
menyatakan yang benar dan Dia menunjuki jalan yang benar. Kita memohon
kepada-Nya Yang Maha Suci untuk memperbaiki keadaan kaum Muslimin dan menyatukan
suara mereka di atas kebenaran. Kita memohon juga kepada-Nya agar Dia
menghancurkan musuh-musuh Islam, serta mencerai-beraikan kesatuan mereka dan
merontokkan kekuatan mereka dan melindungi kaum Muslimin dari kejahatan
musuh-musuhnya. Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu maha kuasa dan semoga
shalawat dan salam dilimpahkan atas hamba-Nya dan Rasul-Nya Nabi kita Muhammad
dan semoga shalawat dan salam juga terlimpah atas ahli baitnya serta para
shabatnya.” Demikian Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab pertanyaan seorang
penanya dari Pakistan .
(Fatawa wa Tanbihat wa Nasha’ih,
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz halaman 135 – 136).
Kita
melihat dalam nukilan-nukilan tersebut di atas bahwa para Ulama’ Ahlus Sunnah
wal Jama’ah telah sepakat dalam memandang siapakah penguasa yang kafir dan
siapa pula penguasa yang Muslim. Semua keterangan tersebut perlu kita pahami
dengan benar agar kita jangan terjatuh pada sikap membabi buta ketika menyikapi
kondisi penguasa atau pemerintah. Membabi buta mengkafirkan pemerintah ketika
mendapati kekeliruan yang dilakukannya adalah sikap yang salah. Demikian pula
sikap membabi buta dalam menganggap pemerintah itu sebagai lembaga sakral yang
tidak boleh dikritik dan dicerca kekeliruannya, juga adalah sikap yang salah.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap adil dalam segala perkara dan menentang sikap
ekstrim dalam segala hal, termasuk pula dalam perkara As-Siyasah
As-Syar’iyyah (perpolitikan menurut pandangan Syari’ah Islamiyah).
MENENTANG
KESALAHAN DAN KEMUNGKARAN PEMERINTAH
Rasulullah
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam telah memperingatkan bahwa di
ummat ini akan muncul penguasa yang menyimpang dari Syari’at Allah, dan ummat
pun akan terlihat mutu masing-masingnya dalam menyikapi berbagai penyimpangan
itu. Camkanlah sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam berikut
ini:
(hadits2)
“Akan
ada penguasa yang engkau ketahui nasabnya akan tetapi engkau ingkari
perbuatannya. Maka barang siapa yang menentang kemungkarannya, dia akan
selamat. Dan barangsiapa yang menjauhkan diri darinya, maka dia akan selamat
juga. Dan barang siapa yang bergaul dekat dengan mereka, maka dia akan binasa.”
(HR. Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, Ibnu Syaibah dalam
Mushannafnya dari Ibnu Abbas radliyallahu `anhuma. Hadits
ini diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dalam Shahihnya
dari Ummu Salamah radliyallahu `anha (dengan lafadl yang berbeda, pen).
Demikian
diterangkan oleh Al-Imam As-Suyuthi dalam Al-Jami’us Shaghir dan
juga diterangkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’us Shaghir
hadits ke 3661.
Dalam
hadits ini telah diterangkan adanya tiga golongan kaum Muslimin dalam menyikapi
kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa, yaitu:
1). Golongan yang
menentang kemungkaran yang ada pada penguasa itu, dan ini adalah golongan yang
paling utama dalam keselamatan.
2). Golongan yang
berlepas diri dari kemungkaran yang dilakukan penguasa itu dengan cara
menjauhkan diri dari penguasa itu, dan golongan ini selamat karena ketika
mengetahui kelemahannya, segera dia menjauhkan diri dari penguasa itu.
3). Golongan yang
mendekat pada penguasa itu dan larut dalam kemungkarannya, maka golongan ini
binasa karenanya.
Adapun
menentang kemungkaran penguasa itu dilakukan dengan beberapa cara sebagaimana
diterangkan oleh para Ulama’ berikut ini:
1).
Bila penguasa itu kafir, maka kaum Muslimin diperintahkan untuk
menyingkirkannya atau membunuhnya bila mampu. Bila tidak mampu maka dituntunkan
untuk mentaati penguasa itu dalam kebaikan sampai Allah memberikan kesempatan
untuk terlepas dari kedhaliman dan kekafiran penguasa tersebut. Atau bila tidak
tahan dengan kedhaliman dan kekafiran penguasa itu dan takut keimanannya akan
rusak bila terus menerus hidup di bawah penguasa yang demikian, maka
dituntunkan untuk hijrah meninggalkan negeri itu ke negeri Muslimin lainnya.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
(hadits3)
Dari
Ubadah bin As-Shamit menyatakan: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pernah
memanggil kami, kemudian kami membaiat (yakni janji mentaati segala
perintah) beliau. Dan di antara perkara
yang kami baiat beliau adalah kami menyatakan mendengar dan taat kepada
penguasa kami dalam keadaan kami menyenanginya atau dalam keadaan kami
membencinya, dan dalam keadaan kami lapang maupun dalam keadaan kami kesulitan,
dan dalam keadaan kami didhalimi. Kami berjanji pula kepada beliau untuk kami
tidak merebut kekuasaan dari penguasa kami. Kemudian beliau menambahkan teks
kalimat baiat kami dengan pernyataan beliau: “Kecuali kalau engkau melihat pada
penguasamu itu kekafiran yang nyata, dimana engkau mempunyai bukti kekafirannya
itu di hadapan Allah (dalam pengadilan-Nya di hari mahsyar, pent).” (HR. Muslim
dalam Shahihnya Kitabul Imarah Bab Wujub Tha’atil
Umara’ fi Ghairi Ma’shiyah hadits ke 1709 / 42).
Dalam
hadits ini, Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menuntunkan
untuk bersabar dengan kedhaliman penguasa Muslim dan mewasiatkan untuk tidak
memberontak terhadapnya dengan tetap mentaatinya dalam perkara yang dibolehkan
oleh Syari’ah Islamiyah. Kecuali bila penguasa itu telah menampakkan kekafiran
yang nyata dan tidak ada keraguan lagi tentang kekafirannya. Dalam menerangkan
makna hadits ini, Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menukil keterangan dari
Al-Qadli ‘Iyadl sebagai berikut: “Telah
sepakat para Ulama’ bahwasanya kepemimpinan negara Muslimin tidak boleh
diberikan kepada orang kafir. Mereka telah sepakat pula bahwa bila kepala
negara itu semula Muslim kemudian menjadi kafir, wajib untuk disingkirkan dari
kekuasaannya. Demikian pula bila penguasa itu meninggalkan kewajiban menegakkan
shalat dan tidak lagi menyeru rakyatnya kepada kewajiban menegakkan shalat
tersebut (harus disingkirkan pula dari kekuasaannya, pent).”
Dalil
Al-Qadli `Iyadl dalam mengkatagorikan penguasa yang tidak menegakkan shalat dan
tidak menyeru rakyatnya kepada kewajiban menegakkan shalat dalam katagori
penguasa yang kafir, ialah sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam
dalam Shahih Muslim ketika beliau ditanyai oleh para Shahabat
beliau dalam menyikapi penguasa yang bermaksiat kepada Allah: “Wahai
Rasulallah, apakah boleh kita perangi penguasa itu?” Beliau menjawab: “Tidak
boleh, selama para penguasa itu masih menegakkan shalat di kalangan kalian.
Tidak boleh selama para penguasa itu masih menegakkan shalat di kalangan
kalian.” (HR. Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Imarah Bab
Khiyarul Aimmah wa Syiraruhum).
Selanjutnya
Al-Qadli `Iyadl menerangkan: “Seandainya penguasa itu semula Muslim kemudian
menjadi kafir, dan merubah hukum Syari’ah Islamiyah atau membikin bid’ah (yakni
bid’ah yang dalam bentuk merubah hukum Syari’ah, pent), maka penguasa tersebut
dianggap keluar dari kedudukannya sebagai pemerintah Muslimin sehingga gugurlah
kewajiban ta’at kepadanya, dan wajib atas kaum Muslimin untuk memberontak
kepadanya guna mencopot penguasa itu dari kekuasaannya serta mendudukkan
penggantinya seorang penguasa yang adil. Yang demikian ini bila kaum Muslimin
mampu menjalankannya. Dan bila kaum Muslimin tidak mampu melaksanakannya
kecuali hanya sekelompok saja dari mereka, maka kelompok yang mampu itu wajib
atasnya untuk mencopot penguasa yang kafir itu dari kekuasaannya. Adapun
penguasa yang tergolong ahli bid’ah (yakni mempunyai pemahaman yang sesat
tentang Islam, pen), maka tidaklah wajib atas kaum Muslimin untuk
menyingkirkannya dari kekuasaan, kecuali bila diperkirakan bahwa kaum Muslimin
mampu melakukannya. Bila kaum Muslimin tidak mampu menyingkirkan penguasa yang
kafir atau ahli bid’ah tersebut, maka wajib atas kaum Muslimin untuk hijrah
meninggalkan negerinya ke negeri lain untuk menyelamatkan imannya dari bahaya kekafiran
atau kebid’ahan yang ada pada penguasa itu.”
Demikian
Al-Imam An-Nawawi menukilkan keterangan Al-Qadli `Iyadl dalam Syarah
Shahih Muslim juz 12 halaman 540 – 541.
Tetapi
bila kaum Muslimin masih mampu menjaga imannya dari bahaya kekafiran dan kebid’ahan
penguasa tersebut, maka dianjurkan mereka untuk tetap tinggal di negeri yang di
bawah kekuasaan pemerintah yang kafir itu, dan menta’atinya dalam kebaikan
serta berlepas diri dari kemungkarannya, sambil terus melancarkan da’wah
Islamiyah dan memperbanyak kebaikan di kalangan kaum Muslimin, sampai Allah
Ta`ala melepaskan kaum Muslimin dari penguasa yang kafir itu dan
menggantikannya dengan penguasa yang Muslim dari hamba-hamba Allah yang shalih.
Sikap yang demikian ini diambil pengertiannya dari sabda Nabi Muhammad shallallahu
`alaihi wa sallam berikut ini:
(hadits4)
“Akan
ada para penguasa yang tidak berpegang dengan dengan bimbinganku dan tidak
berpedoman dengan ajaranku, dan akan tampil penguasa di kalangan kaum Muslimin
dari orang-orang yang hatinya hati setan dalam tubuh manusia.” Hudhaifah
menceritakan: Aku tanyakan kepada beliau: “Apa yang harus aku lakukan bila aku
mendapati keadaan yang demikian itu?” Mendapat pertanyaan demikian beliau pun
menjawab: “Kamu hendaknya tetap mendengar perintah penguasa itu dan
mentaatinya, walaupun punggungmu dipukul olehnya dan hartamu dirampas, maka
tetaplah kamu mendengar dan taat pada penguasa itu (dalam kebaikan, pent).”
(HR. Muslim dalam Shahihnya Kitabul Imarah Bab Wujub
Mulazamah Jama’atil Muslimin, dari Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallahu
`anhu).
Asy-Syaikh
Al-Imam Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan:
“Dan
kaidah Syari’ah yang telah disepakati menyatakan: Bahwa tidak boleh
menghilangkan kejelekan dengan kejelekan yang lebih besar daripadanya. Akan
tetapi yang semestinya ialah menolak kejelekan dengan amalan yang kiranya bisa
menghilangkannya atau mempersedikit kejelekan itu. Adapun menghilangkan
kejelekan dengan cara menimbulkan kejelekan yang besar daripadanya, maka yang
demikian itu dilarang sebagaimana hal ini telah disepakati oleh kaum Muslimin.
Maka bila sekelompok kaum Muslimin ingin menyingkirkan penguasa yang telah
melakukan kekafiran yang nyata, dan kelompok Muslimin tersebut berkemampuan
melakukannya, kemudian mampu pula untuk mengangkat penguasa yang shalih dan
yang baik tanpa menimbulkan kerusakan yang besar pada kaum Muslimin, atau tidak
menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari kejahatan penguasa yang kafir itu,
maka tidak mengapa mereka melakukan upaya menyingkirkan penguasa itu. Tetapi
bila upaya menyingkirkannya menimbulkan kerusakan yang besar dan hilangnya
keamanan, serta menimbulkan kedhaliman pada banyak orang dan pembunuhan
orang-orang yang tidak semestinya dibunuh dan berbagai kerusakan besar yang
lainnya, maka yang demikian itu tidak boleh dilakukan. Justru yang harus
dilakukan adalah bersabar dan tetap mendengar dan taat terhadap penguasa itu
dalam perkara yang baik, serta menasehati para pejabatnya dan mendoakan mereka
kepada Allah Ta`ala dengan baik dan berupaya untuk mempersedikit kejelekan
serta memperbanyak kebaikan. Inilah jalan yang benar yang harus ditempuh oleh
kaum Muslimin. Karena dengan cara demikian ini akan terjaga kemaslahatan kaum
Muslimin, dan menyedikitkan kejelekan serta memperbanyak kebaikan. Di samping itu
juga akan lebih menjaga keamanan dan keselamatan kaum Muslimin dari kejelekan
yang banyak. Kita selalu memohon kepada Allah taufiq dan hidayah bagi semua
pihak.” (Muraja’at fi Fiqhil Waki’ As-Siyasiy wal Fikriy ala Dlau’il
Kitab was Sunnah, I’dad wa Hiwar Dr. Abdullah bin Muhammad Ar
Rifa’ie, Darul Mi’raj Ad-Dauliyyah Lin Nasyr, Riyadl – Saudi Arabia, cet. th.
1414 H / 1994 M, hal. 25 – 26).
2).
Bila pemerintah itu di tangan kaum Muslimin, maka prinsip utama dan terutama
dalam hal ini adalah mentaatinya dalam perkara yang ma’ruf (yakni perkara yang
tidak melanggar Syari’ah Islamiyah) serta berlepas diri daripadanya dalam
perkara yang mungkar (yakni perkara yang bertentangan dengan Syari’ah
Islamiyah). Juga dilarang memberontak kepadanya dengan adanya berbagai
kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah itu. Adapun tuntunan Syari’ah dalam
menentang kemungkaran yang ada pada pemerintah itu adalah sebagaimana tuntunan
dalam mencegah kemungkaran pada umumnya, yaitu sabda Nabi shallallahu `alaihi
wa alihi wa sallam sebagai berikut:
(hadits 5)
“Siapa dari kalian yang melihat kemungkaran,
maka hendaknya dia merubahnya dengan tangannya. Bila tidak mampu maka hendaknya
merubahnya dengan lesannya, dan bila tidak mampu maka hendaknya dia merubahnya
dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim dalam Shahihnya
dari Abi Said Al-Khudri radliyallahu `anhu, Al-Imam An-Nawawi
membawakannya dalam kitab Riyadlus Shalihin bab Al-Amru bil
Ma’ruf wan Nahyi `anil munkar)
Merubah
kemungkaran itu artinya adalah mencegahnya untuk jangan terjadi kemungkaran itu
atau mencegahnya untuk jangan berlanjut kemungkaran tersebut. Penerapan hadits
ini dalam mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh pemerintah Muslimin
adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh riwayat Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya
dengan sanadnya yang shahih dari Thariq bin Syihab yang menceritakan bahwa
Marwan bin Hakam ketika sebagai gubernur kota Madinah bagi pemerintahan Bani
Umayyah, menerapkan perbuatan bid’ah dalam perkara shalat hari raya dengan
mendahulukan khutbah dari pada shalat. Maka berkatalah salah seorang kepada
Marwan: “Shalat dulu sebelum khutbah.” Berkatalah Marwan kepada orang itu:
“Yang demikian itu (yakni shalat dulu baru khutbah, pen) telah ditinggalkan
wahai Aba Fulan.” Maka ketika melihat kejadian teguran orang tersebut terhadap
kesalahan Marwan di depan umum (padahal Marwan adalah penguasa), berkatalah Abu
Sa’id Al-Khudri radliyallahu `anhu: “Adapun orang ini, sungguh telah
menjalankan kewajibannya, karena Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam telah
bersabda :
(hadits 6)
“Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran,
maka hendaknya dia mengingkarinya dengan tangannya. Bila dia tidak mampu, maka
hendaknya dia mengingkarinya dengan lisannya. Bila dia tidak mampu, maka
hendaknya dia merubahnya dengan hatinya. Dan yang demikian itu (yakni
mengingkari dengan hati, pent) adalah selemah-lemah iman.” (HR Ahmad dalam
Musnadnya jilid 3 hal. 92).
Pengingkaran
terhadap kesalahan ataupun kemungkaran yang ada pada perbuatan atau tindakan
penguasa Muslim itu menurut hadits tersebut di atas dilakukan dengan tiga cara:
a).
Dengan tangan, yakni dengan tindakan fisik yang kiranya dapat mencegah
kemungkaran tersebut atau minimal rakyat banyak telah mengerti bahwa apa yang
dilakukan oleh penguasa itu adalah salah. Dan pengingkaran dengan cara
demikian adalah paling baik dengan syarat tidak sampai menimbulkan fitnah atau
kekacauan yang berakibat hancurnya harta kaum Muslimin atau tertumpahnya darah
Muslimin ataupun gangguan keamanan di dalam kehidupan kaum Muslimin. Rasulullah
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam bersabda:
(hadits 7)
“Sesungguhnya manusia (yakni kaum Muslimin,
pent) bila melihat orang dhalim berbuat kedhaliman dan tidak menarik tangannya
agar jangan berbuat kedhaliman, maka sangat dikuatirkan akan ditimpakan adzab
Allah yang merata terhadap mereka akibat sikap mendiamkan kedhaliman itu.” (HR.
At-Tirmidzi dalam Sunannya Kitabul Fitan bab ke 8).
Mencegah
kemungkaran penguasa dengan tangan ini telah dicontohkan oleh Shahabat Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam yang bernama Abu Sa’id Al-Khudri radliyallahu
`anhu, sebagaimana beliau telah ceritakan sendiri dalam riwayat
Al-Bukhari di kitab Shahihnya
Kitabul ‘Iedain, Bab Al-Khuruj ilal Mushalla Bighairi Minbar,
hadits ke 956, sebagai berikut:
“Dulu
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam pada hari Iedul Fitri atau
Iedul Adlha keluar ke lapangan. Maka yang pertama beliau lakukan di lapangan
itu adalah shalat Ied, kemudian beliau berpaling dari arah kiblat menghadapkan
muka beliau kepada sekalian manusia dan orangpun duduk di shafnya
masing-masing, sehingga beliau menasihati mereka dan memberi wasiat serta
memberi perintah-perintah. Dan bila beliau akan mengiring kepergian pasukan
perang yang akan berangkat menuju medan perang atau utusan beliau akan
berangkat untuk menunaikan suatu urusan, beliau memutus khutbah itu untuk
menunaikan keperluan-keperluan tersebut. Sehingga setelah beliau khutbah itu,
beliaupun pulang kembali ke rumahnya.”
Abu
Said Al-Khudri melanjutkan ceritanya: “Dan kaum Muslimin terus menerus dalam
cara shalat Ied seperti itu, sehingga suatu hari aku keluar ke lapangan bersama
Marwan, dan dia sebagai gubernur Madinah waktu itu, untuk menunaikan shalat
Iedul Adlha atau Iedul Fitri. Maka ketika kami telah sampai di lapangan,
ternyata mimbar telah dibikin oleh Katsir bin As-Shalt di lapangan itu, dan
tiba-tiba Marwan ingin naik mimbar
sebelum dilaksanakannya shalat Ied, maka akupun menyeretnya dengan
menarik jubbahnya. Dan Marwan balik menyeret jubbahku, dan dia pun langsung
naik mimbar itu serta mulai berkhutbah sebelum shalat. Maka akupun menyatakan
kepadanya: “Demi Allah, engkau telah merubah (yakni merubah pengamalan cara
shalat Ied yang diajarkan, pen)…………..”
Demikian
cerita Abu Sa’ied Al-Khudri radliyallahu `anhu melakukan inkarul
munkar (mengingkari kemungkaran) terhadap penguasa di depan umum dengan
tangannya dan dengan lisannya. Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam
Fathul Bari jilid ke dua halaman 450 ketika menerangkan hadits
ini menyatakan:
“Dalam hadits ini dapat kita ambil pengertian bahwa
Ulama’ itu mestinya menginkari perbuatan penguasa yang menyelisihi ajaran Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wa sallam.”
b). Mengingkarinya dengan lisan, bila tidak mampu
mencegahnya dengan tangan.
Ini
tentunya kedudukan kedua dalam keutamaannya setelah keutamaan mencegah
kemungkaran itu dengan tangan. Perbuatan tersebut telah dicontohkan oleh para
Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam mengingkari
kesalahan penguasa atau kemungkaran dan kedzalimannya. Di antara beberapa
riwayat yang menceritakan perbuatan para Shahabat Nabi dalam mengingkari
kesalahan penguasa adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Muslim dalam Shahih keduanya dalam Kitabul Hajj seperti
berikut ini:
“Sa’id
bin Al-Musayyib menceritakan: Utsman dan Ali radliyallahu `anhuma berselisih
di tempat yang bernama ‘Usfan tentang haji tamattu’. Ali menyatakan
kepada Utsman: “Engkau tidak menginginkan kecuali melarang perkara yang pernah
dilakukan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam.” Maka ketika Ali
tetap berpandangan pada pendiriannya, beliau bertalbiyah menunaikan haji dan
‘umrah bersamaan (yakni menunaikan haji qiran, yang dinamakan juga
dengan tamattu’, pent).” (Riwayat Al-Bukhari dalam Shahihnya
hadits ke 1569).
Perselisihan
keduanya itu ialah Utsman bin Affan sebagai penguasa melarang orang melakukan
haji tamattu’ dan qiran, karena beliau menginginkan agar kaum
Muslimin menjalankan manasik haji yang paling utama dalam pandangan beliau,
yaitu haji ifrad. Tetapi Ali bin Abi Thalib menentang larangan tersebut
karena beliau kuatir kalau orang nantinya menganggap bahwa manasik haji yang
boleh itu hanyalah haji ifrad. Sehingga beliau dengan sengaja
menyelisihi perintah Utsman sebagai penguasa dan menjalankan haji qiran.
Di riwayat Muslim dalam Shahihnya Kitabul Haj Bab Jawazit
Tamattu’ diceritakan oleh Sa’id bin Al-Musayyib dan Abdullah bin Syaqiq
bahwa Utsman sempat menyatakan kepada Ali: “Biarkan kami dengan ketentuan
kami.” Maka Ali pun menyatakan kepada Utsman: “Aku tidak bisa membiarkan engkau
dengan ketentuanmu itu.”
Terhadap
riwayat tersebut Ibnu Hajar Al-Asqalani memberikan komentar:
“Dalam
kisah Utsman dan Ali ini ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik, dimana
semestinya seorang Ulama’ itu menyebarkan ilmu yang dia ketahui dan
menampakkannya (di depan masyarakat umum, pent), dan juga seorang Ulama’ itu
dapat mendebat penguasa dan lain-lainnya dalam menunaikan upaya menyebarkan dan
menampakkan pengamalan ilmu itu, tentu bagi mereka yang berkemampuan
menjalankannya untuk keperluan kebaikan kaum Muslimin, serta menerangkan ilmu
itu dengan perkataan dan perbuatan.” (Fathul Bari, Ibnu Hajar
Al-Asqalani, jilid 3 halaman 425).
Adapun
contoh tentang perbuatan para Shahabat Nabi dalam mengingkari kedhaliman
penguasa dengan lisannya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dalam
Shahihnya berkenaan dengan peristiwa dibunuhnya Abdullah bin
Az-Zubair radliyallahu `anhuma oleh Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi di
Makkah, dan Al-Hajjaj adalah panglima perang bagi kerajaan Bani Umayyah di masa
Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Al-Hajjaj setelah membunuh Abdullah bin
Az-Zubair, menyalib mayatnya di tanah Haram Makkah Al-Mukarramah dan Al-Hajjaj
menyebarkan di masyarakat Muslimin bahwa Abdullah bin Az-Zubair adalah musuh
Allah, berbuat dhalim dan berbagai atribut kejelekan untuk mendiskreditkannya
di kalangan kaum Muslimin. Tetapi kemudian Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radliyallahu
`anhuma sengaja mendatangi tempat disalibnya mayat Abdullah bin Az-Zubair
dan kemudian di depan umum dia menyatakan sambil menghadapkan muka ke mayat
tersebut: “Assalamu alaika (sejahtera bagimu) wahai Aba Hubaib (kuniah
bagi Abdullah bin Az-Zubair, karena anaknya yang terbesar bernama Hubaib, jadi
Abu Hubaib artinya bapaknya Hubaib, pent), Assalamu alaika wahai Aba
Hubaib, Assalamu alaika wahai Aba Hubaib. Sesungguhnya demi Allah, aku
telah pernah melarang engkau untuk melakukan perbuatan ini (yakni
berkepanjangan dalam berebut kekuasaan dengan Bani Umayyah, pent), sesungguhnya
demi Allah aku telah pernah melarang engkau untuk melakukan perbuatan ini,
sesungguhnya demi Allah aku telah pernah melarang engkau untuk melakukan
perbuatan ini. Dan demi Allah aku persaksikan, aku tidak mengetahui perbuatanmu
kecuali sebagai orang yang banyak berpuasa, banyak shalat malam, suka
menyambung silaturrahmi. Dan demi Allah pula aku persaksikan, kalau seandainya
dalam suatu ummat itu, orang yang dianggap terjelek itu adalah engkau, sungguh
ummat itu adalah ummat yang baik.” Kemudian Abdullah bin Umar setelah
menyatakan demikian, beliaupun pergi meninggalkan mayat Abdullah bin Az-Zubair
di tiang penyaliban itu.
Sikap
Abdullah bin Umar yang demikian itu telah sampai beritanya kepada Hajjaj,
sehingga Hajjaj memerintahkan untuk diturunkannya mayat Abdullah bin Az-Zubair
dari tiang penyaliban itu dan dikuburkannya di kuburan orang-orang Yahudi.
Kemudian Hajjaj mengirim utusannya untuk memanggil ibunya Abdullah bin
Az-Zubair yang bernama Asma’ bintu Abi Bakar As-Siddiq radliyallahu `anhuma agar
datang menghadap ke Hajjaj. Tetapi Asma’ menolak panggilan itu. Utusan Hajjaj
datang lagi kepada Asma’ untuk menyampaikan ultimatumnya kepada Asma’: “Engkau
datang kepadaku sekarang juga, atau aku akan utus orang untuk menyeretmu pada
kedua tandukmu (yakni Asma’ suka menggelung rambutnya dengan dua gelungan di
kanan dan kiri sehingga dikatakan oleh Hajjaj dua tanduknya, pent) untuk dibawa
kepadaku dengan paksa.”
Mendengar
ultimatum keras dari Hajjaj itu, Asma’ menjawab: “Demi Allah, aku tidak akan
mendatangimu sehingga engkau menyeret aku pada kedua tandukku.”
Demi
mendengar betapa Asma’ menolak panggilannya, Hajjaj bergegas memakai alas
kakinya dan segera mendatangi tempat tinggal Asma’ dan segera masuk kerumahnya.
Sesampainya di hadapan Asma’, Hajjaj menyatakan kepadanya: “Bagaimana
pandanganmu terhadapku dengan tindakanku terhadap musuh Allah (yakni Abdullah
bin Az-Zubair)?”
Asma’
bintu Abi Bakar As-Siddiq, yang ia adalah ibunya Abdullah bin Az-Zubair,
menjawab: “Engkau telah menghancurkan dunianya, dan dia telah menghancurkan
masa depanmu di akherat. Telah sampai kepadaku kabar bahwa engkau memanggil
Abdullah bin Az-Zubair dengan panggilan “putra Dzatu Nithaqain” (maknanya ialah
putra perempuan yang biasa berpakaian dengan mengikat baju panjangnya di
pinggangnya untuk mudah bergerak ke sana kemari bila sedang bekerja. Hajjaj
memanggil Abdullah bin Az-Zubair dengan menyebut ibunya seperti itu adalah
untuk merendahkannya, pent). Ketahuilah olehmu, aku memang Dzatu Nithaqain.
Ketahuilah olehmu, aku mengikat bajuku itu adalah karena aku selalu melayani
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan Abu Bakar As-Siddiq untuk
menyediakan makan bagi keduanya. Ketahuilah olehmu, aku sesungguhnya mendengar
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memberitakan kepada kami bahwa
dari kabilah Tsaqif akan keluar sang pendusta dan sang pembinasa. Adapun sang
pendusta dari Bani Tsaqif, sungguh kita telah menyaksikannya (yaitu Al-Mukhtar
bin Abi Ubaid Ats-Tsaqafi, yang mengaku jadi Nabi dan mengaku didatangi Jibril `alaihis
salam, pent), adapun sang pembinasa dari Bani Tsaqif itu aku yakin adalah
engkau.”
Mendengar
omongan Asma’ yang tajam itu, Hajjaj bergegas keluar dari rumah Asma’ dan tidak
kembali lagi kepadanya.
Imam
Muslim bin Hajjaj An-Nisaburi meriwayatkan kejadian tersebut dengan panjang
lebar dalam kitab Shahihnya di Kitab Fadhailus Shahabah
bab Dzikru Kadzdzabits Tsaqif wa Mubiruha, dari Abi Naufal Amr
bin Abi ‘Aqrab. Dan kami bawakan di sini dengan meringkas sebagian keterangan
yang ada padanya.
Demikianlah
sikap Shahabat Nabi terhadap kedhaliman pejabat tinggi negara yang bernama
Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqfi. Yang dalam riwayat ini ialah tampilnya Abdullah
bin Umar radliyallahu `anhuma memuji dan menyanjung Abdullah bin
Az-Zubair di depan khalayak ramai, walaupun mengandung resiko didhalimi oleh
Hajjaj. Karena Ibnu Zubair adalah tokoh yang merupakan lawan politik terberat
bagi pemerintahan Bani Umayyah. Dan Hajjaj sedang bertugas memberangus kekuatan
politik Ibnu Zubair dan segenap pendukungnya, dengan cara menghancurkan
kekuatan militernya dan membunuhnya, serta mengopinikan kepada khalayak ramai,
betapa buruknya perbuatan Ibnu Zubair ini. Kaum Muslimin waktu itu, tentu dalam
suasana ketakutan untuk dicap sebagai pendukung Ibnu Zubair. Karena resikonya
bila dinilai demikian, adalah mati di hadapan algojonya Hajjaj. Sehingga ketika
Hajjaj dan tentaranya menyebarkan tuduhan-tuduhan keji terhadap Abdullah bin
Az-Zubair, kaum Muslimin tidak ada yang berani membantahnya, walaupun mereka
semua telah mengetahui bahwa segala tuduhan Hajjaj terhadap Ibnu Zubair itu
tidak benar. Dalam suasana mencekam seperti itu, Abdullah bin Umar tampil di
depan khalayak ramai, membantah segala tuduhan Hajjaj terhadap Ibnu Az-Zubair
dengan caranya sendiri. Al-Imam Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
An-Nawawi (terkenal dengan nama Imam Nawawi) memberikan komentar terhadap sikap
dan tindakan Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhuma sebagai
berikut:
“Dan
dalam kisah ini tampak keutamaan Ibnu Umar, karena beliau menyatakan kebenaran
di depan halayak ramai dan tidak takut dengan Hajjaj. Karena Ibnu Umar yakin
bahwa berdirinya beliau di hadapan mayat Abdullah bin Az-Zubair, serta omongan
dan pujiannya bagi Ibnu Az-Zubair itu pasti akan dilaporkan kepada Hajjaj. Maka
keyakinan bahwa perbuatannya itu akan dilaporkan kepada Hajjaj, tidaklah
menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran, serta mempersaksikan kebaikan Ibnu
Zubair sesuai dengan apa yang dia ketahui. Sebagai bantahan terhadap kebatilan
berita yang disebarkan oleh Hajjaj tentang Ibnu Zubair yang dikatakan bahwa dia
adalah musuh Allah, orang dhalim, dan berbagai tuduhan yang semisal itu. Maka
Ibnu Umar dengan tindakannya tersebut, ingin membersihkan nama baik Ibnu Zubair
dari segala tuduhan Hajjaj itu. Juga Ibnu Umar ingin mengumumkan kepada
sekalian kaum Muslimin tentang kebaikan Ibnu Zubair, sebagai lawan dari apa
yang diberitakan oleh Hajjaj tentangnya.” (Syarah Shahih Muslim,
Imam An-Nawawi, juz 16 hal. 77 & 78, keterangan terhadap hadits ke
2545 / 229).
Juga dalam riwayat tersebut di atas, kita saksikan
betapa keberanian Shahabiyah Asma’ bintu Abi Bakar As-Siddiq radliyallahu
`anhuma, yang beliau adalah ibunya Abdullah bin Az-Zubair. Dia menolak
panggilan Hajjaj untuk menghadap kepadanya sebagai penguasa yang menang setelah
berhasil menghancurkan kekuasaan Ibnu Az-Zubair. Meskipun Hajjaj mengeluarkan
ancaman yang keras akan menyeretnya dengan paksa. Dan Hajjaj memang terkenal
sebagai pejabat negara yang amat kejam, sehingga amat mungkin menjalankan
ancamannya itu. Tetapi Asma’ tidak peduli dengan itu. Belum cukup sampai di
situ saja keberanian Asma’, bahkan ketika akhirnya Hajjaj mau datang
kerumahnya, beliau menghabisi Hajjaj dengan kata-kata yang tajam. Termasuk
menyatakan keyakinannya, bahwa sang pembinasa yang akan muncul dari kabilah
Tsaqif sebagaimana yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam itu adalah Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi itu sendiri.
Dengan pertolongan Allah, Hajjaj tak mampu berbuat apa-apa terhadap keberanian
Asma’ itu, kecuali hanya diam dan kemudian pergi meninggalkan rumah Asma’.
Pergi untuk tak kembali.
c). Menentang kesalahan pemerintah Muslimin dengan
hati.
Dan cara ketiga ini adalah caranya orang yang paling lemah iman dalam menentang
kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman pemerintah. Yaitu dengan berlepas
diri dari kemungkaran itu dan menjauhkan diri daripadanya. Golongan ketiga ini
yang disebutkan oleh riwayat Muslim dalam Shahihnya pada Kitabul
Imarah Bab Al-Inkar ‘alal Umara’ fi Maa Yukhalifus Syara’ riwayat
dari Ummu Salamah radliyallahu `anha, bahwa Rasulullah shallallahu
`alaihi wa sallam bersabda:
(hadits 8)
“Sesungguhnya akan diangkat penguasa atas
kalian, yang kalian tahu nasabnya tetapi kalian benci perbuatannya. Maka
barangsiapa mengingkari perbuatan penguasa itu, dia akan terlepas (dari dosa
kemungkaran penguasa itu, pent). Dan barangsiapa yang membenci kemungkaran
penguasa itu, maka sungguh dia akan selamat (dari dosa kemungkaran penguasa
itu, pent). Akan tetapi (yang akan terlibat dengan dosa kemungkaran penguasa
itu adalah, pent) yang ridla dengan kemungkaran itu dan mengikutinya.” (HR. Muslim dalam Shahihnya)
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah dalam menerangkan: “Maknanya ialah barangsiapa
yang membenci kemungkaran (yang ada pada penguasa itu, pent), maka sungguh dia
akan terlepas dari dosanya dan dari ancaman siksaan Allah. Yang demikian itu
adalah bagi orang yang tidak mampu mengingkari kemungkaran tersebut dengan
tangannya dan tidak pula mampu dengan lisannya, sehingga dia hanya mampu membenci
kemungkaran tersebut dengan hatinya saja.” (Syarah Shahih Muslim,
Al-Imam An-Nawawi juz 12 halaman 552)
Dengan
demikian, mendebat kesalahan pemerintah di depan umum secara lisan maupun
dengan perbuatan dan membantah kedhaliman penguasa secara lisan, tidak berarti
sikap demikian itu adalah memberontak kepada penguasa. Apalagi dikatakan
sebagai sikap Khawarij yang notabene adalah aliran bid’ah dan sesat. Kalau
memang kita katakan perbuatan tersebut sebagai sikap Khawarij, lalu apa yang
kita katakan terhadap perbuatan Ali bin Abi Thalib radliyallahu `anhu yang
menyelisi keputusan Khalifah Utsman bin Affan radliyallahu `anhu dalam
perkara haji di depan umum? Apa pula yang kita katakan terhadap perbuatan Abu
Sa’id Al-Khudri yang menentang Marwan bin Hakam dalam tindakannya menjalankan
shalat Ied dengan mendahulukan khutbah daripada shalatnya? Bahkan apa yang akan
kita katakan terhadap pujian Abu Sa’id Al-Khudri terhadap seorang pria yang
menegur Marwan di depan umum, padahal Marwan adalah gubernur kota Al-Madinah
An-Nabawiyah? Juga apa yang hendak kita katakan terhadap perbuatan Abdullah bin
Umar serta perbuatan Asma’ bintu Abi Bakar As-Siddiq yang menentang kedhaliman
Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi? Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat lain yang
memberitakan sikap Salafaus Shalih yang menentang kesalahan pemerintah dan juga
menentang kedhaliman pemerintah di depan umum ataupun khusus, yang tentunya
mereka lebih menepati dan memahami Sunnah Nabi (ajaran Nabi) shallallahu
`alaihi wa sallam, daripada kita di masa kini. Justru merekalah yang
menjadi rujukan kita dalam memahami Sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa
sallam. Merekalah yang paling gigih menentang dan memerangi Khawarij,
sehingga merekalah yang paling bersih dari segala sikap-sikap Khawarij dan
sikap-sikap bid’ah lainnya.
Yang
membedakan penentangan para shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam terhadap
kesalahan pemerintah ataupun kemungkaran dan kedhaliman pemerintah, dengan
penentangan Khawarij terhadap pemerintah, adalah dalam tujuan dan dalam cara
melakukan penentangan itu.
Para
Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menentang kesalahan atau
kemungkaran dan kedhaliman pemerintah adalah dalam rangka ketulusan mereka
menjalankan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar dan dalam
rangka kecemburuan mereka terhadap segala perkara yang mengancam pemahaman yang
benar Ummat Islam terhadap agamanya. Semuanya itu adalah dalam rangka
mengikhlaskan agama untuk Allah semata. Adapun Khawarij, mereka menentang
kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman pemerintah adalah dalam rangka ambisi
mereka merebut kekuasaan dan atau dalam rangka menempuh proses pematangan
rakyat semesta menuju suatu pemberontakan kaum Muslimin terhadap pemerintahnya.
Untuk tujuan inilah kalangan Khawarij berusaha mencari-cari kesalahan pemerintah
Muslimin, apalagi kedhaliman dan kemungkarannya, guna dieksploitir untuk
kepentingan program mobilisasi masyarakat Muslimin untuk memberontak kepada
pemerintahnya. Perhatikan baik-baik, betapa jauh perbedaan tujuan para Shahabat
Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan tujuan Khawarij dalam
menentang kesalahan, kedhaliman serta kemungkaran pemerintah Muslimin. Seperti
jauhnya perbedaan antara Sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dengan
bid’ah.
Para
Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menentang kesalahan atau
kemungkaran dan kedhaliman pemerintah Muslimin, tidak dengan menghasut kaum
Muslimin untuk memberontak kepada penguasanya. Bahkan selalu menasehati kaum
Muslimin untuk tetap bersabar mentaati penguasanya dalam kebaikan dan berlepas
diri dari kemungkaran penguasanya. Akan tetapi Khawarij, melakukan penentangan
kepada penguasa dengan menghasut kaum Muslimin untuk memberontak kepada
penguasanya dengan cara apapun untuk menjatuhkan atau menyingkirkannya karena
ambisi kekuasaan yang ada pada mereka itu. Perhatikan baik-baik, betapa jauh
cara para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dalam menentang
kesalahan atau kemungkaran dan kedhaliman penguasa, dengan cara Khawarij yang
amat anarkhis itu. Seperti jauhnya perbedaan antara Sunnah Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam dengan bid’ah.
Perbedaan ini amat
sulit dikenali oleh orang yang belum memahami betul perbedaan manhaj
(metodologi, atau cara pemahaman) Salafus Shalih dengan manhajul Khawarij.
Furqan (yakni kemampuan membedakan) di antara kedua manhaj itu diberikan
oleh Allah kepada para Ulama’ Ahlul Hadits dengan ketaqwaan yang ada pada
mereka yang mendampingi ilmu Sunnah yang Allah anugerahkan kepada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar