Pembicaraan kita kali ini berkenaan dengan
perbincangan di seputar ada tidaknya bid’ah hasanah. Karena dengan adanya
istilah ini, banyak menimbulkan kerancuan dalam memahami apa itu bid’ah dan
dalam mewaspadai bahaya bid’ah terhadap Islam dan Muslimin. Oleh sebab itu
dalam edisi ini kami menurunkan pembahasan tentang
permasalahan ini untuk
kiranya dapat menjadi nasehat bagi pembaca yang budiman dalam memahami
permasalahan yang sangat genting dan berbahaya tersebut.
AWAL
MULA ADANYA PENDAPAT TENTANG BID’AH HASANAH
Mula pertama adanya istilah bid’ah hasanah itu
sesungguhnya dari ijtihad Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah.
Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Nu’aim Al-Asfahani rahimahullah
dalam kitab beliau Hilyatul Auliya’ jilid 9 halaman 113 dengan
sanadnya dari Harmalah bin Yahya bahwa dia menceritakan: Aku mendengar Muhammad
bin Idris Asy-Syafi’i menyatakan:
(hadits
1)
“Bid’ah itu ada dua: Bid’ah yang
terpuji dan bid’ah yang tercela. Maka apa saja yang mencocoki As-Sunnah,
berarti dia itu adalah bid’ah yang terpuji; dan yang menyelisihi As-Sunnah,
maka ia adalah bid’ah yang tercela.” Kata Abu Nu’aim: “Beliau berpendapat
demikian, karena berhujjah dengan omongan Umar bin Al-Khattab yang mengatakan
tentang Qiyam Ramadhan (yakni shalat tarawih): “Bid’ah yang baik itu adalah
yang seperti ini.”
Di samping omongan Umar bin Khattab radliyallahu
`anhu yang menjadi landasan bagi Asy-Syafi’i, juga omongan Al-Imam Al-Hasan
Al-Basri rahimahullah, Imam dari kalangan Tabi’in yang menyatakan:
(Hadits
2)
“Membikin majlis di masjid yang isinya
kisah-kisah yang mengandung pelajaran adalah perbuatan bid’ah, akan tetapi
betapa bagusnya bid’ah yang satu ini. Berapa banyak saudara kita yang mendapat
manfaat dari majlis ini. Dan betapa doa yang dipanjatkan di majlis ini
dikabulkan oleh Allah Ta’ala.”
Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam
As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Amru bi Ittiba’ wan Nahyu Anil Ibtida’
halaman 88.
Dengan keterangan yang demikian ini,
khususnya yang bermadzhab Asy-Syafi’i, mereka sangat getol dalam berpendapat
bahwa bid’ah itu ada yang dinamakan bid’ah hasanah dan ada pula yang
dinamakan bid’ah madzmumah (yakni tercela).
Perkataan Imam Asy-Syafi’i tersebut di
atas sangat berbeda dengan sabda Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam tentang bid’ah. Beliau bersabda:
(Hadits
3)
“Dan hati-hatilah kalian dari perkara
agama Islam yang baru diadakan (yakni perkara agama yang tidak pernah dikenal
oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam atau tidak pernah
dikenal oleh para Shahabat beliau). Karena segala perkara yang baru itu adalah
bid’ah dan seluruh yang dinamakan bid’ah itu adalah sesat dan segenap orang
yang sesat dan mati dalam keadaan tidak taubat dari padanya, maka ia di
neraka.” (HR. An-Nasa’i dan At-Tirmidzi dan beliau mengatakan:
Hadits HASAN SHAHIH)
Perbedaannya terletak pada sisi,
dimana Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam menyatakan bahwa
semua bid’ah itu adalah sesat. Sedangkan Imam Syafi’i menyatakan bahwa tidak
semua bid’ah itu sesat, tetapi ada yang hasanah (baik) dan ada yang madzmumah
(tercela). Maka bila kita konsisten dengan pengakuan kita bahwa kita bermadzhab
Syafi’i, tentunya kita berpegang dengan apa yang menjadi prinsip Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah. Prinsip beliau dalam memahami Islam telah
dinyatakan dalam beberapa penegasan beliau sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Al-Imam Al-Hafidh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Ashfahani rahimahullah
dalam kitabnya yang berjudul Hilyatul Auliya’ jilid 9 halaman 106
s/d 107 sebagai berikut:
(Hadits
4)
“Bila telah pasti keshahihan satu
hadits bahwa itu dari Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam,
maka aku pun berpendapat seperti yang tertera di hadits itu dan aku bermadzhab
dengannya dan aku tetap berpendapat dengannya. Dan bila satu hadits itu tidak
aku yakini keshahihannya, aku pun tidak berpegang dengannya dalam berpendapat.”
Juga beliau menyatakan:
(hadits
5)
“Setiap aku berpendapat dengan suatu
pendapat, dan ternyata pendapatku itu berbeda dengan riwayat shahih dari sabda
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, maka hadits Nabi yang shahih
itu lebih utama untuk kamu ikuti dan jangan kalian bertaqlid (yakni ikut
membabi buta –pent) kepadaku.” (Al-Hilyah jilid 9 hal. 106 – 107)
Juga beliau menegaskan:
(hadits
6)
“Apabila engkau dapati ajaran dari
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam, maka ikutilah ajaran
itu dan jangan kalian menoleh kepada pendapat seorang pun.” (Al-Hilyah
jilid 9 hal. 106 – 107)
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad
bin Utsman Adz-Dzahabi rahimahullah juga meriwayatkan dalam kitabnya
yang berjudul Siar A’lamin Nubala’ jilid 10 hal. 34 pernyataan
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah sebagai berikut:
Ar-Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi
meriwayatkan: Aku mendengar Asy-Syafi’i menyatakan: “Apabila kalian mendapati
dalam kitabku perkara yang berbeda dari Sunnah Rasulillah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam (yakni ajarannya), maka hendaknya kalian
berpendapat sesuai dengan Sunnah itu, dan tinggalkanlah apa yang aku katakan
padanya.”
Maka dengan berbagai riwayat
pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i tersebut, mestinya bila kita konsisten dengan
madzhab Syafi’i, kita merujuk kepada sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam tentang kenyataan bahwa bid’ah itu semuanya sesat. Dan kita
meninggalkan pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i yang menyatakan bahwa bid’ah itu
tidaklah semuanya sesat, akan tetapi ada yang sesat dan ada yang hasanah
(yakni baik). Apalagi Imam Syafi’i dalam berijtihad sehingga melahirkan
pendapat yang demikian itu berdalil dengan omongan Umar bin Khattab dan bukan
berdalil dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita meninggalkan pendapat seorang
Imam karena pendapatnya tidak mencocoki Sunnah Nabi, bukanlah berarti kita
mecerca atau menghina Imam tersebut. Akan tetapi kita meninggalkan pendapat
beliau dalam satu masalah, adalah karena bimbingan beliau juga dalam mentaati
Sunnah Nabi. Kita juga menilai pendapat seorang Imam itu tidak mencocoki Sunnah
Nabi, bukan berarti kita menilai bahwa Imam tersebut telah menyimpang dari
Sunnah Nabi. Akan tetapi kita menilai demikian karena kita diajari oleh
beliau-beliau para Imam itu, bahwa seorang Imam itu tidaklah ma’shum (ma’shum
itu maknanya ialah terjaga dari kemungkinan lupa dan salah dalam berijtihad memahami
Islam) seperti ma’shumnya Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam. Bahkan Nabi kita mengajari kita bahwa kekeliruan dalam berijtihad
itu sebagai orang yang mengemban ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah tercela
bahkan sebagai amalan yang diberi pahala oleh Allah dengan satu pahala.
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
(Hadits
7)
“Apabila seorang hakim menetapkan satu
hukum dengan berijtihad kemudian ijtihadnya benar, maka dia mendapat dua
pahala. Dan apabila dia menetapkan satu hukum
dengan berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya salah, maka dia dapat
satu pahala.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya kitab Al-I`tisham
bil Kitab was Sunnah bab Ajril Hakim Idzajtahada fa Ashaba wa Akhta’a
hadits ke 7352 dari Amr bin Ash radliyallahu `anhu)
BAGAIMANA
PARA SHAHABAT NABI MEMAHAMI HADITS TERSEBUT
Bila ada permasalahan dalam memahami hadits Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam, maka kita dituntunkan beliau untuk merujuk
kepada pemahaman para Shahabat beliau. Bahkan beliau menerangkan, bahwa jalan
keselamatan dari fitnah pertikaian dalam memahami agama Allah itu ialah dengan
merujuk kepada pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam. Hal ini dinyatakan dalam sabda beliau sebagai berikut:
(hadits
8)
“Sungguh akan datang pada ummatku
seperti yang telah datang pada Bani Israil, seperti pasangan sandang satu
dengan lainnya. Sampaipun bila dulunya dari mereka ada yang menzinai ibunya
dengan terang-terangan, niscaya akan ada dari ummatku yang berbuat demikian.
Dan sesungguhnya Bani Israil telah terpecah dalam tujupuluh dua golongan,
sedangkan ummatku akan terpecah menjadi tujupuluh tiga golongan. Semua mereka
akan masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.” Para Shahabat bertanya
kepada beliau: Siapakah satu golongan yang selamat dari api neraka itu wahai
Rasulallah? Beliaupun menjawab: “Yaitu golongan yang beragama dengan caraku dan
cara para Shahabatku.” (HR. Tirmidzi dalam Sunannya jilid
5 hal 26 no 2641 bab Kitabul Iman Bab Ma Jaa’a fiftiraqi Hadzihil
Ummah dari Abdullah bin ‘Amru bin Ash).
Demikianlah penegasan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam bahwa yang selamat dalam kondisi perpecahan ummat
Islam, adalah yang merujukkan pemahaman agamanya kepada Rasulullah dan para
Shahabatnya. Dengan demikian, adalah perkara yang sangat penting untuk merujuk
kepada pemahaman para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam
mencari kepastian tentang pengertian satu hadits. Inilah dasar pemikiran yang
paling aman dalam mencari kepastian tentang pengertian satu hadits. Maka dalam
memahami apa sesungguhnya pengertian hadits tentang bid’ah itu sebagai
kesesatan seluruhnya, mari kita merujuk kepada penjelasan para Shahabat.
1). Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi
bertanya kepada Abdullah bin Ukaim: “Bagaimana Umar bin Khattab menyatakan?”
Dijawab oleh Abdullah bi Ukaim: “Umar menyatakan: “Sesungguhnya omongan yang
paling benar, adalah omongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad dan sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan dalam perkara agama. Dan semua yang baru dalam perkara agama
adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (Riwayat Al-Imam Al-Lalikai dalam Syarah I’tiqad
Ahlus Sunnah wal Jama’ah riwayat ke 100).
2). Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radliyallahu
`anhuma menegaskan: “Semua bid’ah itu adalah sesat, walaupun banyak orang
memandangnya sebagai hal yang baik.” (Riwayat Al-Lalikai dalam Syarah
Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah riwayat 126).
3). Abdullah bin Mas’ud radliyallahu
`anhu menyatakan: “Ikutilah Sunnah Nabi dan jangan kamu membikin bid’ah.
Karena sesungguhnya kalian telah dicukupi dengan Sunnah Nabi dan semua bid’ah
itu adalah sesat.” (Riwayat Al-Lalikai dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis
Sunnah riwayat ke 104).
Pemahaman para Shahabat Nabi tersebut
karena adanya hadits lain yang meriwayatkan sabda Nabi shallallahu `alaihi
wa alihi wasallam yang berbunyi:
(hadits
9)
“Barangsiapa yang membikin sesuatu
yang baru dalam agama kami ini, padahal ia bukan bagian dari agama ini, maka
sesuatu yang baru itu adalah sesuatu yang tertolak.” (HR. Bukhari no
2697 dan Muslim no. 1718 dari A’isyah radliyallahu `anha).
Jadi di samping dinilai sebagai
sesuatu yang sesat, maka sesuatu yang baru itu juga dinilai sebagai sesuatu
yang tidak diterima oleh Allah amalannya. Maka para Shahabat Nabi yang tentunya
lebih paham tentang pengertian sabda Nabi, mereka memahami hadits Nabi tersebut
sesuai dengan apa yang tersurat dalam lafadhnya. Yaitu semua yang baru dalam
perkara agama itu adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu adalah sesat.
MENDUDUKKAN
OMONGAN UMAR BIN AL-KHATTAB TENTANG BID’AH
Dalam menilai ijtihad para Imam itu, ialah dengan
memahami dalil yang dipakai sebagai landasan pengertian tentang bid’ah itu.
Dalam hal ini ialah dalil yang dipakai oleh Imam Asy-Syafi’i untuk menyatakan
bahwa bid’ah itu ada yang sayyi’ah dan ada yang hasanah. Dan
sebagaimana diketahui, bahwa dalil beliau dalam hal ini ialah omongan Umar bin
Al-Khattab yang bunyi riwayatnya demikian:
(hadits
10)
Aku pernah keluar rumah bersama Umar
bin Al-Khattab radliyallahu `anhu di malam Ramadlan menuju masjid.
Ternyata didapati padanya kaum Muslimin sedang shalat terpisah-pisah di masjid
masing-masing shalat tarawih sendiri-sendiri . Dan ada pula yang shalat diikuti
oleh sekelompok orang. Maka ketika melihat pemandangan demikian, berkata Umar:
“Aku berpandangan seandainya mereka disatukan dengan satu imam, niscaya yang
demikian itu lebih bagus.” Kemudian beliau bertekad menjalankan pandangannya
itu dengan disatukan dalam satu jama’ah shalat tarawih dengan imam yang beliau
pilih, yaitu Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku di malam lain keluar lagi bersama
Umar ke masjid dan kaum Muslimin sedang shalat tarawih dengan satu jama’ah dan
satu imam. Maka Umar pun menyatakan: “Sebaik-baik bid’ah itu adalah yang
demikian.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Shalatit
Tarawih bab Fadhlu Man Qaama Ramadhaan, hadits ke 2010 dari
Abdurrahman bin Abdul Qari radliyallahu `anhu).
Dalam menjelaskan riwayat ini, Al-Imam
IbnuTaimiyah rahimahullah menyatakan:
“Adapun omongan Umar radliyallahu
`anhu: Sebaik-baik bid’ah itu adalah ini, maka mayoritas orang-orang
yang berhujjah dengannya, bila kita hendak menetapkan suatu hukum dengan
omongan Umar yang omongannya tidak mengandung unsur menyelisihi Sunnah Nabi,
niscaya mereka akan mengatakan: Omongan Shahabat bukanlah hujjah (yakni
dalil agama). Tetapi mengapa sekarang omongan Umar justru menjadi hujjah
bagi mereka dalam perkara yang menyelisihi omongan Rasulullah shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam. Bahkan mereka yang meyakini bahwa omongan
Shahabat itu adalah hujjah, dia tidak akan meyakininya sebagai hujjah bila
ternyata omongan itu menyelisihi Hadits Nabi. Maka baik yang berpendapat bahwa
omongan Shahabat itu hujjah ataukah yang berpendapat bahwa omongan Shahabat itu
bukan hujjah, mereka yang berpendapat dengan kedua pendapat ini pun meyakini
bahwa tidak boleh mempertentangkan hadits Nabi dengan omongan seorang Shahabat.
Memang benar, boleh menjadikan omongan Shahabat itu sebagai takhsis
(yakni memberi batasan makna yang umum menjadi khusus, pent) terhadap makna
yang umum pada hadits Nabi, tetapi hanyalah omongan Shahabat yang tidak
menyelisihi hadis Nabi.” Demikian Al-Imam Ibnu Taimiyah menerangkan dalam kitab
beliau Iqtidla’ Shirathal Mustaqim jilid 2 hal. 592. Kemudian
beliau menambahkan keterangannya sebagai berikut:
“Kemudian kita mengatakan: Penamaan
Umar terhadap perbuatan Shalat Tarawih dengan satu imam itu sebagai bid’ah
hasanah, adalah bid’ah dalam arti bahasa dan bukan bid’ah dalam pengertian Syari’ah.
Dimana pengertian bid’ah secara bahasa ialah segala perbuatan yang baru
dilakukan dengan tidak ada yang menduhuluinya. Sedangkan bid’ah dalam
pengertian Syari’ah ialah semua perkara agama yang tidak ada dalilnya dari
dalil-dalil Syar’i.” (Iqtidla’ Shirathal Mustaqim , jilid 2 hal.
593).
Selanjutnya beliau menambahkan:
“Kalau begitu, maka kita dapati
kenyataan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan para
Shahabatnya telah pernah menunaikan shalat qiyam Ramadlan (yakni Tarawih, pent)
baik dalam berjamaah maupun sendiri-sendiri. Ketika mereka shalat Tarawih
berjamaah di belakang Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sejak
hari pertama Ramadhan sampai hari ketiga atau hari keempat, Beliaupun akhirnya
tidak keluar ke masjid ketika mereka sudah berkumpul untuk melaksanakan shalat
Tarawih. Beliau mengemukakan alasannya mengapa tidak keluar ke masjid:
(hadits
11)
“Sesungguhnya aku mengerti bahwa
kalian berkumpul di masjid. Akan tetapi aku takut diwajibkannya shalat tarawih itu atas kalian.
Dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu menunaikannya. Oleh
karena itu, silakan kalian shalat di rumah-rumah kalian. Karena seutama-utama
shalatnya seorang pria itu adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya
dari Zaid bin Tsabit. Lihat Fathul Bari juz 13 no.7290 Kitabul
I`tisham bil Kitab was Sunnah bab Ma Yakrahu Min Kasyratis Su`al wa Man Takallifu Ma La
Ya`nihi hal. 264)
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam mengemukakan alasan mengapa beliau tidak keluar ke masjid untuk
memimpin shalat Tarawih adalah karena takut diwajibkannya shalat Tarawih
tersebut. Dengan demikian diketahuilah bahwa beliau sebenarnya tetap ingin
keluar ke masjid. Dan seandainya tidak karena takut diwajibkannya Tarawih itu, niscaya
beliau akan keluar ke masjid. Maka ketika di masa pemerintahan Umar radliyallahu
`anhu, beliau menyatukan mereka dengan satu imam. Masjid pun di malam
Ramadhan, diberi lampu. Maka jadilah model pengamalan semacam ini, yaitu
berkumpulnya mereka di masjid untuk melaksanakan shalat Tarawih dengan dipimpin
oleh satu imam dan diteranginya masjid, sebagai amalan yang tidak pernah mereka
kerjakan sebelumnya. Sehingga dinamakanlah amalan tersebut sebagai bid’ah.
Karena secara bahasa memang demikian maknanya. Tetapi tidaklah istilah bid’ah
yang dipakai dalam perkara ini adalah bid’ah dalam pengertian Syariah. Karena
Sunnah Nabi telah mengkatagorikannya (yakni shalat Tarawih dengan berjamaah
itu, pent) sebagai amalan shaleh, seandainya tidak dikuatirkan untuk diwajibkannya
amalan itu. Dan kekuatiran untuk diwajibkannya amalan shalih ini telah hilang
dengan telah wafatnya Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam,
sehingga penghalang untuk dilaksanakannya amalan shaleh ini telah hilang.”
Demikian Syaikhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan
dalam Iqtidla’ Shirathal Mustaqim jilid 2 halaman 594.
Cukuplah dengan keterangan ini untuk
sebagai kejelasan, bahwa kata bid’ah hasanah yang dipakai oleh Umar bin
Al-Khattab itu dalam menilai shalat Tarawih berjamaah di masjid, bukanlah
bid’ah dalam pengertian syar’i. Tetapi adalah pengertian semantik (secara
bahasa). Karena amalan shalat Tarawih berjamaah di masjid itu telah dilakukan
oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan para Shahabat
beliau di masjid beliau. Jadi shalat Tarawih berjamaah itu tidaklah dikatakan
bid’ah secara syar’i, bahkan dikatakan Sunnah Nabi shallallahu `alaihi wa
alihi wasallam. Karena bid’ah dalam pengertian syar’i telah dikatakan dlalalah
(sesat) semuanya oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam.
Jadi dalam pengertian ini telah dinafikan adanya bid’ah hasanah. Sehingga
dengan demikian, omongan Umar yang menilai shalat Tarawih berjamaah di masjid
itu tidaklah bertentangan dengan sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam yang menafikan adanya bid’ah hasanah. Karena omongan Umar itu
adalah berkenaan dengan bid’ah dalam pengertian bahasa, sedangkan sabda Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam itu adalah keterengan beliau tentang bid’ah dalam
pengertian syar’i. Umar menyatakan bahwa shalat Tarawih berjamaah sebagai
“sebaik-baik bid’ah” dalam keadaan mengerti bahwa amalan tersebut telah penah
dicontohkan oleh Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Jadi tidak
mungkin Umar maksudkan dengan pernyataannya itu adalah bid’ah dalam pengertian
syar’i. Sebab dalam pengertian syar’i, amalan yang telah dicontohkan oleh Nabi shallallahu
`alaihi wa alihi wasallam itu tidaklah dinamakan bid’ah. Dan lagi Umar juga
telah mengerti tentang sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang
menegaskan bahwa semua bid’ah itu adalah sesat dan tertolak. Maka dengan
demikian mustahil Umar mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan ilmu yang
ada pada dirinya. Dengan cara demikian pula kita memahami perkataan Al-Hasan Al-Bashri
dalam menilai majlis yang khusus untuk dibawakan padanya berbagai cerita-cerita
yang mengandung nasehat dan pelajaran bagi pendengarnya. Majlis yang demikian
ini dikatakan oleh beliau sebagai “bid’ah yang baik”.
Maka kalau perkataan Umar dan Al-Hasan
Al-Basri tersebut tidak diartikan demikian, maka perkataan itu berarti
menyelisihi sabda Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Dan semua
perkataan yang menyelisihi sabda Nabi, haruslah kita membuangnya.
PENUTUP
Demikianlah mestinya dalam bersikap terhadap
pendapat para Imam yang mulia. Kita dilarang mengikuti siapa pun dalam
menjalankan agama ini, tanpa mengerti dalilnya. Dan dalil yang diterima dalam
keterangan agama Allah ini, hanyalah Al-Qur’an dan Al-Hadits saja. Perkataan
atau pendapat dan ijtihad siapapun yang menyelisi dalil, haruslah ditinggalkan
dalam rangka ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lamu
bis-shawab.
&&&&&&&&&&
maaf sebelumnya.... dengan membaca tulisan di atas apakah penilaian anda tentang pendapat imam syafii dan sahabat umar adalah sesat ?
BalasHapus