Mencari
gelar haji/hajjah, menaikkan status sosial, atau unjuk kekayaan, adalah
niatan-niatan yang semestinya dikubur dalam-dalam saat hendak menunaikan ibadah
haji. Karena setiap amalan, sekecil apapun, hanya pantas ditujukan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih, ibadah haji merupakan amalan mulia yang memiliki
kedudukan tinggi di dalam
Islam.
Haji ke Baitullah merupakan ibadah yang sangat mulia dalam
Islam. Kemuliaannya nan tinggi memposisikannya sebagai salah satu dari lima
rukun Islam. Ini mengingatkan kita akan sabda baginda Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ،
وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima perkara; bersyahadat bahwasanya
tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu utusan
Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum di bulan Ramadhan, dan
berhaji ke Baitullah.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no.16, dari shahabat
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Seorang muslim sejati pasti mendambakan dirinya bisa berhaji ke
Baitullah. Lebih-lebih bila merenung dan memerhatikan hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alihi wa sallam yang merinci berbagai keutamaannya. Seperti sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ
كَيَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa berhaji karena Allah lalu tidak berbuat keji dan
kefasikan (dalam hajinya tersebut), niscaya dia pulang dari ibadah tersebut
seperti di hari ketika dilahirkan oleh ibunya (bersih dari dosa).” (HR.
Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 1521 dan Muslim no. 1350, dari shahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا،
وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ
“Antara satu umrah dengan umrah berikutnya merupakan penebus
dosa-dosa yang ada di antara keduanya, dan haji mabrur itu tidak ada balasan
baginya kecuali Al-Jannah.” (HR. Muslim no. 1349, dari shahabat Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu)
Berangkat dari sinilah, tidak sedikit dari saudara-saudara kita
kaum muslimin yang tergugah untuk berlomba menunaikan ibadah haji setiap
tahunnya, meski harus berkorban harta, waktu, dan tenaga. Bahkan berpisah
dengan keluarga atau meninggalkan kampung halaman pun tak menjadi penghalang,
demi menunaikan ibadah yang mulia tersebut.
Semangat beribadah yang tinggi ini semestinya senantiasa
dipertahankan dan kemudian ditingkatkan dengan mempelajari ilmunya serta
menunaikannya sesuai dengan tuntunan baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hal ini tiada lain sebagai realisasi dari apa yang pernah dipesankan
oleh baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam:
خُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ
“Ambillah dariku tuntunan manasik haji kalian.” (HR. Muslim no.
1297)
Tahukah Anda, Apa Haji dan ‘Umrah Itu?
Haji, dalam bahasa Arab bermakna: maksud atau tujuan. Al-Khalil
bin Ahmad Al-Farahidi, salah seorang pakar bahasa Arab berpendapat bahwasanya
kata haji sering digunakan untuk suatu maksud yang mulia dan ditujukan kepada
zat/sesuatu yang mulia pula. (Lihat Al-Mughni, karya Al-Imam Ibnu Qudamah, juz
5 hal. 5 dan Taudhihul Ahkam, karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam, juz 4 hal.
3)
Dalam terminologi syariat, haji bermakna: Beribadah kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menjalankan manasik (haji) yang dituntunkan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Asy-Syarhul Mumti’, karya Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, juz 4 hal. 26)
Adapun umrah, dalam bahasa Arab bermakna: kunjungan (ziarah).
Sedangkan dalam terminologi syariat adalah: Beribadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dengan berthawaf di Ka’bah (setelah berihram dari miqatnya, -pen.),
lalu bersa’i di antara Shafa dan Marwah, kemudian gundul atau mencukur rambut
(bertahallul). (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, juz 4 hal. 26)
Rangkaian ibadah haji haruslah dilakukan dalam bulan-bulan haji
(Syawwal, Dzul Qa’dah dan sepuluh hari pertama dari bulan Dzul Hijjah). Adapun
ibadah umrah tidak terkait dengan waktu tertentu, bisa dilakukan di bulan-bulan
haji atau pun di luar itu.
Kapan Ibadah Haji Disyariatkan?
Syariat haji –secara umum–, telah ada di masa Nabi Ibrahim
‘alaihissalam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditujukan
kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam:
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالاً
وَعَلَىكُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ لِِيَشْهَدُوا
مَنَافِعَ لَهُمْ
“Dan umumkanlah kepada manusia untuk berhaji, niscaya mereka
akan mendatangimu dengan berjalan kaki atau mengendarai unta kurus dari segala
penjuru yang jauh untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.”
(Al-Hajj: 27-28)
Kemudian syariat tersebut dikukuhkan kembali secara lebih
sempurna di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tepatnya pada
tahun 9 Hijriyah. Sebagaimana yang dikatakan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin rahimahullah: “Syariat haji –menurut pendapat yang benar– terjadi
pada tahun 9 Hijriyah… Dalilnya, bahwa ayat tentang wajibnya haji merupakan
ayat-ayat pertama dari surat Ali ‘Imran. Dan ayat-ayat pertama dari surat Ali
‘Imran ini diturunkan pada tahun berdatangannya para utusan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (yakni tahun 9 Hijriyah, pen.).” (Asy-Syarhul
Mumti’, juz 5 hal. 30)
Hukum Menunaikan Ibadah Haji dan Umrah
Menunaikan ibadah haji hukumnya wajib bagi yang mampu. Dalilnya
adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan Al-Ijma’. (Lihat Al-Mughni, juz 5 hal. 5 dan
Taudhihul Ahkam, juz 4 hal. 3)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada seluruh hamba-Nya untuk menunaikan
ibadah haji ke Baitullah dan menjadikannya sebagai salah satu dari rukun Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ
“Dan hanya karena Allah lah haji ke Baitullah itu diwajibkan
bagi manusia yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kafir
maka sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap seluruh alam semesta.” (Ali
‘Imran: 97)
Di dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abdullah
bin ‘Umar, diriwayatkan bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ،
وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ
“Agama Islam dibangun di atas lima perkara: bersyahadat
bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu
utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, shaum di bulan Ramadhan dan
berhaji ke Baitullah.”
Diriwayatkan oleh Al-Imam Sa’id bin Manshur dalam Sunan-nya
dari shahabat Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
“Sungguh aku bertekad mengirim pasukan ke penjuru dunia untuk memantau
orang-orang yang mempunyai kelapangan harta namun tidak mau berhaji, dan
menarik upeti dari mereka. Mereka bukan orang Islam, mereka bukan orang Islam.”
Diriwayatkan pula dari shahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata: “Barangsiapa yang mampu berhaji namun tidak mau
menunaikannya, maka tidaklah ia meninggal dunia melainkan dalam keadaan Yahudi
atau Nashrani.” (At-Tahqiq wal Idhah, hal. 7-8)
Al-Wazir dan yang lainnya berkata: “Para ulama telah berijma’
(sepakat) bahwasanya ibadah haji itu diwajibkan bagi setiap muslim dan muslimah
yang baligh lagi mampu, dan dilakukan sekali seumur hidup.” (Taudhihul Ahkam,
juz 4 hal. 3)
Adapun ibadah ‘umrah, hukumnya juga wajib menurut salah satu
pendapat para ulama. Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Ada sekian hadits
Nabi yang menunjukkan wajibnya ibadah umrah. Di antaranya adalah sabda beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh malaikat Jibril tentang
Islam:
اْلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ،
وَتَحُجَّ الْبَيْتَ وَتَعْتَمِرَ وَتَغْتَسِلَ مِنَ الْجَنَابَةِ وَتُتِمَّ
الْوُضُوْءَ وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ
“Islam adalah engkau bersyahadat bahwasanya tidak ada yang
berhak diibadahi kecuali Allah dan Nabi Muhammad itu utusan Allah, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, berhaji ke Baitullah, menunaikan ibadah umrah, mandi
dari janabat, menyempurnakan wudhu dan shaum di bulan Ramadhan.” (HR. Ibnu
Khuzaimah dan Ad-Daraquthni, dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
‘anhu. Ad-Daraquthni berkata: “Isnadnya kokoh dan shahih.”) (At-Tahqiq wal
Idhah, hal. 8-9)
Kapan Seseorang Berkewajiban Menunaikan Ibadah Haji?
Al-Imam Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni (juz 5 hal. 6)
mengatakan: “Sesungguhnya ibadah haji itu wajib ditunaikan bila telah terpenuhi
lima syarat:
1. Beragama Islam.
2. Berakal sehat.
3. Mencapai usia baligh.
4. Merdeka (bukan budak).
5. Mempunyai kemampuan.”
Bagaimanakah kriteria mempunyai kemampuan tersebut?
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Mempunyai
kemampuan dalam bentuk harta dan fisik (kesehatan). Yakni bila seseorang
memiliki harta yang dapat mencukupinya untuk berangkat haji berikut
kepulangannya, serta segala kebutuhannya dalam perjalanan haji tersebut. (Yang
dimaksud dengan) harta yang dimiliki itu adalah harta yang tersisa setelah
dikurangi pembayaran hutang, nafkah yang bersifat wajib, segala kebutuhan
makan, minum, nikah, tempat tinggal dengan perabotnya, dan apa yang dibutuhkan
berupa kendaraan, buku-buku agama dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan
firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ البَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ
إِلَيْهِ سَبِيْلاً وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِيْنَ
“Dan hanya karena Allahlah haji ke Baitullah itu diwajibkan
bagi manusia yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa yang kafir
maka sesungguhnya Allah tidak butuh terhadap seluruh alam semesta.” (Ali
‘Imran: 97)
Bagi kaum wanita, adanya mahram (yang menyertai) termasuk
bagian dari kemampuan. Maka dari itu, wanita yang tidak mempunyai mahram tidak
wajib untuk berhaji, karena tidak boleh baginya secara syar’i untuk safar
(bepergian) tanpa mahram. Kaum wanita tidak boleh melakukan safar tanpa
disertai mahramnya, baik untuk haji atau pun selainnya, baik safarnya dalam
waktu yang lama atau pun sebentar, bersama rombongan kaum wanita atau pun
sendirian, masih muda dan cantik atau pun telah renta, naik pesawat terbang
atau pun yang lainnya. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma:
أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَخْطُبُ يَقُولُ: لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو
مَحْرَمٍ، وَلاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ
فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ امْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَإِنِّي
اكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأَتِكَ
“Bahwasanya beliau (Abdullah bin ‘Abbas) pernah mendengar Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah seraya berkata: ‘Janganlah sekali-kali
seorang lelaki bersendirian dengan seorang wanita kecuali bila disertai
mahramnya, dan jangan pula seorang wanita bersafar kecuali bersama mahramnya.’
Maka berdirilah seorang lelaki seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya
istriku pergi berhaji (tanpa mahram, pen.), sementara aku ditugaskan untuk
berjihad.’ Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Pergilah engkau
untuk berhaji bersama istrimu!” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menanyakan terlebih dahulu, apakah si wanita itu pergi bersama rombongan kaum
wanita ataukah sendirian?! Apakah dia masih muda dan cantik ataukah sudah tua?!
Apakah perjalanannya aman ataukah tidak?!
Adapun hikmah dari pelarangan tersebut adalah untuk melindungi
kaum wanita dari tindak kriminal, karena mereka adalah kaum yang lemah akal dan
fisiknya. Mereka sering dijadikan sasaran tindak kejahatan, dikarenakan betapa
mudahnya mereka untuk ditipu atau pun dipaksa melakukan sesuatu. –Hingga
perkataan beliau– Jika seseorang tidak mampu dari sisi hartanya, maka dia tidak
wajib berhaji. Dan jika berkemampuan dari sisi harta namun kondisi kesehatannya
lemah, maka perlu untuk ditinjau terlebih dahulu. Jika rasa lemahnya itu
dimungkinkan bisa hilang, seperti sakit yang dimungkinkan kesembuhannya maka hendaknya
dia bersabar hingga mendapatkan kesembuhan, lalu menunaikan ibadah haji. Dan
jika rasa lemahnya itu dimungkinkan tidak bisa hilang dikarenakan faktor
ketuaan dan penyakit menahun yang sulit untuk disembuhkan misalnya, maka
hendaknya mewakilkan hajinya kepada orang lain.” (www.attasmeem.com, Manasik
Al-Hajj wal ‘Umrah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)
Berapa Kalikah Kewajiban Menunaikan Ibadah Haji dan Umrah?
Ibadah haji dan umrah wajib ditunaikan sekali saja seumur
hidup, bagi setiap muslim dan muslimah yang telah memenuhi syarat wajibnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ.
فَقَامَ اْلأَقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ فَقَالَ: أَفِي كُلِّ عَامٍ يَارَسُوْلَ اللهِ؟
قَالَ: لَوْ قُلْتُهَا لَوَجَبَتْ، وَلَوْ وُجِبَتْ لَمْ تَعْمَلُوا بِهَا وَلَمْ
تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْمَلُوا بِهَا، الْحَجُّ مَرَّةً، فَمَنْ زَادَ
فَتَطَوَّعَ
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mewajibkan kepada kalian ibadah haji!” Maka berdirilah Al-Aqra’ bin Habis
seraya mengatakan: “Apakah haji itu wajib ditunaikan setiap tahun wahai
Rasulullah?” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab: “Kalau aku
katakan; ya, niscaya akan menjadi kewajiban setiap tahun, dan bila diwajibkan
setiap tahun niscaya kalian tidak akan menunaikannya, bahkan tidak akan mampu
untuk menunaikannya. Kewajiban haji itu hanya sekali (seumur hidup).
Barangsiapa menunaikannya lebih dari sekali, maka dia telah bertathawwu’
(melakukan perbuatan sunnah).” (HR. Abu Dawud, An-Nasa`i, Ad-Darimi,
Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ahmad, dari shahabat Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma. Lihat Irwa`ul Ghalil, karya Asy-Syaikh Al-Albani, juz 4
hal. 149-150)
Di antara Hikmah Ibadah Haji
Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: “Ibadah haji mempunyai
hikmah yang besar, mengandung rahasia yang tinggi dan tujuan yang mulia, berupa
kebaikan duniawi dan ukhrawi. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu
wa Ta’ala:
لِِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ
“Untuk menyaksikan segala yang bermanfaat bagi mereka.”
(Al-Hajj: 28)
Haji merupakan momen pertemuan akbar bagi umat Islam seluruh
dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala pertemukan mereka semua di waktu dan tempat
yang sama. Sehingga terjalinlah suatu interaksi, kedekatan dan saling merasakan
satu dengan sesamanya, yang dapat membuahkan kuatnya tali persatuan umat Islam,
dan terwujudnya kemanfaatan bagi urusan agama dan dunia mereka. (Taudhihul
Ahkam, juz 4 hal. 4)
Seseorang yang berupaya menggali rahasia di balik ibadah haji,
maka dia akan memperoleh banyak pelajaran penting, baik yang berkaitan dengan
keimanan, ibadah, muamalah, dan akhlak yang mulia. Di antara pelajaran tersebut
adalah:
1. Perwujudan tauhid yang murni dari noda-noda kesyirikan dalam
hati sanubari, ketika para jamaah haji bertalbiyah.
2. Pendidikan hati untuk senantiasa khusyu’, tawadhu’ dan
penghambaan diri kepada Rabbul ‘Alamin, ketika melakukan thawaf, wukuf di
Arafah, dan amalan haji lainnya.
3. Pembersihan jiwa untuk senantiasa ikhlas dan bersyukur
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ketika menyembelih hewan kurban di hari-hari
haji.
4. Ketulusan dalam menerima bimbingan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tanpa diiringi rasa berat hati, ketika mencium Hajar Aswad
dan mengusap Rukun Yamani.
5. Tumbuhnya kebersamaan hati dan jiwa ketika berada di
tengah-tengah saudara-saudara seiman dari seluruh penjuru dunia, dengan pakaian
yang sama, berada di tempat yang sama, dan menunaikan amalan yang sama pula
(haji).
(Untuk lebih rincinya lihat kitab Durus ‘Aqadiyyah Mustafadah
Minalhajj, karya Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr)
Penulis
: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Makkah 'Isha - 25th December 2024
-
*Makkah Isha *
(Surah Hashr: Ayaah 18-24) *Sheikh Baleelah*
Download 128kbps Audio
5 jam yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar